Anda di halaman 1dari 75

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas pasien
Nama : Tn. Am
Usia : 31 Tahun.
Jenis kelamin : Laki-laki.
Alamat : Salam RT. 04/ RW. 01 Randuacir KEC.
Argomulyo, Salatiga.
Agama : Islam.
Perkerjaan : wiraswasta.
No RM : 19 – 20– 419040.
Tanggal masuk RS : 7 April 2019 (Pkl. 13.40 WIB).

B. Anamnesis (Alloanamnesis)
1. Keluhan utama
Nyeri kepala, mual dan muntah
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengalami nyeri kepala sudah sejak 2 bulan yang lalu, di sertai
mual dan muntah, pasien juga menuturkan pandangan matanya dobel,
sejak 2 minggu yang lalu. Tn. AM ini merupakan pasien rujukan dar
RSPA, dirujuk karena ada indikasi untuk di lakukan CT-SCAN.

3. Riwayat penyakit dahulu


Pasien mengaku, 2 bulan lalu pasien di rawat di RS DKT untuk dilakukan
tindakan operasi pada leher, namun pasien lupa nama operasinya, dengan
keluhan sering sakit kepala, wajah menceng dan pandangan kabur.

4. Riwayat penyakit keluarga


Dalam keluarga pasien, tidak ada yang menderita keluhan serupa, tidak
ada keluarga yang menderita tumor atau kanker serta tidak ada keluarga
yang menderita penyakit hipertensi maupun DM.
5. Riwayat personal dan sosial
Pasein merupakan seorang pekerja wiraswasta, pasien tidak pernah
memiliki riwayat alergi obat – obatan maupun kontak iritan. dimasa muda

1
pasien, pasien memiliki riwayat penggunaan obat kontrasepsi oral (Pil
KB). Pasien berobat dengan asuransi kesehatan.
C. Pemeriksaan fisik
1. Status generalisata

Tabel 1.1 Pemeriksaan fisik head to toe

Pemeriksaan Hasil
Tampak lemah
Kesan Umum TB : 165 Cm. BB : 68 Kg. : 20,22 M2 (Gizi
Status Gizi
cukup)
Kesadaran Stupor (GCS E4V5M6)
Tekanan Darah : 127/86 mmHg
Nadi : 100 X/menit
Vital Signs
Respirasi : 20 X/menit (SpO2 : 98%)
Suhu: 37,9o
Kepala dan Leher
Inspeksi Normocepal, wajah terlihat simetris, tak tampak
adanya jejas, conjungtiva anemis (-/-), Sklera
Ikterik (-/-), strabismus OS (+)
Palpasi Nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-)
Leher
Inspeksi Pembengkakan (-), jejas (-), pulsasi vena jugular
tidak terlihat.
Palpasi Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), nyeri
tekan (-).
Auskultasi Suara bruit (-)
Thorax (Pulmo)
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan
kelainan bentuk, tidak terdapat deformitas
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak, vokal fremitus
tidak ada peningkatan maupun penurunan
Perkusi Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar vesikuler (SDV): +/+ (pada lapang
paru kanan dan kiri). Suara ronkhi: -/-. Wheezing :
-/-
Thorax (Cor)
Inspeksi Pulsasi iktus cordis tidak terlihat
Palpasi Teraba ictus cordis di SIC V linea midclavicularis
sinistra
Perkusi Batas kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Batas kiri atas : SIC II linea sternalis sinistra
Batas kanan bawah : SIC IV linea sternalis dextra
Batas kiri bawah : SIC IV linea midclavicularis
sinistra.
Auskultasi Bunyi jantung I dan II regular,

2
mur-mur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi Abdomen terlihat datar, tidak ada kelainan bentuk
abdomen, jejas (-)
Auskultasi Bising usus (+)
Perkusi Timpani pada semua kuadran abdomen, area
traube timpani
Palpasi Defens muskular (-), nyeri tekan (-), ginjal, hepar
dan lien tidak teraba
Genitalia
Inspeksi Tidak dilakukan pemeriksaan
Palpasi Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-), jejas (-), keterbatasan gerak tubuh.
Palpasi Pitting edema (-), akral hangat, crt <2s

2. Status neurologi
a. Kesadaran
Stupor, GCS : 15 (E4V5M6)
b. Pemeriksaan Nervus cranialis
Tabel 1.2 Pemeriksaan nervus cranialis

Pemeriksaan Saraf Kranialis Kanan Kiri


Olfaktorius (I) Normal Normal
 Subjektif
Optikus (II)
 Daya Penglihatan (Subjektif) Pandangan
 Lapangan pandang Normal kabur
 Melihat warna
 Funduskopi
Okulomotorius (III)
 Pergerakan mata kearah superior,
medial, inferior, torsi inferior Tidak dapat Tidak dapat
 Strabismus dinilai dinilai
 Nystagmus (-) (+)
 Exoptalmus (-) (-)
 Refleks pupil terhadap sinar (-) (-)
 Melihat kembar (+) (+)
 Pupil besarnya (-) (-)
2 mm 2 mm
Troklearis (IV)
 Pergerakan mata (ke bawah- Tidak dapat Tidak dapat
keluar) dinilai dinilai
Trigeminus (V)
 Membuka mulut
 Mengunyah Tidak Tidak

3
 Menggigit dilakukan dilakukan
 Pengecapan 2/3 anterior lidah (sulit (sulit
diperintah) diperintah)
Abdusens (VI)
 Pergerakan mata ke lateral Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
(sulit (sulit
diperintah) diperintah)
Fasialis (VII)
 Mengerutkan dahi (+) (+)
 Menutup mata (+) (+)
 Memperlihatkan gigi (+) (+)
Vestibulokoklearis (VIII)
 Suara berbisik (+) (+)
 Tes Arloji Tidak Tidak
 Tes Rinne dilakukan dilakukan
Tidak Tidak
 Tes Weber dilakukan dilakukan
Tidak Tidak
 Tes schwabach dilakukan dilakukan
Glossofaringeus (IX) Tidak dapat Tidak dapat
 Suara sengau dilakukan dilakukan
Vagus (X)
 Bicara (-) (-)
 Menelan (+) (+)
Assesorius (XI)
 Mengangkat bahu (+) (+)
 Memalingkan kepala (+) (+)
Hipoglossus (XII)
 Pergerakan lidah (+) (+)
 Artikulasi (-) (-)

3. Pemeriksaan refreks meningeal


• Kaku kuduk: negatif
• Lasegue sign: negatif
• Kernig sign: negatif
• Brudzinski I: negatif
• Brudzinski II: negatif
• Brudzinski III: negatif
• Brudzinski IV: negative

4. Pemeriksaan ekstremitas superior


Tabel 1.3 Pemeriksaan ekstremitas superior

Pemeriksaan Kanan Kiri


Motorik
 Pergerakan (+) (+)
 Kekuatan 2/2/2/2 2/2/2/2

4
 Tonus Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Sensibilitas
 Taktil Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
 Nyeri (+) (+)
Gerakan Involunteer
 Tremor (-) (-)
 Atetosis (-) (-)
 Chorea (-) (-)
 Tics (-) (-)
Refleks fisiologis
 Biseps (++) (++)
 Triseps (++) (++)
 Brachioradialis (++) (++)
Refleks patologis
 Tromner (-) (-)
 Hoffman (-) (-)

5. Pemeriksaan ekstremitas inferior


Tabel 1.4 Pemeriksaan ekstremitas inferior

Pemeriksaan Kanan Kiri


Motorik
 Pergerakan (+) (+)
 Kekuatan 5/5/5/5 5/5/5/5
 Tonus Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Sensibilitas
 Taktil (raba) Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
 Nyeri (+) sedikit menurun (+) sedikit menurun
Refleks fisiologis
 Patella (++) (++)
 Achilles (++) (++)
Refleks patologis
 Babinski (-) (-)
 Chaddock (-) (-)
 Schaefer (-) (-)
 Oppenheim (-) (-)
 Rossolimo (-) (-)
 Mendel-Bechterew (-) (-)
 Bing (-) (-)
 Gordon (-) (-)
Tes lasiegue
Tes patrick
Tes kontrapatik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fortin finger sign
FABER test
Sacral distraction test.

5
6. Pemeriksaan Koordinasi:
 Romberg Test : Tidak dilakkukan
 Tandem Walking : Tidak dilakukan
 Finger to Finger Test : Dapat dilakukan dengan baik.
 Finger to Nose Test : Dapat dilakukan dengan baik.

7. Fungsi alat vegetatif


 Mictio : Dalam batas normal
 Defekasi : Dalam batas normal

D. Pemeriksaan penunjang
1. Darah lengkap (7 April 2019)
Tabel 1.5 Pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi
Leukosit 13,37 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 5,61 L: 4,50 – 6,50 juta/ul
Hemoglobin 15,4 L: 13– 18 gr/dL
Hematokrit 46,5 35-47 vol%
MCV 82,8 80 – 96 Fl
MCH 27,5 28 – 33 Pg
MCHC 33,2 33 – 36 gr/dL
Trombosit 293 150 – 450 ribu/ul
Golongan darah -
Hitung Jenis
Eosinophil 0,4 2–4 %
Basophil 0,1 0–1 %
Limfosit 8,4 25 – 60 %
Monosit 4,6 2–8 %
Neutrofil 86,5 50 – 70 %
Kimia
GDP 93 < 100 mg/dL
Ureum 17 10 – 50 mg/dL
Creatinin 1,3 0,6 – 1,1 mg/dL
Cholestrol Total 100 <200 mg/dL
SGOT 36 L:<37
SGPT 89 L:< 42 U/L
Elektrolit
Natrium - 135-155 mml/e

6
Kalium - 3,6-5,5 mml/e

2. CT-Scan kepala dengan kontras (10 maret 2019)

Gambar 1.2 CT-Scan kepala dengan kontras potongan transversalis (10


april 2019).

7
Gambar 1.3 CT-Scan kepala dengan kontraspotongan sagitalis (10 maret
2019).

Keterangan :
 Tak tampak soft tissue swelling extracranial
 Tak tampak diskontinuitas tulang
 Tampak lesi isodensd 36 HU diregio frontalis, bentuk membulat
batas tegas, diameter ukuran LK. 6,5 Cm dengan kalsifikasi
punctata, post pemberian kontras tampak enhance 66 HU, dengan
vaskularisasi intralesi prominens. Tampak perifokal edema
 Tampak lesi hipodens 30 HU diregio temporalis sinistra, bentum
membulat, batas tegas. Diameter 4 Cm.. post pemberian kontras
tampak enhace 101 HU. Tampak perifokal edema.
 Ventrikel lateralis sinistra dan cornu anterior ventrikel lateralis
dextra menyempit.
 Tampak lesi hipodens 36 HU disebagian sinus ethmoidalis bilateral
dan sinus maxillaris dextra

8
 Air celluale mastoidea dan SPN lainnya normodens

Kesan :
 Multiple meningioma regio frontal parasagital dan regio temporalis
sinistra disertai perifokal edema luas, dan penyempitan ventrikel
lateralis sinistra serta cornu anterior ventrikel lateralis dextra
 Sinusitis maxillaris dextra
 Sinusitis ethmoidalis bilateral.

E. Assesmen
 Diagnosis klinis : Stupor, Anopsia, Afasia global, hearing
loss, nausea, vomitus, cephalgia dan riwayat seizure.
 Diagnosis topis : lobus frontalis parasagitalis cerebri dan
lobus temproralis cerebri sinistra.
 Diagnosis etiologis : Multiple meningioma dan edema cerebri

F. Penatalaksanaan
1. Senin, 8 maret 2019 (IGD).
a. Infus : Asering + NB 20 TPM.
b. Injeksi :
 Citicolin 2 x 500 mg IV.
 Ranitidin 2 X 25 IV.
 Ketorolac 2 x 30 IV.

9
2. Selasa, 9 Maret 2019 (Bangsal).
a. Infus : Asering + NB 20 TPM.
b. Injeksi :
 Citicolin 3 X 500 mg IV.
 Dexametasone 4 X 2 mg IV.
 Ericaf 3 X 1 tab
 Omeprazole 2 X 40 mg IV.
 Ketorolac 2 X 30 mg IV.
 Ranitidine 30 mg 2x1 inj.
3. Rabu, 10 maret 2019 (Bangsal).
a. Infus : Asering + NB 20 TPM.
b. Injeksi :
 Citicolin 3 X 500 mg IV.
 Dexametasone 4 X 2 mg IV.
 Ericaf 3 X 1 tab .
 Omeprazole 2 X 40 mg IV.
 Ketorolac 2 X 30 mg IV.
 Ranitidine 30 mg 2x1 inj.
 Gabapentin 150 mg 2x1 tab.
 BSA 7,5 ml 1x1
3. Kamis, 11 maret 2019 (Bangsal).
a. Infus : Asering + NB 20 TPM.
b. Injeksi :
 Citicolin 3 X 500 mg IV.
 Dexametasone 4 X 2 mg IV.
 Ericaf 3 X 1 tab .
 Omeprazole 2 X 40 mg IV.
 Ketorolac 2 X 30 mg IV.
 Ranitidine 30 mg 2x1 inj.
 Gabapentin 150 mg 2x1 tab.

