Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANII

Dosen Pembimbing : Su’udi, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Oleh:
NAMA : SUSILOWATI

NIM : P27822317041

KELAS : KEPERAWATAN RPL

PRODI DIII KEPERAWATAN


KAMPUS TUBAN JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya penulis
akhirnya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Dan dengan mengucap
puji syukur atas curahan kasih karunia-Nya kepada penulis, terutama ilmu dan akal
sehat sehingga dengan ijin-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
yang berjudul “Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur Basis Cranii”. Makalah ini
disusun sebagai tugas mata kuliah keperawatan kegawatdaruratan.
Dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari beberapa
pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya Bpk. Drg. Bambang Hadi

Sugito, M.Kes.
2. Ketua Program Studi DIII Keperawatan Kampus Tuban Bapak Hadi Purwanto,

S.Kep.,Ns.,M.Kes. yang telah memberikan ijin untuk pembuatan Proposal Karya

Tulis Ilmiah ini.


3. Dosen pengajar mata kuliah kegawatdaruratan Bapak Su’udi, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini penuh
keterbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran yang konstruktif
merupakan bagian yang tak terpisahkan dan senantiasa kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak. Allahumma Amin.

Lamongan, 12 April 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

MAKALAH...............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................ii
KATA PENGANTAR.................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2

1.3.1 Tujuan umum....................................................................................2

1.3.2 Tujuan khusus....................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI....................................................................3


2.1 Definisi Trauma Kepala.................................................................................3

2.2 Klasifikasi Trauma Kepala.............................................................................3

2.3 Etiologi Trauma Kepala.................................................................................4

2.4 Manisfestasi Klinis Trauma Kepala...............................................................5

2.5 Patofisiologi Trauma Kepala..........................................................................6

2.6 Pathway..........................................................................................................8

2.7 Penatalaksanaan Trauma Kepala....................................................................9

2.7.1 Medis (Kowalak, 2011).....................................................................9

2.7.2 Keperawatan (Kowalak, 2011)........................................................11

2.8 Komplikasi Trauma Kepala..........................................................................12

2.9 Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala......................................................12

2.10 Prognosis Trauma Kepala..........................................................................13

4
5

BAB III KONSEP KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANII..14


3.1 Pengkajian....................................................................................................14

3.1.1 Identitas...........................................................................................14

3.1.2 Riwayat Kesehatan..........................................................................14

3.1.3 Pemeriksaan Primer........................................................................14

3.1.4 Pemeriksaan Sekunder....................................................................15

3.2 Diagnosa Keperawatan.................................................................................19

3.3 Intervensi Keperawatan................................................................................20

BAB IV PENUTUP................................................................................24
4.1 Kesimpulan..................................................................................................24

4.2 Saran.............................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik,
keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang (Nurarif & Kusuma, 2013). Salah
satu fraktur yang sering terjadi yaitu fraktur basis cranii. Fraktur basis cranii adalah
suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini sering kali
disertai dengan robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racun eyes sign (fraktur basis
krani fossa anterior), atau othorhea dan battle sign (fraktur crani fossa media) (Kowalak,
2011).
Cedera pada susunan saraf pusat masih merrupakan penyebab utama tingginya
angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998
sebanyak 148.000 orang di amerika meninggal akibat berbagai jenis cedera. Trauma
kapitis menyebabkan 50.000 kematian.Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah
sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk.Sebanyak 22%
pasien trauma kapitis meninggal akibat cederannya.Sekitar 10.000 – 20.000 kejadian
medulla spinalis setiap tahunnya (Kowalak, 2011).
Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur
linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak usia
dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian
fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis crani sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara
lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah lain
(10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden
fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0,02%), atau 42.409 orang
setiaptahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak
usia dibawah 5 tahun amerika serikat.
Akibat dari fraktur basis cranii akan menimbulkan beberapa masalah, salah
satunya perdarahan otak. Oleh sebab itu perawat kedaruratan harus dapat mengkaji
secara adekuat pasien fraktur basis cranii dan memulai tindakan keperawatannya.
Meskipun peran perawat dalam program pencegahan amat penting, perannya dalam

1
2

mengenali dan merawat pasien fraktur basis cranii juga tidak kalah pentingnya (Oman,
2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka menjadi penting untuk menyusun
makalah tentang konsep fraktur basis cranii untuk mengetahui lebih dalam tentang
karakteristik fraktur basis cranii serta bagaimana penatalaksanaan keperawatan yang
tepat. Sehingga kejadian yang tidak diinginkan seperti adanya komplikasi lebih lanjut
seperti angka kesakitan dan angka kematian akibat fraktur ini dapat dikurangi.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana konsep teori dari fraktur basis cranii ?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawaatan pada klien fraktur basis cranii ?

