Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kesehatan adalah salah satu modal pokok dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan
bangsa dan mempunyai peranan penting dalam pembentukan masyarakat adil, makmur, dan
sejahtera. Bahkan kesehatan sebagai salah satu unsur kesjahteraan umum harus diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaskud dalam pembukaan undang-undang dasar
1945 melalui pembangunan nasional yang bersinambung berdasarkan pancasila dan undang-undang
dasar 1945. Derajat kesehatan sangat berarti bagi pengembangan dan pembinanan sumber daya
manusia serta sebagai salah satu modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada
hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Hukum Kesehatan?


2. Apa saja sumber Hukum Kesehatan?
3. Bagaimana isi asas dan UU tentang Keperawatan?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui bagaimana fungsi dan tujuan Hukum Kesehatan


2. Mengetahui isi dari asas dan UU Keperawatan
BAB II

PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Kesehatan

Hukum Kesehatan (Health Law) merupakan suatu spesialisasi dari ilmu hukum yang ruang
lingkupnya meliputi segala peraturan perundang-undangan di sektor pemeliharaan kesehatan.
Banyak istilah yang digunakan oleh para pakar, ada yang menyebutnya hukum kedokteran dan
hukum medik sebagai terjemahan dari Medical Law dan Droit Medical.

Menurut pasal 1 anggaran dasar perhimpunan hukum kesehatan Indonesia (perhuki), Hukum
Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik dari
perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari
pihak penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisai, sarana, pedoman-
pedoman medis nasional/internasional, hukum di bidang kesehatan, jurisprudensi serta ilmu
pengetahuan bidang kedokteran/kesehatan.

Menurut kansil (1989), hukum kesehatan adalah rangkaian peraturan perundng-undangan


dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medik dan sarana medik. Sedangkan Leenen
(dalam Amri Amir, 1999) mengemukakan bahwa hukum kesehatan meliputi semua ketentuan umum
yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan dari hukum perdata,
hukum pidana, dan hukum administrasi dalam hubungan tersebut serta pedoman internasional,
hukum kebiasaan dan jurisprudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, hukum
otonom, ilmu, dan literatur, menjadi sumber hukum kesehatan.

Sebagai bahan perbandingan, dapat di kemukakan pula rumusan dari van der Mijn (veronica K, 1991)
yang menyatakan bahwa hukum kesehatan adalah lembaga peraturan yang langsung berhubungan
dengan perawatan kesehatan, sekaligus juga dengan penerapan hukum sipil umum, pidana, dan
administrasi. Dengan demikian, hukum kesehatan meliputi seluruh aturan hukum yang berhubungan
langsung dengan bidang pemeliharaan kesehatan yakni meliputi hukum medis/kedokteran, hukum
keperawatan, hukum farmasi, hukum rumah sakit, hukum kesehatan lingkungan, hukum kesehatan
masyarakat, dan hukum lainnya di sektor kesehatan.

Hukum kesehatan mengandung makna pengertian yang lebih luas, sedangkan hukum kedokteran
mengandung makna yang lebih sempit, yakni hanya meliputi aturan-aturan hukum yang berkaitan
kegiatan pelayanan medik, yaitu hubungan hukum antara dokter dan pasien, antara dokter dan
rumah sakit, serta rumah sakit dan pasien.

2. Sumber Hukum Kesehatan

Dari berbagai definisi Hukum Kesehatan sebagaimana yang dikemukakan di atas, sumber hukum
kesehatan adalah :
1. Pedoman internasional. Konferensi helsinki (1964) merupakan kesepakatan para dokter
sedunia mengenai penilitian kedokteran, khususnya eksperimen pada manusia, yakni
ditekankan pentingnya persetujuan tindakan medik (informed consent)

