Anda di halaman 1dari 34

BAB I PENDAHULUAN

Pada abad 19, hampir semua penyakit pada medula spinalis disebut mielitis.

Dalam Dercum’s Of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince menulis tentang

mielitis traumatik, mielitis kompresif dan sebagainya, yang agak memberikan

kejelasan tentang arti terminologi tersebut. Dengan bertambah majunya

pengetahuan neuropatologi, satu persatu penyakit di atas dapat diseleksi hingga yang

tergolong benar-benar karena radang saja yang masih tertinggal.

Dewasa ini istilah yang digunakan untuk dapat menunjukkan proses radang

pada medulla spinalis adalah mielitis. Dan bila mengenai substansia grisea disebut

poliomielitis, bila mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh

potongan melintang medula spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis

transversa.

Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis

diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses

radang baik pada meningen maupun medula spinalis, demikian pula denagn

meningoradikulitis (meningen dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada

durameter spinalis disebut pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul

dalam ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma.

Pembagian mielitis akut, subakut dan kronis berdasarkan perjalanan klinis

penyakit yang berlangsung dengan, untuk akut beralngsung untuk sehari, 2 sampai 6

miggu dikatakan subakut serta lebih dari 6 minggu dikatakan sebagai kronik.

Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara Dilakukan pungsi lumbal ,

CT-scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah.

1
Penatalaksanaan hanyalah diberikan terapi kortikosteroid dosis tinggi

selama 10 hari dan penatalaksanaan penyebab mielitis.

2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. MIELITIS

2.1.1.DEFINISI

Pada abad 19, hampir semua penyakit pada medula spinalis disebut mielitis.

Dalam Dercum’s Of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince menulis tentang

mielitis trumatik, mielitis kompresif dan sebagainya, yaang agak memberikan

kejelasan tentang arti terminologi tersebut. Dengan bertambah majunya

pengetahuan neuropatologi, satu persatu penyakit di atas dapat diseleksi hingga yang

tergolong benar-benar karena radang saja yang masih tertinggal.

Menurut Plum dan Olsen (1981) serta Banister (1978) mielitis adalah

terminologi nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medula spinalis. Tetapi

Adams dan Victor (1985) menulis bahwa mielitis adalah proses radang infektif

maupun non-infektif yang menyebabkan kerusakan pada nekrosis pada substansia

grisea dan alba.

Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis

mielitis dibedakan atas :

1. Akut

Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo

beberapa hari saja.

2. Sub Akut

Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu.

3. Kronik

Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.

3
Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat,

distribusi proses radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut

poliomielitis, bila mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh

potongan melintang medula spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis

transversa.

Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis

diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses

radang baik pada meningen maupun medula spinalis, demikian pula dengan

meningoradikulitis (meningen dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada

durameter spinalis disebut pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul

dalam ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma.

Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis

misalnya yang disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik dan nekrosis.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Medulla Spinalis

Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping,

yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm

(seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar

di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui

kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis

berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang

mirip sayap vertebra yang berdekatan.

4
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8 pasang

saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5

pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co).

Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang

daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen

medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu

dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis

harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di

lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi

vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang), sehingga akar-akar

saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di

lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis

vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda” karena

penampakannya.

Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari

medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla

spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh

substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis

terutama terdiri dari badan- badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan

sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat

saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-

berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla

spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak,

dan masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang

5
disampaikannya.

Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal

dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat

mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang

terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis

sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea.

Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior),

kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung

badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis

mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-

serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin

berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis.

Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui

akar spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang

masuk ke medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal

keluar meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-

neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar

dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di substansia grisea

dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral.

Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf

spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung

serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan

medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer,

sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan

6
ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf

secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron.

Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus

desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat

perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum

berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat

mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1)

informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan

raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot

dan sendi

Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:

1. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-

gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota gerak.

2. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron

motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena itu, kemungkinan

mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas refleks.

3. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural sebagai

respon terhadap stimulus verbal.

4. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan gamma

pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor atau

otot-otot antigravitasi.

5. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat

7
aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas postural yang berhubungan

dengan keseimbangan.

6. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.

Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:

1. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan

berperan dalam diskriminasi lokasi.

2. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan

ringan.

3. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.

4. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan

perpindahan, traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan posisi

8
dan perpindahan.

5. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama.

Gambar medulla spinalis

9
2.1.3 Klasifikasi

1. Mielitis yang disebabkan oleh virus.

a. Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus

b. Herpes zoster

c. Rabies

d. Virus B

2. Mielitis yang merupakan akibat sekunder akibat sekunder dari penyakit

pada meningens dan medula spinals.

a. Mielitis sifilitika

b. Mielitis piogenik atau supurativa

c. Mielitis tuberkulosa

d. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural, meningitis

lokalisata atau meningomielitis dan abses.

3. Mielitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui.

a. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi

b.Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik

c.Degeneratif atau nekrotik.

2.1.4 Patologi

Mielitis biasanya melibatkan medulla spinalis saja, tetapi bisa juga myelitis

merupakan bagian dari inflamasi serebrospinal yang umum misalnya pada

ensefalomielitis. Pada stadium akut medulla spinalis biasanya membengkak dan pada

potongan melintang bias menunjukan perdarahan. Gambaran patologi yang penting

adalah degenerasi medulla spinalis yang sifatnya destruktif mielin dan musnahnya

aksis silinder. Elemen inflamasi misalnya limfosit dan sel plasma, berada di jaringan

10
medulla spinalis dan di sekeliling pembuluh darah disertai infiltrasi ke meningen.

Pada beberapa bentuk bisa dijumpai nekroisi yang lengkap dari medulla spinalis,

dengan respon fagositik yang ekstensif dan ploriferasi mesodermal.

Sel-sel neuron dalam substansia grisea bisa mengalami degenerasi berat.

Reaksi mesodermal biasanya hebat disertai dengan dilatasi, proliferasi atau infiltrasi

pembuluh darah. Pembentukan parut sel-sel glia didapatkan pada beberapa bentuk.

Kelainan patologik ini bisa terjadi disetipa tingkat : sevikal, torakal, atau lumbal.

Tapi paliing sering terletak di regio torakal karena bagian medulla spinalis ini paling

panjang dan pemasokan darahnya paling

jelek.

2.1.5 Gambaran Klinis

1. Motorik

Mielitis merupakan gangguan gerak yang berupa kelumpuhan, disamping

gangguan sensorik dan vegetatif. Onset dan perjalanan gambaran klinisnya sampai

tingkat tertentu dipengaruhi oleh karakter proses patologiknya. Namun untuk

menentukan simtomatologinya yang lebih penting adalah topik patologiknya di

medulla spinalis atau tingkat medulla spinalis disamping intensitas dan luasnya

proses patologik.

Jika proses topik mielitasi ada di segmen servikal atau medulla spinalis dapat

terjadi tetraparesis atau tetraplegi yang bersifat spastik atau UMN. Kalo topiknya ada

di tingkat servikal bawah dari medulla spinalis akan menimbulkan tetraparesia atau

tetraplegi yang pada anggota atas bersifat flaksid atau LMN dan pada anggota bawah

bersifat spastik atau

UMN. Bila topiknya ada di semen lumbal dan sakral medulla spinalis akan

11
berakibat sebagai paraparesis atau paraplegi inferior yang bersifat flaksid atau LMN.

Namun yang paling sering topiknya terletak pada segmen torakal sehingga akan

menimbulkan paraparesis atau paraplegi inferior yang bersifat spastik atau UMN.

Kelumpuhannya juga dapat mengambil bentuk monoparesis atau monoplegi yang

bersifat flaksid atau LMN jika topiknya ada dibagian ventral subtansia grisea

misalnya poliomielitis. Pada mielitis dissreminata ataupun padamielitis transversa

parsialis kelumpuhan dapat bersifat tidak simetris.