I.3 Tujuan Penulisan

I.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Advance Nursing Praktice I pada program studi S-1
Keperawatan di STIKES Muhammadiyah Lamongan.

I.3.2 Tujuan khusus

Diharapkan Mahasiswa mampu :


1. Untuk mengetahui konsep teori dari fraktur basis cranii.
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawtan pada klien fraktur basis cranii.
BAB II
TINJAUAN TEORI

II.1 Definisi Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis crania adalah suatu fraktur linear yang


terjadi pada dasar tengkorak yang tebal. Fraktur ini sering
disertai dengan robekan ada duramater. Fraktur basis crania
sering terjadi ada 2 lokasi anatomi tertentu yaitu region
temporal dan region occipital condylar (Kowalak, 2011).
Fraktur basis crania dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fraktur fossa anterior
dan fraktur fossa posterior. Fraktur basis crania meruakan yang aling serius terjadi
karena melibatkan tulang – tulang dasar tengkorak dengan komplikasi otorrhea cairan
serebrosinal ( cerebrospinal fluid ) dan rhinorrhea (Engram, 2007).
Beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan fraktur basis cranii adalah
suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang tengkorak yang biasanya terjadi karena
adanya benturan secara langsung merupakan fraktur akibat benturan langsung ada
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita) transmisi energy yang
berasal dari benturan ada wajah atau mandibula.

II.2 Anatomi Basis Cranii

Bagian cranium yang membungkus otak (neurocranium / brain box) menutupi


otak, labirin, dan telinga tengah. and middle ear. Tabula eksterna dan tabula interna
dihubungkan oleh tulang kanselosa dan celah tulang rawan. Tulang-tulang yang
membentuk atap cranium (calvaria) pada remaja dan orang dewasa terhubung oleh
sutura dan kartilago dengan kaku. Sutura coronaria memanjang melintasi sepertiga
frontal atap cranium. Sutura sagitalis berada pada garis tengah, memanjang ke belakang
dari sutura coronaria dan bercabang di occipital untuk membentuk sutura lambdoidea.
Daerah perhubungan os frontal, parietal, temporal, dan sphenoidal disebut pterion, di
bawah pterion terdapat percabangan arteri meningeal media. Bagian dalam basis cranii
membentuk lantai cavitas cranii, yang dibagi menjadi fossa anterior, fossa media, dan
fossa posterior.

3
4

1. Fossa anterior dibentuk oleh os frontal di bagian depan dan samping, lantainya
dibentuk oleh os frontale pars orbitale, pars cribriformis os ethmoidal, dan bagian
depan dari alae minor os sphenoid. Fossa ini menampung traktus olfaktorius dan
permukaan basal dari lobus frontalis, dan hipofise. Fossa anterior dan media
dipisahkan di lateral oleh tepi posterior alae minor os sphenoidale, dan di medial
oleh jugum sphenoidale. Pada fossa cranii anterior terdapat sinus frontalis di bagian
depan, alae minor os sphenoidale yang dengan bersama-sama pars orbitalis os
frontal membentuk atap orbita dengan struktur-struktur di midline, diantaranya
terdapat crista galli, pars cribriformis dan pars sphenoidal.
2. Fossa media lebih dalam dan lebih luas daripada fossa anterior, terutama ke arah
lateral. Di bagian anterior dibatasi oleh sisi posterior alae minor, processus
clinoideus anterior, dan sulcus chiasmatis. Di belakang dibatasi oleh batas atas os
temporal dan dorsum sellae os sphenoid. Di lateral dibatasi oleh pars squamosa
ossis temporalis, os parietal dan alae major os sphenoid. Merupakan tempat untuk
permukaan basal dari lobus temporal, hipotalamus, dan fossa hipofiseal di tengah.
Di kedua sisi lateralnya terdapat tiga foramina (foramen spinosum, foramen ovale,
dan foramen rotundum). Pars anterior dinding lateral fossa media dibentuk oleh
alae major os sphenoidal. Sisa dinding lateral lainnya dibentuk oleh pars squamosa
os temporal yang merupakan tempat processus mastoideus dan mastoid air cells
serta kanalis auditorius eksternus. Pyramid petrous mengandung membrane
tympani, tulang-tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes), dan cochlea pada
telinga dalam. Fossa media dan fossa posterior dibatasi satu sama lain di lateral
oleh bagian atas os petrosus, dan di medial oleh dorsum sellae.
3. Fossa posterior adalah fossa yang terbesar dan terdalam merupakan tempat untuk
cerebellum, pons, dan medulla. Di bagian anteromedial dibatasi oleh dorsum sellae
yang melanjutkan diri menjadi clivus. Bagian anterolateral dibatasi oleh sisi
posterior pars petrosa ossis temporalis, di lateral oleh os parietal, dan di posterior
oleh os occipital. Lubang paling besar yang ada di basis cranii terdapat pada os
occipital yaitu foramen magnum, dilalui oleh medulla oblongata. Meatus akustikus
interna terdapat pada bagian posteromedial pars petrosa ossis temporalis. Foramen
jugular berada di kedua sisi lateral foramen magnum. Foramen jugular dilalui oleh
5