2. Hukum kebiasaan, biasanya tidak tertulis dan tidak dijumpai


dalam peraturan perundang-undangan. Kebiasaan
tertentu telah dilakukan dan pada setiap operasi yang
akan dilakukan di rumah sakit harus menandatangani
izin operasi, kebiasaan ini kemudian dituangkan
kedalam peraturan tertulis dalam bentuk informed
consent.
3. Jurispudensi. Keputusan hakim yang di ikuti oleh para hakim
dalam mengadapi kasus yang sama
4. Hukum otonom. Suatu ketentuan yang berlaku untuk
suatu daerah tertentu. Ketentuan yang di maksud
berlaku hanya bagi anggota profesi kesehatan,
misalnya kode etik kedokteran, kode etik
keperawatan, kode etik bidan, dan kode etik fisioterapi
5. Ilmu. Subtansi ilmu pengetahuan dari masing-masing disiplin imu. Misalnya pemakaian
sarung tangan bagi dokter dalam menangani pasien dimaksudkan untuk mencegah
penularan penyakit dari pasien kepada dokter tersebut

Pendapat ahli hukum yang berwibawa menjadi


6. Literatur.

sumber hukum kesehatan. Misalnya mengenai


pertanggung jawaban hukum (liability), perawat tidak
boleh melakukan tindakan medis kecuali atas tanggung
jawab dokter (prolonged arm doctrine)
3. Fungsi dan Tujuan Hukum Kesehatan

Dalam suatu negara yang berlandaskan hukum, maka sesuai dengan sifat dan hakikatnya, hukum
berperan besar dalam mengatur setiap hubungan hukum yang timbul, baik antara individu dan
individu maupun antara individu dan masyarakat di dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
kesehatan. Akan tetapi berlakunya hukum berdasarkan sifat dan hakikatnya itu tidak terlepas dari
sistem hukum yang dianut dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Radbruch (veronica K, 1999)
membedakan keharusan alamiah dan keharusan susilawi, yang selanjutnya disebut norma alam dan
norma yang menggambarkan dunia kenyataan, yaitu mengemukakan sesuatu yang memang sudah
ada yang pasti akan terlaksana, yang dijadikan sebagai norma karena kesusaiannya

4. Asas-asas dalam Undang-undang

Menurut pasal 2 penjelasan undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,


dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan
arah pembangunan kesehatan. Asas tersebut dilaksanakan melalui upaya kesehatan, sebagai
berikut.

1. Asas Perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas
perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak
membedakan golongan, agama, dan bangsa.
2. Asas Keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara
kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik da mental serta antara material dan
sipiritual.
3. Asas Manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupa yang sehat bagi setiap warga negara.
4. Asas Perlindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.
5. Asas Penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan
dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan
hukum.
6. Asas Keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang
terjangkau.
7. Asas Gender Dan Nondiskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak
membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.
8. Asas Norma Agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan
menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat.

1. Hukum kesehatan yang terkait langsung dengan pelayanan kesehatan yaitu antara lain :

a. UU No. 23/ 1992 Tentang Kesehatan yang telah diubah menjadi UU No 36/2009
kesehatan
b. UU No. 29/2004 tentang Praktek kedo kteran
c. UU No, 44/ 2009 tentang Rumah sakit
d. PP No. 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan
e. Permenkes 161/2010 tentang Uji kompetensi
f. Dll

2.Hukum Kesehatan yang tidak secara laingsung terkait dengan pelayanan Kesehatan antara lain:

a. Hukum Pidana
Pasal-pasal hukum pidana yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Misalnya Pasal
359 KUHP tentang kewajiban untuk bertanggung jawab secara pidana bagi tenaga kesehatan
atau sarana kesehatan yang dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan menyebabkan
pasien mengalami cacat, gangguan fungsi organ tubuh atau kematian akibat kelalaian atau
kesalahan yang dilakukannya.

b. Hukum Perdata.

Pasal-pasal Hukum perdata yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Misalnya Pasal
1365 KUHPerd. Mengatur tentang kewajiban hukum untuk mengganti kerugian yang dialami
oleh pasien akibat adanya perbuatan wanprestasi dan atau perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan dan sarana kesehatan dalam memberikan pelayanan
terhadap pasien

c. Hukum Administrasi

Ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan baik yang dilakukan oleh


tenaga kesehatan maupun oleh sarana kesehatan yang melanggar hukum adminstrasi yang
menyebabkan kerugian pada pada pasien menjadi tanggung jawab hukum dari
penyelenggara pelayanan kesehatan tersebut.
3. Hukum Kesehatan yang berlaku secara Internasional
a, Konvensi
b.Yurisprudensi
c. Hukum Kebiasaan

4. Hukum Otonomi

a. Perda tentang kesehatan


b. Kode etik profesi

UU yang berkaitan dengan Praktek keperawatan

1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan

2. Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur
kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.

3. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.

4. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.

5. Pada pasal 2, ayat (3)dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan
rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.

1. Kasus Malpraktik dalam bidang Orthopedy Gas Medik yang Tertukar

Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi.


Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi
dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi
dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).

Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami


kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap
mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia
harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin
pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan.
Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali
masalah tulangnnya.

Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam


pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi.
Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2
dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu
mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses
oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya
meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat
fatal.

Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas
anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar
pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal
seharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya,
bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah
menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis
(misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang
memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani.
Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil
kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat
diketahui siapa yang bertanggung jawab.

Tinjauan Kasus

Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum:


a. Tinjauan Malpraktik Pidana dan Sanksi Hukumnya

Kasus tersebut merupakan bentuk malpraktik pidana sebab telah


melanggar beberapa aturan dalam KUHP untuk kelalaian yang berlaku
bagi setiap orang, yang diatur dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUHP.

Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang


mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal
359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan


jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

(1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat


luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun’.

(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka


sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling
lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang


terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam
bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka
pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun,
apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang
mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa
orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan
izin praktik) dapat dilakukan.
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan
dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa) seperti
dalam kasus malpraktek dalam bidang orthopedy tersebut, maka adalah
hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi
pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah
melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa
seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan
dokter sebagai suatu profesi yang mulia.

Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya


harus sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan
dalam menjalankan tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah
diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap
tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa)
dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian,
mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika
kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak
memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat
tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.

b.Tinjauan Malpraktik Perdata dan sanksi Hukumnya

Kasus di atas juga dapat dikategorikan sebagai malpraktik perdata ketikaSeorang dokter
orthopedy yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita luka atau
mati. Tindakan malpraktik tersebut juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh
seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian
kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk
mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365
Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Seorang dokter yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita luka
atau mati, dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1366 atau 1370 KUH Perdata

Pasal 1366 KUH Perdata


Kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-
hatinya.”

Pasal 1370 KUH Perdata dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan
sengaja atau kurang hati-hati seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau
orang tua yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk
menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah
pihak serta menurut keadaan.

Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan :

Menurut Pasal Undang-undang tersebut diatas :

Ayat (1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan

Ayat (2) Ganti rugi yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku

Penjelasan

Ayat (1)

Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberi perlindungan bagi setiap
orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun nonfisik karena kesalahan atau kelalaian
tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kesalahan atau kelalaian itu
mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat dan permanen

Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau
sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian nonfisik berkaitan dengan martabat seseorang

c. Tinjauan Malpraktik Etik dan Sanksinya

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda
dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.
Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi,
perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut
etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang
amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika
adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi
professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan
tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara
yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara
pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.

Selain melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ditinjau dari Sudut Pandang
Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI), tindakan tersebut juga dapat menjadi bentuk
malpraktik etik karena dokter tersebut tidak melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi tertinggi.

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa
“setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya
dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan
manusia.

Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan
untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang
dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara,
notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk
memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini
Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter
yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi
sebagaimana yang diatur dalam kode etik.

Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga
dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan
memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga
peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat
dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak
berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik.
Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan
komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus
malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab
hukum profesinya
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian Hukum Kesehatan Adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan
kewajiban baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari
individu dan masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala aspek
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta organisasi dan sarana.
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan yang mengatur hak dan kewajiban individu,
kelompok atau masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan pada satu pihak, hak dan
kewajiban tenaga kesehatan dan sarana kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan
kesehatan di pihak lain yang mengikat masing-masing pihak dalam sebuah perjanjian
terapeutik dan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan perundang-undangan di
bidang kesehatan lainnya yang berlaku secara lokal, regional, nasional dan internasional.
DAFTAR PUSTAKA

Hendrik, SH, M,Kes.2010.Etika & Hukum Kesehatan.Jakarta;Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai