Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru
1. Definisi
TB paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini menyebar melalui inhalasi droplet nuclei. Sebagian besar kuman
TB menyerang paru tetapi juga mengenai organ tubuh lainnya (Amin, 2014).
2. Etiologi
Penyebab penyakit TB paru adalah Mycrobacterium tuberkulosis, bakteri ini masuk
dalam bentuk batang dan memiliki sifat tahan terhadap asam atau Batang Tahan Asam
(BTA). Penderita TB BTA (+) merupakan sumber penularan utama penyakit ini, terutama
pada waktu bersin atau batuk. Penyebaran melalui droplet atau percikan dahak yang
didalamnya terkandung bakteri aktif yang nantinya apabila terhisap oleh orang lain dapat
menularkan TB melewati saluran pernapasan. Daya penularan dari seorang penderita di
tentukan banyaknya kuman yang di keluarkan dari parunya. Dalam BTA positif pada
penderita TB semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak maka semakin
infeksius penderita tersebut, begitu pula dengan sebaliknya. Droplet yang mengandung
kuman dapat bertahan dalam beberapa jam di udara dengan suhu kamar (Price, 2015).
3. Klasifikasi TB Paru
Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB meliputi 4 hal, yaitu:
 Lokasi yang sakit: paru dan ekstra paru
 Hasil pemeriksaan dahak: BTA positif atau BTA negatif
 Riwayat pengobatan TB sebelumnya
 Status HIV pasien

a. Berdasarkan lokasi
1) TB paru : kuman TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru
2) TB ekstra paru : kuman TB yang menyerang organ selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain
b. Berdasarkan hasil BTA
1) BTA (+)
 Sekurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak memberikan hasil (+)
 Atau 1 kali pemeriksaan spesimen hasilnya (+) disertai gambaran radiologi
yang menunjukan TB aktif
 Atau 1 spesimen BTA (+) dan kultur (+)
 Atau 1 atau lebih spesimen dahak positif setelah 3 pemeriksaan dahak SPS
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA (-) dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotik non OAT.
2) BTA (-)
 Hasil sputum BTA 3x (-)
 Gambaran radiologi menunjukkan ke arah TB
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT pada pasien HIV
(-)
c. Berdasarkan tipe pasien
1) Kasus baru : belum pernah konsumsi OAT sebelumnya atau pernah mengonsumsi
OAT kurang dari 1 bulan
2) Kasus kambuh (relaps)
 Pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT telah selesai pengobatan
dan dikatakan sembuh. Namun, didapatkan BTA (+) atau kultur (+) kembali
dan kembali konsumsi OAT
 Bila BTA (-), tetapi radiologi menunjukkan lesi aktif/perburukan dan gejala
klinis (+), kemungkinannya yaitu lesi non TB (pneumonia, bronkiektasis)
atau TB paru relaps ditentukan oleh dokter spesialis
3) Kasus default (setelah putus berobat) : pasien yang telah berobat dan putus berobat
selama >2 bulan dengan BTA (+)
4) Kasus gagal : pasien dengan BTA (+) sebelumnya, tetap (+) atau kembali lagi
menjadi (+) pada akhir bulan ke-5 atau akhir pengobatan OAT
5) Kasus kronik : hasil sputum BTA tetap (+) setelah selesai pengobatan ulang
(katagori 2) dengan pengawasan ketat
6) Kasus bekas TB
 BTA (-), radiologi lesi tidak aktif atau foto serial gambaran sama dan riwayat
minum OAT adekuat
 Radiologi gambarannya meragukan, mendapatkan OAT 2 bulan, foto toraks
ulang gambaran sama (Werdhani, 2002).
4. Patogenesis
1) TB primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan
menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe
akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan
terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah
infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon
daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun
demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dorman
(tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan
kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
TB. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan (Amin, 2014).
Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal
sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier, meningitis tuberkulosis. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia
dan sebagainya (Werdhani, 2002).

Gambar II.1. Skema Patogenesis Infeksi Primer TB Paru


2) TB post primer
Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer
dimulai dengan sarangan dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior
maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil.
Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
a. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
b. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
c. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik)
(Price, 2015).