vena jugularis yang perluasan ke anterior dari sinus sagitalis superior dan
melanjutkan diri menjadi sinus transversus dan sinus sigmoideus.

II.3 Klasifikasi Fraktur Basis Cranii

Menurut Corwin (2009), Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fossa
cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior.
1. Fossa crania anterior
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera.
Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau
kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars
orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau
periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis
cranii fossa anterior.
2. Fossa cranii media
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan
tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini
disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan
sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya
CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea).
N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os
temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus
cavernosus robek.
3. Fossa cranii posterior
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot
otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot
otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap
nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai
foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera

Menurut Kowalak (2011), fraktur basis cranii dapat diklasifikaikan sebagai


berikut:
1. Fraktur petrosa os temporal
6

Fraktur petrous os temporal ini


meluas dari bagian skuamosa tulang
temporal terhadap piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi
temporomandibular. Fraktur oblik ini sering mengakibatkan gangguan
pendengaran konduktif akibat dislokasi incudostapedial. Hematotimpanum dan
ottorhea juga sering terjadi pada fraktur oblik. Keterlibatan saraf fasialis kurang
umum daripada pada fraktur transversal.
2. Fraktur longitudinal os temporal

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian


squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan
tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau
posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii
media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal
merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal
dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur
dari kedua fraktur longitudinal dan transversal
3. Fraktur transversal os temporal

Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari
piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau
temporoparietal. Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fosa
7

posterior, melalui pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa
kranial tengah. Kapsul otik dan kanalis auditorius internal sering terlibat juga.
4. Fraktur condylar os oksipital

Fraktur condylar os oksipital dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di
bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat. Akhir-akhir ini, juga terdapat
peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi
perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik
(otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap
sekuel klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%)
daripada OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf
fasialis (30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih
tinggi daripada OCS).

II.4 Etiologi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), Etologi fraktur basis cranii dapat meliputi :


1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2. Kecelakaan terjatuh.
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4. Kejahatan dan tindak kekerasan.

II.5 Manisfestasi Klinis Fraktur Basis Cranii

Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Fraktur petrous os temporal
a. Otorrhea
Liquor keluar dari telinga.
b. Battle sign (Memar pada mastoids)
Warna biru atau ekimosis dibelakang telinga di atas os mastoid
c. Rhinorrhea
Liquor keluar dari hidung.
d. Raccoon eyes (Memar di sekitar palpebral)
Mata warna hitam tanpa trauma langsung.
e. Hemotipanum
8

Perdarahan di daerah gendang telinga.


f. Kehilangan kesadaran dan GCS dapat bervariasi tergantung pada kondisi
patologis intracranial
2. Fraktur longitudinal os temporal
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran
dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berangsung lebih dari 6 –
7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 6-7
minggu disebabkan karena hemotympanum dan oedema mukosa di fossa tmpany.
Facial palsy, nygtagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
3. Fraktur tranversal os temporal
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan lairin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss)
4. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius.Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama
dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang
serviklis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan
hemiplegia atau guadriplegia.

