Anda di halaman 1dari 4

PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR

(Sumberdaya Tidak Dapat Dipulihkan)


Oleh Dema Amalia Putri, 1506742104, Geografi Pesisir

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, diketahui bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara
darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi baik kering maupun terendam air yang
masih dipengaruhi sifat-sifat laut, serta mencakup bagian laut yang dipengaruhi oleh proses
alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar. Oleh karena itu, wilayah
pesisir memiliki keanekaragaman hayati, ekosistem, serta sumberdaya alam yang melimpah.
Adapun jenis sumberdaya terbagi menjadi dua, yaitu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui
dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Sumberdaya alam yang dapat dipulihkan
(renewable resources) dimana aliran sumberdaya tergantung kepada manajemennya, dengan
beberapa kemungkinan persediannya dapat menurun, lestari atau meningkat. Sedangkan
sumberdaya alam yang tidak dapat dipulihkan (non renewable resources) dimana jumlah
persediannya tetap dan terdiri atas secara fisik persediaan akan habis seluruhnya (batubara,
minyak bumi, gas alam) dan persediaan menurun (kelompok logam dan karet). Berikut ini
adalah penjelasan mengenai pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat dipulihkan oleh
masyarakat pesisir.

Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat dipulihkan yang pertama ialah
tambang batubara. Penambangan batubara dengan sistem open pit berdasarkan Peraturan
Pemerintah Indonesia dalam dalam Permen ESDM No.18 memang seharusnya tidak
menyisakan lobang galian setelah proyek berakhir. Akan tetapi, kenyatannya hal ini sulit
terpenuhi dikarenakan harus menggali lahan lain agar tanah dan batuannya dapat menutupi
lobang bekas tambang tersebut. Dalam hal ini, batubara tidak memberikan dampak langsung
pemanfaatannya bagi masyarakat pesisir melainkan pemanfaatan setelah kegiatan tambang
batubara tersebut selesai. Lobang bekas kegiatan tambang batubara dapat digunakan oleh
masyarakat pesisir sebagai lokasi untuk penampungan air agi keperluan pertanian dan rumah
tangga, serta budidaya ikan lokal dalam keramba (Maidie, 2010). Pemanfaatan tersebut
diketahui berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simmons et al. pada tahun 2001 dengan
melakukan uji coba pembudidayaan ikan salmon di bekas kolam pengendap tambang batubara.
Percobaan penelitian dilakukan selain untuk menguji kelayakan kolam pengendap bagi usaha
akuakultur, juga sebagai pembuka peluang kerja wilayah West Virginia yang memiliki banyak
pengangguran. Adapun parameter-parameter yang harus dipertimbangkan dalam mengetahui
apakah usaha budidaya ikan dapat dikembangkan pada kolam-kolam bekas tambang bara
adalah yang berhubungan dengan kualitas air seperti suhu, pH, oksigen terlarut atau DO,
kekeruhan, daya hantar listrik, dan totak padatan terlarut atau TDS. Penelitian ini dilakukan di
kolam pengendap DS 2 yang terletak di Sengatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimatan
Timur dimana PT KPC sebagai penanggung jawab pengelolaan tambang batubara yang telah
berhenti sekitar tahun 2003 (Maidie, 2010). Berdasarkan penelitian, parameter kekeruhan yang
dihasilkan tinggi meskipun belum dapat memastikan apakah dapat membahayakan kehidupan
ikan, sedangkan untuk parameter konsenterasi oksigen terlarut, daya hantar listrik, pH dan total
padatan terlarut cukup mendukung alasan kematian ikan dalam keramba. Jenis-jenis ikan lokal
yang dapat hidup dan cukup aman untuk dikonsumsi di kolam bekas tambang bara adalah
repang (B. schwanenfeldii), puyau (O. kappenii), pepuyu (A. testudineus), dan udang galah (M.
rosenbergii), ataupun ikan introduksi yaitu ikan mas (C. carpio).