Riwayat adanya infeksi sebelumnya, yang mengesankan suatu infeksi virus

atau bakteri bias didapatkan sepertiga penderita, yang paling sering adalah infeksi

traktus respiratorus bagian atas atau suatu penyakit flu dan kadang-kadang berupa

gangguan gastrointestinal. Gejala lainnya demam dengan derajat ringan, ruam atau

eksantem, nyeri kepala, kaku kuduk bisa ada atau tidak. Onset atau awitan penyakit

ini dapat berlangsung akut sub akut atau khronis.

Periode syok spinal dapat berlangsung selama tiga sampai empat minggu.

Periode ini terjadi berhubungan dengan awitan mielitis transversa yang mendadak.

Dibawah tingkat lesinya bersifat flaksid, disertai hilangnya semua jenis sensorik,

hilangnya fungsi otonom dan arefleksia. Tetapi jika ditumpangi suatu infeksi saluran

kemi yang berat atau ulkus dekubitus periode syok spinal akan memanjang.

Pada saat yang sama terjadi paresis atau paralisis kandung kemih dan rektum,

suatu periode syok spinal mula-mula akan timbul retensio urine dan alvi. Pada

periode ini dapat terjadi kemudian suatu over-flow incontinesia. Pada mielitis

tranversa dengan toppik di segmen torakal, setelah periode syok spinal lewat akan

terjadi kandung kemih otomatik atau neurogenik. Fekal inkontinensia kurang sering

dijumpai.

12
2. Sensoris

pada awitan penyakit dapat timbul parestesi dan nyeri. Parestesi sering

digambarkan seperti rasa tebal, kesemutan, jimpe biasanya dimulai dari ibu jari atau

kaki kemudian naik ke tungkai, badan dan bahkan mencapau anggota gerak atas.

Nyeri dirasakan dipunggung menjalar kebawah ke tungkai atau ke sekeliling badan,

(rasa seperti sabuk).

Ganguan sensoris terpenting adalah defisit semua modalitas sensorik dibawah

level tertentu yang merupakan topik dari proses patologik (mielitisanya) dan berpola

inervasi segmental. Modalitas sensorik yang terkena dapat mencakup rasa raba, rasa

nyeri, vibrasi dan propiosepsi.

Ulkus dekubitus timbul akibat hilangnya sensasi, gangguan trofik dan kurang

kebersihan. Tempat predileksi ulkus dekubitus adalah diatas sakrum, tumit dan

trokanter mayor. Gejala lain : priapisme, ilius paralitikus, atrofi testis, ginekomastia,

hipotensu, paralisis diafragma Pada penyakit yang berlangsung lama terjadi

perubahan-perubahan metabolik. Ekskresi protein meningkat dan protein serum

menurun. Kalium darah meningkat tapi natrium dan klorida menurun serta terjadi

hiperkalsiuri dan osteoporosis.

Pemeriksaan Liquor Serebro Spinalis (LSS) menunjukan pleiositosis pada

50% penderita. Jumlah sel-sel LSS meningkat menjadi 20-300 sel (jarang sampai

setinggi 1000 sel) per mm kubik. Jenis selnya adalah mononuklear,

poliomorfonuklear atau campuran namun terutama adalah limfosit. Kadar protein

LSS meningkat pada 40% penderita sedangkan kadar gulukosanya normal. Tes

queckensted biasanya menunjukan tidak adanya obstruksi pada ruang subarakhnoid,

kecuali pada keadaan tertentu seperti edema medulla spinalis yang berat,

13
arakhnoiditis khornis adhevisa dan abses ekstradural.

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari gejala lesi transversal medulla spinalis (meliputi

defisit motorik, sensorik dan vegetatif) disertai dari gejala umum infeksi (yang

mendahului atau menyertai berupa demam, eksantema, dan lain-lain) ditambah

dengan bukti tidak adanya blokade pada aliran LSS.

Diagnosis Bandingan

1. Sindroma Guillain Barre

2. Oklusi aorta abdominalis

3. Multiple sklerosis

2.2.POLIOMIELITIS

2.2.1 Definisi

Poliomielitis anterior akuta (paralisis infantil, penyakit Heinemedin) adalah

suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan

mengakibatkan kerusakan pada sel motorik di kornu anterior medula spinalis, batang

otak dan dapat pula mengenai mesensefalon, sereblum, ganglia basal dan motorik

korteks serebri.

