Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak Balita

2.1.1 Pengertian Anak Balita


Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun
atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun
(Muaris.H, 2006).
Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah istilah
umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun).
Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk
melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun
kemampuan lain masih terbatas.
Masa anak balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh
kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi
penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode
selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang
berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut
golden age atau masa keemasan.

2.1.2 Karakteristik Anak Balita


Menurut karakteristik, anak balita terbagi dalam dua kategori yaitu
anak usia 1 – 3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004). Anak
usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima
makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita
lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah
makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil
menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali
makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola
makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering
Pada usia pra-sekoalah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah
dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia anak mulai bergaul
dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak
mengalami beberapa perubahan dalam perlakuan dalam perilaku. Pada
masa ini anak mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan
meengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan
anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai
banyak dan pemilihan maupun penolakan maupun penolakan terhadap
makanan (Haikal, 2011)

2.1.3 Metode untuk Mengetahui Kecukupan Gizi pada Anak Balita


Untuk mengetahui kecukupan gizi anak balita dapat menggunakan 2
metode yaitu (Dewi,2013) :
a. Secara Subyektif, yaitu dengan mengamati respon anak terhadap
makanan. Makanan dinilai cukup apabila anak tampak puas,
aktivitasnya baik, lincah, periang dan tidurnya nyenyak. Pada
umumnya anexak yang cukup gizinya tidak mudah sakit, tidak pucat
dan tidak lemah.
b. Pemantauan secara berkala
Untuk pemantauan ini dapat dilakukan dengan pengukuran
antropometri meliputi tinggi badan dan berat badan.dari pengukuran
antropometri ini dapat dinilai status gizi anak (Dewi,2013)

2.1.4 Pemberian Gizi pada Anak Balita Menurut Umurnya


Pemberian makan anak balita bertujuan untuk mendapat zat gizi yang
diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh. Zat gizi
berperan memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk
melaksanakan kegiatan sehari – hari, dalam pengaturan makanan yang
tepat dan benar merupakan kunci pemecahan masalah(husin 2008).
Pemberian gizi pada balita menurut umurnya yaitu :
a. Anak umur 1-2 tahun, teruskan pemberian asi sampai usia 2 tahun
berikan nasi lembek 3 kali sehari. Tambahkan telur, ayam ,daging,
tempe, tahu, sayur-sayuran, minyak dan santan (Nilasari, 2012). Beri
makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan seperti bubu
kacang hijau, biscuit, dan lain – lain. Beri buah- buahan dan sari buah.
b. Anak umur dua tahun keatas, beri makanan biasa yang diamakan oleh
keluarga 3 kali sehari yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur-sayuran
dan buah- buahan.
c. Berikan makanan selingan diantara waktu makan seperti bubur kacang
hijau, biscuit, dan lain-lain . jangan berikan makanan yang manis dan
lengket di antara waktu makan.
(Nilasari,2012)

2.1.5 Peran Makanan bagi Anak Balita


a. Makanan sebagai sumber zat gizi
Didalam makanan terdapat enam jenis zat gizi yaitu KH, Lemak,
Protein, Mineral, vitamin dan air. Zat gizi ini diperlukan untuk balita
sebagai zat tenaga, zat pembangun, dn zat pengatur.
b. Zat tenaga
Zat gizi yang menghasilkan tenaga atau energy adalah Kh, Lemak, dan
protein. Bagi balita,tenaga diperlukan untuk melakukan aktivitasnya
serta pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karena itu, kebutuhan zat
gizi sumber tenaga relative lebh besar dari pada orang dewasa, zat
tenaga bisa didapat dari beras, jagung, gandum, kentang, sagu dan juga
roti.
c. Zat pembangun
Protein sebagai zat pembangun bukan hanya untuk pertumbuhan fisik
dan perkembangan organ-organ tubuh balita, tetapi juga menggantikan
jaringan yang sudah rusak. Zat pembangun ini terdapat di protein
hewani dan nabati.
d. Zat pengatur
Zat pengatur berfungsi agar faal organ-organ dan jaringan tumbuh
termasuk otak dapat berjalan seperti diharapkan, serta untuk memberi
tubuh perlindungan maksimal terhadap seranga penyakit. Zat pengatur
dapat diperoleh dri semua sayur-sayuran dan buah-buahan yang
mengandung vitamin dan mineral

2.2 Status Gizi


2.2.1 Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan anatara status gizi kurang, baik dan
lebih. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakana antara status gizi buruk, kurang,
baik, dan lebih. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi
seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh
memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga
memungkinkan petumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja
dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi
kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat
esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam
jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan.
Gangguan gizi terjadi baik pada status gizi toksis membahayakan.
Gangguan gizi terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih.
(Almatsier, 2008).
Masalah gizi yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian adalah
masalah gizi kurang. Status gizi kurang biasanya disebut dengan Kurang
Energi Porotein (KEP). KEP pada dasarnya terjadi karena kurangnya
konsumsi pangan sumber energi yang mengandung zat gizi makro (zat
tenaga, zat pembangun dan lemak).untuk menentukan masalah KEP ini
dapat dilakukan pengukuran antropometri. Dampak yang ditimbulkan
dengan adanya kekurangan gizi pada balita, akan mengalami gangguan
fisik, mental dan aktual. Lebih lanjut gizi buruk pada anak balita berdampak
pada penurunan tingkat kecerdasan. Keadaan status gizi balita sangat
dipengaruhi oleh pemberian ASI sebagai sumber makanan utama (anonim,
2012).
Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari
ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional
imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, di
samping kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk disantap
(Arisman, 2009).

2.2.2 Macam-Macam Status Gizi


Status gizi anak balita dapat dibedakan menjadi (Zulaikhah,2010):
a. Status gizi baik
Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai
dengan kebutuhan aktivitas tubuh. Adapun ciri-ciri anak berstatus gizi
baik dan sehat adalah sebagai berikut :
a) Tumbuh dengan normal
b) Tingkat perkembangannya sesuai dengan tingkat umurnya
c) Mata bersih dan bersinar
d) Bibir dan lidah tampak segar
e) Nafsu makan baik
f) Kulit dan rambut tampak bersih dan tidak kering
g) Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan
b. Kurang gizi (status gizi kurang dan status gizi buruk)
Status gizi kurang atau status gizi buruk terjadi karena tubuh
kekurangan satu atau beberapa zat gizi yang diperlukan. Beberapa hal
yang menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi adalah karena makanan
yang dikonsumsi kurang atau mutunya rendah atau bahkan keduanya.
Selain itu zat gizi yang dikonsumsi gagal untuk diserap dan
dipergunakan oleh tubuh. Kurang gizi banyak menimpa anak-anak
khusunya anak-anak yang berusia dibawah 5 tahun, karena merupakan
golongan yang rentan. Jika kebutuhan zat-zat gizi tidak tercukupi
maka anak akan mudah terserang penyakit.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi


Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan
UNICEF dan telah digunakan secara internasional, yang meliputi
beberapa tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita,
baik penyebab langsung, tidak langsung, dan pokok masalah.