Gambar II.2. Skema Patogenesis TB Post Primer


5. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis :
Gejala lokal (respiratorik) :
 Batuk > 2 minggu, sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum) batuk darah
 Sesak napas jika infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru
 Nyeri dada nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/melepaskan napasnya
 Hemoptisis

Gejala sistemik :
 Demam  biasanya subfebris menyerupai demam influenza, demam hilang
timbul
 Malaise
 Anoreksia
 Berat badan menurun
 Sakit kepala
 Nyeri otot
 Keringat malam (Aditama, 2006)
b. Pemeriksaan Fisik :
 Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia
 Suhu demam (subfebris)
 Badan kurus atau berat badan menurun
 Bila dicurigai adanya infiltrat yang luas perkusi redup dan auskultasi suara
napas bronkial, ronki basah, kasar.
 Bila infiltrat diliputi oleh penebalan pleura suara napas vesikuler melemah
 Bila terdapat kavitas yang cukup besar perkusi hipersonor atau timpani dan
auskultasi suara amforik
 TB paru dengan fibrosis yang luas atrofi dan retraksi otot-otot interkostal
 Bila jaringan fibrotik luas yaitu lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru,
akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru hipertensi pulmonal, kor
pulmonal dan gagal jantung kanan. Tanda-tandanya seperti takipneu, takikardia,
sianosis, right ventrikular lift, right atrial gallop, murmur, tekanan JVP
meningkat, hepatomegali, asites, edema
 Bila TB mengenai pleura efusi pleura. Terlihat ketertinggalan dalam
pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara
napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali (Amin, 2014; Wardhani,
2014).
c. Pemeriksaan Penunjang :
1) Pemeriksaan darah
 Leukositosis
 LED meningkat
 Anemia
 Gama globulin meningkat
 Kadar natrium darah menurun (Amin, 2014)
2) Pemeriksaan bakteriologik
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH).
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam tiga hari kunjungan
yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) yaitu:
 Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Dahak Pagi (keesokan harinya )
 Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Pemeriksaan spesimen ini dilakukan secara mikroskopis dan biakan.
Pewarnaan mikroskopis biasa dengan Ziehl-Nielsen sedangkan fluoresens dengan
auramin-rhodamin.
Interpretasi hasil dahak, yaitu:
 BTA (+) : 3x positif atau 2x positif, 1x negatif
 BTA (-) : 3x negatif
 Jika hasil 1x (+), 2x (-) diulang pemeriksaan BTA 3x lagi, bila hasil:
 1x positif dan 2x negatif BTA (+)
 3x negatif BTA (-) (Aditama, 2006)
3) Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan.
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik lainnya :