4. Jumat, 12 maret 2019 (Bangsal).


a. Infus : Asering + NB 20 TPM.
b. Injeksi :
 Citicolin 3 X 500 mg IV.
 Dexametasone 4 X 2 mg IV.
 Ericaf 3 X 1 tab .
 Omeprazole 2 X 40 mg IV.
 Ranitidine 30 mg 2x1 inj.
 Gabapentin 150 mg 2x1 tab.

5. Sabtu, 13 Maret 2019 (Bangsal).


a. Infus : Asering + NB 20 TPM.
b. Injeksi :
 Citicolin 3 X 500 mg IV.

10
 Dexametasone 4 X 2 mg IV.
 Ericaf 3 X 1 tab .
 Omeprazole 2 X 40 mg IV.
 Ranitidine 30 mg 2x1 inj.
 Gabapentin 150 mg 2x1 tab.

6. Minggu, 14 Maret 2019 (Bangsal).


a. Infus : Asering + NB 20 TPM.
b. Injeksi :
 Citicolin 3 X 500 mg IV.
 Dexametasone 4 X 2 mg IV.
 Ericaf 3 X 1 tab .
 Omeprazole 2 X 40 mg IV.
 Ketorolac 2 X 30 mg IV.
 Ranitidine 30 mg 2x1 inj.
 Gabapentin 150 mg 2x1 tab.
7. Senin, 15 maret 2019 (Bangsal).
b. Infus : Asering + NB 20 TPM.
c. Injeksi :
 Citicolin 3 X 500 mg IV.
 Dexametasone 4 X 2 mg IV.
 Ericaf 3 X 1 tab .
 Omeprazole 2 X 40 mg IV.
 Ketorolac 2 X 30 mg IV.
 Ranitidine 30 mg 2x1 inj.
 Gabapentin 150 mg 2x1 tab.

NB : Pemberian terapi dan tindakan sesuai simtoms dan respon klinis.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Saraf Pusat

1. Embriologi

Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk pada awal minggu ketiga


sebagai lempeng neuralis (neural plate) pada daerah middorsal di depan
nodus primitif. Tepi-tepi lateralnya bergerak naik untuk membentuk
lipatan-lipatan neuralis (neural folds). Seiring perkembangannya, lipatan-
lipatan neuralis ini terus menaik, saling mendekati satu sama lain di garis
tengah, dan akhirnya menyatu membentuk tuba neuralis. Fusi dimulai di
daerah servikal dan begitu dimulai, ujung-ujung tuba neuralis yang
terbuka membentuk neuroporus kranialis dan kaudalis yang berhubungan
dengan rongga amniotik. Penutupan akhir neuroporus kranial terjadi pada
tahap 18-20 somit (hari ke-25), sedangkan penutupan akhir neuroporus
kaudal terjadi kira-kira dua hari kemudian (Guyton dan Hall, 2014).

Ujung sefalik dari tuba neuralis menunjukkan tiga pelebaran, yaitu


vesikel-vesikel otak primer: (a) prosensefalon, atau otak depan; (b)
mesensefalon, atau otak tengah; dan (c) rhombensefalon, atau otak
belakang. Secara bersamaan akan terbentuk dua fleksura: (a) fleksura
servikalis pada pertemuan otak belakang dan medula spinalis, dan (b)
fleksura sefalik di daerah otak tengah. Ketika embrio berumur lima
minggu, prosensefalon terdiri dari dua bagian: (a) telensefalon dan (b)
diensefalon (Guyton dan Hall, 2014).

Rhombensefalon dipisahkan dari mesensefalon oleh isthmus


rhomboensefalikus. Rhombensefalon juga terdiri dari dua bagian: (a)
metensefalon, yang nantinya membentuk pons dan serebelum, dan (b)
mielensefalon. Kedua bagian ini dibatasi oleh fleksura pontin. Lumen
medula spinalis, yaitu kanalis sentralis, berkesinambungan dengan
vesikel-vesikel otak. Rongga pada rhombensefalon merupakan ventrikel
keempat, rongga pada diensefalon merupakan ventrikel ketiga, dan

12
rongga pada hemisfer serebri merupakan ventrikel-ventrikel lateral.
Lumen mesensefalon menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat.
Lumen ini menjadi sangat sempit dan kemudiandisebut aqueduct of
Sylvius. Ventrikel-ventrikel lateral berhubungan dengan ventrikel ketiga
melalui interventricular foramina of Monro (Guyton dan Hall, 2014).

Pada mulanya sel-sel neuroektoderm yang membatasi tuba neuralis


berdiferensiasi menjadi neuroblas dan spongioblas. Neuroblas merupakan
cikal bakal neuron, sedangkan spongioblas berdiferensiasi menjadi
spongioblas yang sebagian menetap dan membentuk jaringan epitel yang
membatasi langsung tuba neuralis sebagai spongioblas ependim. Sebagian
lagi menjadi spongioblas yang bebas meninggalkan jajaran epitel dan
berkembang menjadi berbagai bentuk sel glia seperti astrosit
protoplasmatik, astrosit fibrosa, dan oligodendrosit (Guyton dan Hall,
2014).

2. Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi Otak (Guyton dan Hall, 2014).

13
Otak dan medula spinalis dikelilingi oleh tiga lapisan jaringan ikat
membranosa yang disebut meninges, yang meliputi :

a. Dura mater, yaitu lapisan terluar yang kaya akan serabut saraf
sensoris. Dura mater terutama disarafi oleh cabang-cabang sensoris
meningeal dari nervus trigeminus, nervus vagus, dan saraf-saraf
servikal atas. Dura mater juga membentuk lipatan atau lapisan
jaringan ikat tebal yang memisahkan berbagai regio otak seperti falks
serebri, falks serebeli, tentorium serebeli, dan diafragma sella.

b. Araknoid mater, yaitu lapisan di bawah dura mater yang avaskular.


Ruang di antara araknoid mater dan pia mater disebut spatium
subarachnoideum dan mengandung cairan serebrospinalis.

c. Pia mater, yaitu lapisan jaringan ikat yang langsung membungkus otak
dan medula spinalis. Araknoid mater dan pia mater tidak memiliki
serabut saraf sensoris (Guyton dan Hall, 2014).

Bagian yang paling menonjol dari otak manusia adalah hemisfer serebri.
Beberapa regio korteks serebri yang berhubungan dengan fungsi-fungsi
spesifik dibagi atas lobus-lobus. Lobus-lobus tersebut dan fungsinya
masing-masing antara lain (Sherwood, 2014) :

a. Lobus frontal memengaruhi kontrol motorik, kemampuan berbicara


ekspresif, kepribadian, dan hawa nafsu.

b. Lobus parietal memengaruhi input sensoris, representasi dan integrasi,


serta kemampuan berbicara reseptif

c. Lobus oksipital memengaruhi input dan pemrosesan penglihatan

d. Lobus temporal memengaruhi input pendengaran dan integrasi ingatan

e. Lobus insula memengaruhi emosi dan fungsi limbik

f. Lobus limbik memengaruhi emosi dan fungsi otonom.

Komponen-komponen otak lainnya antara lain:

14
a. Talamus merupakan pusat relai di antara area kortikal dan subkortikal.

b. Serebelum mengkoordinasikan aktivitas motorik halus dan


memproses posisi otot. Batang otak (otak tengah, pons, dan medula
oblongata) menyampaikan informasi sensoris dan motorik dari
somatik dan otonom serta informasi motorik dari pusat yang lebih
tinggi ke target-target perifer (Sherwood, 2014).

Otak mengandung empat ventrikel, yaitu dua ventrikel lateral serta


ventrikel ketiga dan keempat yang terletak di sentral. Cairan
serebrospinalis dihasilkan oleh pleksus koroideus, beredar melalui
ventrikel-ventrikel, dan kemudian memasuki ruang subaraknoid melalui
foramen Luschka atau foramen Magendie di ventrikel keempat. Otak
terutama diperdarahi oleh arteri vertebral yang berasal dari arteri
subklavia, naik melalui foramen transversum dari vertebra C1-C6, dan
memasuki foramen magnum tengkorak; dan arteri karotid internal yang
berasal dari arteri karotis komunis di leher, naik di leher, dan memasuki
kanalis karotis dan melintasi foramen laserum sehingga berakhir sebagai
arteri serebral anterior dan medial yang beranastomosis dengan sirkulus
Willisi (Guyton dan Hall, 2014).

3. Histologi

Otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang, jaringan ikat, dan
cairan serebrospinalis. Di dalam kranium dan foramen vertebrale terdapat
meninges, yaitu suatu jaringan ikat yang terdiri dari tiga lapisan, yaitu
dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Di antara araknoid mater dan
pia mater terdapat spatium subarachnoideum, tempat beredarnya cairan
serebrospinalis yang membasahi dan melindungi otak dan medula spinalis
(V. P. Eroschenko, 2010).

Sel struktural dan fungsional jaringan saraf adalah neuron. Setiap


neuron terdiri dari soma atau badan sel, banyak dendrit, dan satu akson.
Badan sel atau soma mengandung nukleus, nukleolus, berbagai organel,
dan sitoplasma atau perikarion. Dari badan sel muncul tonjolan-tonjolan

15
sitoplasma yang disebut dendrit yang membentuk percabangan dendritik.
Neuron dikelilingi oleh sel yang lebih kecil dan lebih banyak yaitu
neuroglia, yaitu sel penunjang nonneural yang memiliki banyak
percabangan di SSP dan mengelilingi neuron, akson, dan dendrit. Sel ini
tidak terangsang atau menghantarkan impuls karena secara morfologis
dan fungsional berbeda dari neuron. Sel neuroglia dapat dibedakan dari
ukurannya yang jauh lebih kecil dan nukleus yang berwarna gelap dan
jumlahnya sekitar sepuluh kali lipat lebih banyak daripada neuron (V. P.
Eroschenko, 2010).

Gambar 2.2 Bagian-bagian neuron (X100, H&E) (V. P.


Eroschenko, 2010).

Empat jenis sel neuroglia adalah astrosit, oligodendrosit, mikroglia,


dan sel ependimal. Astrosit adalah sel neuroglia terbesar dan paling
banyak ditemukan di substansia grisea. Astrosit terdiri dari dua jenis,
yaitu astrosit fibrosa dan astrosit protoplasmik. Oligodendrosit
membentuk selubung mielin akson di SSP. Mikroglia berasal dari sumsum
tulang dan fungsi utamanya mirip dengan makrofag jaringan ikat. Sel

16
ependimal adalah sel epitel kolumnar pendek atau selapis kuboid yang
melapisi ventrikel otak dan kanalis sentralis medula spinalis (V. P.
Eroschenko, 2010).

Otak dan medula spinalis mengandung substansia grisea dan


substansia alba. Substansia grisea terdiri dari neuron-neuron, dendrit-
dendritnya, dan neuroglia, sedangkan substansia alba tidak mengandung
badan sel neuron dan terutama terdiri dari akson bermielin, sebagian
akson tidak bermielin, dan oligodendrosit penunjang (V. P. Eroschenko,
2010).

Gambar 2.3 Astrosit fibrosa dan kapiler di otak. Pewarnaan:


metode Cajal. Pembesaran sedang (V. P. Eroschenko, 2010).

17
Gambar 2.4 . Oligodendrosit otak. Pewarnaan: metode Cajal.
Pembesaran sedang (V. P. Eroschenko, 2010).

Gambar 2.5 Mikroglia otak. Pewarnaan: metode Hortega.


Pembesaran sedang (V. P. Eroschenko, 2010).

Gambar 2.6. Sel ependimal pada kanalis sentralis medula spinalis


(X200, H&E) (V. P. Eroschenko, 2010).

4. Fisiologi

Sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan medula spinalis.
Tidak ada bagian otak yang bekerja sendiri dan terpisah dari bagian-
bagian otak lain karena anyaman neuron-neuron terhubung secara
anatomis oleh sinaps, dan neuron-neuron di seluruh otak berkomunikasi

18
secara ekstensif satu sama lain dengan cara listrik atau kimiawi. Akan
tetapi, neuron-neuron yang bekerja sama untuk melaksanakan fungsi
tertentu cenderung tersusun dalam lokasi yang terpisah. Karena itu,
meskipun merupakan suatu keseluruhan yang fungsional, otak tersusun
menjadi bagian-bagian yang berbeda. Bagian-bagian otak dapat
dikelompokkan dalam berbagai cara bergantung pada perbedaan
anatomik, spesialisasi fungsi, dan perkembangan evolusi (Sherwood,
2014).

Medula spinalis memiliki lokasi strategis antara otak dan serat


aferen dan eferen susunan saraf tepi. Lokasi ini memungkinkan medula
spinalis memenuhi dua fungsi primernya, yaitu sebagai penghubung
untuk transmisi informasi antara otak dan bagian tubuh lainnya dan
mengintegrasikan aktivitas refleks antara masukan aferen dan keluaran
eferen tanpa melibatkan otak. Jenis aktivitas refleks ini disebut refleks
spinal (Sherwood, 2014).

