Anda di halaman 1dari 12

Adegan 1

(tampak seorang bocah, berpakaian lusuh compang-camping dan sedikit kotor, duduk di trotoar jalanan sambil memperhatkan segerombolan
anak sekolah yang baru pulang sekolah, seorang anak jalanan lain datang dan menghampiri)

Jamal : hei Kosim sedang apa kau?

Kosim : (melirik jamal, dan kembali memperhatikan anak sekolahan)

Jamal : oh, ingin sekolah kau?

Kosim : tidak!

Jamal : tidak?

Kosim : ya, tidak aku terlalu bodoh untuk sekolah…

Jamal : ah kau hanya pemalas bukan bodoh, (ikut memperhatikan) -lalu apa yang kau perhatikan?

Kosim : (terdiam) aku… ingin punya sepatu mal, lihat kakiku, kotor, kering dan kurus. Di pakai jalan jauh pula, alangkah enak nya jika aku
bisa menggunakan sepatu sepatu, seperti mereka-mereka itu. Tak kawatir beling, tak kawatir kotoran anjing, apalagi genangan lumpur atau
bahkan cacing air..

Jamal : kau ini aneh sim, buat apa anak pemulung seperti kau ini ingin sepatu seperti mereka, sandal capit sajah sudah cukup sim,

Kosim : tidak aku ingin sepatu, seumur hidupku, sedari mamak mati sampai sekarang ini belum pernah aku punya barang bagus miliku sendiri,
semua barang miliku kalau tidak usang, kotor, bekas pakai orang pula..

Jamal : kau ini, kadang aku tidak mengerti jalan pikiranmu.. untuk apa…

Kosim : (bangkit)

Jamal : mau kemana kau Kosim?

Kosim : meminta bapak untuk membelikan aku sepatu…

(Jamal memperhatikan Kosim berjalan pergi sambil menggelengkan kepalanya, lalu memandangi anak sekolah dan sepatu sepatu mereka)

Adegan 2

(ruangan gubuk kecil yang sederhana, hanya terdapat sebuah dipan, meja dan satu kursi usang di ruangan, bapak sedang sibuk menekuri
selembar kertas di hadapannya, Kosim memasuki ruangan)

Kosim : sayah ingin sebuah sepatu pak!

Bapak : untuk apa?

Kosim : untuk sayah pakai pak!

Bapak : mau kau pakai kemana?

Kosim : kemana saja, memulung, bermain dengan anak pemulung lain, menjual kardus dan koran, kemana saja pak..
Bapak : tidak!

Kosim : tapi sayah mau sepatu pak.

Bapak : tidak ada uangnya untuk beli sepatu

Kosim : uang selama ini Kosim memulung kemana pak?

Bapak : untuk kamu makan

Kosim : uang yang selama ini bapak cari kemana?

Bapal : untuk makan juga

Kosim : kenapa semua uang yang kita punya ujung ujung nya hanya ke perut saja?

Bapak : yang penting kan kamu bisa hidup

Kosim : (berbisik sendiri ) selama aku hidup belum pernah aku punya barang punyaku sendiri, sejak mamak mati belum pernah aku minta
apapun pada bapak, masa sekarang hanya minta di belikan sepatu saja bapak tidak kasih?

Bapak : kenapa kau begitu ingin punya sepatu?

Kosim : biar kakiku tidak sakit di pakai jalan jauh saat memulung pak!

Bapak : bagaimana kalau kau pakai sepatu bapak saja

Kosim : tidak mau pak, usang, bau, bolong, dan itu terlalu besar, lagipula, kalau sayah pakai sepatu bapak, bapak pakai apa?

Bapak : tidak pakai pun sama saja bagi bapak

Kosim : (terdiam) saya inginnya sepatu pak…

Bapak : kau ini macam macam saja, sudah sudah hentikan ocehanmu tentang sepatu dan belikan bapak nasi ke warung bu mimin,

Kosim : (berjalan gotai ke arah pintu) Kosim ingin sepatu pak. Seperti anak –anak sekolahan, seperti anak anak normal lainya, yang kalau
berpergian menggunakan sepatu. yang kalau bermain menggunakan sepatu, yang kalo sekolah…. menggunakan sepatu

Bapak : kau ingin sekolah?

