Anda di halaman 1dari 28

BAB V

LEARNING OBJECTIVES

5.1.Mahasiswa dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan pada skenario


5.2.Mahasiswa mengetahui tentang krisis hipertensi
5.3.Mahasiswa mengetahui tentang ketoasidosis diabetik
5.4.Mahasiswa mengetahui tentang hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5.5.Mahasiswa mengetahui tentang gibenclamid
5.6.Mahasiswa mengetahui tentang insulin
5.7.Mahasiswa mengetahui tentang high care unit (HCU)
BAB VI
BELAJAR MANDIRI

2
BAB VII
BERBAGI INFORMASI

7.1.Mahasiswa dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan pada skenario

Jenis
Hasil Nilai normal Keterangan
pemeriksaan
Compos mentis Somolen, Terjadi gangguan
GCS E3V3M4
(E4V6M5) kesadaran.
Hipertensi, kemungkinan terjadi
Tekanan
240/140 mmHG 120/80 mmHG krisis hipertensi (hipertensi
Darah
emergensi dan hipertensi urgensi).
Febris (38-39°C). , kemungkinan
Suhu 39,9°C 36 – 37,5°C
terjadi infeksi.
Respiration Takipnea, terjadi gangguan
40x /M 12 – 24 X/M
rate respirasi.
Takikardi, Kemungkinan terjadi
120x /M dan
Nadi 60 – 100x /M hangguan sistem cardiovascular
lemah
dan respirasi.
Anemia, jumlah Hb rendah dalam
tubuh, menandakan adanya
L :14 -18 g/dl
Hb 10,99 g/dl gangguan sistem organ yang
P :12 - 16 g/dl
berhubungan dengan sistem
peredaran darah.
Leukosit 19.200/UL 4.000 - 10.000/UL Leukositosis
Trombosit 173.000/UL 150.000 -450.000/UL Normal
Hiperglikemia, peningkatan gula
GDS 456 mg/dl. 110 – 200 mg/dl.
darah tubuh.
Ureaum 40 mg/dl 10 – 10 mg/dl Normal
L : 0,6 – 1,3 mg/dl Meningkat, gangguan fungsi
Kreatinin 1,5 mg/dl
P : 0,5 – 0,9 mg/dl ginjal.
3,5–5,5 mEq/L Turun, gangguan osmolaritas
Kalium 3,3 mEq/L
mmol/L elektrolit tubuh.
Asidosis metabolik, terindikasi
Nafas Kusmaul KAD karena menederita
hiperglikemia.

7.2.Mahasiswa mengetahui tentang krisis hipertensi


a. Definisi
Krisis hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah diastolik
sangat meningkat sampai 120-130 mmHg, kedaan ini merupakan suatu
kedaruratan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk
menyelamatkan jiwa penderita (Gifford, 1991).
b. Klasifikasi
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan
perioritas pengobatan, sebagai berikut :

3
1) Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120
mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan
oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan
pengobatan akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau kematian.
TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai
beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit
atau (ICU).
2) Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan
dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran.
TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman
memerlukan terapi parenteral. (tabel II).
c. Istilah
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara
lain :
1) Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD
> 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang
efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2) Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg
disertai dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat
berlanjut ke fase maligna.
3) Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD
Diastolik > 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV
disertai papiledema, peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang
cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila
penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya
pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun
sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang sebelumnya
mempunyai TD normal.
4) Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai
dengan keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan
keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.

4
d. Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan adalah pengobatan pada keadaan
darurat hipertensi ialah menurunkan tekanan darah secepat dan seaman
mungkin yang disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Pengobatan
biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan pemantauan yang
ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari keadaan yang
merugikan atau munculnya masalah baru. Obat yang ideal untuk keadaan
ini adalah obat yang mempunyai sifat bekerja cepat, mempunyai jangka
waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan darah dengan cara yang
dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang tidak tergantung
kepada sikap tubuh dan efek samping minimal.
1) Diazoxide
Adalah derivat benzotiadiazin, obat ini menurunkan tekanan
darah secara kuat dan cepat dengan mempengaruhi secara langsung
pada otot polos arterial, sehingga terjadi penurunan tekanan perifer
tanpa mengurangi curah jantung atau aliran darah ke ginjal. Tetapi
menurut beberapa penulis, diazoxide juga menaikkan isi sekuncup,
isi semenit dan denyut jantung permenit, sehingga tidak dianjurkan
pada krisis hipertensi yang disertai aorta diseksi atau kelainan
coroner. Efek samping dari diazoxide adalah : hipoglikemi,
hiperurikemi dan dapat menembus plasenta sehingga
mempengaruhi metabolisme janin sehingga tidak
direkomendasikan untuk krisis hipertensi pada kasus eklamsia.
Diazoxide diberikan dengan intravena 75-300 mg selama 10-
30 detik, penurunan tekanan darah akan tampak dalam waktu 1-2
menit, pengaruh puncak dicapai antara 2-3 menit, dan bertahan 4-
12 jam. Untuk penderita dengan perdaraham otak, dianjurkan
pemberian intra vena sebesar 500-1.000 mg. Pemberian dapat
diulang setiap 10-15 menit sampai didapat tekanan diastolik 100-
105 mmHg.

5
2) Sodium Nitropusid
Sodium nitropusid merupakan vasodilator pada arteri dan
vena. Obat ini dapat menurunkan isi sekuncup dan isi semenit
jantung. Untuk menghindari hipotensi, pengawasan ketat harus
dilakukan pada pemberian obat ini. Dosis : 0,3-0,6 ug/kgBB/menit,
dinaikkan pelan-pelan sampai tercapai penurunan tekanan darah
yang cukup. Penurunan tekanan darah terjadi dalam beberapa detik
dan puncak tercapai dalam 1-2 menit, hanya berlangsung 3-5
menit. Efek samping : takikardi dan sakit kepala.
3) Trimetapan (Artonad)
Merupakan penghambat ganglion, bekerja dengan cara
menurunkan isi sekuncup jantung dan isi semenit jantung. Obat ini
baik digunakan pada kasus krisis hipertensi dengan payah jantung
atau diseksi aorta anerisma. Dosis : 500 mg/500 cc Dextrosa 5%
dengan kecepatan 0,25 mg%/menit, kemudian dinaikkan perlahan
sampai dicapai penurunan tekanan yang dikehendaki, yaitu tekanan
diastolik 110 mmHg dalam waktu 1 jam. Jangka waktu kerja 5-15
menit. Infus diberikan dengan posisi duduk, untuk menghindari
efek hipotensi yang berlebihan.
4) Hidralazin (Apresolin)
Obat ini bekerja langsung pada otot polos arterial dan
menimbulkan vasodilatasi perifer, tanpa menurunkan aliran darah
ke ginjal. Tetapi hidralazin menaikkan denyut jantung permenit, isi
sekuncup dan isi semenit jantung. Hidralazin direkomendasikan
untuk diberikan pada toksemia gravidarum dan krisis hipertensi
dengan ensefalopati Dosis : 5-20 mg diberikan intramuskular setiap
2-4 jam, atau ecara intra vena (1 ampul dari 20 mg/ml dilarutkan
dalam 300 cc NaCl 0,9%) dengan kecepatan 10-60 tetes/menit.
Penurunan tekanan darah terjadi dalam 10-20 menit, berlangsung
sampai 1 jam. Apabila selama 30 menit tidak berhasil, dapat
diulang tiap 3-6 jam.

6
5) Klonidin (Catapres)
Merupakan derivat imidazolin, yang merangsang reseptor
alfa adrenergik pada batang otak, mengakibatkan penurunan
discharge symphatis, sehingga menurunkan tekanan vaskular
sistemik, juga menekan pengeluaran renin oleh ginjal. Klonidin
diberikan intravena 1 ampul (150 ug) diencerkan dalam 10 ml NaCl
0,9% dalam waktu 10 menit. Efek penurunan tekanan terjadi dalam
waktu 5-10 menit. Pemberian intramuskular, 1-2 ampul dan dulang
dalam 3-4 jam, terjadi penurunan tekanan dalam waktu 10-15
menit. Pemberian IM dinilai lebih aman dan terkontrol, tetapi
kurang dalam kekuatan dan kecepatan dibanding dengan
Diazoxide, Sodium Nitroprusid dan Trimetapan. Efek samping
yang muncul biasanya adalah mulut kering dan kantuk yang hebat.
Obat ini direkomendasikan dipakai untuk krisis hipertensi dengan
eklamsia dan aorta anerisma.
6) Kaptopril (Kapoten)
Obat ini cukup memberikan harapan karena menaikkan
kecepatan filtrasi glomeruli dengan menhambat pembentukan vaso
konstriktor yang sangat kuat (angiotensin II) dan juga menghambat
perusakan vasodilator yang kuat (bradikinin). Dosis awal 12,5 mg,
dinaikkan pelan-pelan sampai dosis optimal. Diuretik dapat
memberikan efek potensiasi.
7) Pentolamin dan Penoxi Benzamin
Kedua obat merupakan penghambat alfa adrenergik,
diberikan terutama untuk feokromositoma atau karena hambatan
MAO (mono amino oksidase). Dosis : 5-15 mg IV, akan
menurunkan tekanan darah dalam 10-15 menit.
8) Antagonis Kalsium (Nifedipin)
Antagonis kalsium (Nifedipin, Diltiazem dan Verapamil)
bekerja dengan menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel
dan merupakan vaso dilatator kuat yang mempunyai daya aksi
jangka panjang. Nifedipin mempunyai harapan dalam pengobatan

7
darurat dengan cara menurunkan tahanan perifer dengan
melemaskan otot polos pembuluh darah, tidak menimbulkan
depresi pada miokard dan tidak mempunyai sifat antiaritmia. Dosis
: 1-2 tablet (10-20mg) dosis tunggal. Pemberian sublingual dapat
memberikan efek yang lebih cepat, yaitu beraksi dalam 3 menit
setelah pemberian. Apabila penderita tidak sadar dapat diberikan
lewat pipa lambung (Sya’bani dan Sucitro, 1982)

7.3.Mahasiswa mengetahui tentang ketoasidosis diabetik


a. Definisi
KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat
pembentukan
keton yang berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperos
molalitas berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari
KAD murni (American Diabetes Association, 2004)

Ketoasidosis diabetikum adalah merupakan trias dari hiperglikemia,


asidosis, dan ketosis yang terlihat terutama pada pasien dengan diabetes
tipe-1. (Samijean Nordmark, 2008)

b. Etiologi
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat
dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting
dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Tidak adanya
insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat
disebabkan oleh :

 Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi


 Keadaan sakit atau infeksi
 Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan
tidak diobati.

Beberapa penyebab terjadinya KAD adalah:


8
 Infeksi : pneumonia, infeksi traktus urinarius, dan sepsis. diketahui
bahwa jumlah sel darah putih mungkin meningkat tanpa indikasi yang
mendasari infeksi.
 Ketidakpatuhan: karena ketidakpatuhan dalam dosis
 Pengobatan: onset baru diabetes atau dosis insulin tidak adekuat
 Kardiovaskuler : infark miokardium
 Penyebab lain : hipertiroidisme, pankreatitis, kehamilan,
pengobatan kortikosteroid and adrenergik.

(Samijean Nordmark,2008)

c. Faktor pencetus KAD

Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi


karena ada keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis
hiperglikemia ini antara lain :

 Infeksi : meliputi 20 –
55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh Infeksi.
Infeksinya dapat berupa : Pneumonia, Infeksi traktus urinarius, Abses,
Sepsis, Lain-lain.
 Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler, Infark miokard akut,
Emboli paru, Thrombosis V.Mesenterika
 Trauma, luka bakar, hematom subdural.
 Heat stroke
 Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut, Kholesistitis akut,
Obstruksi intestinal
 Obat-obatan : Diuretika, Steroid, Lain-lain

Pada diabetes tipe 1, krisis h


iperglikemia sering terjadi karena yang bersangkutan
menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak ad
ekuat. Keadaan ini terjadi pada 20-
40% kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1, permas

9
alahan psikologi
yang diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar 20% da
ri seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis.
Faktor yang bisa mendorong penghen tian suntikan insulin pada
pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat badan pada k
eadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakut
an akan jatuh dalam hypoglikem ia, pemberontakan terhadap
otoritas, dan stres akibat penyakit kronis (Gaglia dkk, 2004)

d. Tanda dan gejala

Gejala klinis biasanya berlangsung cepat dalam waktu kurang dari 24 jam.
Poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan yang nyata biasanya terjadi
beberapa hari menjelang KAD, dan sering disertai mual-muntah dan nyeri
perut. Nyeri perut sering disalah-artikan sebagai ‘akut abdomen’. Asidosis
metabolik diduga menjadi penyebab utama gejala nyeri abdomen, gejala ini
akan menghilang dengan sendirinya setelah asidosisnya teratasi.

Sering dijumpai penurunan kesadaran, bahkan koma (10% kasus), dehidrasi


dan syok hipovolemia (kulit/mukosa kering dan penurunan turgor, hipotensi
dan takikardi). Tanda lain adalah napas cepat dan dalam (Kussmaul) yang
merupakan kompensasi hiperventilasi akibat asidosis metabolik, disertai
bau aseton pada napasnya.

 Sekitar 80% pasien DM ( komplikasi akut )


 Pernafasan cepat dan dalam ( Kussmaul )
 Dehidrasi ( tekanan turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering )
 Kadang-kadang hipovolemi dan syok
 Bau aseton dan hawa napas tidak terlalu tercium
 Didahului oleh poliuria, polidipsi.
 Riwayat berhenti menyuntik insulin
 Demam, infeksi, muntah, dan nyeri perut
(Dr. MHD. Syahputra. Diabetic ketosidosis. http://www.library.usu.ac.id )

10
11
E. Patofisiologi

Ketoasidois terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena dipakainya


jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan terbentuk
keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam
sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini
biasanya terjadi karena tidak mematuhi perencanaan makan, menghentikan
sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitus,
mendapat infeksi atau penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung,
stroke, dan sebagainya.

Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan ketoasidosis


diabetik (KAD) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun
kehilangan insulin. Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan
pada ketoasidosis diabetik (KAD) adalah tergolong konsekuensi langsung
atau tidak langsung dari kekurangan insulin.

Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan


menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya
lipolisis akan menyebabkan kelebihan produksi asam asam lemak, yang
sebagian diantaranya akan dikonversi (diubah) menjadi keton,
menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria
akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan
elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan
klorida. Dehidrsi terjadi bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan
uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidodis
metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajad
ventilasi (peranfasan Kussmaul).

Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat


kehilangan air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah
merupakan rangkaian dari siklus interlocking vicious yang seluruhnya harus
diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid
normal.
12
Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan
berkurang juga . Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak
terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya
untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan
mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium
dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan
(poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita
ketoasidosis diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan
sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selama periode
waktu 24 jam.Akibat defisiensi insulin yang lain adlah pemecahan lemak
(lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas
akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik
terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari
kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan
tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi
darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik.

Pathophysiology of DKA adapted from Urden: Thelan’s Critical Care


Nursing: Diagnosis and Management. 5th ed.Cited in Nursing
Consult. www.nursingconsult.com

Pada keadaan normal kurang lebih 50 % glukosa yang dimakan mengalami


metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 10 % menjadi glikogen dan 20
% sampai 40 % diubah menjadi lemak. Pada Diabetes Mellitus semua proses
tersebut terganggu karena terdapat defisiensi insulin. Penyerapan glukosa
kedalam sel macet dan metabolismenya terganggu. Keadaan ini
menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada dalam sirkulasi darah
sehingga terjadi hiperglikemia.

Penyakit Diabetes Mellitus disebabkan oleh karena gagalnya hormon


insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah
menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi
hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang

13
batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi
hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah
glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air
maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria.
Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang
disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan
merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus
sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.

Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport


glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan
karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk
melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar
sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Terlalu
banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi penumpukan asetat dalam
darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat atau asidosis. Zat ini
akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh berusaha
mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan napas
penderita berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila
tidak segera diobati akan terjadi koma yang disebut koma diabetik (Price,
1995).

F. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan :

1. Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi),


2. Menghentikan ketogenesis (insulin),
3. Koreksi gangguan elektrolit,
4. Mencegah komplikasi,
5. Mengenali dan menghilangkan faktor pencetus
6. Airway dan Breathing

Oksigenasi / ventilasi

14
Jalan napas dan pernapasan tetap prioritas utama. Jika pasien dengan
kesadaran / koma (GCS <8) mempertimbangkan intubasi dan ventilasi.
Pada pasien tsb sementara saluran napas dapat dipertahankan oleh
penyisipan Guedel’s saluran napas. Pasang oksigen melalui masker
Hudson atau non-rebreather masker jika ditunjukkan. Masukkan tabung
nasogastrik dan biarkan drainase jika pasien muntah atau jika pasien
telah muntah berulang. Airway, pernafasan dan tingkat kesadaran harus
dimonitor di semua treatment DKA.

1. Circulation

Penggantian cairan

Sirkulasi adalah prioritas kedua. DKA pada pasien yang menderita


dehidrasi berat bisa berlanjut pada shock hipovolemik. Oleh sebab itu,
cairan pengganti harus dimulai segera. Cairan resusitasi bertujuan
untuk mengurangi hiperglikemia, hyperosmolality, dan
counterregulatory hormon, terutama dalam beberapa jam pertama,
sehingga mengurangi resistensi terhadap insulin. Terapi Insulin paling
efektif jika didahului dengan cairan awal dan penggantian elektrolit.
Defisit cairan tubuh 10% dari berat badan total maka lebih dari 6 liter
cairan mungkin harus diganti. Resusitasi cairan segera bertujuan untuk
mengembalikan volume intravaskular dan memperbaiki perfusi ginjal
dengan solusi kristaloid, koloid dan bisa digunakan jika pasien dalam
syok hipovolemik. Normal saline (NaCl 0,9%) yang paling sesuai.
Idealnya 50% dari total defisit air tubuh harus diganti dalam 8 jam
pertama dan 50% lain dalam 24 jam berikutnya. Hati-hati pemantauan
status hemodinamik secara teliti (pada pasien yang tidak stabil setiap
15 menit), fungsi ginjal, status mental dan keseimbangan cairan
diperlukan untuk menghindari overload cairan.

(Elisabeth Eva Oakes, RN. 2007. Diabetic Ketoacidosis DKA)

1. PENGKAJIAN KETOASIDOSIS DIABETIKUM (KAD)


15
2. Aktivitas / Istirahat

Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, Kram otot, tonus otot


menurun, gangguan istirahat/tidur

Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau aktifitas,


Letargi/disorientasi, koma Penurunan kekuatan otot
2. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, Klaudikasi, kebas dan
kesemutan pada ekstremitas, Ulkus pada kaki, penyembuhan yang
lama, Takikardia
Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, Nadi yang
menurun/tidak ada, Disritmia, Krekels, Distensi vena jugularis, Kulit
panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung
3. Integritas/ Ego

Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, Masalah finansial yang


berhubungan dengan kondisi

Tanda : Ansietas, peka rangsang

4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, Rasa
nyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISSK baru/berulang,
Nyeri tekan abdomen, Diare
Tanda :Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi
oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), Urin berkabut, bau
busuk (infeksi), Abdomen keras, adanya asites, Bising usus lemah dan
menurun, hiperaktif (diare)
5. Nutrisi/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, Mual/muntah, Tidak mematuhi diet,
peningkattan masukan glukosa/karbohidrat, Penurunan berat
badan lebih dari beberapa hari/minggu, Haus, penggunaan diuretik
(Thiazid)

16
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, Kekakuan/distensi
abdomen, muntah, Pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan
metabolik dengan peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau
buah (napas aseton)
6. Neurosensori

Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, Kesemutan, kebas, kelemahan


pada otot, parestesia, Gangguan penglihatan

Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut).


Gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental, Refleks tendon
dalam menurun (koma), Aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA)
7. Nyeri/kenyamanan

Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)

Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati

8. Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa sputum
purulen (tergantung adanya infeksi/tidak)
Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen,
Frekuensi pernapasanmeningkat
9. Keamanan

Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit

Tanda : Demam, diaforesis, Kulit rusak, lesi/ulserasi, Menurunnya


kekuatan umum/rentang erak, Parestesia/paralisis otot termasuk otot-
otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam)

10. Seksualitas

Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi), Masalah impoten pada pria,


kesulitan orgasme pada wanita

17
11. Penyuluhan/pembelajaran

Gejala : Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi.


Penyembuhan yang, Lambat, penggunaan obat sepertii steroid, diuretik
(thiazid), dilantin dan fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa
darah). Mungkin atau tidak memerlukan obat diabetik sesuai pesanan

Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengatuan


diet, pengobatan, perawatan diri, pemantauan terhadap glukosa darah

Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic cr


isis in elderly. Med Cli N Am 88: 1063-1084, 2004.

Hyperglycemic crises in patien ts with diabetes mellitus.


American Diabetes Association. Diabetes Carevol27 supplement1 2004,
S94-S102.

Dr. MHD. Syahputra. Diabetic ketosidosis. www. Library.usu.ac.id. Diakses


pada tanggal 17 November 2010.

Samijean Nordmark. Critical Care Nursing


Handbook. http://books.google.co.id. Diakses pada tanggal 17 November
2012

Elisabeth Eva Oakes, RN. 2007. Diabetic Ketoacidosis


DKA. http://intensivecare.hsnet.nsw.gov.au. Diakses pada tanggal 17
November 2012.

7.4.Mahasiswa mengetahui tentang status hiperosmolar hiperglikemik


a. Definisi
Status hipersomolar hiperglikemik merupakan gangguan metabolik
akut yang dapat terjadi pada pasien diabetes melitus, yang ditandai dengan
hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis.
Pada kondisi ini, terjadi hiperglikemia berat (kadar glukosa serum > 600
mg/dL) yang tanpa disertai ketosis. Hiperglikemia menyebabkan
hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat

18
menjadi tidak sadar dan meninggal bila tidak segera ditanganin (Price,
2006).
b. Faktor Pencetus
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada
keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini
antara lain:
1) infeksi (pneumonia, infeksi saluran kencing, sepsis)
2) penyakit vaskular akut (penyakit sere-brovaskular, infark miokard
akut, emboli paru)
3) trauma
4) luka bakar
5) hematom subdural
6) kelainan gastrointestinal (pankreatitis akut, kholesistitis akut,
obstruksi intestinal)
7) obat-obatan (diure-tika, steroid, agen antipsikotik atipikal, glukagon,
interferon, agen simpatomimetik seperti albuterol, dopamin,
dobutamin, dan terbutalin).
c. Patofisiologi
Status hiperosmolar hiperglikemik terjadi sebagai akibat dari
kombinasi penurunan fungsi insulin dan peningkatan kontra regulatori
hormon, seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan
yang ditandai dengan sindrom SHH yaitu dehidrasi, hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Hal ini menyebabkan
peningkatan glukoneogenesis dihati dan produksi insulin di ginjal serta
gangguan penggunaan insu-lin pada jaringan perifer, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan hiperglikemi dan hiperosmolar pada ruang
ekstraseluler tanpa ketosis karena pada SHH insulin plasma tidak adekuat
untuk memfasilitasi penggunaan glukosa oleh jaringan akan tetapi sangat
adekuat untuk mencegah lipolisis dan ketogenesis lewat mekanisme yang
belum diketahui. Status hiperosmolar hiperglikemik ditandai dengan
defisiensi konsentrasi insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk
menghambat terjadinya lipolisis dan ketogenesis. (Soewondo, 2009)