Tabel 2.1 Fungsi komponen utama otak (Sherwood, 2014).

KOMPONEN OTAK FUNGSI UTAMA

Korteks serebri 1. Persepsi sensorik


2. Kontrol gerakan sadar
3. Bahasa
4. Sifat kepribadian
5. Proses mental canggih (fungsi luhur), misalnya
berpikir, mengingat, mengambil keputusan,
kreativitas, dan kesadaran diri
Nukleus basalis 1. Inhibisi tonus otot
2. Koordinasi gerakan lambat, menetap
3. Menekan pola gerakan yang tidak bermanfaat
Talamus 1. Stasiun pemancar untuk semua masukan sinaps
2. Kesadaran kasar akan sensasi

19
3. Berperan dalam kesadaran
4. Berperan dalam kontrol motorik
Hipotalamus 1. Regulasi banyak fungsi homeostatik, misalnya
kontrol suhu, haus, pengeluaran urin, dan asupan
Makanan
2. Penghubung penting antara sistem saraf dan
Endokrin
3. Banyak terlibat dalam emosi dan pola perilaku dasar

B. Space Occupying Lesion Intrakranial (SOL)


1. Definisi Space Occupying Lesion

Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)


didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau
sekunder, serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan menempati
ruang di dalam otak. Space occupying lesion intrakranial meliputi
tumor, hematoma, dan abses (Rowland, 2005).

2. Mekanisme Patofisiologi Space Occupying Lesion

Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen


yaitu otak, cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai
sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki
tentorium yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum.
Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma, akan
menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai
konsekuensi dari space occupying lesion (SOL) (Riemenschneider et
al., 2006).

Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus


ventrikel lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini
berasal dari sekresi pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua
ventrikel lateral. Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus

20
koroideus dan kemudian melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan
yang disekresikan di ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke dalam
ventrikel ketiga. Setelah mendapat sejumlah cairan dari ventrikel ketiga,
cairan tersebut mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii ke
dalam ventrikel keempat. Cairan ini keluar dari ventrikel keempat
melalui tiga pintu kecil, yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu
foramen Magendie di tengah, dan memasuki sisterna magna, yaitu suatu
rongga cairan yang terletak di belakang medula dan di bawah serebelum
(Riemenschneider et al., 2006).

Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang


mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal
kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan mengalir ke dalam
vili arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar
dan sinus venosus lainnya di serebrum (Riemenschneider et al., 2006).

Gambar 2.6 Pembentukan Cairan Serebrospinal


(Riemenschneider et al., 2006).

Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan


tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh

21
jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian
menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan
intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm H 2O atau 4 – 15 mm Hg.
Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g),
cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).
Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intrakranial (Price, 2012).

Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu


dipertahankan konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15
mmHg. Tekanan abnormal apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas
40 mmHg dikategorikan sebagai peninggian yang parah. Penyebab
peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang diakibatkan trauma
kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga mencapai
tingkatan tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan
intrakranial pasca pecah aneurisma sering kali diikuti dengan
meningkatnya kadar laktat cairan serebrospinal dan hal ini
mengindikasi terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor otak yang makin
membesar akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah perlahan-
lahan (Price, 2012).

22
Gambar 2.7 Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan Kompresi
Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah (Price, 2012).

3. Macam-Macam Space Occupying Lesion


a. Tumor Otak

Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses


desak ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga
tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun
infratentorial (Price, 2012).
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada
prognosanya didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi
klinis yang berkaitan dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat
keganasan tumor otak didasari oleh hasil evaluasi morfologi
makroskopis dan histologis neoplasma, dikelompokkan atas kategori-
kategori (Mardjono et al., 2008). :
1) Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas,
tidak infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain
itu, ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya

23
metastasis maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan
total. Secara histologis, menunjukkan struktur sel yang reguler,
pertumbuhan la,a tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan
diferensiasi struktur yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun
teratur tanpa adanya formasi baru.
2) Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi
destruktur tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung
membentuk metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik
progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya
disebabkan oleh dua faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor
dan kenaikan intrakranial (Mardjono et al., 2008).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada
jaringan otak dan infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim
otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah
akibat tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis
jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya
bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan
gangguan serebrovaskular primer. Serangan kejang sebagai
manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan
kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak.
Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim
otak sekitar sehingga memperberat gangguan neurologis fokal
(Price, 2012).
Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak,
terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan
serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan menyebabkan
bertambahnya massa karena tumor akan mendesak ruang yang
relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Obstruksi vena
dan edema akibat kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan
peningkatan volume intrakranial dan tekanan intrakranial.

24
Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateralis ke
ruangan subarakhnoid menimbulkan hidrosefalus (Price, 2012).
Peningkatan tekanan intrakranial dapat membahayakan
jiwa apabila terjadi cepat akibat salah satu penyebab tersebut.
Mekanisme kompensasi antara lain bekerja menurunkan volume
darah intrakranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan
intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan
yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum.
Herniasi unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis
tergeser ke inferior melelui incisura tentorial oleh massa dalam
hemisfer otak. Herniasi menekan mesensefalon menyebabkan
hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak ketiga. Pada herniasi
serebelum, tonsil serebelum bergeser ke bawah melalui foramen
magnum oleh suatu massa posterior (Price, 2012).
Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow
berdasarkan tampilan sitologinya dan dalam perkembangan
selanjutnya dikemukakakn berbagai variasi modifikasi peneliti-
peneliti lain dari berbagai negara. Klasifikasi universal awal
dipeloporo oleh Bailey dan Cushing (1926) berdasarkan
histogenesis sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan dengan
diferensiasinya pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh
faktor-faktor, seperti lokasi tumor, efek radiasi, usia penderita,
dan tindakan operasi yang dilakukan. Sedangkan pada klasifikasi
Kernohan (1949) didasari oleh sistem gradasi keganasan di atas
dan menghubungkannya dengan prognosis (Mardjono et al.,
2008).

Klasifikasi stadium (Klasifikasi lesi primer susunan saraf pusat dilakukan


berdasarkan grading) :
a. WHO grade I : tumor dengan potensi proliferasi rendah, kurabilitas
pasca reseksi cukup baik.

25
b. WHO grade II : tumor bersifat infiltratif , aktivitas mitosis rendah,
namun sering timbul rekurensi. Jenis tertentu cenderung untuk bersifat
progresif ke arah derajat keganasan yang lebih tinggi.
c. WHO grade III : gambaran aktivitas mitosis jelas, kemampuan
infiltrasi tinggi, dan terdapat anaplasia.
d. WHO grade IV : mitosis aktif, cenderung nekrosis, pada umumnya
berhubungan dengan progresivitas penyakit yang cepat pada pre/post
operasi (Riemenschneider et al., 2006).

Jenis – jenis Tumor otak berdasarkan WHO 2000, tumor otak dibagi
menjadi (Riemenschneider et al., 2006). :
a. Tumors of the Neuroepithelial tissue :
1) Astrocytic tumor terdiri dari :
a) Pilocytic astrocytoma (grade I)
b) Diffuse Astrocytoma (grade II)
c) Anaplastic astrocytoma (grade III)
d) Glioblastoma multiforma (grade IV)
2) Oligodendroglioma tumors :
a) Oligodendroglioma (grade II)
b) Anaplastic oligodendroglioma (grade III)
3) Glioma campuran :
a) Oligoastrocytoma (grade III)
b) Anaplastic oligoastrocytoma (grade III)
b. Ependymal tumors
c. Choroid plexus tumors
d. Pineal Parenchymal tumors
e. Embryonal tumors :
1) Medulloblastoma
2) Primitive neuroectodermal tumors (PNET)
f. Meningeal tumors : Meningioma
g. Primary CNS Lymphoma
h. Germs cell tumors
i. Tumors of the sellar region
j. Brain metastase of the syst
k. emic cancers.

Tabel 2.2 Skema untuk mengklasifikasi Tumor Otak (Riemenschneider et al.,


2006).
Tipe Tumor Kriteria
Astrositoma Peningkatan jumlah astrosit;astrosit matang; astrosit yang
berkembang dengan normal.
Astrositoma Peningkatan jumlah astrosit yang kurang matur; kemungkinan

26
anaplastik ada gambaran mitotic (gambaran mitotic menunjukkan
peningkatan pembelahan sel dan perubahan keganasan).
Glioblastoma Peningkatan jumlah sel astrotis;astrotis imatur;adanya
multiformis gambaran mitosis;perdarahan;nekrosis, pembengkakan dan
batas tumor yang tidak jelas.

Berdasarkan Jenis Tumor (Riemenschneider et al., 2006).


1. Jinak
Pertumbuhan tumor jinak lambat dan biasanya berkapsul sehingga
mudah dibedakan dengan jarinngan sekitarnya karena berbatas tegas.
Pembesaran tumor akan menekan jaringan di dekatnya dan dapat
menyebabkan obstruksi atau atrofi.
1) Acoustic Neuroma
Tumor jinak dan sebaiknya disebut sebagai schwannoma, tumbuh dari sel
selubung saraf pada kompleks nervus VIII pada region meatus auditorius
internus. Manifestasi awal yang khas adalah gangguan pendengaran
sensorineural unilateral, yang disebabkan oleh kerusakan nervus delapan
dalam meatus (lesi intrakanalikular). Ekspansi tumor lebih lanjut ke sudut
serebelopontin melibatkan nervus kranialis yang berdekatan (nervus V dan
VII). Pertumbuhan tumor lebih lanjut menyebabkan ataksia ipsilateral
akibat kompresi batang otak-serebelum dan palsi nervus kranialis bagian
bawah (bulbar). Akhirnya, terjadi gambaran peningkatan tekanan
intracranial, terutama jika terjadi hidrosefalus akibat ostruksi pada tingkat
ventrikel keempat. tumor lain yang dapat mengenai sudut serebelopontin
termasuk meningioma dan metastasis.
2) Meningioma
Sebagian besar tumor bersifat jinak, berkapsul, dan tidak menginfiltrasi
jaringan sekitarnya tetapi menekan struktur yang berada di bawahnya.
Pasien usia tua sering terkena dan perempuan lebih sering terkena dari
pada laki-laki. Tumor ini sering kali memiliki banyak pembuluh darah
sehingga mampu menyerap isotop radioaktif saat dilakukan pemeriksaan
CT scan otak.
3) Pitiutary Adenoma

27
Jika terjadi ekspansi tumor hipofisis, maka tumor dapat mengenai struktur
di atas maupun di sekeliling fosa hipofisis (ekstensi suprasela dan
parasela). Manifestasi neurologis klasik dari lesi ini adalah hemianopia
bitemporal yang disebabkan oleh kompresi kiasma optikum oleh ekstensi
suprasela suatu adenoma. Keadaan patologis lainnya yang dapat
menyebabkan kompresi kiasma, sehingga menyerupai adenoma hipofisis
adalah aneurisma karotis, meningioma suprasela, dan kraniofaringioma
(tumor yang berasal dari sel perkembangan epitel bukan yang secara
embriologis dekat dengan tangkai hipofisis).
Adenoma hipofisis dapat menyebabkan gangguan endokrin bersamaan
dengan atau tanpa gangguan lapang pandang. sel tumor dapat bersifat
fungsional, yaitu mensekresi hormone hipofisis anterior (akromgeali yang
disebabkan oleh kelebihan hormone, prolaktinoma, penyakit Cushing
akibat tumor yang mensekresi kortikortropin). selain itu, dapat terjadi
hipopituitarisme akibat supresi sel normal kelenjar oleh tumor. Terkadang
adenoma hipofisis dapat mengalami infark akut. pasien menunjukkan
gejala nyeri kepala akut dan muntah-muntah (menyerupai perdarahan
subarachnoid) dan hipopituitarisme akut (aplopeksi hipofisis).
Pembengkakan jaringan tumor nekrotik menyebabkan hemianopia
bitemporal yang berkemebang cepat dengan oftalmoplegia bilateral akibat
ekstensi paraselar ke sinus kavernosus.
4) Astrocytoma (Grade 1)
b. Malignan
Tumor ganas sering disebut juga kanker, tumbuh dengan cepat dan
cenderung berinvasi ke jaringan sekitarnya sehingga batasnya tidak tegas dan
jarang berkapsul. Pada umumnya, tumor ganas diberi nama sesuai dengan
asal jaringan saat embrio. Tumor ganas yang berasal dari ectoderm dan
endoderm disebut karsinoma, dan yang berasal dari mesoderm disebut
sebagai sarcoma. Jika jaringan tumor ganas sangat menyerupai jaringan
embrio, tumor ini disebut sebagai blastoma, sepertipada neuroblastoma. Jika
tumor tersebut berasal dari dua lapis jaringan embrio, disebut
karsinosarkoma. Jika berasal dari tiga lapis jaringan embrio disebut sebagai
teratoma.
1) Astrocytoma (Grade 2,3,4)

28
2) Oligodendroglioma
Tumor ini dapat timbul sebagai gangguan kejang parsial yang dapat
muncul hingga 10 tahun. Secara klinis bersifat agresif dan menyebabkan
simptomatologi bermakna akibat peningkatan tekanan intrakranial dan
merupakan keganasan pada manusia yang paling bersifat kemosensitif.
3) Apendymoma
Tumor ganas yang jarang terjadi dan berasal dari hubungan erat pada
ependim yang menutup ventrikel. Pada fosa posterior paling sering terjadi
tetapi dapat terjadi di setiap bagian fosa ventrikularis. Dua faktor utama
yang mempengaruhi keberhasilan reseksi tumor dan kemampuan bertahan
hidup jangka panjang adalah usia dan letak anatomi tumor. Makin muda
usia pasien maka makin buruk progmosisnya.