Kosim : (menggeleng) sayah terlalu bodoh untuk sekolah.. (berjalan keluar)

(bapak menatap kepergian Kosim dengan sedih, lalu memandangi kertas di hadapanya, masuk ahmad)

Ahmad : ada apa lagi dengan anak kau itu ?

Bapak : (terdiam)

Ahmad : tak sengaja aku curi dengar, kenapa tak kau belikan saja si Kosim itu sepatu? Beres sudah masalahnya,

Bapak : Kosim itu bukan ingin sepatu dia ingin sekolah..


Ahmad : ah kau berpikir terlalu jauh, kau dengar sendiri, Kosim bilang dia itu mau sepatu, bukan sekolah…

Bapak : punya uang Dari mana aku buat si Kosim sekolah?

Ahmad : sekolah? Si Kosim itu minta sepatu bukan sekolah! (berpikir) Kau bisa bekerja dua putaran Dar,

Bapak : minggu ini aku sudah ambil lima putaran, lalu malam aku mengatur mobil di depan warung pecel sarman, tetap sajah tidak cukup mad

Ahmad : mau pinjam sama kodir? Atau…. kerja sama husni?

Bapak : (melirik ahmad dengan tajam) (menghela nafas) biaya untuk sekolah itu mahal sekali..

Ahmad : Dar, Dar, Kosim itu ingin sepatu bukan sekolah.

Bapak : cari uang di mana buat sekolah? apa yang harus aku lakukan? (menunduk)

Ahmad : sekolah, sekolah, sekolah, sebenarnya yang ingin sekolah itu kau apa Kosim! Orang Kosim minta sepatu, kau bersikeras mau
menyekolahkannya… kalau kau tak punya duid buat Kosim sekolah, setidaknya kau cari duid dulu lah buat Kosim beli sepatu…. pusing,
pusing, kau ini bikin aku pusing saja Dar, (beranjak pergi sambil menaruh uang di meja) ini jatah kau minggu ini…

(bapak bangkit dan memungut uang yang dicecerkan ahmad di meja, lalu melihat kesekeliling ruangan, ia tiba tiba tersenyum saat melihat
sebuah toples kaca kecil yang sudah usang, bapak memungutnya, memasukan uang itu kedalam toples, dan mengelus elus toples tersebut
dengan senang)

Adegan 3

(Kosim duduk dengan marah di pinggir trotoar, Jamal menghampiri)

Jamal : jarang kulihat kau akhir akhir ini, kemana saja kau kawan?

Kosim : bapakku itu keterlaluan, setiap siang kulihat dia duduk duduk di pasar, lalu malamnya tak pulang, subuh pulang kutanya dia hanya
menggangkat bahu dan pergi tidur tiduran di dipan, sementara aku jalan kesana kemari memulung dan mengumpulkan uang untuk makan,

Jamal : ah masa si sim?

Kosim : lalu kalau aku bertanya ke mana uang yang aku kumpulkan hasil memulung, dia hanya berkata untuk makan, untuk makan, untuk
makan, heran saja aku kenapa aku dan bapak tidak segemuk babi jika setiap uang yang kami punyai di pakai untuk makan.

Jamal : hei sim masa kau katai bapak mu babi

Kosim : ah kesal aku…. aku hanya minta sepatu, tapi bapak malah tidak peduli, dia sendiri apa kerjanya coba, hanya tidur tiduran , atau malas
malasan, uang yang aku kumpulkan mau aku belikan apapun kan itu urusan ku, malah makan saja yang dia pikirkan.

(Kosim bangkit berdiri dan pergi, jamal hanya menghela nafas)

(fade out, fade in)

(bapak sedang menghitung uang lalu dengan teliti ia memasukan nya dalam toples sambil tersenyum, Kosim yang tak sengaja melihatnya,
bersembunyi lalu menunggu bapak menyembunyikan toples dan pergi, Kosim keluar Dari tempat persembunyiannya lalu mencari dan
mengeluarkan toples tersebut, dia melihat uang bapak yang di sembunyikan lumayan besar jumlahnya, lalu dengan marah dia memecah kan
toples tersebut lalu mengambil uangnya dan berlari pergi)

Adegan 4
(Kosim sedang duduk di trotoar, sambil termanggu, masuk Jamal yang memanggil lalu menghampiri Kosim)

Jamal : sudah dua minggu tak kujumpai batang hidung mu yang jelek itu, ke mana saja kau sim?