Pemanfaatan sumberdaya alam yang


tidak dapat dipulihkan selanjutnya adalah
anjungan migas lepas pantai. Seperti halnya
dengan tambang batubara, pemanfaatan oleh
masyarakat pesisir untuk migas ialah
budidaya perikanan di lokasi anjungan migas
lepas pantai setelah masa produksi berakhir
(Prasojo dan Zaky, 2013). Diketahui bahwa Rig to Reef
saat ini terdapat sekitar 74 buah anjungan lepas Sumber: www.wetwared.org
pantai yang sudah tidak beroperasi lagi (dari 530 buah anjungan) di perairan Indonesia yang
sebenarnya akan mengganggu kegiatan pelayaran sehingga diperlukan decommissioning
(pembongkaran). Adanya anjungan tersebut baik yang masih beroperasi ataupun tidak
beroperasi adalah adanya penurunan struktur anjungan terhadap level muka air laut yang
diakibatkan oleh penurunan muka tanah di sekitar annungan, penurunan kualitas struktur
anjungan akibat adanya korosi dan marine growth, serta beberapa anjungan migas posisinya
terletak pada jalur pelayaran dan daerah tangkapan ikan.berbagai kemungkinan atau alternative
pemanfaatan perlakukan terhadap anjungan lepas pantai pasca operasi migas diantaranya
adalah Liquefied Natural Gas Terminal, Artificial Coral Reef atau Rig to Reef untuk lokasi
pertumbuhan ikan, energi alrernatif, rescue base, dan bangunan dengan fungsi akuakultur,
budidaya perikanan atau wisata.
Pemanfaatan sumberdaya
alam yang tidak dapat dipulihkan
terakhir adalah pasir, dalam hal ini
adalah bentang alam gumuk pasir.
Fenomena ini terjadi dikarenakan
proses alam berupa tiupan angin
yang membawa material pasir
lepas yang ada di pantai
membentuk gugusan khas dan unik
berupa gundukan atau gumuk pasir Pemanfaatan Gumuk Pasir
Sumber: www.dakatour.com
dengan radius atau jarak tertentu
dari garis pantai (Poniman et al., 2010). Menurut Verstappen (2000) mencatat lebar gumuk
pasir bahkan dapat mencapai jarak 2 kilometer dari garis pantai. Untuk di Indonesia, fenomena
tersebut dapat dijumpai di pantai selatan Jawa terutama di pantai selatan Yogyakarta khususnya
Pantai Parangtritis. Gumuk pasir di pantai tersebut dan skeitarnya berbentuk bulan sabit (tipe
barchan) dan merupakan satu-satunya bentukan gumuk pasir yang ada di Asia Tenggara.
Gumuk pasir dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai lokasi wisata sehingga dapat
membuka peluang kerja atau meningkatkan pendapatan masyarakat. Hamparan pasir yang
memiliki warna putih dan pink menjadi daya tarik tersendiri dan memiliki potensi sebagai
sumberdaya alam yang dapat mendukung kegiatan wisata. Adapun pemanfaatan pasir sebagai
daya tarik wisata juga harus diimbangi dengan parameter lain, seperti lebar pantai, tipe pantai,
kecepatan arus, kecerahan perairan, dan lain-lain.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, diketahui bahwa


pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat dipulihkan (non renewable resources) bagi
masyarakat pesisir dirasakan tidak secara langsung, melainkan setelah terjadi proses
penggunaan sumberdaya alam tersebut. Masyarakat pesisir biasanya merasa kehadiran
sumberdaya alam yang tidak dapat dipulihkan (berdasarkan beberapa jurnal) lebih negatif
dibandingkan positif sehingga diperlukan adanya pengelolaan pesisir terpadu agar sumberdaya
alam tersebut dapat dimanfaatkan langsung. Adapun pemanfaatan lokasi setelah masa produksi
sumberdaya alam yang tidak dapat dipulihkan harus telebih dahulu dilakukan evaluasi
khususnya untuk kegiatan perikanan agar hasilnya tidak membahayakan bagi masyarakat
pesisir.
Sumber Referensi

Maidie, A et al. (2010). Pemanfaatan Kolam Pengendap Tambang Batubara Untuk Budidaya
Ikan Lokal Dalam Keramba. Jurnal Ris Akuakultur Vol.5 No.3, 437-448.
Poniman, A., Fahruddin, & Malikusworo. (2010). Dinamika Pemanfaatan Lahan Bentang
Alam Gumuk Pasir Pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul. Jurnal Ilmiah Geomatika
Vol. 16 No. 2, 43-60.
Prasojo, H., & Zaky, F. A. (2013). Analisis Pemanfaatan Anjungan Migas Lepas Pantai
Pasca Produksi Untuk Budidaya Perikanan. Sumedang: Padjajaran Seminar and
Economic Conference.

Anda mungkin juga menyukai