4) Metastase Tumor Otak


Tumor dengan lokasi utama di luar otak. Kanker paru, payudara, dan
ginjal, serta melanoma ganas adalah sumber utama kanker otak metastasis.
Tumor metastasis pada otak umumnya multiple yang membuatnya lebih
sulit ditangani. Lokasi tumor dapat terletak di dalam otak itu sendiri atau
di meningen yang melapisi otak itu sendiri atau di meningen yang melapisi
otak (Riemenschneider et al., 2006).

Berdasarkan Lokasi Tumor (Riemenschneider et al., 2006).


a. Tumor Supratentorial
1) Glioma :
a). Glioblastoma multiforme
Tumor ini dapat timbul dimana saja tetapi paling sering
terjadi di hemisfer otak dan sering menyebar kesisi kontra
lateral melalui korpus kolosum. Tumor di dalam otak
berkembang dari sel otak, disebut sel glial. Sel ini adalah
beberapa dari yang disebut sel pendukung yang tidak
mengirimkan impuls saraf, tapi melaksanakan tugas-tugas
yang berarti bagi otak, misalnya membersihkan zat kimia
yang berlebihan. Terkadang tumor glial tumbuh sangat
lambat dan orangnya bisa hidup normal selama bertahun-
tahun sebelum masalah muncul. tumor sel glial lainnya
tumbuh dengan cepat sekali dan berisi sel yang membagi

29
dengan sangat cepat. Obat belum menjadi alat efektif untuk
mengobati tumor yang tumbuh dengan cepat semacam itu.
Jenis tumor yang merupakan masalah pengobatan terbesar
dalam bentuk tumor glial, glioblastoma (Riemenschneider et
al., 2006).
Glioblastoma atau glioblastoma multiform adalah stadium
tertinggi glioma (grade IV), tumor paling ganas dalam kelas
astrocytoma, dan sama dengan grade IV glioma. Gambaran
histologist yang ditambilkan glioblastoma dari seluruh grade
menunjukkan adanya nekrosis dan peningkatan pembuluh
darah disekitar tumor. Tumor grade IV tumbuh dengan cepat
dan memiliki tingkat keganasan yang tinggi
(Riemenschneider et al., 2006).
Banyak peneliti berusaha muncul dengan terapi lebih baik
untuk tumor terberat, Glioblastoma. satu pendekatan adalah
memasukkan obat penghancur kanker langsung ke dalam
tumor dalam bentuk tablet berisi obat bubuk yang
dikeluarkan dengan lambat. Pendekatan ini memperpanjang
kelangsungan dan kulitas hidup, tapi sejauh ini belum
memproduksi obat. Tehnik genetic modem juga diuji yang
dapat memasukkan gen ke dalam tumor, dengan harapan
akan membunuh tumor, atau membuatnya lebih responsive
terhadap pengobatan dengan kemoterapi atau radiasi
(Riemenschneider et al., 2006).

Terdapat 2 subtipe glioblastoma


1. De Novo (baru atau primer)
Tumor de novo tumbuh sangat cepat dan segera
membentuk sel yang terlihat berbahaya. tumor tersebut
merupakan kejadian tumor terbanyak dan sangat
berbahaya dari glioblastoma.
2. Sekunder
Glioblastoma sekunder sering ditemukan pada pasien
berusia kurang dari 45 tahun hingga 45 tahun.
Glioblastoma sekunder ditandai dengan dimulainya grade

30
astrocytoma awal hingga grade sedang yang berasal dari
kelainan gen yang akan berubah menjadi ganas, tumbuh
cepat menjadi glioblastoma.
Tampilan makroskopis glioblastoma yaitu massa yang
berbatas tegas atau neoplasma yang infiltrative secara
difus. hampir 60% tumor ini merupakan massan yang
solid dan sisanya kistik. nekrosis tumor juga dapat
dijumpai. Potongan tumor dapat berupa massa yang lunak
berwarna keabu-abuan atau kemerahan atau berupa daerah
nekrosis dengan konsistensi seperti krim kekuningan atau
berwarna cokelat kemerahan. Tampilan mikroskopik
glioblastoma berupa massa hiperseluler, pleiomorfisme sel
dan nucleus serta nekrosis. garam kalsium dijumpai pada
3% kasus. Kadang ada kecenderungan sel untuk
berkumpul di sekitar daerah nekrosis, dimana tampilan ini
dikenal dengan istilah pseudopalisade. terjadi pertambahan
jumlah kapiler dan proliferasi endotelnya. gejala yang
dialami pasien mulai dari nyeri kepala, gangguan motorik,
perubahan mental, kejang, abnormalitas neurologis berupa
refleks yang abnormal, konfusi atau diaorientasi,
kesadangan menurun, gangguan lapang pandang, koma
dan parese nervus ke III dan VI (Riemenschneider et al.,
2006).
b). Astroscytoma
Neoplasma pada sistem saraf pusat dimana sel predominan
diturunkan pada astrosit (neuroglia bentuk seperti bintang).
Pada orang dewasa tumbuh di hemisfer serebri. Pada anak-
anak dan dewasa muda di serebelum, dan pada umumnya
berisi cairan atau kistik.
c). Oligodendroglioma
Merupakan lesi yang tumbuh lambat menyerupai astrositoma
tetapi terdiri dari sel sel oligodendroglia. Tumor relative
avaskuler dan cenderung mengalami klasifikasi biasanya di

31
jumpai pada hemisfer otak orang dewasa muda
(Riemenschneider et al., 2006).

2) Meningioma
Meningioma merupakan tumor terpenting yang berasal dari
meningen, sel sel mesotel, dan sel sel jaringan penyambung
araknoid. Tumor ini umumnya berbentuk bulat atau oval dengan
perlekatan duramater yang lebar (broad base) berbatas tegas
karena adanya psedokapsul dari membran araknoid. Pada
kompartemen supratentorium tumbuh sekitar 90%, terletak dekat
dengan tulang dan kadang disertai reaksi tulang berupa
hiperostosis. Karena merupakan massa ekstraaksial lokasi
meningioma disebut sesuai dengan tempat perlekatannya pada
duramater, seperti Falk (25%), Sphenoid ridge (20%),
Konveksitas (20%), Olfactory groove (10%), Tuberculum sellae
(10%), Konveksitas serebellum (5%), dan Cerebello-Pontine
angle. Karena tumbuh lambat defisit neurologik yang terjadi juga
berkembang lambat (disebabkan oleh pendesakan struktur otak di
sekitar tumor atau letak timbulnya tumor). Pada meningioma
konveksitas 70% ada di regio frontalis dan asimptomatik sampai
berukuran besar sekali. Sedangkan di basis kranii sekitar sella
turcika (tuberkulum sellae, planum sphenoidalis, sisi medial
sphenoid ridge) tumor akan segera mendesak saraf optik dan
menyebabkan gangguan visus yang progresif. Secara
mikroskopis, sel tumor terlihat bundar, oligonal, oval, atau bentuk
spindle. intinya teratur, bundar atau oval, leptokromatik.
Sitoplasmanya berwarna eosinofilik pucat. tumor ini
vaskularisasinya banyak, shingga untuk pendekatan tindakan
operatif mutlak dilakukan angiografi. CT-scan non kontras terlihat
hiperdens. post kontras enhancemennya homogen, kecuali bila
terjadi nekrotik, kistik, dan hemoragis (Riemenschneider et al.,
2006).

32
b. Tumor Infratentorial
1) Schwanoma akustikus
Biasanya lambat pertumbuhannya dan paling sering berkembang
pada saraf akustikus sehingga muncul gejala gangguan
pendengaran.
2) Tumor metastasis
Lesi-lesi metastasis menyebabkan sekitar 5 % – 10 % dari seluruh
tumor otak dan dapat berasal dari setiap tempat primer. Tumor
primer paling sering berasal dari paru-paru dan payudara. Namun
neoplasma dari saluran kemih kelamin, saluran cerna, tulang dan
tiroid dapat juga bermetastasis ke otak. Organ tubuh seperti
tulang, paru, dan otak mempunyai kecenderungan lebih besar
sebagai tempat metastasis jika dibandingkan dengan organ tubuh
lain, sebaliknya limpa, ginjal, dan hari merupakan organ yang
paling jarang terkena.
Kanker dapat menyebar dari satu organ ke lainnya saat cukilan
kecil tumor pecah dan memasuki aliran darah. Lalu cukilan tumor
terbawa ke orang lain, yang memulai aksinya. kanker yang
menyebar ke otak paling umum menimpa orang lanjut usia;
kanker paru, payudara, usus dan kaker kulit yang disebut
melanoma yang berbahaya. Kanker prostat adalah kasus khusus
karena atas suatu alasan, penyebarannya mengarah ke penutup
otak daripada jaringan otak itu sendiri.
Pada saat kanker menyebar ke otak, biasanya tumbuh sebagai
tumor tunggal. jadi, tumor otak metastatic memiliki gejala sama
sebagai tumor otak primer dan terlihat mirirp sekali pada studi
pencitraan. Dokter bisa memberitahu perbedaan hanya dengan
melihat tumor di bawah mikroskop dan mengenali bahwa sel-sel
yang membentuk tumor tidak, secara normal, berada di dalam
otak tapi bergerak ke sana dari paru-paru atau payudara. tak
ajrang gejala dari otak adalah tanda pertama yang meanndai
munculnya kanker. di waktu-waktu yang lan, keterlibatan otak

33
dalam penyakit sudah terlambat, setelah kanker sudah menyebar
ke organ-organ lain (Riemenschneider et al., 2006).
3) Meningioma
Meningioma merupakan tumor terpenting yang berasal dari
meningen, sel-sel mesotel, dan sel-sel jaringan penyambung
araknoid dan dural.
4) Hemangioblastoma
Neoplasma yang terdiri dari unsur-unsur vaskuler embriologis
yang paling sering dijumpai dalam serebelum (Riemenschneider
et al., 2006).
b. Hematom Intrakranial
1) Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui
foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di
permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural. Desakan dari hematom akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar (Price, 2012).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan
tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam.
Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan
sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi
tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik (Price, 2012).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda.
Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual, dan muntah diikuti dengan
penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang teroenting adalah
pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar (Price, 2012).

34
Gambar 2.8 Hematom Epidural
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak
terdorong kesisi lain (Price, 2012).

2) Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang
menyebabkan robeknya vena di dalam ruang araknoid.
Pembesaran hematom karena robeknya vena memerlukan waktu
yang lama. Oleh karena hematom subdural sering disertai cedera
otak berat lain, jika dibandingkan dengan hematom epidural
prognosisnya lebih jelek (Price, 2012).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul
pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara
hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah
minggu ketiga (Price, 2012).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang
penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera.
Hematoma sering berkaitan dengan trauma otak berat dan
memiliki mortalitas yang tinggi. Hematoma subdural akut terjadi
pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang
tampaknya mengalami trauma kepala minor. Cidera ini seringkali
berkaitan dengan cidera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan
pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen

35
magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan hilangnya
kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah (Price, 2012).
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik
bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua
minggu setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada penderita
hematom subdurak subakut adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam
beberapa jam. Meningkatnya tekanan intrakranial akibat timbunan
hematom yang menyebabkan menjadi sulit dibangunkan dan tidak
merespon terhadap rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan
tekanan intrakranial dan pergeseran isi kranial akibat timbunan
darah akan menyebabkan terjadinya herniasi unkus atau sentral
dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi batang otak
(Price, 2012).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera
awal. Pada orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan
gejala awal demensia. Trauma pertama merobek salah satu vena
yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat
ke dalam ruang subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk
peredaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan
ke dalam hematoma. Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat
menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat robekan membran
atau pembuluh darah di sekelilinhnya sehingga meningkatkan
ukuran dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti
perjalanan alamiahnya, unsur-unsur kandungan hematom subdural
akan mengalami perubahan-perubahan yang khas. Hematoma
subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik,

36
tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses
penyakit lain. Gejala dan tanda perubahan yang paling khas adalah
perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati,
latergi, berkurangnya perhatian dan menurunnya kemampuan
untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi
(Price, 2012).