Kosim : ke sana ke mari…

Jamal : hah banyak duid nya kau, tidak memulung bisa makan…

Kosim : yah begitulah…

Jamal : kalau kau banyak duidnya, kenapa kau tidak membeli sepatu yang kau idam idamkan itu?

Kosim : uangnya ludes entah kemana, beli makan, beli jajanan, kucoba semua yang belum pernah sayah coba, naik bajaj, naik busway, naik
kereta, makan sate, tau tau duidnya lenyap, tak ada sisanya..

Jamal : (terdiam) lalu bagai mana dengan sepatu yang kau idam kan?

Kosim : ( mengangkat bahu)

Jamal : dapat duid Dari mana kau sebanyak itu sim?

Kosim : duid…. ku sajah…

Jamal : lalu sekarang apa yang mau kau kerjakan?

Kosim : (terdiam)

Jamal : (berdiri) pulang sajah kalo begitu sim, Dari pada kau mengelandang di jalanan….

(Kosim bangkit dan mengikuti jamal pulang)

Adegan 5

(Kosim pulang ke rumahnya yang tampak berantakan, lalu dengan pasrah dia duduk di dipan dan menunggu bapaknya pulang, setelah cukup
lama menunggu, bapaknya tidak kunjung pulang, dia pun keluar rumah dan mencari bapaknya, saat melewati sepasang pemulung tua tak
sengaja dia mendengar pembicaraan mereka, Kosim pun berjongkok berpura pura membereskan tumpukan kardus di kakinya sambil
menguping)

Udin : sial benar nasib si Dar itu.

Ikin : benar benar, bagai jatuh di timpa atap

Udin : belum lama sejak rumahnya di bobol maling eh anak nya ilang

Ikin : kalo di pikir sih, itu yang maling pasti anaknya..

Udin : semua orang bilang begitu, tapi Dar sendiri bersikeras kalo anak nya si Kosim tidak mungkin mencuri uang,

Ikin : yah namanya juga anak anak, pasti ada saat nya mereka gelap mata.

Udin : kasian bener si Dar itu yah,

Ikin : kau percaya, dia mencuri?


Udin : tak tau aku, tak kenal aku sama anaknya hanya dengar nama dan ceritanya sajah.

Ikin : bukan maksudku, apa kau percaya si Dar mencuri?

Udin : ah, kalo gelap mata kita tak tau isi hati orang..

Ikin : ah, ada benarnya, ada benarnya, sudah seminggu dia mendekam,

Udin : 10 hari, aku tau pasti, sebab aku ada di sana waktu Dar dipukuli warga kampung masjid, biru biru lah wajahnya, rusak

Ikin : tapi tak percaya aku, masa si Dar sampai mencuri, dia itu jujur dan rajin, sering kulihat dia mengangkut barang di pasar, atau menyapu
jalanan sampai semalaman, padahal upahnya itu kecil sekali..

Udin : kudengar Dari ahmad, Dar itu pemimpi

Ikin : apa maksudmu?

Udin : dia bekerja setengah mampus, buat mimpinya menyekolahkan si Kosim.

Ikin : ah bodoh, orang miskin seperti kita buat apa sekolah?

(udin dan ikin mematikan rokok dan berjalan pergi)

Udin : yah si bodoh pemimpi, tapi yang lebih bodoh adalah dia tertangkap, dipukuli, lalu di bui Cuma karena mencuri..

Ikin : yah Cuma karena mencuri sepatu.

(Kosim berdiri dengan terkejut)

Adegan 6

(Kosim berdiri di luar di luar tembok tahanan bapaknya)

Kosim : pak, maaf kan Kosim pak, Kosim yang bersalah… maaf kan Kosim, kenapa bapak tidak mau bertemu Kosim? Kosim tidak peduli
bapak mencuri sepatu, Kosim yang salah pak, Kosim tidak butuh sepatu atau sekolah pak, Kosim Cuma butuh bapak, ayo pak, bapak pulang…
Kosim tidak mau bapak tinggal sendirian pak, Kosim tidak punya siapa-siapa lagi selain bapak, maafin Kosim ambil tabungan bapak buat
sekolahin Kosim, maafin Kosim udah buang buang uang bapak buat sampah pak, maafin Kosim udah kabur pak, Kosim tidak butuh sepatunya
pak, biarpun bapak mencuri sepatu pun Kosim ingin tetep bapak pulang pak, Kosim pasti tunggu bapak…

(bapak hanya diam sambil menangis, dan memalingkan wajahnya dari Kosim, dengan gontai Kosim berjalan pulang dan bertemu dengan
Ahmad di jalan)

Ahmad : pulang juga kau sim?

Kosim : iya, maafkan sayah kang,

Ahmad : ya, habis melihat bapakmu?

Kosim : iya, tapi bapak tidak mau bertemu sayah, apa lagi bicara dengan sayah, mungkin bapak malu bertemu sayah karena bapak mencuri
sepatu demi sayah, harusnya bapak tidak usah malu, ini sayah yang salah…

Ahmad : Kosim, Kosim… Dar itu tidak malu karena mencuri sepatu! Dar itu sedih karena kau anak nya sendiri pun percaya Dar mencuri
sepatu, Dar tidak mencuri sepatu, siang itu dia beli sepatu bekas yang di jual murah di pasar loak, hadiah buat mu kalau kau pulang katanya,
dapat uang Dari jual semua barang miliknya, bahkan kubantu Dar mencari barang yang bisa di jual di rumah, lewat kampung mesjid Dar
pulang, ada yang berteriak kehilangan sepatu di masjid, semua menuduh Dar, karena dia menenteng sepatu, tak ada yang percaya dia tidak
mencurinya, pemulung seperti dia mana punya uang buat beli sepatu, dipukuli dan di gelandang ke bui bagai bangsat, sepatunya di sita petugas,
barang bukti kata mereka, tak ada yang percaya aku atau bapak mu bahwa Dar tidak mencuri sepatu itu, kita Cuma pemulung… pemulung
tidak mungkin punya sepatu katanya.

(Kosim terjatuh berlutut dan menangis, sementara ahmad, hanya bisa menatap penjara dengan sedih, lalu ahmad mengaduk aduk isi karungnya
dan mengeluarkan sepatu usang)

Ahmad : ini, Dar bilang untuk sementara sampai dia keluar Dari bui tahun depan pakai dulu sepatu usang yang sering dia pakai buat
memulung, nanti kalau dia sudah keluar dia akan carikan uang lagi, dan nanti baru dia akan belikan kamu sepatu yang baru.

Kosim : sayah tidak butuh sepatu, pemulung seperti sayah tidak butuh sepatu, pemulung seperti sayah… Cuma butuh bapak sayah. (memeluk
sepatu bapaknya dengan erat)

_Selesai_
PERNIKAHANKU KANDAS GARA-GARA WETON

“Alright everyone, that’s all for today, now you can prepare to go home. Don’t forget to recite surah Annas at home. Next week, I don’t want to
hear someone says, “I forget”, OK?” suruhku dengan senyuman di bibir pada santriwan dan santriwati cilik yang ganteng-ganteng dan cantik-
cantik itu.

