LEARNING OBJECTIVES
2
BAB VII
BERBAGI INFORMASI
Jenis
Hasil Nilai normal Keterangan
pemeriksaan
Compos mentis Somolen, Terjadi gangguan
GCS E3V3M4
(E4V6M5) kesadaran.
Hipertensi, kemungkinan terjadi
Tekanan
240/140 mmHG 120/80 mmHG krisis hipertensi (hipertensi
Darah
emergensi dan hipertensi urgensi).
Febris (38-39°C). , kemungkinan
Suhu 39,9°C 36 – 37,5°C
terjadi infeksi.
Respiration Takipnea, terjadi gangguan
40x /M 12 – 24 X/M
rate respirasi.
Takikardi, Kemungkinan terjadi
120x /M dan
Nadi 60 – 100x /M hangguan sistem cardiovascular
lemah
dan respirasi.
Anemia, jumlah Hb rendah dalam
tubuh, menandakan adanya
L :14 -18 g/dl
Hb 10,99 g/dl gangguan sistem organ yang
P :12 - 16 g/dl
berhubungan dengan sistem
peredaran darah.
Leukosit 19.200/UL 4.000 - 10.000/UL Leukositosis
Trombosit 173.000/UL 150.000 -450.000/UL Normal
Hiperglikemia, peningkatan gula
GDS 456 mg/dl. 110 – 200 mg/dl.
darah tubuh.
Ureaum 40 mg/dl 10 – 10 mg/dl Normal
L : 0,6 – 1,3 mg/dl Meningkat, gangguan fungsi
Kreatinin 1,5 mg/dl
P : 0,5 – 0,9 mg/dl ginjal.
3,5–5,5 mEq/L Turun, gangguan osmolaritas
Kalium 3,3 mEq/L
mmol/L elektrolit tubuh.
Asidosis metabolik, terindikasi
Nafas Kusmaul KAD karena menederita
hiperglikemia.
3
1) Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120
mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan
oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan
pengobatan akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau kematian.
TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai
beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit
atau (ICU).
2) Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan
dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran.
TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman
memerlukan terapi parenteral. (tabel II).
c. Istilah
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara
lain :
1) Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD
> 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang
efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2) Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg
disertai dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat
berlanjut ke fase maligna.
3) Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD
Diastolik > 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV
disertai papiledema, peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang
cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila
penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya
pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun
sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang sebelumnya
mempunyai TD normal.
4) Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai
dengan keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan
keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.
4
d. Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan adalah pengobatan pada keadaan
darurat hipertensi ialah menurunkan tekanan darah secepat dan seaman
mungkin yang disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Pengobatan
biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan pemantauan yang
ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari keadaan yang
merugikan atau munculnya masalah baru. Obat yang ideal untuk keadaan
ini adalah obat yang mempunyai sifat bekerja cepat, mempunyai jangka
waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan darah dengan cara yang
dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang tidak tergantung
kepada sikap tubuh dan efek samping minimal.
1) Diazoxide
Adalah derivat benzotiadiazin, obat ini menurunkan tekanan
darah secara kuat dan cepat dengan mempengaruhi secara langsung
pada otot polos arterial, sehingga terjadi penurunan tekanan perifer
tanpa mengurangi curah jantung atau aliran darah ke ginjal. Tetapi
menurut beberapa penulis, diazoxide juga menaikkan isi sekuncup,
isi semenit dan denyut jantung permenit, sehingga tidak dianjurkan
pada krisis hipertensi yang disertai aorta diseksi atau kelainan
coroner. Efek samping dari diazoxide adalah : hipoglikemi,
hiperurikemi dan dapat menembus plasenta sehingga
mempengaruhi metabolisme janin sehingga tidak
direkomendasikan untuk krisis hipertensi pada kasus eklamsia.