Gambar 2.9 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural (Price,


2012).

Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan


hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut
dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang
(space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak jarang
dianggap sebagai neoplasma atau demensia (R. Sjamsuhidajat,
2004).

37
Gambar 2.10 Hematom Subdural (Price, 2012).
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak
terdorong kesisi lain (Price, 2012).

3) Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang
subdural. Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena
robekan selaput arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal
keluar ke ruang subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda
kenaikan tekanan intrakranial, sering tanpa tanda fokal (Price,
2012).
4. Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space
Occupying Intracranial
a. Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial

Trias nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum


dianggap sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial.
Namun demikian, dua pertiga pasien dengan lesi desak ruang
memiliki semua gambaran tersebut, sedang kebanyakan sisanya
umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial
tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi. Tak
ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya
gejala (Rohkamm, 2004).

38
1) Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli bedah
saraf dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia lokal
karena tulang tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak tanpa
nyeri. Struktur sensitif nyeri didalam kranium adalah arteria
meningeal media beserta cabangnya, arteri besar didasar otak,
sinus venosus dan bridging veins, serta dura didasar fossa
kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak
yang terjadi membendung dan menggeser pembuluh darah
serebral atau sinus venosus serta cabang utamanya dan
memperberat nyeri lokal. Nyeri yang lebih terlokalisir
diakibatkan oleh peregangan atau penggeseran duramater
didaerah basal dan batang saraf sensori kranial kelima,
kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh
spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini mungkin
berdiri sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks bila
mekanisme nyeri bekerja (Rohkamm, 2004).
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara klasik
bangun pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam satu-
dua jam. Nyeri kepala pagi ini pertanda terjadinya peningkatan
tekanan intrakrania; selama malam akibat posisi berbaring,
peninggian PCO2 selama tidur karena depresi pernafasan dan
mungkin karena penurunan reabsorpsi cairan serebrospinal
(Rohkamm, 2004).
2) Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh semua
sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan diagnosis
biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini mungkin
jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel keempat
yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi hampir
selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat obstruksi aliran
cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah menentukan

39
mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat peninggian
tekanan intrakranial biasanya timbul setelah bangun, sering
bersama dengan nyeri kepala pagi. Walau sering dijelaskan
sebagai projektil, maksudnya terjadi dengan kuat dan tanpa
peringatan, hal ini jarang merupakan gambaran yang
menarik perhatian (Rohkamm, 2004).
3) Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau
pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial yang menetap selama lebih
dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini berhubungan
dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan
tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi
drainase vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan
menyebabkan pembengkakan pada diskus optikus dan retina
serta pendarahan diskus. Papila oedema tahap lanjut dapat
menyebabkan terjadinya atrofi sekunder papil nervus optikus
(Rohkamm, 2004).
b. Gejala Umum Space Occupying Lesion
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah
sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat,
papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan
gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor
pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi
tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit
neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan gejalagejala yang
umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian
memberikan gejala umum (Rohkamm, 2004).

40
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan
(Rohkamm, 2004). :
1) Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang
meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium
dapat berakhir hingga koma. Tekanan intrakranium yang
meninggi dapat menyebabkan ruang tengkorak yang tertutup
terdesak dan dapat pula menyebabkan perdarahan setempat.
Selain itu, jaringan otak sendiri akan bereaksi dengan
menimbulkan edema, yang berkembang karena penimbunan
katabolit di sekitar jaringan neoplasmatik. Stasis dapat pula
terjadi karena penekanan pada vena dan disusuk dengan terjadi
edema. Pada umumnya tumor di fosa kranium posterior lebih
cepat menimbulkan gejala-gejala yang mencerminkan tekanan
intrakranium yang meninggi. Hal ini mungkin disebabkan
karena aliran CSF pada aquaductus yang berpusat di fosa
kranium posterior dapat tersebumbat sehingga tekanan dapat
meninggi dengan cepat (Rohkamm, 2004).
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
a) Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke
lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari
fosa kranium medial dan biasanya mendesak tepi medial
unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke
kolong tepi bebas daun tentorium. Karena desakan itu,
bukan diansefalon yang pertama kali mengalami
gangguan, melainkan bagian ventral nervus okulomotoris.
Akibatnya, pada awalnya akan kan terjadi dilatasi pupil
kontralateral barulah disusul dengan gangguan kesadaran.
Biasanya, setelah ini akan terjadi herniasi tentorial, yaitu
keadaan terjepitnya diansefalon oleh tentorium. Pupil yang
melebar merupakan cerminan dari terjepitnya nervus
okulomotoris oleh arteri serebeli superior. Pada tahap

41
berkembangnya paralisis okulomotoris, kesadaran akan
menurun secara progresif (Rohkamm, 2004).
b) Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang
otak
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang
supratentorial dan secara berangsur-angsur akan
menimbulkan kompresi ke bagian rostral batang otak.
Tanda bahwa suatu tumor supratentorial mulai menggangu
diansefalon biasanya berupa gangguan perangai. Yang
pertama-tama terjadi adalah keluhan cepat lupa, tidak bisa
berkonsentrasi dan tidak bisa mengingat (Rohkamm,
2004).

Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang


otak akan menyebabkan :
 Respirasi yang kurang teratur
 Pupil kedua sisi sempit sekali
 Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping
kiri dan kanan
 Gejala-gejala UMN pada kedua sisi (Rohkamm,
2004).

Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan


terjadi :
 Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
 Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk
melonjak terus
 Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
 Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar
dan tidak lagi bereaksi terhadap sinar cahaya
(Rohkamm, 2004).
c) Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula
oblongata. Gejala-gejala gangguan pupil, pernafasan,
okuler dan tekanan darah berikut nadi yang menandakan
gangguan pada medula oblongata, pons, ataupun
mesensefalon akan terjadi (Rohkamm, 2004).

42
2) Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial
atau akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering
adalah sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri
kepala hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna
(ganas) menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada
tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan
frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang
sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan pada
mulanya hanya memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor
pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan oksipital lebih
sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian
memberikan gejala umum (Rohkamm, 2004).
a) Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor
otak yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya
tumpul dan intermitten. Nyeri kepala berat juga sering
diperhebat oleh perubahan posisi, batuk, maneuver valsava
dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri
kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada
tumor supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada
bagian frontal. Tumor pada fossa posterior memberikan
nyeri alih ke oksiput dan leher. Sakit kepala merupakan
gejala umum yang dirasakan pada tumor intrakranium.
Sifat dari sakit kepala itu adalah nyeri berdenyut-denyut
atau rasa penuh di kepala seolaholah mau meledak.
Nyerinya paling hebat di pagi hari, karena selama tidur
malam PCO2 arteri serebral meningkat sehingga
mengakibatkan peningkatan dari CBF dan dengan
demikian meningkatkan lagi tekanan intrakranium.
Lokalisasai nyeri yang unilateral akan sesuai dengan lokasi
tumornya (Rohkamm, 2004).
Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas,
mungkin saja sakit kepala belum dirasakan. Misalnya,

43
glioma pada tahap dini dapat mendekam di otak tanpa
menimbulkan gejala apapun. Sebaliknya, astrositoma
derajat 1 sekalipun dapat berefek buruk jika menduduki
daerah yang penting, misalnya daerah bicara motorik
Brocca (Rohkamm, 2004).
Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior (tumor
infratentorial) dapat dengan cepat menekan saluran CSS.
Karena itu, sakit kepala akan terasa sejak awal dan untuk
waktu yang lama tidak menunjukkan gejala defisit
neurologik. Tumor infratentorial yang berlokasi di samping
(unilateral) cepat menimbulkan gejala defisit neurologik
akibat pergeseran atau atau desakan terhadap batang otak.
Maka dari itu, tuli sesisi, vertigo, ataksia, neuralgia
trigeminus, oftalmoplegia (paralisis otot-otot mata) dan
paresis (paralisis ringan) perifer fasialis dapat ditemukan
pada pemeriksaan (Rohkamm, 2004).
Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat dibedakan
dengan jelas. Pusing kepala biasanya disebabkan oleh
oftalmoplegia (yang menimbulkan diplopia). Kombinasi
pusing kepala ataupun sakit kepala dan diplopia harus
menimbulkan kecurigaan terhadapa adanya tumor serebri,
terutama tumor serebri infratentorial (Rohkamm, 2004).
b) Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan
efek dari massa tumor tersebut juga mengindikasikan
adanya pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan
malam hari, dimana muntah yang proyektil tanpa didahului
mual menambah kecurigaan adanya massa intrakranial.
Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur.
Hal ini disebabkan oleh tekanan intrakranium yang
meninggi selama tidur malam, di mana PCO2 serebral
meningkat. Sifat muntah dari penderita dengan tekanan
intrakranium meninggi adalah khas, yaitu proyektil atau
muncrat yang tanpa didahului mual (Rohkamm, 2004).

44
c) Kejang fokal
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan
intrakranium yang melonjak secara cepat, terutama sebagai
gejala dari glioblastoma multiform. Kejang tonik biasanya
timbul pada tumor di fosa kranium posterior (Rohkamm,
2004).
d) Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian,
perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-
gejala umum pada penderita dengan tumor lobus frontal
atau temporal. Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak
ditangani dapat menyebabkan terjadinya somnolen hingga
koma. (4,9,10) Tumor di sebagian besar otak dapat
mengakibatkan gangguan mental, misalnya demensia,
apatia, gangguan watak dan serta gangguan intelegensi dan
psikosis. Gangguan emosi juga akan terjadi terutama jika
tumor tersebut mendesak sistem limbik (khususnya
amigdala dan girus cinguli) karena sistem limbik
merupakan pusat pengatur emosi (Rohkamm, 2004).
e). Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak,
sebab dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera
dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan
gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema
papil yang berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan
bintik buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan
menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap
(Rohkamm, 2004).
f). Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya
lambat seperti astrositoma, oligodendroglioma dan
meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus
frontal baru kemudian tumor pada lobus parietal dan
temporal (Rohkamm, 2004).

45
c. Gejala Lokal Space Occupying Lesion

Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi


parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke
daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim
proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi
fokal yang reversibel (Rohkamm, 2004).
1). Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan muntah
dan papil udema akan timbul pada tahap lanjutan. Walaupun
gangguan mental dapat terjadi akibat tumor di bagian otak
manapun, namun terutama terjadi akibat tumor di bagian frontalis
dan korpus kalosum. Akan terjadi kemunduran intelegensi,
ditandai dengan gejala “Witzelsucht”, yaitu suka menceritakan
lelucon-lelucon yang sering diulang-ulang dan disajikan sebagai
bahan tertawaan, yang bermutu rendah (Rohkamm, 2004).
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain dari
tumor di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar daerah
premotorik. Tumor di lobus frontalis juga dapat menyebabkan
refleks memegang dan anosmia (Rohkamm, 2004).
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang
diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau parasagital
dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda lokal
tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan
afasia jika hemisfer dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral
menunjukkan adanya tumor bulbus olfaktorius (Rohkamm, 2004).
2). Tumor di daerah presentralis
Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah motorik
sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral sebagai
gejala dini. Bila tumor di daerah presentral sudah menimbulkan
destruksi strukturil, maka gejalanya berupa hemiparesis
kontralateral. Jika tumor bertumbuh di daerah falk serebri setinggi
daerah presentralis, maka paparesis inferior akan dijumpai
(Rohkamm, 2004).

46
3). Tumor di lobus temporalis.
Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis kurang
menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan timbul
serangan “uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan terjadi
gangguan pada funsgi penciuman serta halusinasi auditorik dan
afasia sensorik. Hal ini logis bila dikaitkan dengan fungsi unkus
sebagai pusat penciuman dan lobus temporalis sebagai pusat
pendengaran. Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi
traktus kortikospinal kontralateral, defisit lapangan pandang
homonim, perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang
parsial kompleks (Price, 2012).

4). Tumor di lobus parietalis


Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah sensorik.
Jika tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil, maka segala
macam perasa pada daerah tubuh kontralateral yang bersangkutan
tidak dapat dikenali dan dirasakan. Hal ini akan menimbulkan
astereognosia dan ataksia sensorik. Bila bagian dalam parietalis
yang terkena, maka akan timbul gejala yang disebut “thalamic
over-reaction”, yaitu reaksi yang berlebihan terhadap rangsang
protopatik. Selain itu, dapat terjadi lesi yang menyebabkan
terputusnya optic radiation sehingga dapat timbul hemianopsia
Daerah posterior dari lobus parietalis yang berdampingan dengan
lobus temporalis dan lobus oksipitalis merupakan daerah penting
bagi keutuhan fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah
tersebut akan menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan
untuk mengenali rangsang sensorik) dan afasia sensorik, serta
apraksia (kegagalan untuk melakukan gerakan-gerakan yang
bertujuan walaupun tidak ada gangguan sensorik dan motorik).
Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan sensoris
dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala utama
tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain diantaranya
disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/

47
quadrianopsia inferior homonim kontralateral dan simple motor
atau kejang sensoris (Price, 2012).
5). Tumor pada lobus oksipitalis
Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala yang
muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput. Kemudian
dapat disusul dengan gangguan medan penglihatan.
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym
yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan
persepsi kontralateral episodik terhadap cahaya senter, warna atau
pada bentuk geometri (Price, 2012).