a. Faktor Langsung
Pertama, penyebab langsung yaitu makanan dan penyakit
infeksi yang mungkin diderita.
1) Konsumsi Pangan
Penilaian konsumsi pangan rumah tangga atau secara
perorangan merupakan cara pengamatan langsung yang dapat
menggambarkan pola konsumsi penduduk menurut daerah,
golongan sosial ekonomi dan sosial budaya. Konsumsi pangan
lebih sering digunakan sebagai salah satu teknik untuk
memajukan tingkat keadaan gizi (Moehji, 2003).
Hubungan tingkat konsumsi pangan dengan status gizi
balita, Tingkat konsumsi kualitas hidangan makanan
tergantung kepada keadaan keseimbangan gizi dimana
menunjukan jumlah suatu zat gizi terhadap kebutuhan hidup.
Bila susunan hidangan kebutuhan tubuh baik dari sudut
kuantitas, maka tubuh akan mendapatkan kesehatan gizi
sebaik-baiknya. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik dalam
kualitas maupun kuantitas akan memberi dampak kesehatan
pangan dan gizi yang baik ditentukan oleh terciptanya
keseimbangan antara banyaknya jenis zat gizi yang
dikonsumsi dengan banyaknya zat yang dibutuhkan tubuh.
Makanan yang dikonsumsi oleh suatu ke lompok sosial
individu dari segi kualitas dan kuantitas dipengaruhi oleh
banyak hal yang saling terkait. Untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis maupun psikologis juga untuk memenuhi rasa lapar.
Yang memandakan bahwa gizi yang diperlukan oleh tubuh
tidak mencukupi lagi adalah rasa lapar dan dahaga. Usaha
untuk mengatasi rasa lapar sebenarnya juga diperlukan untuk
menjamin kelangsungan hidup, memenuhi kebutuhan fisiologis
tubuh, pertumbuhan (pada bayi dan anak) dan pergantian sel-
sel dan jaringan yang rusak. Zat gizi yang di konsumsi harus
sesuai dengan kebutuhan dalam jumlah dan jenis yang sesuai
dengan kebutuhan sehingga dapat memberikan kesehatan,
kegairahan dan kekuatan dalam bekerja (Khumaidi, 1994).
Batas suatu konsumsi energi dan protein yang dianggap
rawan (defisit berat) adalah tingkat konsumsinya kurang dari
70 persen angka kecukupan yang dianjurkan. Pada tingkat
konsumsi tersebut tubuh tidak dapat memenuhi energi basal
metabolisme yaitu suatu energi minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup (Cahyani, 2008 ).
Menurut rumusan PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia)
tentang penyebab gizi kurang, salah satu faktor yang
mempengaruhi keadaan gizi adalah asupan makanan
(Supariasa, 2002). Tingkat konsumsi energi pada rumah tangga
berpendapatan tinggi jauh melebihi Angka Kecukupan Energi
(AKE). Kondisi ini perlu mendapat perhatian khusus karena
kelebihan energi/kalori dapat menyebabkan berbagai masalah
kesehatan (penyakit)(Mauludyani, 2008).
Hasil penelitian Diskin, (1995), bahwa kemampuan rumah
tangga untuk memperoleh makanan berhubungan dengan
tingkat konsumsi makanan individu, dimana tingkat konsusmi
individu dipengaruhi oleh kondisi kesehatan (kemampuan
tubuh) dalam menyerap makanan dan memanfaatkan nutrisi
yang diasup (dalam jangka waktu yang panjang atau pendek).
Dengan kata lain, ketersediaan pangan, akses dan tingkat
konsumsi berhubungan dengan status gizi.
2) Infeksi
Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang
kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat
makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau
demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya
anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya
(imunitas) dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit
infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi
kurang (Soekirman, 2000). Sehingga disini terlihat interaksi
antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan
dua hal yang saling mempengaruhi.
Menurut Schaible & Kauffman (2007) hubungan antara
kurang gizi dengan penyakit infeksi tergantung dari besarnya
dampak yang ditimbulkan oleh sejumlah infeksi terhadap
status gizi itu sendiri. Beberapa contoh bagaimana infeksi bisa
berkontribusi terhadap kurang gizi seperti infeksi pencernaan
dapat menyebabkan diare, HIV/AIDS,tuberculosis, dan
beberapa penyakit infeksi kronis lainnya bisa menyebabkan
anemia dan parasit pada usus dapat menyebabkan anemia.
Penyakit Infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan
bersih, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, dan
pola asuh anak yang tidak memadai (Soekirman, 2000).
b. Faktor tidak langsung
Penyebab tidak langsung yaitu Ketersediaan Makanan, Pola
Asuh, PHBS dan Kesehatan Lingkungan.
1) Ketersediaan Makanan
Ketersediaan pangan keluarga merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi keputusan individu
dalam membuat pilihan terhadap makanan untuk
dikonsumsi di rumah. Hal ini penting karena jenis
makanan yang dikonsumsi tiap individu mempengaruhi
kesehatannya secara keseluruhan. Ada sejumlah faktor yang
dapat mempengaruhi ketersediaan pangan rumah tangga,
seperti komposisi rumah tangga, akses ke outlet makanan,
pendapatan rumah tangga, transportasi ke akses pangan,
pendapatan, dan fasilitas penyimpanan rumah tangga
(Sisk, Sharkey, Mcintosh & Anding, 2010).
Hubungan Status Gizi dengan Ketersediaan pangan dapat
ditunjukkan oleh konsep yang dikeluarkan oleh Unicef
bahwa ketersediaan pangan yang cukup di tingkat rumah
tangga akan mempengaruhi dikonsumsi makanan semua
anggota keluarga dan selanjutnya status gizi yang baik atau
seimbang dapat diperoleh tubuh untuk tumbuh kembang,
aktifitas, kecerdasan, pemeliharaan kesehatan, penyembuhan
penyakit dan proses biologis lainnya.
Ketersediaan pangan secara kualitatif menurut FAO
(2003) dalam Tanziha (2005) dapat ukuran melalui tingkat
ketidak cukupan energi yang menunjukkan keparahan defisit
energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada individu
dibawah energi yang dianjurkan (<70%). Berdasarkan ukuran
tersebut, akan dikatakan kelaparan apabila tingkat kecukupan
energi kurang dari 70% dan disertai penurunan berat badan,
dikatakan rawan panjang tingkat kecukupan energinya kurang
70-80% maka dikatakan tahan pangan. Kemiskinan identik
dengan ketidak tahanan pangan. Sajogyo secara manomental
merumuskan batas kemiskinan dengan pengeluaran setara beras
320 kg/kapasitas/tahun dipedesaan 480 kg/diperkotaan.
Ditemukan bahwa konsumsi daging sapi <4 kali sebulan dan
konsumsi telur < 4 kali dalam seminggu dapat dimasukkan
dalam kategori miskin. Dengan ikan asin sebagai indikator,
seseorang dikatakan miskin bila konsumsinya >= 110
gr/kapits/minggu. Semakin banyak konsumsi ikan asin semakin
besar peluangnya untuk masuk ke dalam kategori sebagai orang
miskin. Rupanya secara sosial ikan asin dianggap oleh
masyarakat sebagai komoditas inferor. Padahal dari segi gizi,
ikan asin sebenarnya superior karena kandungan proteinnya
sekitar 35-40%.