2.2.2 Epidemiologi

Ditemukan 90% pada anak di bawah usia 5 tahun karena itulah dulu disebut

paralisis infantil tapi bukan berarti poliomielitis tidak diketemukan pada orang

dewasa. Penyakit polio jarang didapatkan pada usia di bawah umur 6 bulan, mungkin

karana imunitas pasif yang didapat dari ibu.

14
2.2.3 Etiologi

Virus polio adalah virus RNA yang termasuk kelompok enterovirus dan

famili pikorna virus. Virus ini juga termasuk salah satu virus yang terkecil, jadi ia

termasuk virus yang filtrabel. Terdapat 3 tipe virus polio yaitu:

1. Tipe 1 yaitu Brunhilde, yang sering menyebakan paralisis.

2. Tipe 2 yaitu Lanshing

3. Tipe 3 yaitu Leon

Virus ini akan menimbulkan 3 macam antibodi, tetapi tidak terdapat

kekebalan silang. Virus ini hanya dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau

pemberian zat oksidator yang kuat seperti peroksida, atau kalium permanganat.

2.2.4 Patogenesis

Poliomielitis merupakan penyakit yang sangat menular, virus masuk ke

dalam tubuh melalui saluran orofarings setelah ditularakan melalui cara oral-

fekal. Masa inkubasi biasanya antara 4-17 hari, tapi bisa sampai 5 minggu. Bila

virus banyak didapat pada suatu daerah, maka timbulnya penyakit polio dapat

dicetuskan dengan adanya tindakan operasi

pada daerah tenggorokan dan mulut seperti misalnya tonsilektomi dan ekstraksi gigi

atau tindakan penyuntikan atau vaksinasi DPT, kehamilan, kerja fisik yang berat atau

keletihan. Setelah masuk kedalam tubuh, virus akan berkembang biak (multiplikasi)

di jaringan limfoid tonsil atau pada plak peyer di traktus intestinalis kemudian ia

akan menembus dinding usus dan melalui darah akan tersebar ke seluruh tubuh

(viremia)

15
2.2.5 Patologi

Pada awalnya, invasi virus menimbulkan reaksi inflamasi dengan

kromatolisis substansia Nissi sel saraf. Perubahan ini diikuti dengan multiplikasi

virus dalam SSP lalu perubahan pada sel saraf ini berkembang dengan cepat diikuti

dengan disintegrasiNukleus dan kemudian sel neuron mengalami nekrosis atau lisis

komplet. Atrofi dan paralisis akan menetap bila kurang dari 10% neuron pada

medula spinalis yang bersangkutan yang masih baik.

Virus polio mempunyai predileksi pada kornu anterior medula spinalis,

batang otak, serebelum, talamus dan hipotalamus dan area motorik korteks serebri.

2.2.6 Gambaran Klinis

poliomielitis merupakan infeksi subklinis atau asimtomatik, namun infeksi ini

telah mampu menimbulkan kekebalan alami.

Kemudian dapat dijumpai pula yang disebut poliomielitis abortif, dalam hal ini

timbul gejala infeksi sistemik ringan karena terjadi viremia. Gejala infeksi

sistemik ringan ini seperti:

Flu (sakit kepala, demam, malaise, batuk, pilek, mialgia atau faringitis)

Gastroenteritis ( mual, muntah, konstipasi diare, anoreksia )

Semua gejala di atas tidak khas. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat

bila virus ditemukan pada usapan tenggorokan atau feses.