6). Tumor pada korpus kalosum


Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,
terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala yang
baru dialami dan mereda. Demensia uga akan sering timbul
dosertai kejang tergantung pada lokasi dan luar tumor yang
menduduki korpus kalosum (Price, 2012).
7). Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat
ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus.
Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga
terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal dan verteks, muntah
dan kadang-kadang pingsan. Hal ini juga menyebabkan gangguan
ingatan, diabetes insipidus, amenorea, galaktorea dan gangguan
pengecapan dan pengaturan suhu (Price, 2012).
8). Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan
pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi
pada ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan
menimbulkan gejala-gejala umum (Price, 2012).
9). Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan
gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo
dan nistagmus mungkin menonjol (Price, 2012).

5. Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial

48
Perubahan Tanda Vital (Mardjono et al., 2008). :
a. Denyut Nadi
Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme
kompensasi yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan
mekanisme ini dikontrol oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal
yang terdapat di medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka
denut nadi akan menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan
daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan
ini normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari
kesadaran.Perubahan pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan
langsung pada batang otak. Pada bayi, pernafasan irregular dan
meningkatnya serangan apneu sering terjadiantara gejala-gejala awal
dari peningkatan ICP yang cepat dan dapat berkembang dengan cepat
ke respiratory arrest.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan ICP, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya
peningkatan ICP, tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme
kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan meningkatnya
tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai dengan
perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus
berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun .
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung,
suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi
berubah, peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi
dari hipotalamus atau edema pada traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil

49
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi
pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi
yang menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti
edema otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius
menyebabkan penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di
antara tentorium dan herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan
dilatasi pupil yang permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk
mengendalikan fungsi pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan
kesimetrisannya dimana ketika dibandingkan antara kiri dan kanan,
kedua pupil harus memiliki ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi
pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
1). Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya
terhadap cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang
penglihatan serta pemeriksaan gerakan bola mata
2). Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil
nervus optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil
odema tahap lanjut.
3). Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks
fisiologi, reflek patologis, dan klonus.
4). Pemeriksaan sensibilitas (Mardjono et al., 2008).

Pemeriksaan Penunjang
 Elektroensefalografi (EEG)
 Foto polos kepala
 Arteriografi
 Computerized Tomografi (CT Scan)
 Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Mardjono et al., 2008).

6. Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan Space Occupying


Lesion
Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP adalah
pengangkatan dari lesi penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan
hematoma. Peningkatan ICP pasca operasi jarang terjadi hari-hari ini

50
dengan meningkatnya penggunaan mikroskop dan teknik khusus untuk
menghindari pengangkatan otak. Peningkatan ICP adalah sebuah
fenomena sementara yang berlangsung untuk waktu yang singkat kecuali
ada cedera sekunder segar karena hipoksia, bekuan atau gangguan
elektrolit. Pengobatan ditujukan untuk mencegah peristiwa sekunder. ICP
klinis dan pemantauan akan membantu. Berikut merupakan tindakan yang
dapat dilakukan (Mardjono et al., 2008).

Trauma
a. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk
mengamankan ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak pasien
dengan peningkatan ICP memerlukan intubasi. Pasien dengan skor
GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi airway. Yang
menjadi perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi
ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat
meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan menghasilkan
inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP (Mardjono
et al., 2008).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung
kemih dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa
pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian
analgesia yang memadai harus diberikan walaupun pasien dalam
kondisi di bawah sadar (Mardjono et al., 2008).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala
dapat menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan
cedera kepala melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF
yang akan menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan
umumnya digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien
harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus ke depan karena
apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai
dengan fleksi pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena

51
jugularis interna dan memperlambat aliran balik vena (Mardjono et al.,
2008).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada
autoregulasi yang kemudian disertai dengan kejang dapat
membahayakan kondisi pasien dengan peningkatan ICP. Sehingga
banyak praktisi kesehatan yang kemudian menggunakan terapi
profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan cedera kepala,
perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan kondisi yang
lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein dengan
tumor otak dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya
kejang, tapi dengan efek samping yang juga cukup besar (Mardjono et
al., 2008).
b. Penanganan Sekunder
 Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang
lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada
perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen darah
dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga agar
PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF akan
turun dan volume darah otak berkurang dan dengan demikian
mengurangi ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan harus
dihindari dan menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam.
Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal
dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-140
mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi pupil atau
tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan (sebaiknya
dengan Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik O2, hipotermia
masih dalam tahap percobaan, terutama di Jepang. Mereka pada
dasarnya menyebabkan vasokonstriksi serebral dan mengurangi
volume darah otak dan ICP (Mardjono et al., 2008).

52
 Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika
permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan
osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik
untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika digunakan dengan benar:
itu adalah diuretik osmotik yang paling umum digunakan. Hal ini
juga dapat bertindak sebagai scavenger radikal bebas. Manitol
tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol dan urea merupak
golongan yang jarang digunakan hari ini. Beberapa teori telah
dikemukakan mengenai mekanisme yang mengurangi ICP
(Mardjono et al., 2008).
1). Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang menurunkan
viskositas darah dan menyebabkan vasokonstriksi yang
mengurangi volume darah otak dan menurunkan ICP dan dapat
mengurangi produksi CSF oleh pleksus choroideus. Dalam
dosis kecil dapat melindungi otak dari iskemik karena
fleksibilitas eritrosit meningkat (Mardjono et al., 2008).
2). Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas sawar
darah otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang signifikan
pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih baik dari lesi
ekstra aksial (Mardjono et al., 2008).
3). Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma
dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan oleh
drainase ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24 jam
20% sampai 25% iv baik sebagai bolus atau lebih umum secara
bertahap. Tidak ada peran untuk dehidrasi. Efek Manitol pada
ICP maksimal adalah 1 / 2 jam setelah infus dan berlangsung
selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah aturan. Dosis yang benar
adalah dosis terkecil yang akan berpengaruh cukup terhadap
ICP. Ketika dosis berulang diperlukan, penggunaan garis dasar
osmolalitas serum meningkat secara bertahap dan saat ini
melebihi 330 mosm / 1 terapi manitol harus dihentikan.
Penggunaan lebih lanjut tidak efektif dan cenderung

53
menimbulkan gagal ginjal. Diuretik seperti furosemid, baik
sendiri atau bersama dengan bantuan manitol untuk
mempercepat ekskresi dan mengurangi osmolalitas serum awal
sebelum dosis berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa
furosemid manitol dapat meningkatkan output. Beberapa
memberikan furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi
overload sirkulasi. Fenomena rebound adalah karena
pembalikan gradien osmoICP sebagai akibat kebocoran
progresif dari agen osmotik melintasi penghalang darah otak
rusak, atau karena ICP yang meningkat kembali (Mardjono et
al., 2008).
c. Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain
gagal, tetapi tidak memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat
peroksidasi lipid dimediasi radikal bebas dan menekan
metabolisme serebral; persyaratan metabolisme otak dan dengan
demikian volume darah otak yang berkurang mengakibatkan
penurunan ICP. Fenobarbital yang paling banyak digunakan. Dosis
10 mg / kg pemuatan lebih dari 30 menit dan 1-3mg/kg setiap jam
secara luas digunakan. Fasilitas untuk memantau dekat ICP dan
ketidakstabilan hemodinamik harus menemani setiap terapi obat
tidur (Mardjono et al., 2008).
d. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu
dan masih digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan
integritas dinding sel dan membantu dalam pemulihan dan
mengurangi edema. Barbiturat dan agen anestesi lain mengurangi
tekanan CBF dan arteri sehingga mengurangi ICP. Selain itu
mengurangi metabolisme otak dan permintaan energi yang
memfasilitasi penyembuhan lebih baik (Mardjono et al., 2008).
e. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi
yang lain. Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari
temperature tubuh yang normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode
ini dapat mungkin menurunkan ICP dengan menurunkan

54
metabolisme dari otak. Metode terapi hipotermia selama 48 jam
atau kurang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan TCB.
Metode terapi ini selama 8 jam atau lebih dapat dipertimbangkan
untuk terapi pada peningkatan ICP.. Penggunaan metode ini hanya
direkomendasikan pada ahli yang berpengalaman yang benar-benar
mengerti perubahan fisiologi yang berhubungan dengan hipotermia
dan mampu merespon dengan cepat perubahan tersebut.
Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi depresi jantung
pada suhu di bawah 32°C. dan peningkatan insiden komplikasi
berupa infeksi seperti pneumonia telah dilaporkan pada metode
terapi ini (Mardjono et al., 2008).
f. Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat
dapat terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada
jaringan diamana hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik.
Sindroma klinis didiagnosa dengan adanya pemanjangan PT dan
aktivasi sebagian dari nilai APTT, penurunan level fibrinogen,
peningkatan level fibrin, dan penurunan jumlah platelet. APTT
yang memanjang ditangani dengan memberikan fresh frozen
plasma. Kadar Fibrinogen di bawah 150 mg/dL memerlukan
penanganan berupa pemberian krioprecipitate. Pemberian platelet
harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada pasien dengan
jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu perdarahan
memanjang (Mardjono et al., 2008).
g. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur
secara kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial.
Kateter dapat dimasukkan ke dlam entrikel lateral dan dapat
digunakan untuk mengeluarkan CSF dengan tujuan untuk
mengurangi ICP. Drain tipe ini dikenal dengan EVD
(ekstraventicular drain). Pada situasi yang jarang terjadi dimana
CSf dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan untuk mengurangi ICP,

55
Drainase ICP melalui punksi lumbal dapat digunakan sebagai suatu
tindakan pengobatan (Black et al., 2007).
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengeluarkan hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak dengan cara
membuat suatu lubang pada tulang tengkorak kepala. Kranioektomi
adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan sebagai penanganan
untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan
duramater dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya
herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala yang diangkat ini
desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut
pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari
peningkatan ICP tersebut telah disingkirkan. Material sintetik
digunakan sebagai pengganti dari bagian tulang tengkorak yang
diangkat. Tindakan pemasangan material sintetik ini dkenal dengan
cranioplasty (Black et al., 2007).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak.
Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk
mengangkat tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan
untuk mengangkat bekuan darah (hematom), untuk mengontrol
perdarahan, aneurisma otak, abses otak, memperbaiki malformasi
arteri vena, mengurangi tekanan intrakranial, atau biopsi (Black et
al., 2007).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan
lokasi dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging.
Neuroimaging yang dapat dilakukan adalah (Black et al., 2007).:
 CT scan
 MRI
 Arteriogram

56
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan
mengurangi resiko terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah
operasi. Obata-obatan seperti heparin, aspirin dan golongan
NSAID memiliki hubungan dengan meningkatnya bekuan darah
yang terjadi pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari
sebelum operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.
Sebagai tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang
rutin atau yang khusus sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh
makan dan minum 6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien
harus dicukur sesaat sebelum operasi dimulai (Black et al., 2007).
C. Meningioma
1. Defenisi
Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang
terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meninges otak.
Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap dengan pertumbuhan yang
lambat (Riemenschneider et al., 2006).
2. Epidemiologi
Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling
sering dijumpai. Meningioma diperkirakan sekitar 15-30% dari seluruh
tumor primer intrakranial pada orang dewasa. Prevalensi meningioma
berdasarkan konfirmasi pemeriksaan histopatologi diperkirakan sekitar
97,5 penderita per 100.000 jiwa di Amerika Serikat. Prevalensi ini
diperkirakan lebih rendah dari yang sebenarnya karena tidak semua
meningioma ditangani secara pembedahan.
Beberapa hal yang memengaruhi insiden adalah usia, jenis kelamin
dan ras. Insiden terjadinya meningioma meningkat dengan pertambahan
usia dan mencapai puncak pada usia di atas 60 tahun. Insiden meningioma
pada anak-anak sekitar 4% dari seluruh kejadian tumor intrakranial.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa insiden meningioma pada ras
hitam Non-hispanics sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan ras putih
Non-Hispanics dan Hispanics. Jenis kelamin juga memengaruhi
prevalensi dari meningioma, yaitu dua kali lebih tinggi pada wanita
dibandingkan dengan pria (Riemenschneider et al., 2006).

57
Gambar 2.11 Insiden Meningioma Pada pria dan wanita berdasarkan usia
(Riemenschneider et al., 2006).

3. Faktor Risiko dan etiologi

a. Radiasi ionisasi

Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah


terbukti menyebabkan tumor otak. Penelitian-penelitian yang
mendukung hubungan antara paparan radiasi dan meningioma sejak
bertahun-tahun telah banyak jumlahnya. Proses neoplastik dan
perkembangan tumor akibat paparan radiasi disebabkan oleh
perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang belum
diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian pada orang yang
selamat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan
bahwa terjadi peningkatan insiden meningioma yang signifikan
(Mardjono et al., 2008).

Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga


meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terapi radiasi untuk leukemia limfoblastik dan
tinea kapitis memperlihatkan adanya peningkatan resiko terjadinya

58
meningioma terutama dosis radiasi melebihi 30 Gy (Mardjono et al.,
2008).

Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan dengan


akibat paparan radiasi adalah usia muda saat didiagnosis, periode
latensi yang pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif tinggi, dan
kecenderungan meningioma jenis atipikal dan anaplastik (Mardjono
et al., 2008).

b. Radiasi telepon genggam

Radiasi yang dihasilkan oleh telepon genggam adalah energi


radiofrequency (RF) yang tidak menyebabkan ionisasi molekul dan
atom. Energi RF berpotensi menimbulkan panas dan menyebabkan
kerusakan jaringan, namun pengaruhnya terhadap kesehatan masih
belum diketahui secara pasti. Penelitian metaanalisis menemukan
bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan insiden
meningioma .Penelitian metaanalisis lain yang lebih besar yaitu
penelitian INTERPHONE yang dilakukan pada 13 negara juga
memberikan laporan bahwa tidak dijumpai hubungan antara
penggunaan telepon genggam dan insiden meningioma (Mardjono et
al., 2008).

c. Cidera kepala

Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu


resiko terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian
tidak konsisten. Penelitian kohort pada penderita cedera kepala dan
fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan
terjadinya meningioma secara signifikan. Penelitian ole Phillips et al
(2002) juga menemukan hasil bahwa adanya hubungan antara cedera
kepala dengan resiko terjadinya meningioma, terutam riwayat cedera
pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma berdasarkan
banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan dari tingkat
keparahannya (Mardjono et al., 2008).

59
d. Genetik

Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor


yang timbul pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan
penderita tumor otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang
memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang.
Meningioma sering dijumpai pada penderita dengan
Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu Kelainan gen autosomal
dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada
kromosom 22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain
itu, pada meningioma sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti
1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q,
15q, 17q dan 20q (Mardjono et al., 2008).

Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik


dengan resiko terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan
DNA, regulasi siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon.
Penelitian terbaru fokus pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen
yang terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi karsinogen
endogen dan eksogen. Namun belum dijumpai hubungan yang
signifikan antara resiko terjadinya meningioma dan variasi gen GST
atau CYP450. Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor
TP53 juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Mardjono
et al., 2008).

e. Hormon

Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-


laki memberi dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat
laporan adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus
menstruasi, dan menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna
hormon eksogen seperti kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti
dengan resiko timbulnya meningioma memberikan hasil yang
kontroversial. Penelitian-penelitian pada paparan hormon endogen

60
memperlihatkan bahwa resiko meningioma berhubungan dengan
status menopause, paritas, dan usia pertama saat (Price, 2012).

4. Patogenesis

Mitosis pada meningioma diperkirakan distimulus oleh beberapa


jenis protein growth factors. Beberapa jenis growth factors yang
berpengaruh reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), Granulin, Platelet
Derived Growth Factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF), Insulin Growth Factor (IGF), Fibroblast Growth factor (FGF),
hormon progesteron dan estrogen. Hormon EGF adalah hormon
polipeptida yang bekerja melalui aktivasi reseptor EGF dan stimulus
proliferasi yang bervariasi baik secara in vivo dan in vitro. Reseptor EGF
merupakan glikoprotein yang terletak ekstraselular. Reseptor ini
diperkirakan memiliki peranan dalam regulasi pembelahan sel dan
pertumbuhan tumor. Ekspresi berlebihan dari reseptor EGF telah terbukti
menstimulasi angiogenesis, proliferasi metastase, dan kelangsungan hidup
sel (Price, 2012).

Peptida lain yang diperkirakan berperan dalam perbaikan jaringan


dan tumorigenesis adalah granulin. Granulin merupakan suatu peptida
dari leukosit yang berfungsi dalam mediasi siklus progresi dan kematian
sel epitel dan mesenkim. Pada penelitian Choong ditemukan bahwa kadar
granulin berhubungan dengan ukuran tumor dan perkembagan edema
peritumoral dari meningioma intrakranial. Penemuan ini menunjukkan
bahwa adanya kemungkinan granulin mempengaruhi pertumbuhan
meningioma seperti pada glioma (Price, 2012).

Peptida lain yang mempengaruhi pertumbuhan sel adalah FGF


yaitu berperan dalam proliferasi sel, apoptosis dan angiogenesis.
Mekanisme pemicu mitosis dari FGF adalah aktivasi dari beberapa
kaskade cytoplasmic serine/ threonine kinase termasuk kaskade p44/42
MAPK/ERK dan jaras PI3K-Akt-PRAS40-mTOR dan STAT3..
Mekanisme ini mempengaruhi proliferasi sel dan apoptosis dari banyak
tumor ganas solid termasuk meningioma. Namun ini masih memerlukan

61
penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan kemoterapi terhadap
reseptor ini dan regulasinya dalam pertumbuhan meningioma (Price,
2012).

Telah diketahui bahwa IGF-II berperan dalam pertumbuhan dan


perkembangan normal fetus. Pada penelitian ditemukan adanya hubungan
antara ekspresi IGF-II dengan agresivitas dari pertumbuhan meningioma,
namun masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Protein dan mRNA dari
PDGF-B diekspresikan secara luas oleh jaringan meningioma secara luas,
namun peranan fungsionalnya belum dapat dijelaskan secara mendetail.
VEGF berfungsi memediasi angiogenesis pada tumor otak. Penelitian
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara ekspresi VEGF dan
neovaskularisasi pada meningioma. Pada prinsipnya VEGF diatur oleh
faktor transkripsi hypoxia inducible factor-1 (HIF-1). Tampak bahwa
HIF-1 dan VEGF meningkat pada emboli meningioma. 56 Data memberi
kesan bahwa VEGF memiliki fungsi lain selain angiogenesis pada
meningioma, seperti merangsang pertumbuhan tumor. PDGF-B
dihipotesakan memicu produksi VEGF dalama meningkatkan proliferasi
pembuluh darah dan pertumbuhan tumor (Price, 2012).

5. Klasifikasi

Meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tumor, pola


pertumbuhan dan histopatologi. Berdasarkan lokasi tumor dan urutan
paling sering adalah konveksitas, parasagital, tuberkulum sella, falks,
sphenoid rigde, cerebellopontine angle, frontal base, petroclival, fosa
posterior, tentorium, middle fossa, intraventricular dan foramen magnum.
Meningioma juga dapat timbul secara ekstrakranial walaupun sangat
jarang, yaitu pada medula spinalis, orbita , cavum nasi, glandula parotis,
mediastinum dan paru-paru (Rowland, 2005).

62
Gambar 1. 12 Variasi lokasi timbulnya meningioma (Rowland,
2005).

Pola pertumbuhan meningioma terbagi dalam bentuk massa (en


masse) dan pertumbuhan memanjang seperti karpet (en plaque). Bentuk
en masse adalah meningioma globular klasik sedangkan bentuk en plaque
adalah tumor dengan adanya abnormalitas tulang dan perlekatan dura
yang luas. Pembagian meningioma secara histopatologi berdasarkan
WHO 2007 terdiri dari 3 grading dengan resiko rekuren yang meningkat
seiring dengan pertambahan grading (Rowland, 2005).

Beberapa subtipe meningioma antara lain:

Grade I:

a. Meningothelial meningioma

b. Fibrous (fibroblastic) meningioma

c. Transitional (mixed) meningioma

63
d. Psammomatous meningioma

e. Angiomatous meningioma

f. Mycrocystic meningioma

g. Lymphoplasmacyte-rich meningioma

h. Metaplastic meningioma

i. Secretory meningioma

Grade II:

a. Atypical meningioma

b. Clear cell meningioma

c. Chordoid meningioma

Grade III:

a. Rhabdoid meningioma

b. Papillary meningioma

c. Anaplastic (malignant) meningioma (Rowland, 2005).

6. Gejala klinis

Meningioma tumbuhnya perlahan-lahan dan tanpa memberikan


gejala-gejala dalam waktu yang lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Ini
khas untuk meningioma tetapi tidak pathognomonis. Diperkirakan
meningioma intrakranial yang merupakan 1,44% dari seluruh otopsi
sebagian besar tidak menunjukkan gejala-gejala dan didapatkan secara
kebetulan. Dari permulaan sampai timbulnya gejala-gejala rata-rata ± 26
bulan, dilaporkan juga gejala-gejala yang lama timbulnya yaitu antara 20
— 30 tahun. Walaupun demikian gejala-gejala yang cepat tidak
menyingkir kan adanya meningoma (Mardjono et al., 2008).

64
Gejala-gejala umum, seperti juga pada tumor intracranial yang lain
misalnya sakit kepala, muntah-muntah, perubahan mental atau gejala-
gejala fokal seperti kejang-kejang, kelumpuhan, atau hemiplegia. Gejala
umum ini sering sudah ada sejak lama bahkan ada yang bertahun-tahun
sebelum penderita mendapat perawatan dan sebelum diagnosa ditegakkan
(Mardjono et al., 2008).

Gejala-gejala yang paling sering didapatkan adalah sakit kepala.


Gejala klinis lain yang paling sering adalah berturut-turut sebagai
berikut :

a. Kejang-kejang (±48%)

b. Gangguan visus (± 29%)

c. Gangguan mental (± 13%)

d. Gangguan fokal (± 10%)

Tetapi timbulnya tanda-tanda dan gejala-gejala ini tergantung pada


letak tumor dan tingginya tekanan intrakranial. Tanda-tanda fokal sangat
tergantung dari letak tumor, gejala-gejala bermacam-macam sesuai
dengan fungsi jaringan otak yang ditekan atau dirusak, dapat perlahan-
lahan atau cepat. Menurut LEAVEN gangguan fungsi otak ini penting
untuk diagnosa dini. Gejala-gejala ini timbul akibat hemodynamic steal
dalam satu hemisfer otak, antara hemisfer atau dari otak kedalam tumor
(Mardjono et al., 2008).

a. Sakit Kepala

Merupakan gejala yang paling sering, sakit kepala ini tidak khas,
dapat umum atau terlokalisir ada daerah yang berlainan. Hal ini sudah
lazim walaupun tidak dikaitkan dengan meningkatnya tekanan
intracranial. Meningioma Intra Ventrikuler seringkali mengalami sakit
kepala dan peningkatan tekanan intrakranial, karena meningioma di
tempat tersebut dapat bergerak dan dapat mengadakan penyumbatan

65
pada aliran cairan serebrospinalis. Sakit kepala tersebut bersifat
unilateral dan gejala-gejala ini mungkin hilang timbul. Selain sakit
kepala juga disertai mual dan muntah-muntah (Mardjono et al., 2008).

b. Kejang

Didapati 48% dari kasus meningioma mengalami kejang-kejang


terutama pada meningioma parasagittal dan lobus temporalis, Adanya
kejang-kejang ini akan memperkuat diagnosa (Mardjono et al., 2008).

c. Gangguan Mata

Gangguan mata yang terjadi pada meningioma dapat berupa :

1). Penurunan visus

2). Papil oedema

3). Nystagmus

4). Gangguan yojana penglihatan

5). Gangguan gerakan bola mata

6). Exophthalmus (Mardjono et al., 2008).

d. Hemiparese

Lebih sering didapatkan pada meningioma dibandingkan dengan


tumor-tumor intrakranial yang lain. 10% dari kasus
meningiomadidapati kelumpuhan fokal, Crose dkk mendapatkan tiga
dari 13 kasusnya dengan hemi parese disertai gangguan sensoris dari
N V (Mardjono et al., 2008).

e. Gangguan mental

Sering juga didapatkan gangguan mental, tentunya berhubungan pula


dengan lokalisasi dari tumor.Dilaporkan 13% dari kasus-kasus RAAF
(29) dengan gangguan mental. Gejala mental seperti: dullness,
confusion stupor merupakan gejala-gejala yang paling sering
(Mardjono et al., 2008).

66
Disamping gejala-gejala tersebut di atas juga sering didapatkan
gangguan saraf otak (nervus cranialis) terutama yang paling sering
dari kasus-kasus Crouse yaitu N II, V, VI, IXdan X. Gejala yang
menarik adalah adanya Intermittent cerebral symptoms. Pada 219
penderita dengan meningioma supra tentorial didapatkan ganggnan
fungsi serebral yang mendadak intermitten dan sementara dapat
beberapa menit atau lebih dari sehari. Gejala-gejala dapat berupa
afasia, kelumpuhan dari muka dan lidah, hemi plegia, vertigo, buta,
ataxia, hallusinasi (olfaktoris) dan kejang-kejang. Setengah dari kasus-
kasus ini gangguan fungsi serebral berulang-ulang, karena terjadi pada
usia lanjut maka seringkali diagnosa membingungkan dengan suatu
infark otak atau insuffuiensia serebrovaskuler, migrain, dan multiple
sclerosis. Pada umumnya C.V.A. dapat dibedakan dengan tumor
intrakranial dengan adanya gejala-gejala yang mendadak dan
perlahan-lahan diikuti dengan kemajuan dari gejala-gejala neurologis.
Bermacam-macam gejala eurologis yang paling sering menimbulkan
kesalahan diagnose (Mardjono et al., 2008).