Diazoxide diberikan dengan intravena 75-300 mg selama 10-
30 detik, penurunan tekanan darah akan tampak dalam waktu 1-2
menit, pengaruh puncak dicapai antara 2-3 menit, dan bertahan 4-
12 jam. Untuk penderita dengan perdaraham otak, dianjurkan
pemberian intra vena sebesar 500-1.000 mg. Pemberian dapat
diulang setiap 10-15 menit sampai didapat tekanan diastolik 100-
105 mmHg.
5
2) Sodium Nitropusid
Sodium nitropusid merupakan vasodilator pada arteri dan
vena. Obat ini dapat menurunkan isi sekuncup dan isi semenit
jantung. Untuk menghindari hipotensi, pengawasan ketat harus
dilakukan pada pemberian obat ini. Dosis : 0,3-0,6 ug/kgBB/menit,
dinaikkan pelan-pelan sampai tercapai penurunan tekanan darah
yang cukup. Penurunan tekanan darah terjadi dalam beberapa detik
dan puncak tercapai dalam 1-2 menit, hanya berlangsung 3-5
menit. Efek samping : takikardi dan sakit kepala.
3) Trimetapan (Artonad)
Merupakan penghambat ganglion, bekerja dengan cara
menurunkan isi sekuncup jantung dan isi semenit jantung. Obat ini
baik digunakan pada kasus krisis hipertensi dengan payah jantung
atau diseksi aorta anerisma. Dosis : 500 mg/500 cc Dextrosa 5%
dengan kecepatan 0,25 mg%/menit, kemudian dinaikkan perlahan
sampai dicapai penurunan tekanan yang dikehendaki, yaitu tekanan
diastolik 110 mmHg dalam waktu 1 jam. Jangka waktu kerja 5-15
menit. Infus diberikan dengan posisi duduk, untuk menghindari
efek hipotensi yang berlebihan.
4) Hidralazin (Apresolin)
Obat ini bekerja langsung pada otot polos arterial dan
menimbulkan vasodilatasi perifer, tanpa menurunkan aliran darah
ke ginjal. Tetapi hidralazin menaikkan denyut jantung permenit, isi
sekuncup dan isi semenit jantung. Hidralazin direkomendasikan
untuk diberikan pada toksemia gravidarum dan krisis hipertensi
dengan ensefalopati Dosis : 5-20 mg diberikan intramuskular setiap
2-4 jam, atau ecara intra vena (1 ampul dari 20 mg/ml dilarutkan
dalam 300 cc NaCl 0,9%) dengan kecepatan 10-60 tetes/menit.
Penurunan tekanan darah terjadi dalam 10-20 menit, berlangsung
sampai 1 jam. Apabila selama 30 menit tidak berhasil, dapat
diulang tiap 3-6 jam.
6
5) Klonidin (Catapres)
Merupakan derivat imidazolin, yang merangsang reseptor
alfa adrenergik pada batang otak, mengakibatkan penurunan
discharge symphatis, sehingga menurunkan tekanan vaskular
sistemik, juga menekan pengeluaran renin oleh ginjal. Klonidin
diberikan intravena 1 ampul (150 ug) diencerkan dalam 10 ml NaCl
0,9% dalam waktu 10 menit. Efek penurunan tekanan terjadi dalam
waktu 5-10 menit. Pemberian intramuskular, 1-2 ampul dan dulang
dalam 3-4 jam, terjadi penurunan tekanan dalam waktu 10-15
menit. Pemberian IM dinilai lebih aman dan terkontrol, tetapi
kurang dalam kekuatan dan kecepatan dibanding dengan
Diazoxide, Sodium Nitroprusid dan Trimetapan. Efek samping
yang muncul biasanya adalah mulut kering dan kantuk yang hebat.
Obat ini direkomendasikan dipakai untuk krisis hipertensi dengan
eklamsia dan aorta anerisma.
6) Kaptopril (Kapoten)
Obat ini cukup memberikan harapan karena menaikkan
kecepatan filtrasi glomeruli dengan menhambat pembentukan vaso
konstriktor yang sangat kuat (angiotensin II) dan juga menghambat
perusakan vasodilator yang kuat (bradikinin). Dosis awal 12,5 mg,
dinaikkan pelan-pelan sampai dosis optimal. Diuretik dapat
memberikan efek potensiasi.