2) Pola Asuh
Pola asuh adalah salah satu faktor yang erat kaitannya
dengan tumbuh kembang anak. Pola asuh dalam konteks ini,
mencakup beberapa hal yaitu : perhatian/dukungan ibu terhadap
anak, pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak,
rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan dan
penyimpanan makanan, praktek kebersihan atau hygiene &
sanitasi lingkungan, serta perawatan balita dalam keadaan sakit
seperti mencari tempat pelayanan kesehatan. (Engle, 1997)

Menurut Engle et al (1997), pola asuh adalah kemampuan


dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan
dukungan dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial
dari anak yang sedang tumbuh dalam anggota keluarga lainnya.
Pola asuh dimanifestasikan dalam 6 hal yaitu (1) perhatian atau
dukungan untuk wanita seperti pemberian waktu istirahat yang
tepat atau peningkatan asuhan makanan selama hamil, (2)
pemberian ASI dan makanan pendamping anak, (3) rangsangan
psikososial terhadap anak dan dukungan untuk perkembangan
mereka, (4) persiapan dan penyimpanan makanan (5) praktek
kebersihan dan sanitasi lingkungan (6) perawatan anak dalam
keadaan sakit meliputi praktek kesehatan di rumah dan pola
pencarian pelayanan kesehatan (Sunarti, 1989).

Kekurangan gizi pada anak balita dapat terjadi karena


kurangnya pola asuh ibu pada anak balita serta hygiene dan
sanitasi lingkungan yang tidak sehat, prilaku ibu yang kurang
baik terhadap perawatan kesehatan balitanya. Pelaksanaan
pengasuhan anak bertujuan agar anak memiliki kecakapan
hidup. Pengasuhan harus merespon rangsangan yang bersumber
dari anak baik dalam pemberian makanan, kebersihan dan
dalam permainan anak (Sunarti 2004).

3) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang
berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya
(Notoatmodjo, 2003).
Perilaku kesehatan (health behavior) adalah setiap
tindakan yang diambil oleh seorang individu yang berpendapat
bahwa dirinya sehat dengan maksud untuk mencegah terjadinya
penyakit atau mengenalnya pada stadium permulaan (Salan,
2008).
4) Kesehatan Lingkungan
Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), kesehatan lingku-
an adalah usaha-usaha pengendalian/pengawasan keadaan
lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan atau yang
dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan perkembangan
fisik, keseluruhan,dan daya tahan hidup manusia. Kesehatan
lingkungan mencakup aspek yang sangat luas yang meliputi
hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Upaya pengendalian
vector tersebut dilaksanakan secara terintegrasi dengan berbagai
upaya pokok dalam pelaksanaan penyehatan dan pengamanan
substansi lingkungan (Depkes, 2010).
Kesehatan Lingkungan rumah erat kaitannya dengan
anagka kesehatan suatu penyakit, apabila lingkungan rumah
tidak sehat, memudahkan terjadinya berbagai macam sumber
penyakit khususnya yang berbasis lingkungan.
Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu
kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga
berpengaruh positif terhadap terwujudnya suatu status kesehatan
yang optimal pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan
tersebut antara lain : perumahan, pembuangan kotoran manusia
(tinja), penyedian air bersih, pembuangan sampah, pembungan
air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kendang), dan
sebagainya (Notoatmojo, 2005). Keadaan lingkungan yang
kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai penyakit antara
lain diare dan infeksi saluran pencernaan. Sanitasi lingkungan
sangat terkait dengan ketersediaan air bersih, ketersediaan
jamban, jenis lantai rumah serta keberdihan peralataan makan
pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk kebutuhan
sehari-hari, makin kecil risiko anak terkena penyakit kurang
giiz. Tingkat kesehatan lingkungan di tentukan oleh berbagai
kemungkinan bahwa lingkungan berperan sebagai pembiakan
agen hidup, tingkat kesehatan lingkungan yang tidak sehat bias
diukur dengan penyediaan air bersih yang kurang, pembuangan
air limbah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan,
penyediaan dan pemanfaatan tempat pembuangan kotoran serta
cara buang kotoran manusia yang tidak sehat, tidak adanya
penyediaan dan pemanfaatan tempat pembuangan sampah
rumah tangga yang memenuhi persyaratan kesehatan, tidak
adanya penyedian sarana perumahan yang tidak memnuhi
persyaratan kesehatan. Hal-hal yang menyangkut sanitasi
pertama adalah ventelasi. Situasi perumahan penduduk dapat
diamati melalui perumahan yang berada di daerah pedesaan dan
perkotaan. Perumahan yang berpenghuni banyak dan ventelasi
yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan dapat
mempermudah dan memungkinkan adanya transisi penyakit dan
memperngaruhi dan memungkinkan adanya transisi penyakit
dan mempengaruhi kesehatan penghuninya.
Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik
memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain
diare, kecacingan dan infeksi saluran pencernaan. Apabila anak
menderita infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi
akan terganggu yang menyebabkan terjadinya kekurangan zat
gizi sehingga lingkungan berpengaruh dalam status gizi
seseorang. Seseorang yang kekurangan zat gizi akan mudah
terserang penyakit dan pertumbuhan akan terganggu (Supariasa
dkk, 2002).
5) Tingkat Pendapatan
Pendapatan adalah suatu yang diperoleh dari apa yang kita
perbuat, dikerjakan. Kenyataan hasil kerja dan sesuatu yang
dilakukan untuk mencapai nafkah yang menghasilkan uang. Jadi
besar kecilnya pendapatan seseorang, tetap atau tidaknya
menerima penghasilan dan waktu menerima gaji atau tidaknya
menerima penghasilan dan waktu menerima gaji atau upah yang
sangat mempengaruhi kondisi keuangan suatu keluarga pada
saat itu (Melly dkk,2000)
Pendapatan adalah penghasilan setiap bulan dari seluruh
anggota keluarga (dalam Rupiah) yang didekati dengan
pengeluaran pangan dan non pengan keluarga dibagi seluruh
anggota keluarga.
Data diperoleh dari hasil kuesioner yang ditanyakan kepada
responden. Berdasarkan kategori badan UMP, Kalsel 2018
membedakan pendaptan jadi beberapa kategori yaitu:
 Golongan pendapatan sangat tinggi, adaah jika pendapatan rata-
rata lebih dari Rp.2454.000
 Golongan pendapatan sangat rendah, adalah jika pendapatan
rata-rata kurang dari Rp.2454.000