Tanda-tanda yang menyesatkan (False Localizing Signs = FLS)

FLS dari tumor-tumor intrakranial adalah tanda-tanda yang tidak


semuanya berhubungan dengan gangguan fungsi pada tempat tumor
tersebut. Biasanya terlihat sebagai gejala fokal dari tempat-tempat
yang jauh dari tumor di mana hal ini dapat membingungkan untuk
menentukan lokalisasi tumor tersehut. Seperti biasanya diagnosa
klinik ditegakkan dari kumpulan/tanda-tanda, tetapi kurangnya
pengetahuan akan FLS menyebabkan kesalahan-kesalahan pada
diagnosa, apabila pada kasus-kasus yang tanda-tandanya tidak jelas.
Dari 250 kasus meningioma intrakranial didapatkan 101 kasus dengan
FLS. Diagnosa yang salah karena gejala-gejala yang tidak jelas
disertai adanya FLS. Gejala-gejala yang tidak jelas dapat disebabkan
oleh karena adanya Silent area di mana tumor-tumor itu pada
permulaannya tidak menunjukkan gejala-gejala. Yang termasuk silent

67
area: parasagital anterior, konveksitas frontal dan intraventrikuler
(Mardjono et al., 2008).

7. Penegakan diagnosis

Pemeriksaan penunjang radiologi pada meningioma dapat berupa


foto x-ray, CT-scan kepala baik dengan maupun tanpa kontras dan MRI.
Pada foto x-ray dapat ditemukan gambaran khas, yaitu hiperostosis,
peningkatan vaskularisasi dan kalsifikasi. Pada CT-scan tanpa kontras,
meningioma akan memberikan gambaran isodense hingga sedikit
hyperdense dan kalsifikasi. Sedangkan CT-scan dengan kontras akan
memberikan gambaran massa yang menyangat kontras dengan kuat dan
homogen. Gambaran hiperostosis, edema peritumoral dan nekrosis sentral
dapat dijumpai pada pencitraan CT-scan kepala. Gambaran khas pada CT-
scan kepala adalah adanya dural tail yaitu duramater yang melekat pada
tulang (Black et al., 2007).

Pada MRI dengan T1W1 umumnya memberikan gambaran


isointense sedangkan beberapa lainnya memberikan gambaran
hypointense dibandingkan dengan gray matter. Pada T2W1, meningioma
juga umumnya menunjukkan gambaran isointense dengan beberapa yang
hyperintense karena kandungan airnya yang tinggi terutama pada jenis
meningothelial, yang hipervaskular, dan yang agresif (Black et al., 2007).

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada meningioma dapat berupa embolisasi,


pembedahan, radiosurgery, dan radiasi. Terdapat dua tujuan utama dari
pembedahan yaitu paliatif dan reseksi tumor. Pembedahan merupakan
terapi utama pada penatalaksanaan semua jenis meningioma. Tujuan dari
reseksi meningioma adalah menentukan diagnosis definitif, mengurangi
efek massa, dan meringankan gejala-gejala. Reseksi harus dilakukan
sebersih mungkin agar memberikan hasil yang lebih baik. Sebaiknya
reseksi yang dilakukan meliputi jaringan tumor, batas duramater sekitar
tumor, dan tulang kranium apabila terlibat. Reseksi tumor pada skull base

68
sering kali subtotal karena lokasi dan perlekatan dengan pembuluh darah
(Price, 2012).

Angiografi preoperatif dapat menggambarkan suplai pembuluh


darah terhadap tumor dan memperlihatkan pembungkusan pembuluh
darah. Selain itu, angiografi dapat memfasilitasi embolisasi preoperatif.
Beberapa jenis meningioma terutama malignan umumnya memiliki
vaskularisasi yang tinggi, sehingga embolisasi preoperatif mempermudah
tindakan reseksi tumor. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya darah yang
hilang secara signifikan saat reseksi. Embolisasi preoperatif dilakukan
pada tumor yang berukuran kurang dari 6 cm dan dengan pertimbangan
keuntungan dibandingkan dengan resiko dari embolisasi (Price, 2012).

9. Prognosis

Tabel 2.3 Tingkat rekurensi Setelah reseksi


berdasarkan kriteria Simpson
(Riemenschneider et al., 2006).
10-year
Simpson Completeness of Resection
Recurrence
Grade

complete removal including resection of


Grade I 9%
underlying bone and associated dura

complete removal + coagulation of dural


Grade II 19%
Attachment

69
complete removal w/o resection of dura or
Grade III 29%
coagulation

Grade IV subtotal resection 40%

Berdasarkan tabel di atas diperlihakan bahwa reseksi meningioma


total hingga Simpson grade 1 juga menunjukkan resiko terjadinya
rekurensi hingga 9%. Faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh
pada rekurensi meliputi reseksi inkomplit, jenis histologis atipikal dan
malignan berdasarkan klasifikasi WHO, adanya penonjolan nukleolar,
adanya mitosis lebih dari dua per 10 high-power fields dan gambaran
menyangat kontras yang heterogen pada Ct-scan kepala (Riemenschneider
et al., 2006).

Walaupun meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat dan


memiliki tingkat mitosis yang rendah, radioterapi memberikan manfaat
secara klinis yang telah dilaporkan pada banyak serial kasus yaitu baik
regresi ataupun berhentinya pertumbuhan tumor. Manfaat radioterapi
masih menjadi perdebatan, Radioterapi disarankan sebagai terapi adjuvan
pada reseksi inkomplit, tumor rekuren dan atau grade tinggi, serta sebagai
terapi utama pada beberapa kasus seperti meningioma saraf optik dan
beberapa tumor yang tidak dapat direseksi (Riemenschneider et al., 2006).

Modalitas lain pada terapi meningioma adalah stereostatic


radiosurgery. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stereostatic
radiosurgery memberikan hasil yang efektif dalam mengontrol
pertumbuhan tumor secara lokal dengan resiko komplikasi yang kecil.
Stereostatic radiosurgery umumnya dilakukan pada tumor jinak berukuran

70
kecil atau yang tidak dapat dioperasi dan pada tumor (Riemenschneider et
al., 2006).

71
BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan
Berdasarkan hasil alloanamnesis, pemeriksaan fisik generalisata dan
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan penunjang. Maka Tn. AM Didiagnosis
space occupying lesion et causa meningioma. Yaitu Peningkatan tekanan
intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga
kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah
satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati
unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial.
Meningioma adalah tumor yang berkembang dengan lambat pada
membran (meninges) yang menutupi permukaan otak, sumsum tulang
belakang, atau akar saraf tulang belakang. Hampir semua meningioma
merupakan tumor jinak (bukan kanker). Sekitar 80 persen dari penderita dapat
disembuhkan jika seluruh tumor dapat diangkat.
Hingga saat ini belum diketahui penyebab meningioma. Namun ada
beberapa faktor yang bisa membuat seseorang berisiko lebih tinggi
mengalami meningioma, Obesitas. Meski banyak penderita meningioma juga
mengalami obesitas, belum diketahui pasti apa kaitan antara dua penyakit
tersebut. Radioterapi. Risiko terserang meningioma meningkat pada individu
yang pernah menjalani radioterapi di kepala. Wanita. Meningioma umumnya
menyerang wanita. Hal ini diduga terkait dengan hormon pada wanita.
Penderita neurofibromatosis tipe 2. Neurofibromatosis tipe 2 merupakan
kelainan genetik yang mengakibatkan pertumbuhan tumor di berbagai
jaringan saraf.
Gejala yang muncul pada penderita meningioma tergantung pada ukuran
dan lokasi tumor. Gejala meningioma mungkin pada awalnya tidak terlihat,
atau bisa juga muncul bertahap, seperti: Sakit kepala yang semakin lama
semakin memburuk, Tinnitus, Mual dan muntah, Pandangan kabur atau

72
berbayang, gangguan pada indera penciuman, gangguan ingatan, gangguan
dalam bicara, hilang pendengaran, perubahan perilaku, kejang, kelemahan
anggota tubuh.
Prosedur pencitraan otak dengan CT scan atau MRI, untuk mengetahui
posisi dan ukuran tumor. Bila ada keraguan apakah tumor jinak atau ganas,
dokter bedah saraf akan mengambil sebagian atau seluruh tumor untuk
dianalisa (biopsi).
Jika gejala yang dialami semakin memburuk, akan menyarankan tindakan
pembedahan untuk membuang tumor. Namun pada kasus tertentu, misalnya
jika tumor tumbuh di dekat struktur tipis pada otak atau tulang belakang,
tumor mungkin tidak bisa dibuang seluruhnya. Dokter hanya akan membuang
tumor yang masih mungkin untuk dibuang. Setelah menjalani pembedahan,
pasien akan menjalani prosedur yang tergantung pada sejumlah faktor: Jika
tidak terlihat sisa tumor, pasien hanya akan menjalani pemeriksaan secara
berkala dan tidak menjalani pengobatan lanjutan. Jika ada tumor yang tersisa
namun tergolong jinak, dokter akan menyarankan pemeriksaan Pada beberapa
kasus, pasien akan menjalani radioterapi untuk mengatasi tumor yang tersisa.
Jika tumor yang tersisa termasuk tumor ganas, pasien akan menjalani
radioterapi.
Meningioma dan proses pengobatannya yang melibatkan bedah dan
radioterapi, bisa menyebabkan berbagai komplikasi, di antaranya kesulitan
konsentrasi, kejang, hilang ingatan, dan perubahan kepribadian.

B. Kesimpulan
Meningioma adalah tumor pada meningens, yang merupakan selaput
pelindung yang melindungi otak dan medulla spinalis. Merupakan neoplasma
intrakranial nomor 2 dalam urutan frekuensi yakni mencapai angka 30% dari
keseluruhan tumor intrakranial, dengan angka kejadian 4-5 dari 100,000
penduduk.
Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan factor resiko utama
terjadinya meningioma. Selain itu rangsangan endogen dan eksogen via
hormonal memainkan peran yang cukup penting juga dalam timbulnya tumor
meningens. Estrogen dan progesterone diduga merupakan salah satu
penyebab timbulnya meningioma karena angka prevalensi yang lebih tinggi
pada wanita. Meningioma diduga timbul melalui proses bertahap yang

73
melibatkan aktivasi onkogen dan hilangnya gen supresor tumor. Beberapa
factor pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor, PDGF, insulin-like
growth factors, transforming growth factor I2 dan somatostatin diekspresikan
secara berlebih dan dapat merangsang pertumbuhan meningioma.
Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan bagian
otak yang terganggu dan berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial. Gejala umum yang sering muncul meliputi kejang, nyeri kepala
hebat, perubahan kepribadian dan gangguan ingatan, mual dan muntah, serta
penglihatan kabur.
Diagnosis dari meningioma dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis
pasien dan gambaran radiologis. Meskipun demikian, diagnosis pasti serta
grading dari meningioma hanya dapat dipastikan melalui biopsi dan
pemeriksaan histologi.
Penanganan pasien dengan meningioma tergantung pada beberapa faktor,
meliputi tanda dan gejala yang dikeluhkan pasien, umur pasien, serta lokasi
dan ukuran dari tumor. Sampai saat ini penatalaksanaan utama adalah dengan
pembedahan. Namun dapat digunakan radioterapi sebagai terapi primer jika
tumor tidak dapat dicapai melalui pembedahan atau ada kontraindikasi untuk
dilakukan pembedahan.

74
DAFTAR PUSTAKA

Black, Peter, et al. 2007. Meningiomas : Science and Surgery. Clinical


Neurosurgery. vol 54 chapter 16 p. 91-99.

Guyton A.C, dan Hall,J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi


12.Penterjemah: Ermita I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier

Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan 13.
Jakarta : Dian Rakyat.

Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC; 2012.

Riemenschneider, Markus J, et al. 2006. Histological Classification and Molecular


Genetics of Meningiomas. The Lancet Neurology. December vol 5 p. 1045-
1054.

Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology. Stuttgart : Thieme.

Rowland, Lewis P, ed. 2005. Merritt’s Neurology. 11th ed. New York : Lippincott
Williams & Wilkins.

Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.

V. P. Eroschenko, ATLAS HISTOLOGI diFIORE: DENGAN KORELASI


FUNGSIONAL, Ed. 11. ed., D. Dharmawan and N. Yesdelita, Eds.,
Jakarta: EGC, 2010.

75

Anda mungkin juga menyukai