7) Pentolamin dan Penoxi Benzamin
Kedua obat merupakan penghambat alfa adrenergik,
diberikan terutama untuk feokromositoma atau karena hambatan
MAO (mono amino oksidase). Dosis : 5-15 mg IV, akan
menurunkan tekanan darah dalam 10-15 menit.
8) Antagonis Kalsium (Nifedipin)
Antagonis kalsium (Nifedipin, Diltiazem dan Verapamil)
bekerja dengan menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel
dan merupakan vaso dilatator kuat yang mempunyai daya aksi
jangka panjang. Nifedipin mempunyai harapan dalam pengobatan
7
darurat dengan cara menurunkan tahanan perifer dengan
melemaskan otot polos pembuluh darah, tidak menimbulkan
depresi pada miokard dan tidak mempunyai sifat antiaritmia. Dosis
: 1-2 tablet (10-20mg) dosis tunggal. Pemberian sublingual dapat
memberikan efek yang lebih cepat, yaitu beraksi dalam 3 menit
setelah pemberian. Apabila penderita tidak sadar dapat diberikan
lewat pipa lambung (Sya’bani dan Sucitro, 1982)
b. Etiologi
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat
dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting
dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Tidak adanya
insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat
disebabkan oleh :
(Samijean Nordmark,2008)
Infeksi : meliputi 20 –
55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh Infeksi.
Infeksinya dapat berupa : Pneumonia, Infeksi traktus urinarius, Abses,
Sepsis, Lain-lain.
Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler, Infark miokard akut,
Emboli paru, Thrombosis V.Mesenterika
Trauma, luka bakar, hematom subdural.
Heat stroke
Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut, Kholesistitis akut,
Obstruksi intestinal
Obat-obatan : Diuretika, Steroid, Lain-lain
9
alahan psikologi
yang diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar 20% da
ri seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis.
Faktor yang bisa mendorong penghen tian suntikan insulin pada
pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat badan pada k
eadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakut
an akan jatuh dalam hypoglikem ia, pemberontakan terhadap
otoritas, dan stres akibat penyakit kronis (Gaglia dkk, 2004)
Gejala klinis biasanya berlangsung cepat dalam waktu kurang dari 24 jam.
Poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan yang nyata biasanya terjadi
beberapa hari menjelang KAD, dan sering disertai mual-muntah dan nyeri
perut. Nyeri perut sering disalah-artikan sebagai ‘akut abdomen’. Asidosis
metabolik diduga menjadi penyebab utama gejala nyeri abdomen, gejala ini
akan menghilang dengan sendirinya setelah asidosisnya teratasi.
10
11
E. Patofisiologi
13
batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi
hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah
glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air
maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria.
Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang
disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan
merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus
sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.
F. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan :
Oksigenasi / ventilasi
14
Jalan napas dan pernapasan tetap prioritas utama. Jika pasien dengan
kesadaran / koma (GCS <8) mempertimbangkan intubasi dan ventilasi.
Pada pasien tsb sementara saluran napas dapat dipertahankan oleh
penyisipan Guedel’s saluran napas. Pasang oksigen melalui masker
Hudson atau non-rebreather masker jika ditunjukkan. Masukkan tabung
nasogastrik dan biarkan drainase jika pasien muntah atau jika pasien
telah muntah berulang. Airway, pernafasan dan tingkat kesadaran harus
dimonitor di semua treatment DKA.