II.6 Patofisiologi Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis crani merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital), tansmisi energy yang
berasal dari benturan pada wajah atau mandubula, atau efek “remote” dai benturan pada
kepala (“gelombang tekanan”) yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan
bentuk tengkorak) (Corwin, 2009).
Tipe dari fraktur basis crani yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura didasar tengkorak dimana spinal cord lewat.
Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring
fracture in komplit lebih sering dijumai. Kematian biasannya terjadi seketika kamu
cedera batan otak disertai denan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada
dasar tengkorak (Corwin, 2009).
9

Fraktur basis crani telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk


benturan dari arah mandibular atau wajah dan kubah tengkorak, atau akiat beban inersia
pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya baban inersia, misalnya,
ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami
benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kemudian secara tiba – tiba mengalami
percepaatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh
foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian menyebabkan ring fracture. Ring
fracture juga dapat terjadi akibat paksa ruda paksa pada benturan tipe vertical, arah
benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari ara
superior kemudian diteruskan kearah acciput atau mandibular.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis crania.
Biasanya disertai robekan durameter dan terjadi pada daerah – daerah tertentu dari basis
crania. Fraktur basilar adalah fraktur linear meliputi dasar pertengahan pada tulang
tengkorak. Fraktur ini biasanya berhubungan dengan dural. Sebagian besar fraktur
basilar berlangsung pada 2 lokasi spesifik seperti regio temporal dan regio kondilar
oksipital (Batticaca, 2008).
Fraktur temporal dapat dibagi dalam 3 subtipe yaitu longitudinal, transversal,
dan campuran. Fraktur longitudinal adalah adalah subtipe yang paling umum (70-90%)
dan meliputi bagian skuamous pada tulang temporal, inding superior pada canalis
auditory eksterna dan tegmen timpani. Fraktur dapat terjadi pada anterior atau posterior
ke koklea dan kapsul labirin, berakhir pada fossa cranial media dekat foramen spinosum
atau pada sel udara mastoid. Fraktur transversal (5-30%) berasal dari foramen magnum
dan keluar mengelilingi koklea dan labirin berakhir pada fossa cranial media.
Dinamakan fraktur campuran jika memiliki kedua komponen fraktur longitudinal dan
fraktur transversal (Batticaca, 2008).
Fraktur condylar oksipital biasanya diakibatkan oleh trauma tumpul dengan
kekuatan yang tinggi yang menekan axial, bagian sudut lateral, atau berputar ke jaringan
ikat kontinyu. Fraktur ini dapat dibagi dalam tiga tipe dasar berdasarkan morfologi dan
mekanisme trauma atau secara alternatif dalam kestabilan dan displace fraktur
tergantung dari ada tidaknya kerusakan ligamen. Fraktur tipe I adalah trauma kompresi
axial yang menghasilkan fraktur comuniti pada oksipital condilar. Fraktur ini bersifat
stabil. Fraktur tipe II disebabkan oleh pukulan langsung dan meluas pada daerah
10

basioccipital, hl ini berhubungan dengan trauma yang menetap karena melindungi


ligamen alar dan membran tectorial. Fraktur tipe III secara potensial tidak stabil dan
berhubungan dengan suatu luka avulsion sesuai dengan putaran dan sudut lateral
(Batticaca, 2008).
11

Kecelakaan
Pathway kendaraan/transportasi Kecelakaan olahraga
Kecelakaan terjatuh Kejahatan/tindak kekerasan

Fraktur Basis Cranii

Fraktur Petrosa os Fraktur Longitudinal Fraktur Transversal os Fraktur Condylar os


Temporal os temporal temporal temporal

Menembus kulit kepala

Tulang tengkorak

B1 (Breathing) B2 (Blood) B3 (Brain) B4 (Bladder) B5 (Bowel) B6 (Bone)

Keadaan stasioner Bradikardi Kekuatan dari coup Asupan cairan Meningen Aliran
Patah Tersisa Darah
Jaringan kranial Hipotensi Otak
tulang Kerusakan Jumlah urin menurun
tengkorak Mendorong otak meatus menurun
Dekat tempat Penurunan Menunjukkan
acusticus Sianosis
benturan Rhinorhoe curah jantung lubang
Menghantarkan Gangguan
isi tengkorak Eliminasi Urine
Kusmaul Ottorhoe TIK Otot lemah
Gangguan Edema pupil
penglihatan Benturan
Sesak TIK Mual/muntah Hemiparase
Cedera sekunder Ketidakefektifan
Ketidakefektifan Kekurangan a
Intoleransi
Gangguan Rasa Perfusi Jaringan
pola napas Nyaman (Nyeri) Kesadaran Otak Volume Cairan Aktivitas
12

II.7 Penatalaksanaan Fraktur Basis Cranii

II.7.1 Medis (Kowalak, 2011)

