Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

I. STATUS PASIEN
- MRS : Selasa, 20 November 2012

- Waktu Pemeriksaan : Kamis, 29 November 2012

- Bangsal : Angsoka

Identitas
- Nama : Tn. BAR

- Usia : 23 tahun

- Jenis Kelamin : Laki-laki

- Alamat : Loa Janan Ulu RT.04 Samarinda

- Pekerjaan : Tidak Bekerja

- Agama : Islam

- Suku : Jawa

A. Hasil Anamnesa
1. Keluhan Utama
Kedua kaki tidak bisa digerakkan.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Saraf RSUD A.W. Sjahranie pada tanggal
20 November 2012 dengan keluhan kedua kaki tidak bisa digerakkan yang
dirasakan sejak 8 tahun yang lalu. Keluhan ini timbul secara perlahan –
lahan, awalnya kedua kaki terasa lemah kemudian beberapa tahun
kemudian kedua kaki langsung tidak bisa digerakkan. Lemah kedua kaki
didahului keadaan jatuh dari sepeda sekitar tahun 2000, sejak kejadian itu

1
kedua kaki terasa lemah, akibatnya sebagian aktivitas dari pasien
terganggu seperti sekolah, bermain dan berolahraga. Beberapa tahun
kemudian pasien merasakan kedua kaki tidak bisa digerakkan secara total.
Sehingga pasien memutuskan untuk berobat di Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung. Selain itu, pasien juga merasakan batuk berdahak sejak
kurang lebih 3 minggu yang disertai keringat pada malam hari. Pasien
tidak merasakan adanya penurunan berat badan, tidak ada sesak nafas,
demam maupun mual dan muntah.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


- Pernah didiagnosis TB paru kasus baru pada tahun 2000 dan
pernah mendapatkan pengobatan TB paru kategori I selama 6
bulan. Pasien tidak pernah kontrol ke rumah sakit atau puskesmas
terdekat sehingga belum dinyatakan sembuh dari TB paru.
- Pernah didiagnos spondilitis TB pada tahun 2004 dan mendapatkan
pengobatan TB paru kategori II selama 1 tahun. Pasien juga tidak
pernah kontrol ke rumah sakit atau puskesmas terdekat, sehingga
belum dinyatakan sembuh.
- Pasien belum pernah memiliki keluhan yang serupa sebelumnya.

- Pasien memiliki riwayat jatuh dari sepeda tahun 2000

- Tidak ada riwayat tekanan darah tinggi

- Tidak ada riwayat sakit jantung

- Tidak ada riwayat sakit kencing manis

4. Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang serupa

- Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat tekanan darah


tinggi

2
- Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat sakit jantung

- Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat kencing manis.

- Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat TB paru

B. Hasil Pemeriksaan Fisik


1. Status Praesens
 Keadaan Umum : Sakit Sedang
 Kesadaran : Composmentis, GCS E4V5M6
 Tanda Vital
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg

- Nadi : 76 x/menit

- Pernafasan : 18 x/menit

- Suhu : 36,5 0C

 Kepala
- Bentuk normal

- Konjungtiva anemis (-)

- Pupil isokor, refleks cahaya (+/+)

- Bibir sianosis (-)

 Leher
o Pembesaran KGB (-)
o Trakea teraba di tengah

 Thoraks
○ Paru

3
- Inspeksi : Bentuk normal, pergerakan simetris,
retraksi ICS (-).
- Palpasi : Pelebaran ICS (-)

- Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru

- Auskultasi : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

○ Jantung

- Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak

- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba

- Perkusi : Batas jantung atas : ICS III


sinistra
Batas jantung kanan : PSL dextra
Batas jantung kiri : MCL sinistra
Batas jantung bawah : ICS V sinistra
- Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler. Murmur (-)

 Abdomen
- Inspeksi : Bentuk flat

- Palpasi : Soefel, nyeri tekan epigastrium (+),


hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani di seluruh abdomen

- Auskultasi : Bising usus normal

 Ekstremitas atas dan bawah


- Akral hangat, Oedem (-).