1. Circulation
Penggantian cairan
4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, Rasa
nyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISSK baru/berulang,
Nyeri tekan abdomen, Diare
Tanda :Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi
oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), Urin berkabut, bau
busuk (infeksi), Abdomen keras, adanya asites, Bising usus lemah dan
menurun, hiperaktif (diare)
5. Nutrisi/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, Mual/muntah, Tidak mematuhi diet,
peningkattan masukan glukosa/karbohidrat, Penurunan berat
badan lebih dari beberapa hari/minggu, Haus, penggunaan diuretik
(Thiazid)
16
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, Kekakuan/distensi
abdomen, muntah, Pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan
metabolik dengan peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau
buah (napas aseton)
6. Neurosensori
8. Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa sputum
purulen (tergantung adanya infeksi/tidak)
Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen,
Frekuensi pernapasanmeningkat
9. Keamanan
10. Seksualitas
17
11. Penyuluhan/pembelajaran
18
menjadi tidak sadar dan meninggal bila tidak segera ditanganin (Price,
2006).
b. Faktor Pencetus
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada
keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini
antara lain:
1) infeksi (pneumonia, infeksi saluran kencing, sepsis)
2) penyakit vaskular akut (penyakit sere-brovaskular, infark miokard
akut, emboli paru)
3) trauma
4) luka bakar
5) hematom subdural
6) kelainan gastrointestinal (pankreatitis akut, kholesistitis akut,
obstruksi intestinal)
7) obat-obatan (diure-tika, steroid, agen antipsikotik atipikal, glukagon,
interferon, agen simpatomimetik seperti albuterol, dopamin,
dobutamin, dan terbutalin).
c. Patofisiologi
Status hiperosmolar hiperglikemik terjadi sebagai akibat dari
kombinasi penurunan fungsi insulin dan peningkatan kontra regulatori
hormon, seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan
yang ditandai dengan sindrom SHH yaitu dehidrasi, hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Hal ini menyebabkan
peningkatan glukoneogenesis dihati dan produksi insulin di ginjal serta
gangguan penggunaan insu-lin pada jaringan perifer, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan hiperglikemi dan hiperosmolar pada ruang
ekstraseluler tanpa ketosis karena pada SHH insulin plasma tidak adekuat
untuk memfasilitasi penggunaan glukosa oleh jaringan akan tetapi sangat
adekuat untuk mencegah lipolisis dan ketogenesis lewat mekanisme yang
belum diketahui. Status hiperosmolar hiperglikemik ditandai dengan
defisiensi konsentrasi insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk
menghambat terjadinya lipolisis dan ketogenesis. (Soewondo, 2009)
19
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa
minggu. Pasien dapat mengalami poliuria, polidipsia, dan penurunan
kesadaran yang progresif akibat osmolalitas darah yang sangat tinggi. Nyeri
perut juga jarang dialami oleh pasien SHH. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan dehidrasi sangat berat, bau nafas keton tidak ada, status mental
sampai koma. (Soewondo, 2009)
e. Penegakan Diagnosis
Hasil laboratorium yang dapat ditemukan adalah glukosa plasma
lebih dari 600 mg/dL, pH arteri lebih dari 7,3, bikarbonat serum lebih dari
15 mEq/L, keton urin derajat ringan, keton serum derajat ringan, osmolalitas
serum lebih dari 320 mOsm/ kg.
f. Penatalaksanaan
Tujuan dari terapi pada sindrom hyperosmolar hiperglikemi adalah
sebagai berikut:
1) penggantian volume sirkulasi dan perfusi jaringan
Pasien dengan SHH memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan
yang diperlukan 100 ml/kgBB. Terapi cairan awal bertujuan
mencukupi volume intravaskular dan restorasi perfusi ginjal. Terapi
cairan saja dapat menurunkan kadar glukosa darah. Salin normal
(NaCl 0,9%) dimasukkan secara intravena dengan kecepatan 500
sampai dengan 1000 ml/jam selama dua jam pertama.
2) penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan osmolalitas
plasma
Pemberian insulin dengan dosis yang kecil dapat mengurangi risiko
terjadinya hipoglikemia dan hipokalemia. Fungsi insulin adalah
untuk meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer,
menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga dapat menurunkan
konsentrasi glukosa darah. Selain itu, insulin juga berguna untuk
menghambat keluaran asam lemak bebas dari jaringan adiposa dan
mengurangi ketogenesis. Bolus insulin reguler intravena diberikan
dengan dosis 0,15 U/kgBB, diikuti dengan infus insulen regular
20
dengan dosis 0,1 U/kg BB/jam (5-10 U/jam). Hal ini dapat
menurunkan kadar glukosa darah dengan kecepatan 65-125 mg/jam.
3) koreksi ketidakseimbangan elektrolit
Pada pasien hiperglikemia dengan defisit kalium yang berat,
pemberian insulin dapat memicu terjad-inya hipokalemia dan
memicu terjadinya aritmia atau kelemahan otot pernafasan. Oleh
karena itu, jika kadar kalium kurang dari 3,3 mEq/L, maka
pemberian kalium intravena harus segera diberikan dan terapi insulin
ditunda sampai kadarnya lebih atau sama dengan 3,3 mEq/L.
4) mengatasi faktor pencetus
5) melakukan monitoring dan
6) melakukan intervensi terhadap gangguan fungsi kardiovaskular,
paru, ginjal dan susunan saraf pusat. (Soewondo, 2009)
21
ginjal, dosis awalnya harus dikurangi menjadi 2,5 mg atau bahkan 1,25 mg
sehari (Hardjasaputra et al., 2002)
Glibenklamid merupakan antidiabetik golongan kedua
sulfonilurea.Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas.Glibenklamid memiliki durasi aksi yang panjang
dan cukup diberikan sekali sehari (Soegondo S, 2004).
a. Farmakodinamik :
Memiliki efek hipoglikemik yang poten (200 kali lebih kuat
daripada Tolbutamida) sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan
jadwal makan yang ketat.Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis
tunggal.
b. Farmakokinetik :
Absorpsi OHO sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat
diberikan per oral.Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan
ekstra sel. Dalam plasma sebagian besar pada protein plasma terutama
albumin (70-99%).pada protein plasma terutama albumin (70-99%).Studi
menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif menunjukkan bahwa,
glibenklamid diserap sangat baik (84 ± 9%).libenklamid diserap sangat baik
(84 ± 9%).Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai
meningkat 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak
dalam darah tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24
jam setelah pemberian kadardalam plasma hanya tinggal sekitar
5%.Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan jalan
hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan satu
metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit inaktif.Metabolit
utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans, metabolit
kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan metabolit
lainnya belum teridentifikasi.Semua metabolit tidak ada yang
diakumulasi.Hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian
besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja.Waktu
paruh eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang apabila terdapat
kerusakan hati atau ginjal.Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih
22
keluar dari serum setelah 36 jam.Glibenklamid tidak diakumulasi di dalam
tubuh, walaupun dalam pemberian berulang (Soegondo S, 2004).
c. Kontraindikasi :
Hipersensitif terhadap glibenklamid atau senyawa OHO golongan
sulfonilurea lainnya.Porfiria.Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa
koma.Penggunaan OHO golongan sulfonilurea pada penderita gangguan
fungsi hati dan ginjal merupakan kontraindikasi, namun glibenklamid
dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa pasien
dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan.Diperkirakan mempunyai efek
terhadap agregasi trombosit.
d. Efek Samping :
Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan
susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit
perut, dan hipersekresi asam lambung.Gangguan susunan syaraf pusat
berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.Gejala
hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis dan
anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali.Hipoglikemia dapat terjadi
apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi
hati atau ginjal atau pada lansia.Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-
obat antidiabetik oral dengan masa kerja panjang.Golongan sulfonilurea
cenderung meningkatkan berat badan (Soegondo S, 2004).
23
Pemberian insulin basal, selain insulin prandial merupakan salah satu strategi
pengobatan untuk memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum
makan. Oleh karena glukosa darah setelah majan merupakan keadaan yang
dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa, maka diharapkan dengan
menurunkan kadar glukosa basal, kadar glukosa darah setelah makan juga ikut
turun (Perkeni, 2007).