1. ABC
a. Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b. Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu pernafasan
misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask Nonrebreating,
Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c. Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam
darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan
perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah rebound
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit.
Pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum mannitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan Diberikan bila ada kejang
bisa diulang sampai 3 kali
bila masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi
(asetaminofen) setiap 3 atau 4 jam, 650 mg demam serta mengatasi
setiap 4-6 jam, 1000 mg nyeri ringan sampai
setiap 6 sedang akibat sakit kepala

12
13

5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam Untuk mengobati nyeri


(kodein) sesuai kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 Untuk mencegah
(fenitoin) mg perhati serangan epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan setelah Tindakan yang sangat
antibiotic 24 jam pertama, lalu 2 jam penting sebagai usaha
pertama, dan 4 jam untuk mencegah
berikutnya terjadinya infeksi pasca
operasi

3. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil fragmen
fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil benda asing
dan jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak lebih lanjut
akibat fraktur dapat dikurangi.
4. Imobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat imobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan
servical colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk
leher. Alat ini digunakan untuk mencegah pergerakan tulang servical yang dapat
memperparah kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera kepala.
Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi, ekstensi, dan fleksi.

II.7.2 Keperawatan (Kowalak, 2011)

1. Pengendalian tekanan IntraCranial


Mannitol efektif untuk mengurangi odema serebral dan TIK. Selain karena efek
osmotic, mannitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus
microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus mannitol
tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g/kg.
2. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung kardiovaskuler dengan vasopressors dan inotropic untuk
meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg.
3. Mengontrol hematocrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematocrit. Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematocrit dan tingkat optimal sekitar
14

35%. Aliran darah otak berkurang jika hematocrit meningkat dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematocrit di bawah 30.
4. Pengaturan suhu
Demam dapat mempercepat deficit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
komdisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9% maka
harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
5. Kontrol cairan
NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/I, telah menjadi kristaloid pilihan
dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9% saline membutuhkan
4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik
6. Posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan
meningkatkan venous return ke jantung.

II.8 Komplikasi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari fraktur basis cranii yaitu :
1. Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)
2. Perdarahan
3. Kejang
4. Infeksi (trauma terbuka)
5. Depresi pernapasan dan gagal napas
6. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran
7. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan
serebrospinal (CSS) dari hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan
menyebabkan meningitis.
8. Sindrom vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang
terkait dengan gangguan nervus IX, X, dan XI.
9. Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang banyak berdampak
terhadap nervus IX, X, dan XII.

II.9 Pemeriksaan Penunjang Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan penunjang fraktur basis cranii yaitu :


1. Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan yaitu pemeriksaan neurologis lengkap,
pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid
2. CT Scan menunjukkan perdarahan intrakranial akibat ruptur pembuluh darah dan
pembengkakan. CT Scan juga membantu untuk penilaian fraktur condylar
occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
15

3. MRI menunjukkan kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. MRI juga
memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik.
4. X-ray posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi Sinar x kepala dan
servikal untuk mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur.
5. Pungsi lumbal meningitis bila pasien memperlihatkan tanda-tanda iritasi
meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang). Pungsi lumbal merupakan
kontraindikasi jika terdapat lesi yang luas.
6. Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran
CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan
mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran
seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut “halo” atau “ring”
sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa kadar
glukosa dan dengan mengukur transferring

II.10 Prognosis Fraktur Basis Cranii

Pada fraktur basis cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda
tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini
mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis cranii
posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat
mengakibatkan kompresi batang otak (Corwin, 2009).
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANII

III.1 Pengkajian

III.1.1 Identitas

Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar daripada
risiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15 hingga 24 tahun,
dan lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, dan diagnosa medis.

III.1.2 Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya lesi/luka dikepala.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi, adanya
akumulasi sekret pada saluran pernafasan, lemah, paralisis, takipnea.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Biasanya klien memiliki riwayat jatuh.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama sebelumnya.

III.1.3 Pemeriksaan Primer

1. Airway management/penatalaksanaan jalan napas:


a. Kaji obstruksi dengan menggunakan tangan dan mengangkat dagu (pada pasien
tidak sadar).
b. Kaji jalan napas dengan jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal (pada
pasien tidak sadar).
c. Kaji adanya obstruksi jalan nafas antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan oto bantu pernafasan, sianosis.
d. Kaji jalan napas definitive (akses langsung melalui oksigenasi intratrakeal).
e. Kaji jalan napas dengan pembedahan (krikotiroidotomi).
2. Breathing/pernapasan:
a. Kaji pemberian O2.