2.2.6.1 Poliomielitis Preparalitik Atau Nonparalitik

Pada fase kedua ini di jumpai gejala seperti fase pertama (prodromal) disertai

dengan gejala neurologik ringan sakit kepala hebat, mialgia bertambah hebat, spasme

otot fleksor paha, nyeri dan kaku pada otot kuduk dan punggung. Pada anak-

anak, bila dari sikap berbaring ia hendak duduk maka kedua lutut akan fleksi

14
sedang kedua lengan dalam sikap ekstensi pada sendi siku untuk dipakai

menunjang kebelakang pada tempat tidur (tanda tripod). Tanda ini timbul karena

adanya spasme pada otot-otot paravertebral, erektor trunsi sehingga anak tidak dapat

melakukan gerak antefleksi kolumna vertebralis waktu hendak melakukan gerak

dari berbaring ke sikap duduk. Disamping itu tanda tripod dapat pula dijumpai

tanda kepala terkulai (Head Drop) yaitu bila penderita yang dalam sikap berbaring

hendak kita tegakkan dengan cara menarik kedua ketiak atau lengan maka kepala

penderita akan terkulai kebelakang (retrofleksi).

2.2.6.2 Poliomielitis Paralitik

Secara klasik poliomielitis paralitik dibedahkan atas bentuk spinal,

bulbar (bulbospinal) dan ensefalitik. Paralisis timbul dalam waktu yang sangat cepat

(beberapa jam-48 jam atau lebih lambat (10-12hari). Empat puluh delapan jam

setelah suhu kembali normal,

biasanya tidak terdapat lagi progresivitas kelumpuhan. Pola kelumpuhan

bervariasi tapi hampir pasti tidak simetris. Ekstremitas inferior lebih sering terkena

poliomielitis menimbulkan lebih berat pada otot-otot proksimal.

Bentuk Bulbar sering menyebabkan kelumpuhan otot pada N.IX dan X

sehingga menimbulkan gangguan menelan dan disfonia. Kelumpuhan otot wajah

sering pula dijumpai, tapi kelumpuhan otot okuler jarang ditemukan. Yang paling

berbahaya pada bentuk bulbar ini adalah pernafasan.

2.2.7 Laboratorium

Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan, dari hapusan

tenggorokan, darah, likuor dan fese. Pemeriksaan likuor serebrospinalis

menunjukkan adanya pleositosis, kadar protein sedikit meninggi dan kadar glukosa

15
serta elektrolit normal, jumlah sel berkisar antara 10-3000/ mm3 sedangkan tekanan

tidak meningkat. Pada stadium prepalitik atau paralitik dini lebih banyak ditemukan

leukosit PMN tapi setelah 72 jam lebih banyak ditemukan limfosit. Peningkatan

jumlah sel mencapai puncaknya pada minggu pertama kemudian akan kembali

normal setelah 2 atau 3 minggu. Kadar protein berkisar antara 30-120 mg/100 ml

pada minggu pertama tapi jarang melampaui 150 mg/100 ml, kadar protein yang

meninggi ini bertahan selama 3-4 minggu.

2.3 MIELITIS TRANSVERSALIS

2.3.1 Definisi

Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang

mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya

perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis

pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis.

Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus,

traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior. Pada tahun 1948,

dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris mengenalkan terminologi acute

transverse mielitis dalam laporannya terhadap suatu kasus komplikasi mielitis

transversalis setelah pneumonia. Transverse menggambarkan secara klinis adanya

band-like area horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau torak. Sejak saat itu,

sindrom paralisis progresif karena inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai

mielitis transversalis. Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada

pada daerah lesi dan potensial menimbulkan kerusakan.

16
2.3.2 Epidemiologi

Myelitis Transversa terjadi pada orang dewasa dan anak-anak, di kedua jenis

kelamin, dan di semua ras. Faktor predisposisi pada keluarga tidak jelas. Sebuah

puncaknya pada tingkat insiden (jumlah kasus baru per tahun) tampaknya terjadi

antara 10 dan 19 tahun dan 30 dan 39 tahun. Meskipun hanya beberapa studi telah

meneliti tingkat insiden, diperkirakan bahwa sekitar 1.400 kasus baru didiagnosis

myelitis melintang setiap tahun di Amerika Serikat, dan sekitar 33.000 orang

Amerika memiliki beberapa jenis kecacatan akibat gangguan ini.Insidensi meningkat

sebanyak 24,6 juta kasus per tahunnya jika penyebabnya merupakan proses

demyelinisasi yang didapat, khususnya sklerosis multiple. Tidak ada pola yang

khusus dari mielitis transversalis berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat

penyakit dalam keluarga.