 Gambaran lesi tidak aktif : fibrotik, kalsifikasi, penebalan pleura
 Destroyed lung (luluh paru) : atelektasos, kavitas multipel, fibrosis di
parenkim paru
 Lesi minimal : lesi pada satu atau dua paru tidak melebihi sela iga 2 depan,
tidak ada kavitas
 Lesi luas : jika lebih luas dari lesi minimal (Wardhani, 2014).
4) Pemeriksaan penunjang lainnya:
 Uji Adenosine Deaminase (ADA test) : Adenosine Deaminase adalah enzim
yang mengubah adenosin menjadi inosine dan deoxyadenosine menjadi
deoxyinosine pada jalur katabolisme purin. ADA berperan pada proliferasi
dan differensiasi limfosit, terutama limfosit T, dan juga berperan pada
pematangan/maturasi monosit dan mengubahnya menjadi makrofag.
Konsentrasi ADA serum meningkat pada berbagai penyakit dimana
imunitas seluler distimulasi, sehingga ADA merupakan indikator imunitas
selular yang aktif. Kondisi yang memicu sistem imun seperti infeksi
Mycobacterium tuberculosis dapat meningkatkan jumlah produksi ADA di
area infeksi. Kadar ADA meningkat pada tuberkulosis karena stimulasi
limfosit T oleh antigen-antigen mikobakteria. Pemeriksaan ada ADA
memiliki sensitivitas 90-92% dan spesifitas 90-92% untuk diagnosis TB
pleura. Selain pada TB pleura, ADA juga dilaporkan bermanfaat dalam TB
Peritoneal (cairan asites), TB pericarditis (cairan pericardial), dan TB
meningitis (CSF). Nilai normal: 4 – 20 U/L, Pleuritis TB > 40 U/L,
Meningitis TB > 8 U/L.
 Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) : menentukan adanya antibodi IgG
yang spesifik terhadap antigen M.tuberculosae.
 Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) : uji serologik
untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum.
 Interferon Gamma Release Assay (IGRA) : Pemeriksaan IGRA adalah
pemeriksaan darah yang dapat mendeteksi infeksi TB di dalam tubuh. IGRA
bekerja dengan mengukur respons imunitas selular atau sel T terhadap
infeksi TB. Sel T dalam individu yang terinfeksi TB akan diaktivasi sebagai
respons terhadap sensitisasi antigen berupa peptida spesifik Mycobacterium
Tuberculosis, yaitu Early Secretory Antigenic Target-6 (ESAT-6) dan
Culture Filtrate Protein10 (CFP-10) yang ada di dalam sistem reaksi. Sel T
akan menghasilkan Interferon Gamma (IFN-γ) yang diukur dalam
pemeriksaan.
Keuntungan dari tes IGRA adalah hasil dapat tersedia dalam waktu 24 jam,
tidak meningkatkan respon terhadap pemeriksaan berikutnya, sebelum
vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin) tidak menyebabkan hasil tes
IGRA positif palsu.
Terdapat dua IGRA yang disetujui oleh U.S. Food and Drug Administration
(FDA) di Amerika Serikat, yaitu QuantiFERON® -TB Gold-in-Tube test
(QFT-GIT) dengan metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)
dan T-SPOT® TB test dengan metode Immunospot Enzyme-Linked
(ELISpot). Interpretasi hasil pemeriksaan QFT didasarkan pada jumlah IFN-
γ yang dilepaskan, sedangkan pada T-SPOT® TB didasarkan pada jumlah
sel yang melepaskan IFN-γ. Hasil kualitatif dilaporkan sebagai positif,
negatif, indeterminate, atau borderline.
 Polymerase Chain Reaction (PCR) : dapat dideteksi DNA kuman TB dalam
waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M.tuberculosae yang tidak tumbuh
pada sediaan biakan (Wardhani, 2014).
 Bactec : Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah
metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh
mesin ini. Kuman ini dapat dideteksi dalam 7-10 hari (Surya, 2011).
 Uji tuberkulin (tes mantoux) : dengan menyuntikkan tuberkulin PPD
(Purified Protein Derivative) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 unit (TU)
tuberkulin secara intrakutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau
dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Setelah 48-
72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan. Hasil tes mantoux yaitu:
 Indurasi 0-5 mm mantoux negatif (golongan no sensitivity)
 Indurasi 6-9 mm hasil meragukan (golongan low grade
sensitivity)
 Indurasi 10-15 mm mantoux positif (golongan normal sensitivity)
 Indurasi >15 mm mantoux positif kuat (golongan hipersensitivity
(Amin, 2014)
Gambar II.3. Alur Diagnosis TB Paru Pada Orang Dewasa

6. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan yaitu regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif)
selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Selama fase intensif terdiri dari 4 obat,
diharapkan terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang
berpotensi menularkan infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar
pasien dengan sputum BTA posistif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih
panjang. Efek sterilisasi obat pada fase ini bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa kuman
dan mencegah kekambuhan. Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstra paru
tidak terdapat risiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit.
Pemantauan hasil terapi untuk pasien BTA negatif dan TB ekstra paru, hasil pengobatan
didasarkan pada pemeriksaan klinis.
Pengawasan efek samping, sebagian besar pasien menyelesaiakan pengobatan TB
tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil mengalami efek samping. Oleh
karena itu pengawasan klinis terhadap efek samping harus dilakukan. Efek samping obat
tuberkulosis dapat dibagi menjadi efek samping mayor dan minor. Jika timbul efek
samping minor maka pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau diturunkan.
Dapat diberikan pengobatan simtomatik. Jika timbul efek samping berat maka pengobatan
harus dihentikan, harus ditangani pada pusat pelayanan khusus.
Tabel II.1. Efek Samping OAT (Wardhani, 2014)
Obat Kontraindikasi Efek samping dan tatalaksana