2.2.4 Penilaian Status Gizi


Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan
penilaian secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung
dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokomia,
dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung
terbagi atas tiga yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan
faktor ekologi.
a. Penilaian Secara Langsung, (Mary E, 2009)yaitu:
1) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia.
Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi . Antropometri sebagai indikator status gizi dapat
dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter
antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks
antropometri (Mary E, 2009).
Menurut Mary E beberapa indeks antropometri yang sering
digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U) tinggi
badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB)
a) Indeks berat badan menurut umur(BB/U)
Merupakan pengukuran antropometri yang sering
dilakukan digunakan sebagai indikator dalam keadaan
normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan
antara intake dan kebutuhan gizi terjamin. Berat badan
memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan
lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan
keadaan yang mendadak, misalnya terserang infeksi,
kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah makanan
yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi
sekarang. Berat badan yang bersifat labil, menyebabkan
indeks ini lebih menggambarkan status gizi seseorang saat
ini (Current Nutritional Status) (Mary E, 2009).
b) Indeks tinggi badan menurut umur(TB/U)
Indeks TB/U disamping memberikan status gizi masa
lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status ekonomi.
c) Indeks berat badan menurut tinggi badan(BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan
tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat
badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan
dengan kecepatantertentu.
Berbagai indeks antropometri, untuk
menginterpretasinya dibutuhkan ambang batas. Penentuan
ambang batas yang paling umum digunakan saat ini adalah
dengan memakai standar deviasi unit (SD) atau disebut
jugaZ-Skor.
Rumus perhitungan Z-Skor adalah :

nilai individu subyek – nilai median baku rujukan


Z − 𝑆𝑘𝑜𝑟 = nilai simpang baku rujukan

BB/U :
Gizi Baik :bila nilai Z-Score ≥ -2SD sd +2 SD
Gizi kurang :bila nilai Z-Score <-2 SD sd ≤-3SD
d) Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan
status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan
interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat
badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak
berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat.
Kesalahan yang sering muncul adalah adanya
kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1
tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur
anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1
tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi
perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa
umur dalam hari tidak diperhitungkan.
2) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting
untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan
atas perubahan- perubahan yang terjadi yang dihubungkan
dengan ketidak cukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel (suppervicial epithelial tissues) seperti kulit,
mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ- organ yang
dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
3) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan
tubuh yang digunakan antara lain : darah, urin, tinja dan
juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otak.
4) Biofisik
Penentuan status gizi secara nonfisik adalah metode
penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi
(khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari
jaringan.

b. Penilaian secara tidak langsung, (Arisman, 2009) yaitu:


1) Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status
gizi secara tidal langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat
gizi yang dikonsumsi. Anamnesis tentang asupan pangan
merupakan satu tahap penilaian status gizi yang paling sulit
dan tidak jarang membuat penilai frustasi karena berbagai
sebab. Pertama, manusia memiliki sifat lupa sehingga orang
sering tidak mampu mengingat dengan pasti jenis (apalagi
jumlah) makanan yang telah disantap. Kedua, manusia sering
mengedepankan gengsi jika diberi tahu bahwa makanan
mereka akan dinilai, pola “pangan” pun dipaksakan berubah.
Metode survei konsumsi makanan untuk individu antara
lain:
a) Metode recall 24jam
Prinsip metode ini yaitu dilakukan dengan mencatat
jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada
periode 24 jam yang lalu.
b) Metode esthimated food record
Dalam metode ini, responden diminta untuk mencatat
semua makanan yang dikonsumsinya setiap kali sebelum
makan dalam urusan rumah tangga atau menimbang berat
dalam periode tertentu (2-4 hari berturut-turt), termasuk
cara persiapan dan pengolahan makanan tersebut.
c) Metode penimbangan makanan ( foodweighting)
Dalam metode ini responden menimbang dan
mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden
selama satu hari. Biasanya dilakukan beberapa hari
tergantung tujuan, dana penelitian dan tenaga yang
tersedia.
d) Metode dietary history
Metode ini memberikan gambaran tentang pola
konsumsi berdasarkan pengamatan dalam waktu cukup
lama (biasa 1 minggu, 1 bulan atau 1 tahun). Metode ini
terdiri dari 3 komponen, yaitu wawancara (termasuk recall
24 jam), frekuensi penggunaan sejumlah bahan makanan
menggunakan daftar (chek list) untuk mengecek
kebenaran recall 24 jam, dan pencatatan konsumsi selama
2-3 hari sebagai cek ulang.
e) Metode frekuensi makanan (food frequency)
Adalah untuk memperoleh data frekuensi konsumsi
sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama
periode tertentu diperoleh gambaran pola konsumsi bahan
makanan. jadi selama periode tertentu seperti hari,
minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode
frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola
konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena
periode pengamatannya lebih lama dan dapat
membedakan individu berdasarkan ranking tingkat
konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan
dalam penelitian epidemiologi gizi. Kuesioner frekuensi
makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau
makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut
pada periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam
daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam
frekuensi yang cukup sering oleh responden.
2) Statistikvita
Pengukuran gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian
sebagai akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang
berhubungan dengangizi.
3) Faktorekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil
interaksi beberapa faktor fisik, fisiologis dan lingkungan dan
budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung
dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain
( Arisman,2009).