2.3.3 Etiologi

Peradangan yang menyebabkan kerusakan yang luas pada medulla spinalis dapat

diakibatkan oleh infeksi virus, reaksi kekebalan yang abnormal, atau tidak cukup

aliran darah melalui pembuluh darah yang terletak di sumsum tulang belakang.

Myelitis Transversajuga dapat terjadi sebagai komplikasi sifilis, campak, penyakit

Lyme, dan beberapa vaksinasi, termasuk untuk cacar dan rabies sertaidiopatik.

2.3.4Patogenesis

Pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh, yang biasanya melindungi tubuh

dari organisme asing, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan

inflamasi dan, dalam beberapa kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam sumsum

tulang belakang.

17
Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi arteriovenosa

spinal (kelainan yang mengubah pola-pola normal aliran darah) atau penyakit

pembuluh darah seperti aterosklerosis yang menyebabkan iskemia, penurunan tingkat

normal oksigen dalam jaringan sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di

dalam sumsum tulang belakang akibat penyumbatan pembuluh darah atau

mempersempit, atau faktor-faktor lain yang kurang umum. Pembuluh darah

membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan saraf tulang belakang dan membawa sisa

metabolik. Ketika arterivenosus menjadi menyempit atau diblokir, mereka tidak

dapat memberikan jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke jaringan saraf tulang

belakang. Ketika wilayah tertentu dari sumsum tulang belakang menjadi kekurangan

oksigen, atau iskemik, sel saraf dan serat mungkin mulai memburuk relative dengan

cepat. Kerusakan ini dapat menyebabkan peradangan luas, kadang-kadang

menyebabkan myelitis transversal.

Mielitis transversalis akut post-vaksinasi

Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang

beratdengan demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuklear, terutama limfosit T

pada nerveroots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel

limfosit diperivaskular dan parenkim di grey matterterutama pada anterior horns.

MTA Parainfeksi

Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat adanya

keluhanrespirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata

“parainfeksi” telah digunakan untuk cedera neurologis yang diakibatkan oleh infeksi

mikroba langsung dan cedera yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba

18
langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang

asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf. .

2.3.5Gambaran klinis

Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam sampai beberapa

hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu hingga 6 minggu). Gejala awal

biasanya mencakup lokal nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesias (sensasi

abnormal seperti membakar, menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki,

hilangnya sensorik, dan paraparesis (kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering

berkembang menjadi paraplegia. Dan mengakibatkan gangguan genitourinary dan

defekasi. Banyak pasien juga melaporkan mengalami kejang otot, perasaan umum

tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan kehilangan nafsu makan. Tergantung pada

segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien mungkin juga akan

mengalami masalah pernapasan.

Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis transversa yang

muncul:

(1) kelemahan kaki dan tangan,

(2) nyeri,

(3) perubahan sensorik, dan

(4) disfungsi pencernaan dan kandung kemih.

Kebanyakan pasien akan mengalami berbagai tingkat kelemahan di kaki

mereka, beberapa juga mengalaminya di lengan mereka. Awalnya, orang-orang

dengan myelitis transversal mungkin menyadari bahwa kaki mereka tampak lebih

berat dari biasanya.

19
Perkembangan penyakit selama beberapa minggu sering mengarah pada kelumpuhan

penuh dari kaki, yang mengharuskan pasien untuk menggunakan kursi roda. Nyeri

adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga sampai setengah dari

semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di punggung bawah atau dapat terdiri dari

tajam, sensasi yang memancarkan bawah kaki atau lengan atau di sekitar dada.

Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan istilah-istilah seperti

mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk menggambarkan gejala

mereka.

2.3.6 Perjalanan penyakit

Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba,

diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas. Gejala

tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi kelumpuhan

serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan kandung

kemih. Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis menentukan beratnya

gejala yang timbul.