16
17

b. Kaji nilai frekuensi napas/masuknya udara (simetris)/pergerakan dinding dada


(simetris)/posisi trakea.
c. Kaji dengan oksimetri nadi dan observasi.
3. Circulation/sirkulasi:
a. Kaji frekuensi nadi dan karakternya/tekanan darah/pulsasi apeks/JVP/bunyi
jantung/bukti hilangnya darah.
b. Kaji darah untuk cross match, DPL, dan ureum + elektrolit.
c. Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.

III.1.4 Pemeriksaan Sekunder

1. Penampilan atau keadaan umum


Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah, lemas.
2. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien mengalami penurunan GCS <15.
3. Tanda-Tanda Vital
Suhu Tubuh : Biasanya meningkat saat terjadi benturan (Normalnya 36,5-
37,5°C)
Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak dengan tekanan
darah sistolik <90 mmHg (Normalnya 110/70-120/80 mmHg)
Nadi : Biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan dan TIK
meningkat (Normalnya 60-100 x/menit)
RR : Biasanya menurun saat TIK meningkat (Normalnya 16-22)
4. Pemeriksaan Nervus Cranial
a. Nervus I : Penurunan daya penciuman.
b. Nervus II : Pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
karena edema pupil.
c. Nervus III, IV, VI : Penurunan lapang pandang, reflex cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
d. Nervus V : Gangguan mengunyah karena terjadi anastesi daerah
dahi.
e. Nervus VII, XII : Lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada
2/3 anterior lidah.
f. Nervus VIII : Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh.
g. Nervus IX, X, XI : Jarang ditemukan.
h. Nervus XII : Jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartia.
18

5. Pemeriksaan Head to Toe


a. Pemeriksaan Kepala
Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, ada
deformitas, ada luka, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala)
Palpasi (ada nyeri tekan, ada robekan)
Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada
kemerahan)
Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan
simetris, tidak ada lesi) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
Rambut : Inspeksi (rambut tidak bersih, mudah putus, ada ketombe, ada uban)
Palpasi (rambut mudah rontok)
Mata : Inspeksi (simestris, konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil
anisokor, reflex pupil tidak teratur, pupil tidak bereaksi terhadap
rangsangan cahaya, gerakan mata tidak normal, banyak sekret) Palpasi
(bola mata normal, tidak ada nyeri tekan)
Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada rhinorhoe (cairan serebrospinal keluar
dari hidung), ada pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi septum)
Palpasi sinus (ada nyeri tekan)
Telinga : Inpeksi (Simetris, kotor, fungsi pendengaran tidak baik, ada otorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau
ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), dan memotipanum
(perdarahan di daerah membrane timpani telinga)) Palpasi (tidak ada
lipatan, ada nyeri)
Mulut : Inspeksi (keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membran mukosa
kering pucat, bibir kering, lidah simetris, lidah bersih, gigi tidak bersih,
gigi atas dan bawah tanggal 3/2, tidak goyang, faring tidak ada pembekakan,
tonsil ukuran normal, uvula simetris, mual-muntah) Palpasi (tidak ada lesi,
lidah tidak ada massa)
Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, tidak
ada pembesaran limfe, leher tidak panas, trakea normal, tidak ditemukan
kaku kuduk)
b. Pemeriksaan Dada dan Thorak
· Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas dada
cepat dan dangkal, sesak nafas, frekuensi nafas <16 x/menit.
Palpasi : Suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan.
19

Perkusi : Sonor pada kedua paru.


Auskultasi : Suara nafas tidak baik, ada weezing.
· Jantung :
Inspeksi : Bentuk simetris, Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada V±2cm, tidak ada nyeri tekan, denyut nadi
Bradikardia
Perkusi : Pekak, batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri,
batas kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5 axilla anterior kanan
Auskultasi : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, Irama nafas
tidak teratur, tekanan darah menurun
c. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Permukaan simetris, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada
Titik Mc. Burney.
Perkusi : Tidak ada cairan atau udara suara redup
d. Pemeriksaan Genetalia
Inspeksi : Terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan
e. Pemeriksaan Ekstremitas
Inspeksi : Adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot, adanya
sianosis
Palpasi : Turgor buruk, kulit kering
6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien
memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang).
d. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang..
e. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
f. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
20

g. Screen Toxicologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan


penurunan kesadaran.

III.2 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d cedera sekunder.