19
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa
minggu. Pasien dapat mengalami poliuria, polidipsia, dan penurunan
kesadaran yang progresif akibat osmolalitas darah yang sangat tinggi. Nyeri
perut juga jarang dialami oleh pasien SHH. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan dehidrasi sangat berat, bau nafas keton tidak ada, status mental
sampai koma. (Soewondo, 2009)
e. Penegakan Diagnosis
Hasil laboratorium yang dapat ditemukan adalah glukosa plasma
lebih dari 600 mg/dL, pH arteri lebih dari 7,3, bikarbonat serum lebih dari
15 mEq/L, keton urin derajat ringan, keton serum derajat ringan, osmolalitas
serum lebih dari 320 mOsm/ kg.
f. Penatalaksanaan
Tujuan dari terapi pada sindrom hyperosmolar hiperglikemi adalah
sebagai berikut:
1) penggantian volume sirkulasi dan perfusi jaringan
Pasien dengan SHH memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan
yang diperlukan 100 ml/kgBB. Terapi cairan awal bertujuan
mencukupi volume intravaskular dan restorasi perfusi ginjal. Terapi
cairan saja dapat menurunkan kadar glukosa darah. Salin normal
(NaCl 0,9%) dimasukkan secara intravena dengan kecepatan 500
sampai dengan 1000 ml/jam selama dua jam pertama.
2) penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan osmolalitas
plasma
Pemberian insulin dengan dosis yang kecil dapat mengurangi risiko
terjadinya hipoglikemia dan hipokalemia. Fungsi insulin adalah
untuk meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer,
menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga dapat menurunkan
konsentrasi glukosa darah. Selain itu, insulin juga berguna untuk
menghambat keluaran asam lemak bebas dari jaringan adiposa dan
mengurangi ketogenesis. Bolus insulin reguler intravena diberikan
dengan dosis 0,15 U/kgBB, diikuti dengan infus insulen regular

20
dengan dosis 0,1 U/kg BB/jam (5-10 U/jam). Hal ini dapat
menurunkan kadar glukosa darah dengan kecepatan 65-125 mg/jam.
3) koreksi ketidakseimbangan elektrolit
Pada pasien hiperglikemia dengan defisit kalium yang berat,
pemberian insulin dapat memicu terjad-inya hipokalemia dan
memicu terjadinya aritmia atau kelemahan otot pernafasan. Oleh
karena itu, jika kadar kalium kurang dari 3,3 mEq/L, maka
pemberian kalium intravena harus segera diberikan dan terapi insulin
ditunda sampai kadarnya lebih atau sama dengan 3,3 mEq/L.
4) mengatasi faktor pencetus
5) melakukan monitoring dan
6) melakukan intervensi terhadap gangguan fungsi kardiovaskular,
paru, ginjal dan susunan saraf pusat. (Soewondo, 2009)

7.5.Mahasiswa mengetahui tentang gibenclamid


Glibenklamid adalah antidiabetik poten generasi kedua dari golongan
sulfonilurea yang memperbaiki cara kerja glukosa melalui sekresi insulin,
aksiinsulin, ataupun keduanya (Luzi dan Pozza, 1997). Mekanisme aksi dari
glibenklamid adalah membentuk ikatan dari molekul obat dengan reseptor pada
sel beta (Eliasson et al., 1996). Ikatan yang terbentuk dapat merangsang
keluarnya hormon insulin dari granul-granul sel beta pulau Langerhans pada
pankreas. Oleh karena itu, syarat pemakaian glibenklamid pada penderita
diabetes mellitusadalah jika pankreas penderita diabetes masih dapat
memproduksi insulin (Katzung, 2010).
Hipoglikemia merupakan efek samping utama glibenklamid yang
biasanya bersifat ringan, tetapi kadang-kadang menjadi berat dan
berkepanjangan. Glibenklamid dapat menimbulkan efek samping saluran cerna
seperti mual, rasa tidak enak diperut atau anoreksia. Reaksi alergi kulit seperti
pruritus, eritema, urtikaria, ruam kulit, morbililform, dan fotosensitivitas.
Pengobatan dengan glibenklamid umumnya dimulai dengan dosis tunggal 5
mg pagi hari, tetapi pada pasien usia lanjut atau pasien dengan gangguan fungsi