2.3.7Diagnosa

Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi medula spinalis

baik karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik maupun ekstrensik, ruptur

diskus intervertebralis akut, infeksi epidural dan polineuritis pasca infeksi akut

(Sindrom Guillain Barre).

Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak

didapati blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm3) terutama

jenis limfosit, protein sedikit meninggi (50-120 mg/100 ml) dan kadar glukosa

normal. Berbeda dengan sindrom Guillain Barre di mana dijumpai peningkatan kadar

20
protein tanpa disertai pleositosis. Dan pada sindrom Guillain Barre, jenis

kelumpuhannya adalah flaksid serta pola gangguan sensibilitasnya di samping

mengenai kedua tungkai juga terdapat pada kedua lengan.

Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat

pada Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada satupun

kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit

lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi

klinis dari penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi.

Diagnosis Banding

Tabel Diagnosis Banding dari Mielitis Transversalis

Inflamasi Non-Inflamasi

Kompresi Penyait Demyelinisasi

 Osteofit  Sklerosis multiple optik

 Diskus  Neuromielitis Ensefalomielitis

 Metastasis  Diseminata Akut

 Trauma  Mielitis transversalis akut

Tumor idiopatik

Sindrom Paraneolastik Infeksi

 Virus:Mumps

 Varicella

 TBC

Penyakit Inflamasi

 Lupus Eritematous Sistemik

 Neurosarkoidosis

21
Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute

Transverse Mielitis. Semin Liver Dis

2.3.8 Pemeriksaan Penunjang

MRI

Evaluasi awal untuk pasien mielopati harus dapat menentukan apakah

ada penyebab struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau

spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus

dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi.

22
23
CT-myelografi

Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan

struktural, CT- myelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi

pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis.

Punksi Lumbal

Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan

pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi ataupun

non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan

sitologi CSF harus diperiksa.

Kultur CSF, PCR, titer antibodi

Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik

konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromis (AIDS atau

penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi terbakar

radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster, atau adenopati

sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti ini, kultur bakteri dan

virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibodi harus dilakukan.

Pemeriksaan Lainnya

Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit

inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES, sarkoidosis,

atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang

harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La), antibodi

antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan level komplemen.

Tabel test diagnostik untuk mieltis transversalis

24
Kemungkinan penyebab Pemeriksaan Penunjang

Infeksi Serologi darah; kultur, serologi, dan

PCR CSF; Foto Thorax dan

pemeriksaan imaging lainnya dengan

Autoimun Sistemik atau penyakit indikasi

Inflamasi Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan

serologi; Foto Thorax dan Sendi;

pemeriksaan imaging lainnya dengan

Paraneoplastik indikasi

Post infeksi atau post vaksinassi Foto thorax, CT Scan

Anamnesis riwayat infeksi dan vaksinasi

sebelumnya; konfirmasi serologi adanya

infeksi; eksklusi penyebab lain

2.3.9 Penatalaksanaan

Imunoterapi

Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk menghambat

progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat

mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini

pertama. Sekitar 50-70% pasien mengalami perbaikan parsial atau komplit.

Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya

25
selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada

kasus pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Pemberian

glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang datang

dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila

terjadi progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam

bentuk prednison oral 1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2

minggu lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan

per oral dapat pula diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8

mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH dapat diberikan secara

intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7 hari), lalu 20 unit dua

kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali per hari (selama 3 hari). Untuk

mencegah efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet rendah garam da

simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai

alternatif dapat diberikan antasid per oral.

Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala

gastrointestinal, insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic,

hiperglikemia, dan gangguan elektrolit8.

Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon dengan

pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati,

trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter,

dan infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini8.

Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi

sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan

fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan

26
siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien demyelinisasi, imunomodulator long-

acting atau terapi imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko serangan

berulang.

Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus diperhatikan,

125 gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per hari

diperlukan.

Respirasi dan Oropharyngeal Support

Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla

spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan

regular dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit.

Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi

Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis untuk

thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan

posisi yang sering ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan

integritas kulit dan memberikan rasa nyaman kepada pasien. Pencegahan dekubitus

dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam.