2. Ketidakefektifan pola napas b.d gangguan neurologis (mis., trauma kepala).
3. Kekurangan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi.
4. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi jantung.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d agen cedera fisik.
6. Gangguan eliminasi urine b.d penyebab multipel.
7. Intoleran aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

III.3 Intervensi Keperawatan

Diagnose Rencana keperawatan


No
keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan NOC NIC
Tujuan: Manajemen Edema Serebral
perfusi jaringan
Setelah dilakukan tindakan
1. Monitor tanda-tanda vital
otak b.d cedera
keperawatan selama 2x24 2. Monitor adanya
sekunder
diharapkan aliran darah kebingungan, perubahan
melalui pembuluh darah pikiran, keluhan pusing,
otak untuk pinsan
3. Monitor status neurologi
mempertahankan fungsi
dengan ketat dan bandingkan
otak tercukupi
Dengan KH: dengan nilai normal
4. Monitor karakteristik cairan
1. Tekaran intracranial
serebrospinal : warna,
dalam kisaran normal
2. Tekanan darah sistolik kejernihan, konsistensi
5. Monitor TIK
dalam kisaran normal
6. Posisikan tinggi kepala
3. Tekanan darah diastolic
tempat tidur 30 derajat atau
dalam kisaran normal
4. Tidak ada sakit kepala lebih
5. Tidak ada penurunan 7. Batasi cairan
8. Dorong keluarga/orang yang
tingkat kesadaran
penting untuk bicara pada
pasien
9. Kolaborasi pemberian obat
21

2 Ketidakefektifan Tujuan: Manajemen jalan napas


Setelah dilakukan tindakan 1. O : Observasi TTV
pola napas b.d
2. O : Monitar aliran oksigen
keperawatan selama 2x24
gangguan 3. N : Buka jalan napas dengan
diharapkan pola napas
neurologis (mis., tekhnik chin lift atau jaw
kembali efektif
trauma kepala) thrust
Dengan KH:
4. N : Posisikan pasien untuk
1. Kedalaman inspirasi
memaksimalkan ventilasi
dalam kisaran normal 5. N : Masukkan alat
(RR : 16-24 x/menit) nasoparyngeal airway atau
2. Kepatenan jalan napas
oropharyngeal airway
dalam kisaran normal, 6. E : Informasikan pada pasien
klien tidak merasa dan keluarga tentang teknik
tercekik, tidak ada suara relaksasi untuk memperbaiki
nafas abnormal pola nafas
3. Frekuensi dan irama 7. C : Kolaborasi dengan dokter
pernapasan dalam dalam pemberian terapi obat
keadaan normal dan pemberian oksigen
3 Kekurangan Tujuan: Manajemen cairan
Setelah dilakukan tindakan 1. O : Obsersavi TTV
volume cairan b.d
2. O : Monitor status hidrasi
keperawatan selama 1x24
gangguan
(mis., membrane mukosa
jam diharapkan kekurangan
mekanisme
lembab denyut nadi adekuat,
volume cairan teratasi.
regulasi
Dengan KH: dan tekanan darah ortostatik)
3. N : Berikan cairan IV
1. Mempertahankan urine
4. N : Pertahankan catatan
output sesuai dengan usia
intake dan output yang akurat
dan BB 5. E : Dorong pasien dan
2. Tidak ada tanda-tanda
keluarga untuk menambah
dehidrasi, elastisitas
intake oral misalnya minum
turgor kulit baik, 6. C : Kolaborasi pemberian
membran mukosa cairan IV
lembab, tidak rasa haus
yang berlebihan
3. TTV dalam batas normal
4 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Perawatan jantung
1. O : Monitor EKG, adakah
jantung b.d keperawatan selama ….
22