“Ok Ustadz…” jawab para santri cilik serempak, dapat kulihat kegembiraan di wajah
mereka. Walau mereka semangat belajar membaca Al-Qur’an, tetap saja saat selesai
belajar adalah saat yang menyenangkan.
“Ustadz say cheese first…” teriak Kevin, santriwan paling cerdas yang pernah aku temui
di mushola mungil di St. Lucia, Brisbane ini, sambil bergaya photographer, mengarahkan
kamera kertas buatanku, dan click, senyuman bahagiapun terpancar di wajahnya yang
lucu.
“Kevin… Take me a picture” teriak Jennifer sambil bergaya ala foto model terkenal.
“Wait…” teriak Sarah sambil bergabung dengan Jennifer bergaya foto model.
“Smile…” Kevin kembali bergaya photographer professional, dan click, kamera kertas
itupun berbunyi kembali.
“Thank you…” ucap Jennifer dan Sarah bersamaan.
“Ok that’s enough brothers and sisters, now please back to your seat and pack your
belongings. We’ll start to close the class now.” suruhku lagi sambil memberikan isyarat
pada Zahra, guru ngaji wanita asal Iran untuk segera membantu anak-anak bersiap
pulang. Zahra pun menuntun anak-anak untuk kembali duduk rapi di tempatnya.
“Ok, are you ready to go home?” tanyaku lagi.
“Yes Ustadz…” Jawab mereka serempak.
“Ok so let’s say… hamdallah…”
“Alhamdulillah…”
“OK, see you next week, Assalaamu’alaikum warrahmatullahi wabarokaatuh…” Aku dan
Zahra menutup pertemuan minggu ini.
“Waalaikumussalaam warrohmatullahi wabarokaatuh…” santriwan santriwati cilik
itupun segera berhamburan menuju ibu mereka yang dengan sabar menunggu di teras
mushola. Aku dan Zahra tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah laku
anak-anak yang memang lucu dan menggemaskan. Kami segera ikut keluar menemui
ibu-ibu anak-anak lucu itu.
“Makasih ya Mas Iwan, thanks Zahra, see you next week…” sapa mbak Emma, ibunya
Jennifer sambil membuka pintu mobilnya.
“Sama-sama mbak…” jawabku diikuti lambaian tangan Zahra.
“Mas Iwan, jangan lupa dong… anak-anak dikasih pe-er” pinta Mbak Rini, ibunya
Kevin.
“Udah kok Mbak, we asked the students to recite Annas, right?” jawabku sambil
meminta pembenaran dari Zahra.
“Yes we did mum, don’t worry, we always love to make the students keep in busy.”
Tambah Zahra lagi, sambil tertawa usil.
“Alright, thank you very much then, see you next week” Jawab Mbak Rini, sambil segera
menuntun Kevin menuju mobilnya yang diparkir agak jauh dari halaman Mushola. Ibu-
ibu yang lain pun mengikuti mereka kembali ke mobil masing-masing dan segera melaju
ke tujuan hari minggu mereka masing-masing. Setelah merapikan peralatan mengaji,
menghapus white board, dan mengunci pintu mushola, kami pun segera mengucap salam
dan berjalan pulang.
Itulah kegiatanku di setiap Minggu pagi. Menjadi guru ngaji. Sejak Mbak Hesti, guru
ngaji sebelumnya lulus dan pulang ke Indonesia setahun yang lalu, aku menggantikan
mengajari anak-anak lucu itu mengaji. Ada sepuluh santri yang rajin datang belajar setiap
minggunya. Mereka itu adalah sebagian besar anak-anak wanita Indonesia yang menikah
dengan warga negara Australia dan menetap di negri Kangguru itu. Dua santri diantara
mereka adalah anak mahasiswa dari Pakistan, dan satu anak dari Iran. Umur mereka
cukup beragam, dari murid TK 5 tahunan hingga anak SD umur 8 tahunan. Sebagian
mereka tinggal di suburb sekitar kota Brisbane seperti St. Lucia tempat aku tinggal,
Indooroopilly, Taringga, Toowong, bahkan ada yang tinggal di Forrest Lake yang
lumayan jauh dari St. Lucia. Walaupun ayah mereka masih dipertanyakan praktek
keislamannya tapi ibu-ibu dari Indonesia itu menginginkan anaknya mengenal dan
memeluk agama Islam.
Sebenarnya ada empat guru mengaji di mushola itu. Mas Alif, Zahra, Resti, dan aku
sendiri. Karena Mas Alif dan Resti sudah memasuki tahun akhir perkuliahannya, mereka
sangat sibuk dan jarang mempunyai waktu untuk mengajar. Beberapa bulan terakhir, Aku
dan Zahra menjadi rutin mengajar setiap Minggu.
Mushola yang kami gunakan sebenarnya sebuah rumah yang disewa untuk kemudian