21
ginjal, dosis awalnya harus dikurangi menjadi 2,5 mg atau bahkan 1,25 mg
sehari (Hardjasaputra et al., 2002)
Glibenklamid merupakan antidiabetik golongan kedua
sulfonilurea.Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas.Glibenklamid memiliki durasi aksi yang panjang
dan cukup diberikan sekali sehari (Soegondo S, 2004).
a. Farmakodinamik :
Memiliki efek hipoglikemik yang poten (200 kali lebih kuat
daripada Tolbutamida) sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan
jadwal makan yang ketat.Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis
tunggal.
b. Farmakokinetik :
Absorpsi OHO sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat
diberikan per oral.Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan
ekstra sel. Dalam plasma sebagian besar pada protein plasma terutama
albumin (70-99%).pada protein plasma terutama albumin (70-99%).Studi
menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif menunjukkan bahwa,
glibenklamid diserap sangat baik (84 ± 9%).libenklamid diserap sangat baik
(84 ± 9%).Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai
meningkat 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak
dalam darah tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24
jam setelah pemberian kadardalam plasma hanya tinggal sekitar
5%.Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan jalan
hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan satu
metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit inaktif.Metabolit
utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans, metabolit
kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan metabolit
lainnya belum teridentifikasi.Semua metabolit tidak ada yang
diakumulasi.Hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian
besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja.Waktu
paruh eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang apabila terdapat
kerusakan hati atau ginjal.Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih

22
keluar dari serum setelah 36 jam.Glibenklamid tidak diakumulasi di dalam
tubuh, walaupun dalam pemberian berulang (Soegondo S, 2004).
c. Kontraindikasi :
Hipersensitif terhadap glibenklamid atau senyawa OHO golongan
sulfonilurea lainnya.Porfiria.Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa
koma.Penggunaan OHO golongan sulfonilurea pada penderita gangguan
fungsi hati dan ginjal merupakan kontraindikasi, namun glibenklamid
dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa pasien
dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan.Diperkirakan mempunyai efek
terhadap agregasi trombosit.

d. Efek Samping :
Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan
susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit
perut, dan hipersekresi asam lambung.Gangguan susunan syaraf pusat
berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.Gejala
hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis dan
anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali.Hipoglikemia dapat terjadi
apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi
hati atau ginjal atau pada lansia.Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-
obat antidiabetik oral dengan masa kerja panjang.Golongan sulfonilurea
cenderung meningkatkan berat badan (Soegondo S, 2004).

7.6.Mahasiswa mengetahui tentang insulin


Pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin basal dan prandial
untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal baik pada
keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan mengetahui mekanisme
tersebut, maka telah dipahami bahwa pengobatan DM adalah menurunkan
glukosa darah baik puasa maupun setelah makan (Perkeni, 2007).
Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka
diperlukan insulin yang sesuai dengan kebutuhan basal dan prandial.

23
Pemberian insulin basal, selain insulin prandial merupakan salah satu strategi
pengobatan untuk memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum
makan. Oleh karena glukosa darah setelah majan merupakan keadaan yang
dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa, maka diharapkan dengan
menurunkan kadar glukosa basal, kadar glukosa darah setelah makan juga ikut
turun (Perkeni, 2007).
Insulin dapat dibedakan atas dasar:
1) Waktu kerja insulin (onset), yaitu waktu mulai timbulnya efek
insulin sejak disuntikan.
2) Puncak kerja insulin, yaitu waktu tercapainya puncak kerja insulin.
3) Lama kerja insulin (durasi), yaitu waktu dari timbulnya efek insulin
sampai hilangnya efek insulin
a. Klasifikasi
1) Insulin Eksogen kerja cepat.
Bentuknya berupa larutan jernih, mempunyai onset cepat dan
durasi pendek. Yang termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal
Zinc Insulin / CZI ). Saat ini dikenal 2 macam insulin CZI, yaitu dalam
bentuk asam dan netral. Preparat yang ada antara lain : Actrapid,
Velosulin, Semilente. Insulin jenis ini diberikan 30 menit sebelum
makan, mencapai puncak setelah 1– 3 jam dan efeknya dapat bertahan
samapai 8 jam.
2) Insulin Eksogen kerja sedang.
Bentuknya terlihat keruh karena berbentuk hablur-hablur
kecil, dibuat dengan menambahkan bahan yang dapat memperlama
kerja obat dengan cara memperlambat penyerapan insulin kedalam
darah. Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine Hegedorn (NPH
),Monotard, Insulatard. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam.
Puncaknya tercapai dalam 4 – 15 jam dan efeknya dapat bertahan
sampai dengan 24 jam.
3) Insulin Eksogen campur antara kerja cepat & kerja sedang (Insulin
premix)

24
Yaitu insulin yang mengandung insulin kerja cepat dan insulin
kerja sedang. Insulin ini mempunyai onset cepat dan durasi sedang (24
jam). Preparatnya: Mixtard 30 / 40.
4) Insulin Eksogen kerja panjang (lebih dari 24 jam).
Merupakan campuran dari insulin dan protamine, diabsorbsi
dengan lambat dari tempat penyuntikan sehingga efek yang dirasakan
cukup lam, yaitu sekitar 24 – 36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin
( PZI ), Ultratard.