perubahan diharapkan penurunan perubahan segmen ST


2. O : Monitor TTV
frekuensi jantung curah jantung teratasi
3. N : Atur periode latihan dan
Dengan KH:
1. Tekanan darah sistol istirahat untuk menghindari
dan diastol dalam kelelahan
4. N : Evaluasi adanya nyeri
kisaran normal (110/70-
dada
120/80 mmHg)
5. O : Anjurkan untuk
2. Denyut nadi perifer
menurunkan stress
dalam kisaran normal
6. C : Kolaborasi untuk
(60-100 x/menit)
menyediakan terapi
3. Denyut jantung apikal
antiaritmia sesuai kebijakan
dalam kisaran normal
unit (mis., obat antiaritmia,
(16-24 x/menit)
4. Tidak ada penurunan kardioversi, atau defibrilasi)
kesadaran
5 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
nyaman nyeri b.d keperawatan selama …. 1. O : Lakukan pengkajian
gejala terkait Diharapkan rasa nyaman nyeri secara komprehensif
2. N : Tingkatkan istirahat
penyakit kembali
3. N : Kontrol lingkungan yang
Dengan KH:
dapat mempengaruhi nyeri
1. Mengontrol nyeri
seperti suhu ruangan,
(mengetahui penyebab
pencahayaan, dan kebisingan
nyeri, mengetahui cara
4. E : Ajarkan tentang teknik
mengurangi nyeri)
non farmakologi
2. Rasa nyaman tidak
5. C : Kolaborasi dengan dokter
terganggu
pemberian analgetik
3. Mengontrol gejala nyeri
6 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Irigasi kandung kemih
1. O : Lakukan penilaian kemih
eliminasi urine b.d keperawatan selama ….
yang komprehensif
penyebab multipel diharapkan gangguan
2. N : Siapkan peralatan irigasi
eliminasi urine teratasi
yang steril, dan pertahankan
Dengan KH:
1. Jumlah urin tidak tekhnik steril setiap kali
terganggu tindakan
2. Warna urin tidak 3. N : Bersihkan sambungan
terganggu kateter atau ujung Y dengan
23

3. Tidak ada darah dalam kapas alcohol


4. N : Catat jumlah cairan yang
urin
4. Intake cairan dalam digunakan, karakteristik
rentang normal cairan, jumlah cairan yang
keluar
5. E : Ajarkan pasien atau
keluarga untuk mencatat urin
6. C : Kolaborasi dengan dokter
dengan penberian obat
7 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Terapi aktivitas
1. O : Monitor respon fisik,
b.d keperawatan selama ….
emosi, social dan spiritual
ketidakseimbangan diharapkan intoleransi
2. N : Bantu klien untuk
antara suplai dan aktivitas teratasi
mengidentifikasi aktivitas
Dengan KH:
kebutuhan oksigen
1. Berpartisipasi dalam yang mampu dilakukan
3. E : Bantu pasien dan
aktivitas fisik tanpa
keluarga untuk
disertai peningkatan ttv
2. Hemoglobin, hematocrit, mengidentifikasi kekurangan
glukosa darah, serum dalam beraktivitas
4. C : Kolaborasi dengan
elektrolit darah tidak
Tenaga Rehabilitasi Medik
terganggu
3. Mampu melakukan dalam merencanakan
aktivitas sehari-hari program terapi yang tepat
secara mendiri
BAB IV
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
Fraktur basis cranii adalah suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang
tengkorak yang biasanya terjadi karena adanya benturan secara langsung merupakan
fraktur akibat benturan langsung ada daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita) transmisi energy yang berasal dari benturan ada wajah atau mandibular.
Penyebab dari fraktur basis cranii yaitu Kecelakaan kendaraan atau transportasi,
Kecelakaan terjatuh, Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga, Kejahatan dan tindak
kekerasan. Manifestasi klinis dari fraktur basis cranii yang umum yaitu terjadi
penurunan kesadaran, nyeri hebat, dan adanya lesi. Komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK), Perdarahan, Kejang, Infeksi
(trauma terbuka), Depresi pernapasan dan gagal napas, dan paralisis otot-otot paralisis.
Penatalaksanan secara medis yaitu diantaranya dengan ABC untuk
mempertahankan jalan nafas, Pemberian obat-oabatan, dapat dilakukan pembedahan,
dan immobilisasi. Sedangkan penatalaksanaan keperawatan yaitu memantau ttv, adanya
perdarahan, riwayat cidera, rehidrasi cairan, serta mencegah infeksi akibat pembedahan.
Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien trauma kepala mulai dari
pengkajian misalnya biodata, riwayat kesehatan, pengkajian primer, pengkajian
sekunder, dan pemeriksaan penunjang. Setelah itu ditentukan diagnosa keperawatan dan
dilanjut dengan intervensi keperawatan.

IV.2 Saran
Diharapkan para pembaca memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah
agar dapat membuat makalah yang baik dan benar. Terutama litelatur yang berhubungan
dengan penatalaksaan yang lebih efektif mengenai fraktur basis cranii karena di dalam
makalah ini penatalaksaannya masih banyak kekurangan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta: Salemba Medika.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Engram, B. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi 3.
Jakarta: Salemba Medika.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
EGC.
Oman, K. S. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

25

Anda mungkin juga menyukai