2.2.5 Klasifikasi status gizi


Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku
yang sering disebut reference, beberapa standar baku tersebut yaitu
menurut gomez (1965), welcome trust,waterlow, jelliffe, bengoa, WHO
(2010), depkes RI 2002 serta menurut SK Menkes WHONCHS (2010).
Buku antropometri yang sering digunakan diindinesia adalah world
health organization-National centre for health statisti (WHO-NCHS)
(2010) sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak

Berdasarkan Indeks (SK Menkes WHO-NCHS, 2010)

Sumber : SK Menkes (2010)

2.3 Karakteristik Ibu


2.3.1 Faktor-faktor Karakteristik Ibu Yang Memengaruhi Status Gizi Balita
a. Umur ibu
Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur
dalam satuan waktu dipandang dari segi kronologik, individu normal
yang memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik
sama (Dorland, 2010). Penyebab kematian maternal dari faktor
reproduksi diantaranya adalah maternal age atau usia ibu. Dalam kurun
reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan
persalinan adalah 20 tahun sampai dengan 30 tahun. Kematian maternal
pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata
2 sampai 5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi
pada usia 20 sampai 29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali
sesudah usia 30 sampai 35 tahun (Prawirohardjo, 2012).
Masa reproduksi wanita pada dasarnya dibagi dalam 3 periode
yaitu kurun reproduksi muda (15-19 tahun), kurun reproduksi sehat (20-
35 Tahun), Kurun reproduksi tua (36-45 tahun). Pembagian ini
didasarkan atas data epidemiologi bahwa resiko kehamilan rendah pada
kurun reproduksi sehat dan mengingat lagi secara tajam pada kurun
reproduksi tua. (Depkes RI, 1995).

1. Usia ibu kurang dari 20 tahun


Kehamilan di bawah usia 20 tahun dapat menimbulkan
banyak permasalahan karena bisa mempengaruhi organ tubuh
seperti rahim, bahkan bayi bisa prematur dan berat lahir kurang.
Hal ini disebabkan karena wanita yang hamil muda belum bisa
memberikan suplai makanan dengan baik dari tubuhnya ke janin di
dalam rahimnya (Marmi, 2012). Kehamilan di usia muda atau
remaja (di bawah usia 20 tahun) akan mengakibatkan rasa takut
terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini dikarenakan pada usia
tersebut ibu mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan alat-
alat reproduksi ibu belum siap untuk hamil (Prawirohardjo, 2012).

2. Usia ibu lebih dari 35 tahun


Umur pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan
ibu untuk menerima tanggung jawab sebagai seorang ibu sehingga
kualitas sumber daya manusia makin meningkat dan kesiapan untuk
menyehatkan generasi penerus dapat terjamin. Begitu juga
kehamilan di usia tua (di atas 35 tahun) akan menimbulkan
kecemasan terhadap kehamilan dan persalinan serta alat-alat
reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil (Prawirohardjo, 2012).