dijadikan pusat kegiatan keislaman mahasiswa Indonesia di St. Lucia, walaupun ketika
Ramadhan, mahasiswa dari negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Negara Arab
melakukan shalat tarawih bersama. Di mushola ini, kami mengadakan pengajian rutin
setiap jum’at malam, selain pengajian bulanan yang biasanya kami lakukan di park-park
dengan peserta yang lebih luas, tidak hanya dari sekitar St. Lucia tapi juga dari seluruh
wilayah Brisbane dan sekitarnya. Letak Mushola itu sendiri sangat dekat denga kampus
dimana aku menimba ilmu.
Aku berjalan pulang menyusuri Hawken Drive ke arah kampus melalui Research Road.
Cuaca hari ini cukup bersahabat. Bulan September di sebagian Australia sudah mulai
musim semi, daun-daun terlihat hijau, dan udara terasa sejuk diusap semilir angin pelan.
Hari Minggu jalanan kampus terlihat begitu lengang. Sampai di Cooper Road aku belok
kiri ke arah the Great Court, sengaja aku pilih jalur jalan itu sekalian melihat suasana
kampus di hari minggu. Masuk The Great Court kulihat rumputan tumbuh subur, hijau,
dan terawat. Di seberang sebelah kiri kulihat sepasang pengantin tengah diambil
gambarnya oleh seorang photographer. Dari perlengkapan yang dipakai dapat
kuperkirakan photographer itu adalah seorang professional. Kulihat pintu the Forgan
Smith Building terbuka, akupun masuk dan keluar lagi disisi yang lain. Lurus ku telusuri
University Drive. Tiba-tiba ujung mataku melihat sebuah pohon dengan bunga ungu yang
sangat lebat. Jacaranda, begitu orang menyebutnya. Sebagian bunganya berguguran
membentuk hamparan ungu di atas rumput yang hijau dan kursi yang berada di
bawahnya. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin duduk di kursi yang terlihat kesepian tanpa
teman itu.
Kududuk dengan lunglai, entah kenapa tiba-tiba aku merasa tidak bersemangat. Pikiranku
melayang ke masa setahun kemarin. Kuingat waktu itu di hari Rabu saat yang sama, di
musim yang sama, aku pernah duduk di kursi ini, tapi saat itu tidak sendiri. Ada Syifa
yang menemani. Setahun kemarin di kursi ini kami belajar bersama sambil melihat
mahasiswa lain yang lalu lalang. Ada yang tidur di atas rumput dengan nyenyaknya, ada
pula yang asyik menyantap sandwich bersama. Syifa adalah teman dekatku, bisa dibilang
teman spesialku. Walaupun berbeda studi yang diambil, kami sering belajar bersama.
Syifa adalah mahasiswi dari Jakarta yang sudah empat tahun menimba ilmu di program
undergraduate di kampus ini. Sementara aku waktu itu baru sembilan bulan saja berada di
negeri kangguru ini. Berbeda dengan aku yang kuliah S2 dengan beasiswa, Syifa kuliah
dengan biaya orang tuanya yang seorang pejabat tinggi di Jakarta.
Juli kemarin, Syifa wisuda. Kedua orang tuanya hadir bersama satu adik laki-lakinya.
Saat itulah aku dikenalkan kepada mereka. Ayah Syifa seorang Jawa keturunan keraton.
Dari sorot mata dan sikapnya kepadaku, sepertinya ayah Syifa menunjukan aura tidak
berkenannya beliau dengan kedekatannya Syifa dan aku. Satu yang sempat membuat aku
terheran heran ketika ayah Syifa menanyakan hari kelahiranku. Keesokan harinya ayah
Syifa benar-benar menunjukan kebenciannya padaku. Entah apa yang terjadi. Sampai
mereka pulang ke tanah air, aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Hingga seminggu setelah kepulangan Syifa ke tanah air, aku mendapatkan email yang
sangat mengejutkan. Syifa menjelaskan kalau ayahnya meminta anak perempuan satu-
satunya itu memutuskan untuk tidak pernah menghubungiku lagi. Alasannya sangat aneh.
Kata Syifa setelah dihitung hari kelahiranku sangat tidak cocok dengan hari kelahiran
Syifa. Menurut ayahnya, weton kami tidak bagus. Menurut perhitungan beliau weton
kami adalah weton yang menurut kepercayaan orang Jawa kuno tidak akan membawa
kebahagiaan. Begitulah sejak itu tak pernah kudapatkan kabar dari Syifa lagi hingga
seminggu kemarin aku mendapat kabar dari Resti kalau dia mendapat email undangan