Insulin dapat dibedakan atas dasar:
1) Waktu kerja insulin (onset), yaitu waktu mulai timbulnya efek
insulin sejak disuntikan.
2) Puncak kerja insulin, yaitu waktu tercapainya puncak kerja insulin.
3) Lama kerja insulin (durasi), yaitu waktu dari timbulnya efek insulin
sampai hilangnya efek insulin
a. Klasifikasi
1) Insulin Eksogen kerja cepat.
Bentuknya berupa larutan jernih, mempunyai onset cepat dan
durasi pendek. Yang termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal
Zinc Insulin / CZI ). Saat ini dikenal 2 macam insulin CZI, yaitu dalam
bentuk asam dan netral. Preparat yang ada antara lain : Actrapid,
Velosulin, Semilente. Insulin jenis ini diberikan 30 menit sebelum
makan, mencapai puncak setelah 1– 3 jam dan efeknya dapat bertahan
samapai 8 jam.
2) Insulin Eksogen kerja sedang.
Bentuknya terlihat keruh karena berbentuk hablur-hablur
kecil, dibuat dengan menambahkan bahan yang dapat memperlama
kerja obat dengan cara memperlambat penyerapan insulin kedalam
darah. Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine Hegedorn (NPH
),Monotard, Insulatard. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam.
Puncaknya tercapai dalam 4 – 15 jam dan efeknya dapat bertahan
sampai dengan 24 jam.
3) Insulin Eksogen campur antara kerja cepat & kerja sedang (Insulin
premix)
24
Yaitu insulin yang mengandung insulin kerja cepat dan insulin
kerja sedang. Insulin ini mempunyai onset cepat dan durasi sedang (24
jam). Preparatnya: Mixtard 30 / 40.
4) Insulin Eksogen kerja panjang (lebih dari 24 jam).
Merupakan campuran dari insulin dan protamine, diabsorbsi
dengan lambat dari tempat penyuntikan sehingga efek yang dirasakan
cukup lam, yaitu sekitar 24 – 36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin
( PZI ), Ultratard.
Indikasi masuk HCU adalah pasien dengan gagal organ tunggal yang
mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi dan pasien yang
memerlukan perawatan perioperatif. Indikasi pasien keluar HCU adalah
pasien sudah stabil dan tidak lagi membutuhkan perawatan yang ketat dan
pasien yang memburuk sehingga perlu pindah ICU. Pasien yang tidak perlu
masuk HCU adalah pasien dengan fase terminal suatu penyakit seperti kanker
stadium akhir (Kemenkes, 2010).
26
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University. Yogyakarta
Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.
Lumbantobing S.M. 2008. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Edisi
XI. Jakarta: FKUI.
Perkeni, 2007, Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Mellitus,
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Jakarta.
Cheng AYY, Zinman B, dan Khan CR. (2005). Joslin’s Diabetes Mellitus.Fourth
Edition, Lipincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM (2009). Fisher JN: Hyperglycemic crises in
adult patients with diabetes. Diabetes Care; 32:1335–1343
Katzung, B.G., 2010, Farmakologi Dasar dan Klinik, diterjemahkan oleh Agoes
A.et al., Farmakologi Fakultas Kedokteran UNSRI, Edisi VI 673 - 678,
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Luzi, L. dan Pozza, G., 1997, Glibenclamide: an old drug with a novel mechanism
of action?, Acta Diabetologica, 34, 239-244.
Eliasson, L., Renstrom, E., Ammala, C., Berggren, P.O., Bertorello, A.M., Bokvist,
K.,Chibalin, A., Deeney, J.T., Flatt, P.R., Gabel, J., 49 Gromada, J., Larsson,
O., Lindstrom, P., Rhodes, C. J. dan Rorsman, P., 1996, PKC-dependent
27
stimulation of exocytosis by sulfonylureas in pancreatic β-cells, Science,271,
813–815.
28