b. Tingkat Pendidikan Ibu


Menurut Slope (1989), pendidikan adalah jenjang pendidikan
formal yang pernah dialami seseorang dan berijazah. Pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang dalam kesehatan terutama pada pola asuh
anak, alokasi sumber zat gizi serta utilisasi informasi lainnya.
Rendahnya tingkat pendidikan ibu menyebabkan berbagai keterbatasan
dalam menangani masalah gizi dan keluarga serta anak
balitanya.(Herman, 1990).
Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang
ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga,
serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat
pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan
khususnya dibidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya
dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. (Depkes RI,
1990).
Pendidikan adalah suatu proses yang berjalan berkesinambungan.
Mulai dari usia anak-anak sampai dewasa karena itu memerlukan
beraneka caradan sumber. (Depkes RI,1990). Tingkat pendidikan
merupakan salah satu indicator social dalam masyarakat karena melalui
pendidikan sikap tingkah laku manusia dapat meningkat dan berubah
citra sosialnya. Disamping itu, tingkat pendidikan dapat juga dijadikan
sebagai cermin keadaan social ekonomi didalam masyarakat.
(Soekirman, 1994). Tujuan akhir dari suatu pendidikan pada dasarnya
adalah untuk menghilangkan factor-faktor perilaku dan social budaya
yang merupakan hambatan bagi perbaikan kesehatan, menumbuhkan
perilaku dan social budaya yang positif sehingga baik individu maupun
masyarakat itu dapat meningkatkan sendiri taraf kesehatan masyarakat.
(Soekirman, 1994).
Tingkat pendidikan yang dimiliki wanita bukan hanya bermanfaat
bagi penambahan pengetahuan dan peningkatan kesempatan kerja kerja
yang dimilikinya, tetapi juga merupakan bekal atau sumbangan dalam
upaya memenuhi kebutuhan dirinya serta mereka yang tergantung
padanya. Wanita dengan tingkat pendidikan pendidikan yang lebih
tinggi cenderung lebih baik taraf kesehatannya. Peran organisasi wanita
seperti PKK untuk menjangkau kelompok wanita yang lebih dalam
peningkatan kesejahteraan termasuk taraf gizi dan kesehatan yang cukup
menjanjikan.

c. Pekerjaan Ibu
Pekerjaan menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah mata
pencaharian, apa yang di jadikan pokok kehidupan, suatu yang
dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Lamanya seseorang bekerja
sehari-hari pada umumnya 6-8 jam(sisa16-18jam) pergunakan untuk
kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain.
Dalam seminggu seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama
40-50 jam. Ini dapat didbuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai pasal
12 ayat 1 undang-undang tenaga kerja NO 14 Tahun 1969. Bertambah
luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum wanita
yang bekerja terutama di sektor suasta. Di satu sisi hal ini berdampak
positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak
negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap
pemberian makanan pada anak yang kurang, dapat menyebabkan anak
menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap
tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka. (Sri Mulyani,
1990).
Beben kerja yang berat pada ibu yang melakukan peran ganda dan
beragamakan dapat mempengaruhi status kesehatan ibu dan status gizi
anak balitanya. Yang pada dasarnya hal ini dapat dikurangi dengan
merubah pembagian kerja dalam rumah tangga. Anak balita merupakan
kelompok umur yang paling sering kena KEP. Sebarapa kondisi yang
merugikan penyediaan makanan bagi kebutuhan balita ini, anak balita
masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke orang dewasa jadi
masih adaptasi. Anak balita masih belum dapat mengurus diri dengan
baik dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang di
perhatikan untuk makanannya. (Ahmad Djaeni, 2000)

d. Jumlah Anggota Keluarga


Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan social
ekonominya cukup akan mengakibatkan kukurangan perhatian dan kasih
sayang yang diterima oleh anak. Lebih-lebih jika jarak anak terlalu
dekat. Menurut Apriadji (1996). Jumlah anggota keluarga berpengaruh
terhadap konsumsi makanan yaitu jumlah distribusi dalam rumah
tangga. Dengan jumlah anggota keluarga yang besar diikuti dengan
distribusi makanan, dengan asumsi orang dewasa lebih banyak dari
anak-anak akan menyebabkan anak balita dalam keluarga menderita
kurang gizi.
BKKBN (1998) mengelompokkan jumlah anak dalam keluarga
menjadi tiga, yaitu keluarga kecil ≤ 4 orang, sedang 5-7 orang, besar ≥ 7
orang.
Hasil penelitian omas (2000) yang mengemukakan ada hubungan
antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi balita. Semakin besar
anggota keluarga, maka semakin besar resiko terjadinya masalah status
gizi balita.

2.4.Kerangka Teori
2.5.Kerangka Konsep
asupan
makanan
perilaku
penyakit hidup
infeksi bersih
dan sehat

ketersedi status pengeta-


aan
gizi huan
pangan

pola pendapa
asuh kesehata -tan
n
lingkung
an

Anda mungkin juga menyukai