dari Syifa yang akan segera menikah. Dan hari ini…, adalah hari pernikahannya.
Tak terasa ada bulir bening menggantung di sudut mataku. Dadaku terasa sesak, dan
seluruh tubuhku terasa lunglai. Astagfirullah al’adzim… ucapku lirih. Mengapa aku harus
menangisi kehendak-Mu ya Allah. Bukankah setiap orang telah terlahir dengan jodohnya
masing-masing. Dan kenyataan ini menunjukan bahwa Syifa memang bukan jodohku.
Harusnya aku mendoakan, semoga Syifa mendapatkan kebahagiaan dengan pasangan
hidupnya. Seharusnya aku mendoakan agar perkawinan mereka adalah perkawinan yang
akan melahirkan generasi-generasi yang shaleh dan shalehah. Dan doa itulah sebenarnya
yang harus aku berikan sebagai tanda kasih sayangku pada teman dekatku itu. Semoga
Allah memberi berkah kepadamu baik dalam kondisi senang dan susah dan
mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan. Kuusap buliran bening yang hampir
jatuh di pipiku.
“Assalaamu’alikum…” tiba-tiba kudengar suara salam dari arah belakang tubuhku. Suara
yang sangat tidak asing bagiku. Suara yang selalu hadir ketika aku berbahagia bercanda
dengan santri-santri cilikku.
“Wa’alakumussalaam warrohmatullahi wabarrokaatuh, Zahra…? What are you doing
here?” tanyaku keheranan.
“What are you doing here…?” Zahra malah kembali bertanya.
“I asked you first, were you following me?” Tanyaku sedikit menuduh.
“No… of course not, I just..” Zahra seperti kehabisan kata, kulihat pipinya yang putih
sedikit memerah.
“Yes you were, you were following me.” Tuduhku lagi.
“Don’t be silly, I came here to study under this tree. This is my favorite.” Sanggahnya
sedikit malu.
“So… this is your tree too?” tanyaku lagi.
“That’s right… under this purple tree, I feel very comfortable. It’s inspiring.” Jelas Zahra
semangat.
“Look! The flowers are falling on you, OZ people say that’s a bad luck for your exam.”
Terangku sedikit menggoda.
“Gosh… do you believe that? That’s superstitious.” Sanggahnya kemudian.
“Of course I don’t believe that” jawabku sambil tersenyum.
Tiba-tiba keluar isengku, ku tangkap bunga jacaranda yang berjatuhan. Setiap jatuh
ditubuhku satu, kutangkap satu lagi.
“Why are you doing that?” Zahra bertanya keheranan.
“OZ people say if Jacaranda flower fall on your body, it will give you bad luck in your
exam, and to neutralize you have to catch one.” Jelasku iseng.
“So you do believe that?” Tanya Zahra keheranan.
“No, I don’t.” sanggahku lagi sambil tetap menangkap satu bunga yang jatuh setiap ada
bunga yang jatuh di tubuhku.
“Then why you keep doing that?”
“It’s fun…” jawabku sambil tertawa riang.
“Is it?” tanya Zahra sambil mulai mengikutiku.
“You try…”
“It is fun…” teriak Zahra sambil tertawa dan menangkap satu bunga yang jatuh setiap ada
bunga yang jatuh di tubuhnya. Beberapa orang yang lewat turut tertawa kecil sepertinya
mereka mengerti cerita iseng tentang Jacaranda ungu nan indah itu.
Akhirnya kami terlena dengan pekerjaan iseng yang sungguh aku sama sekali tidak
percaya pada tahayul Jacaranda itu, seperti aku tidak percaya pada tahayul weton. Sesaat
sempat sesuatu melintas di pikiranku… Apakah sebenarnya Zahra… tapi… Sstttt… it’s
too early to come to a conclusion. Now it’s the time to forget the past and start the new
beginning. Di sini… di bawah taburan ungu Jacaranda. ***
Menurut Ustadz Ammi Nur Baits, S.T. (Dewan Pembina Konsultasi Syariah):
Mempercayai weton sebagai sebab kesialan atau keberuntungan termasuk bentuk syirik
kecil karena keyakinan terhadap suatu “sebab” padahal dia bukan “sebab” adalah
bentuk tiyarah, dan tiyarah itu dihukumi sebagai syirik kecil. Terutama, jika hal ini
dijadikan alasan untuk menunda suatu rencana.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak boleh ada tiyarah, dan saya suka optimisme!” Beliau ditanya, “Apa
maksud ‘optimisme’?” Beliau menjawab, “Kalimat yang baik.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
/phietri.blogspot.com)