Abnormalitas Tonus

Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock),

tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas

tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas

merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan

terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa

baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan

spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis.

27
Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi sehingga sering

menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi dengan pemberian

Baclofen 15-80 mg/hari, atau diazepam 3-4 kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus

dimulai sedini mungkin untuk mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi

tromboemboli.

Nyeri

Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah

serangan mielitis dan dapat disebabkan oleh cedera langsung pada saraf (nyeri

neuropatik), factorortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas,

atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan

agen antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan

reuptake inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik

Malaise

Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi

terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan mielitis. Data dari randomized

controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat multiple

sklerosis, dan pada satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti

dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi malaise yang

berat dan refrakter yang terjadi setelah episode mielitis, tetapi manfaat agen ini untuk

tatalaksana pasien dengan mielitis belum pernah diteliti dengan randomized,

controlled trials8.

Disfungsi Usus dan Genitourinari

Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama mielitis transversalis pada fase akut

karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya muncul

28
dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme

kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik

(oxybutinin dan tolterodin).

Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari mielitis

transversalis. Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan

berkurangnya kemampuan untuk orgasme, atau anorgasmia.

Konsultasi Psikiater

Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang

pada pasien mielitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya, seperti

nyeri dan gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan, sebagai terapi

tunggal atau dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog.

2.4 Prognosis

Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien

menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin

terjadi cepat selama 3– 6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat

berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan

pengobatan tampak pada 2 minggu terapi.

29
BAB III KESIMPULAN

Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis

mielitis dibedahkan atas :

1. Akut :

Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo

beberapa hari saja.

2. Sub Akut :

Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu.

3. Kronik :

Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.

Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba,

diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas. Gejala

tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi kelumpuhan

serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan

kandung kemih.

Perjalanan penyakit

Pasca infeksi / pasca vaksinasi mulai timbul deficit neurology setelah 5 – 10 hari.

Perjalanan penyakit akut.

A. ± 50% timbul dalam waktu 12 jam

B. ± 75% timbul dalam waktu 24 jam

Mula mula berupa demam, malaise, mialgia. Deficit neurologik berupa.

A. Kelemahan ekstremitas

30
B. Gangguan sensibilitas

C. Gangguan genitourinaria & defekasi

Segmen medulla spinalis yang sering terkena antara segmen thoracal 2 –

thorakal 6

Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara Dilakukan pungsi

lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah.

Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita

yang datang dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari

pertama atau bila terjadi progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat

diberikan dalam bentuk prednison oral 1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis

tunggal selama 2 minggu lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila

tidak dapat diberikan per oral dapat pula diberikan metil prednisolon intravena

dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH dapat diberikan

secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7 hari), lalu 20

unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali per hari (selama 3

hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet rendah

garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain

itu sebagai alternatif dapat diberikan antasid per oral.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Christine Weile. 2009. Acute Poliomyelitis. Available from :

http://www.emedicine.com/pmr/topic6.htm.

2. Diagnosing Transverse Myelitis (TM),2013.. Available from:

http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/transverse

_myelitis/about-tm/diagnosis.html

3. Hidayat Achmad.2011.Mielitis. Respiratory Usu

4. Jani Orthoprost.2001. Mielitis. Available from: http://jani-

orthoprost.com/mielitis.html

5. Johnson et all. 2001. Transverse Myelitis.Available from :

http://www.scribd.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-with-figures?

secret_password=&autodown=pdf M. Baehr & m.Frotscher. 2007. Diagnosis topik

neurologi DUU. EGC. Jakarta

6. National Institute of Neurological disorder and stroke. 2009. Transverse Myelitis

Fact Sheet Available from :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/transversemyelitis/detail_transversemyelitis.

htm

7. The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for Healthcare

Professionals. 2008. Acute transverse myelitis. Available from :

http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html

8. Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2 .

Jakarta.

9. Victor and Adam. 2000. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7Th Edition.

McGraw-Hill.

32

Anda mungkin juga menyukai