Rifampisin (R) Sirosis, insufisiensi hati, Minor:


pecandu alkohol, - tidak nafsu makan, mual, sakit
kehamilan perut obat diminum malam
sebelum tidur
- warna kemerahan pada air seni

Mayor:
- gatal dan kemerahan
antihistamin
- ikterik/hepatitis akibat obat
hentikan semua OAT sampai
ikterik menghilang, boleh diberi
hepatoprotektor
- muntah dan confusion
hentikan semua OAT dan
lakukan uji fungsi hati
- kelainan sistemik termasuk
syok hentikan rifampisin

Isoniazid (H)  penderita penyakit Minor:


hati akut - neuritis perifer/kesemutan,
 penderita dengan terbakar piridoksin 100
riwayat kerusakan mg/hari sampai gejala hilang
sel hati disebabkan kemudian berikan profilaksis
terapi isoniazid piridoksin 10 mg/hari
 penderita yang
hipersensitif atau Mayor:
alergi terhadap -
reaksi hipersensitivitas berupa
isoniazid demam, urtikaria
antihistamin
- reaksi hematologik
(trombositopenia, anemia)
hentikan
- ikterus dan kerusakan hati
yang berat (hepatitis drug
induced hentikan OAT
Pirazinamid (Z) Pasien dengan kelainan Minor:
fungsi hati - hiperurisemia (arthritis
gout) beri allopurinol
- nyeri sendi beri analgetik

Mayor:
- peningkatan enzim
transaminase sesuai
penatalaksanaan TB keadaan
khusus
- reaksi alergi antihistamin,
OAT lanjutkan, bila masih
berlanjut stop semua OAT
Etambutol (E) Anak-anak, pasien dengan Mayor:
neuritis optik - gatal dan kemerahan kulit
antihistamin
- gangguan penglihatan bilateral
berupa neuritis retrobulbar
yang ditandai oleh penurunan
visus, penyempitan lapang
pandang hentikan etambutol

Streptomisin (S) Mayor:


- tuli hentikan streptomisin
- gangguan keseimbangan
(vertigo, nistagmus) hetikan
streptomisin
Regimen pengobatan dan kategori pasien, tersedia beberapa kemungkinan regimen.
Pengobatan tergantung dari kategori pasien. Sekarang telah tersedia obat antituberkulosis
dalam bentuk kombinasi dosis tetap. Pemakaian obat antituberkulosis kombinasi dosis
tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Tablet OAT-KDT terdiri
dari kombinasi atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Panduan OAT kategori 1 dan 2 disediakan dalam bentuk paket OAT-KDT.
Tabel II.2. Beberapa regimen pengobatan (Amin, 2014)
Kategori Kasus Fase intensif Fase lanjutan
(tiap hari) 3x seminggu

I Kasus baru BTA positif, 2HRZE 4H3R3


BTA negatif/rontgen
positif dengan kelainan
parenkim luas, kasus TB
ekstra paru berat
II Relaps BTA positif, gagal 2HRZES,1HRZE 5H3R3E3
BTA positif, pengobatan
terputus
III Kasus baru BTA 2 HRZ 4H3R3
negatif/rontgen positif
sakit ringan, TB ektra
paru ringan
Sisipan Bila pada akhir fase 1 HRZE
intensif, pengobatan
pasien baru BTA positif
dengan kategori 1 atau
pasien BTA positif
pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih
BTA positif
E=Etambutol; H=Isoniazid; R=Rifampisin; Z=Pirazinamid; S=Streptomisin. Angka
sebelum regimen menunjukkan lamanya pengobatan dalam bulan. Angka indeks
menunjukkan frekuensi pemberian per minggu. Bila tidak ada angka indeks sesudah obat,
obat diberikan setiap hari.
Tabel II.3. Dosis panduan OAT-KDT kategori 1: 2HRZE (Aditama, 2006)
Berat badan (kg) Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
selama 56 hari RHZE seminggu 16 minggu
(150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

7. Komplikasi
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, tb usus
b. Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis),
kerusakan parenkim berat (fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru,
acute respiratory distress syndrome) (Amin, 2014).

Anda mungkin juga menyukai