Aku benci dengan perpisahan. Ya.. aku benci.. bahkan pernah ku berharap lebih baik kita
tidak pernah bertemu di dunia ini jika pada akhirnya kita harus terpisahkan juga.
Sungguh, saat perpisahan adalah hal yang sangat mencubit hati.

Aku kini termenung sendiri di depan jendela ini. Kadang angin meniup dengan pelan
jilbab yang kukenakan sehingga kadang aku harus menutup mata. Hari minggu seperti ini
biasanya teman-teman mengadakan acara masak bersama. Mungkin hanya masakan
sederhana, sekedar tempe goreng, sayur asem dan lauk-pauk yang seadanya. Tapi
disitulah letak kenikmatannya, bukan pada rasa makanan yang telah tersajikan. Tapi pada
keceriaan yang tertampakkan saat membuatnya.
Aku rindu dengan masakan kalian..

Masih lekat betul kenangan ketika kita pertama kali bertemu disini. Kita yang baru saja
lulus SMA itu disibukkan dengan orientasi kampus yang seperti biasanya ‘aneh-aneh”
dan terkesan menunjukkan kesenioritasan. Hal yang sia-sia menurutku. Hehe.. Aku ingat
Cin.. pada hari pertama orientasi, kita semua mendapatkan “hadiah” dari kakak kelas
akibat terlambat. Maklumlah, karena kemarin malam kita semua sibuk berkenalan hingga
melupakan waktu untuk memejamkan mata. Tapi selepas di kos, kita semua tertawa
bersama akibat pengalaman yang cukup menegangkan itu.

Aku juga masih ingat dengan janji kita untuk menjadi mahasiswa yang aktif dalam
berorganisasi di kampus. Kita sering bersama-sama mendaftar open recruitment untuk
menjadi panitia. Hingga semua teman-teman di kampus mengetahui eksistensi
gerombolan kita. Hoho..

Tahukah kau cin? Hal yang paling menyenangkan sepanjang bersama kalian adalah
ketika bulan puasa. Kita berjalan ke masjid bersama-sama. Saling membangunkan untuk
sholat malam. Sahur bersama, hingga kadang lupa sahur bersama. Haha.. Sungguh
cinta… aku baru merasakan hal tersebut disini. Aku tidak pernah menemukan momen
seperti itu dirumah. Karena di rumah tidak pernah ada ketenangan, selalu pertengkaran
dan pertengkaran menghiasi kehidupan keluargaku.

Aku rindu cinta.. Rindu mengaji bersama-sama lagi.. rindu memasak bersama-sama lagi..
Rindu begadang sebelum ujian lagi… Aku tidak pernah merasakan rindu kepada orang
lain seperti ini..

Yang tersisa kini hanyalah foto kita bersama… kalian nampak anggun dalam balutan
jilbab panjang dan rok kalian. Setahun yang lalu kita berpisah. Aku beruntung bisa
bekerja di kampus kita dan tetap tinggal di kos ini. Sedangkan kalian kini telah
mendapatkan penempatan kerja di daerahnya masing masing

Di kos ini kini hanya tinggal aku dan beberapa adik kelas yang baru. Mereka anak-anak
yang lucu dan menggemaskan cinta. Tapi… itu tidak akan menggantikan kedudukan
kalian.. Kalian adalah sahabat terbaikku. Miss u cin
***

Angin..

Kutitipkan doa penuh cinta kepada mereka

Kutitipkan salam rindu penuh tulus dari hati

Semoga ini sampai kepada mereka

Anda mungkin juga menyukai