b. Pemberian Insulin pada DM

Gambar 7.1. Pemberian terapi insulin

7.7.Mahasiswa mengetahui tentang high care unit (HCU)


High Care Unit (HCU) adalah unit pelayanan di Rumah Sakit bagi
pasien dengan kondisi respirasi, hemodinamik, dan kesadaran yang stabil yang
masih memerlukan pengobatan perawatan dan observasi secara ketat.
Pelayanan HCU adalah pelayanan medik pasien dengan kebutuhan
memerlukan pengobatan, perawatan dan observasi secara ketat dengan tingkat
pelayanan yang berada di antara ICU dan ruang rawat inap (tidak perlu
perawatan ICU namun belum dapat dirawat biasa karena memerlukan
observasi yang ketat) (Kemenkes, 2010).
25
Klasifikasi HCU adalah separated/conventional/freestanding HCU
adalah HCU yang berdiri sendiri terpish dari ICU. Integrated HCU adalah HCU
yang menjadi satu dengan ICU, paralel HCU adalah terletak berdekatan dengan
ICU. Ruang lingkup pemantauan yang harus dilakukan antara lain: tingkat
kesadaran, fungsi pernapasan dan sirkulasi dengan interval 4 jam atau
disesuaikan keadaan pasien, oksigenasi dengan menggunakan oksimeter secara
terus-menerus, keseimbangan cairan dengan interval waktu minimal 8 jam atau
disesuaikan keadaan pasien (Kemenkes, 2010).

Tindakan medik dan asuhan keperawatan yang harus dilakukan adalah:

1) Bantuan Hidup Dasar/ Basic Life Support(BHD/BLS) dan Bantuan Hidup


Lanjut/ Advanced Life Support (BHL/ALS):
a. Jalan nafas (Airway)  Membebaskan jalan nafas
b. Pernafasan/ ventilasi (Breathing)  Mampu melakukan bantuan nafas
(breathing support)
c. Sirkulasi (Circulation)  Mampu melakukan resusitasi cairan,
mampu melakukan defibrilasi, mampu melakukan kompresi jantung
luar.
2) Terapi oksigen
3) Penggunaan obat-obatan untuk stabilisasi
4) Nutrisi enteral atau parenteral
5) Fisioterapi sesuai keadaan pasien
6) Evaluasi seluruh tindakan dan pengobatan yang telah diberikan

Indikasi masuk HCU adalah pasien dengan gagal organ tunggal yang
mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi dan pasien yang
memerlukan perawatan perioperatif. Indikasi pasien keluar HCU adalah
pasien sudah stabil dan tidak lagi membutuhkan perawatan yang ketat dan
pasien yang memburuk sehingga perlu pindah ICU. Pasien yang tidak perlu
masuk HCU adalah pasien dengan fase terminal suatu penyakit seperti kanker
stadium akhir (Kemenkes, 2010).

26
DAFTAR PUSTAKA

Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University. Yogyakarta

Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-45

Sya’bani, Sucitro. 1982. Tatalakasana Penanganan Krisis Hipertensi, Naskah


Simposium Hipertensi.

Kartikawati, N.D. 2013. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.


Jakarta: Salemba Medika. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011.

Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat di RS. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri kesehatan Republik
Indonesia. 2009.

Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.

Lumbantobing S.M. 2008. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Edisi
XI. Jakarta: FKUI.

Perkeni, 2007, Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Mellitus,
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Jakarta.

Cheng AYY, Zinman B, dan Khan CR. (2005). Joslin’s Diabetes Mellitus.Fourth
Edition, Lipincott Williams & Wilkins, Philadelphia.

Kementerian Kesehatan (2010), Pedoman penyelenggaraan pelayanan high care


unit (HCU) di rumah sakit.

Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM (2009). Fisher JN: Hyperglycemic crises in
adult patients with diabetes. Diabetes Care; 32:1335–1343

Katzung, B.G., 2010, Farmakologi Dasar dan Klinik, diterjemahkan oleh Agoes
A.et al., Farmakologi Fakultas Kedokteran UNSRI, Edisi VI 673 - 678,
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Hardjasaputra, P., Budipranoto, G., Sembiring., Kamil, L, 2002, Data Obat


Indonesia, 366 - 367, Grafidian Medipess, Jakarta.

Luzi, L. dan Pozza, G., 1997, Glibenclamide: an old drug with a novel mechanism
of action?, Acta Diabetologica, 34, 239-244.

Eliasson, L., Renstrom, E., Ammala, C., Berggren, P.O., Bertorello, A.M., Bokvist,
K.,Chibalin, A., Deeney, J.T., Flatt, P.R., Gabel, J., 49 Gromada, J., Larsson,
O., Lindstrom, P., Rhodes, C. J. dan Rorsman, P., 1996, PKC-dependent

27
stimulation of exocytosis by sulfonylureas in pancreatic β-cells, Science,271,
813–815.

28

Anda mungkin juga menyukai