TINJAUAN PUSTAKA
a. Faktor Langsung
Pertama, penyebab langsung yaitu makanan dan penyakit
infeksi yang mungkin diderita.
1) Konsumsi Pangan
Penilaian konsumsi pangan rumah tangga atau secara
perorangan merupakan cara pengamatan langsung yang dapat
menggambarkan pola konsumsi penduduk menurut daerah,
golongan sosial ekonomi dan sosial budaya. Konsumsi pangan
lebih sering digunakan sebagai salah satu teknik untuk
memajukan tingkat keadaan gizi (Moehji, 2003).
Hubungan tingkat konsumsi pangan dengan status gizi
balita, Tingkat konsumsi kualitas hidangan makanan
tergantung kepada keadaan keseimbangan gizi dimana
menunjukan jumlah suatu zat gizi terhadap kebutuhan hidup.
Bila susunan hidangan kebutuhan tubuh baik dari sudut
kuantitas, maka tubuh akan mendapatkan kesehatan gizi
sebaik-baiknya. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik dalam
kualitas maupun kuantitas akan memberi dampak kesehatan
pangan dan gizi yang baik ditentukan oleh terciptanya
keseimbangan antara banyaknya jenis zat gizi yang
dikonsumsi dengan banyaknya zat yang dibutuhkan tubuh.
Makanan yang dikonsumsi oleh suatu ke lompok sosial
individu dari segi kualitas dan kuantitas dipengaruhi oleh
banyak hal yang saling terkait. Untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis maupun psikologis juga untuk memenuhi rasa lapar.
Yang memandakan bahwa gizi yang diperlukan oleh tubuh
tidak mencukupi lagi adalah rasa lapar dan dahaga. Usaha
untuk mengatasi rasa lapar sebenarnya juga diperlukan untuk
menjamin kelangsungan hidup, memenuhi kebutuhan fisiologis
tubuh, pertumbuhan (pada bayi dan anak) dan pergantian sel-
sel dan jaringan yang rusak. Zat gizi yang di konsumsi harus
sesuai dengan kebutuhan dalam jumlah dan jenis yang sesuai
dengan kebutuhan sehingga dapat memberikan kesehatan,
kegairahan dan kekuatan dalam bekerja (Khumaidi, 1994).
Batas suatu konsumsi energi dan protein yang dianggap
rawan (defisit berat) adalah tingkat konsumsinya kurang dari
70 persen angka kecukupan yang dianjurkan. Pada tingkat
konsumsi tersebut tubuh tidak dapat memenuhi energi basal
metabolisme yaitu suatu energi minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup (Cahyani, 2008 ).
Menurut rumusan PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia)
tentang penyebab gizi kurang, salah satu faktor yang
mempengaruhi keadaan gizi adalah asupan makanan
(Supariasa, 2002). Tingkat konsumsi energi pada rumah tangga
berpendapatan tinggi jauh melebihi Angka Kecukupan Energi
(AKE). Kondisi ini perlu mendapat perhatian khusus karena
kelebihan energi/kalori dapat menyebabkan berbagai masalah
kesehatan (penyakit)(Mauludyani, 2008).
Hasil penelitian Diskin, (1995), bahwa kemampuan rumah
tangga untuk memperoleh makanan berhubungan dengan
tingkat konsumsi makanan individu, dimana tingkat konsusmi
individu dipengaruhi oleh kondisi kesehatan (kemampuan
tubuh) dalam menyerap makanan dan memanfaatkan nutrisi
yang diasup (dalam jangka waktu yang panjang atau pendek).
Dengan kata lain, ketersediaan pangan, akses dan tingkat
konsumsi berhubungan dengan status gizi.
2) Infeksi
Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang
kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat
makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau
demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya
anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya
(imunitas) dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit
infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi
kurang (Soekirman, 2000). Sehingga disini terlihat interaksi
antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan
dua hal yang saling mempengaruhi.
Menurut Schaible & Kauffman (2007) hubungan antara
kurang gizi dengan penyakit infeksi tergantung dari besarnya
dampak yang ditimbulkan oleh sejumlah infeksi terhadap
status gizi itu sendiri. Beberapa contoh bagaimana infeksi bisa
berkontribusi terhadap kurang gizi seperti infeksi pencernaan
dapat menyebabkan diare, HIV/AIDS,tuberculosis, dan
beberapa penyakit infeksi kronis lainnya bisa menyebabkan
anemia dan parasit pada usus dapat menyebabkan anemia.
Penyakit Infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan
bersih, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, dan
pola asuh anak yang tidak memadai (Soekirman, 2000).
b. Faktor tidak langsung
Penyebab tidak langsung yaitu Ketersediaan Makanan, Pola
Asuh, PHBS dan Kesehatan Lingkungan.
1) Ketersediaan Makanan
Ketersediaan pangan keluarga merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi keputusan individu
dalam membuat pilihan terhadap makanan untuk
dikonsumsi di rumah. Hal ini penting karena jenis
makanan yang dikonsumsi tiap individu mempengaruhi
kesehatannya secara keseluruhan. Ada sejumlah faktor yang
dapat mempengaruhi ketersediaan pangan rumah tangga,
seperti komposisi rumah tangga, akses ke outlet makanan,
pendapatan rumah tangga, transportasi ke akses pangan,
pendapatan, dan fasilitas penyimpanan rumah tangga
(Sisk, Sharkey, Mcintosh & Anding, 2010).
Hubungan Status Gizi dengan Ketersediaan pangan dapat
ditunjukkan oleh konsep yang dikeluarkan oleh Unicef
bahwa ketersediaan pangan yang cukup di tingkat rumah
tangga akan mempengaruhi dikonsumsi makanan semua
anggota keluarga dan selanjutnya status gizi yang baik atau
seimbang dapat diperoleh tubuh untuk tumbuh kembang,
aktifitas, kecerdasan, pemeliharaan kesehatan, penyembuhan
penyakit dan proses biologis lainnya.
Ketersediaan pangan secara kualitatif menurut FAO
(2003) dalam Tanziha (2005) dapat ukuran melalui tingkat
ketidak cukupan energi yang menunjukkan keparahan defisit
energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada individu
dibawah energi yang dianjurkan (<70%). Berdasarkan ukuran
tersebut, akan dikatakan kelaparan apabila tingkat kecukupan
energi kurang dari 70% dan disertai penurunan berat badan,
dikatakan rawan panjang tingkat kecukupan energinya kurang
70-80% maka dikatakan tahan pangan. Kemiskinan identik
dengan ketidak tahanan pangan. Sajogyo secara manomental
merumuskan batas kemiskinan dengan pengeluaran setara beras
320 kg/kapasitas/tahun dipedesaan 480 kg/diperkotaan.
Ditemukan bahwa konsumsi daging sapi <4 kali sebulan dan
konsumsi telur < 4 kali dalam seminggu dapat dimasukkan
dalam kategori miskin. Dengan ikan asin sebagai indikator,
seseorang dikatakan miskin bila konsumsinya >= 110
gr/kapits/minggu. Semakin banyak konsumsi ikan asin semakin
besar peluangnya untuk masuk ke dalam kategori sebagai orang
miskin. Rupanya secara sosial ikan asin dianggap oleh
masyarakat sebagai komoditas inferor. Padahal dari segi gizi,
ikan asin sebenarnya superior karena kandungan proteinnya
sekitar 35-40%.
2) Pola Asuh
Pola asuh adalah salah satu faktor yang erat kaitannya
dengan tumbuh kembang anak. Pola asuh dalam konteks ini,
mencakup beberapa hal yaitu : perhatian/dukungan ibu terhadap
anak, pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak,
rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan dan
penyimpanan makanan, praktek kebersihan atau hygiene &
sanitasi lingkungan, serta perawatan balita dalam keadaan sakit
seperti mencari tempat pelayanan kesehatan. (Engle, 1997)
BB/U :
Gizi Baik :bila nilai Z-Score ≥ -2SD sd +2 SD
Gizi kurang :bila nilai Z-Score <-2 SD sd ≤-3SD
d) Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan
status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan
interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat
badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak
berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat.
Kesalahan yang sering muncul adalah adanya
kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1
tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur
anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1
tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi
perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa
umur dalam hari tidak diperhitungkan.
2) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting
untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan
atas perubahan- perubahan yang terjadi yang dihubungkan
dengan ketidak cukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel (suppervicial epithelial tissues) seperti kulit,
mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ- organ yang
dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
3) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan
tubuh yang digunakan antara lain : darah, urin, tinja dan
juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otak.
4) Biofisik
Penentuan status gizi secara nonfisik adalah metode
penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi
(khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari
jaringan.
c. Pekerjaan Ibu
Pekerjaan menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah mata
pencaharian, apa yang di jadikan pokok kehidupan, suatu yang
dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Lamanya seseorang bekerja
sehari-hari pada umumnya 6-8 jam(sisa16-18jam) pergunakan untuk
kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain.
Dalam seminggu seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama
40-50 jam. Ini dapat didbuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai pasal
12 ayat 1 undang-undang tenaga kerja NO 14 Tahun 1969. Bertambah
luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum wanita
yang bekerja terutama di sektor suasta. Di satu sisi hal ini berdampak
positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak
negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap
pemberian makanan pada anak yang kurang, dapat menyebabkan anak
menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap
tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka. (Sri Mulyani,
1990).
Beben kerja yang berat pada ibu yang melakukan peran ganda dan
beragamakan dapat mempengaruhi status kesehatan ibu dan status gizi
anak balitanya. Yang pada dasarnya hal ini dapat dikurangi dengan
merubah pembagian kerja dalam rumah tangga. Anak balita merupakan
kelompok umur yang paling sering kena KEP. Sebarapa kondisi yang
merugikan penyediaan makanan bagi kebutuhan balita ini, anak balita
masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke orang dewasa jadi
masih adaptasi. Anak balita masih belum dapat mengurus diri dengan
baik dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang di
perhatikan untuk makanannya. (Ahmad Djaeni, 2000)
2.4.Kerangka Teori
2.5.Kerangka Konsep
asupan
makanan
perilaku
penyakit hidup
infeksi bersih
dan sehat
pola pendapa
asuh kesehata -tan
n
lingkung
an