2. Status Psychicus
 Cara berpikir dan tingkah laku : baik
 Kecerdasan, perasaan hati dan ingatan : baik

4
3. Status Neurologicus
 Kesadaran
Kompos mentis, GCS 15 (E4V5M6)
 Kepala
Bentuk normal, simetris. Nyeri tekan (-)
 Leher
Sikap tegak, pergerakan baik. Tidak ada rangsangan meningeal.
 Pemeriksaan Saraf Kranialis

Pemeriksaan Saraf Kranialis Kanan Kiri


Olfaktorius (I)
 Subjektif Normal Normal
 Objektif (kopi dan teh) Normal Normal
Optikus (II)
 Tajam penglihatan (Subjektif) Normal Normal
 Lapangan pandang (Subjektif) Normal Normal
 Melihat warna (+) (+)
Okulomotorius (III)
 Sela mata Normal Normal
 Pergerakan mata kearah
superior, medial, inferior, torsi (+) (+)
inferior
 Strabismus (-) (-)
 Nystagmus (+) (+)
horisontal horisontal
 Exoptalmus (-) (-)
 Refleks pupil terhadap sinar (+) (+)
 Melihat kembar (-) (-)
 Pupil besarnya 3 mm 3 mm
Troklearis (IV)
 Pergerakan mata (ke bawah- (+) (+)
keluar)

5
Trigeminus (V)
 Membuka mulut (+) (+)
 Mengunyah (+) (+)
 Menggigit (+) (+)
 Sensibilitas muka (+) (+)
Abdusens (VI)
 Pergerakan mata ke lateral (+) (+)
Fasialis (VII)
 Mengerutkan dahi (+) (+)
 Menutup mata (+) (+)
 Memperlihatkan gigi (+) (+)
 Sudut bibir (+) (+)
Vestibulokoklearis (VIII)
 Fungsi pendengaran (Subjektif) (+) (+)
Glossofaringeus (IX)
 Perasaan lidah (bagian (+) (+)
belakang)
 Refleks muntah (+) (+)
Vagus (X)
 Bicara (+) (+)
 Menelan (+) (+)

Assesorius (XI)
 Mengangkat bahu (+) (+)
 Memalingkan kepala (+) (+)
Hipoglossus (XII)
 Pergerakan lidah (+) (+)
 Artikulasi (+) (+)

6
 Badan dan Anggota Gerak
- Badan
Motorik
 Respirasi : gerakan nafas simetris, tidak tampak retraksi otot-otot
thorakal
 Duduk : bahu pasien tampak simetris
 Bentuk Collumna Vertebralis : tampak skoliosis ringan
 Pergerakan Collumna Vertebralis : terbatas
Refleks (kulit) : pada bagian perut negatif
Sensibilitas :
 Taktil (raba) : normal
 Nyeri : normal
 Tonus : normal

 Anggota Gerak Atas


Kanan Kiri
Motorik
 Pergerakan Normal Normal
 Kekuatan 5 5
 Tonus Normal Normal
Sensibilitas
 Taktil (+) (+)
 Nyeri (+) (+)
Refleks fisiologis
 Biseps (+) (+)
 Triceps (+) (+)
Refleks patologis
 Tromner (-) (-)
 Hoffman (-) (-)

7
 Anggota Gerak Bawah
Kanan Kiri
Motorik
 Pergerakan (-) (-)
 Kekuatan 0 0
 Tonus (-) (-)
Sensibilitas
 Taktil (raba) (+) (+)
 Nyeri (+) (+)
Refleks fisiologis
 Patella (-) (-)
 Achilles (-) (-)
Refleks patologis
 Babinski (+) (+)
 Chaddock (+) (+)
 Schaefer (+) (+)
 Oppenheim (+) (+)
 Rossolimo (+) (+)
 Mendel-Bechterew (-) (-)
 Clonus paha (-) (-)
 Clonus kaki (-) (-)
Pemeriksaan tambahan
 Deformitas tulang belakang (+)
 Nyeri tekan lokal paravertebral
(+) mulai setinggi vertebra
thorakalis IV
 Nyeri tekan bokong dan paha
bagian belakang (+)
(-)
 Tes Laseque (-)
(-)
 Tes Patrick (-)
 Tes kontra Patrick (-)

8
● Pemeriksaan Koordinasi gait keseimbangan :

▪ Cara berjalan : tidak dilakukan pemeriksaan


▪ Romberg-Test : tidak dilakukan pemeriksaan
▪ Dysmetria : dalam batas normal

▪ Tes tunjuk hidung : dalam batas normal

▪ Uji Dix-Hallpike : positif

 Alat vegetatif :
Mictio : dalam batas normal
Defekasi : dalam batas normal

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
- Leukosit :

- Hb :

- Ht :

- Tr :

- GDS :

- Ureum :

- Creatinin :

D. DIAGNOSA
 Diagnosa klinis : Paraparesis inferior UMN
 Diagnosa topis : Dermatom segmen medula spinalis
thorakalis V-VI
 Diagnosa etiologik :
 Suspeck Space Occupying Lesion (SOL) DD : tumor primer, tumor
metastase, abscess

9
 Suspeck Lesi vaskular medula spinalis DD : mikroangipati
(neuropati), Arteriovenous Malformation (AVM)
 Suspeck HNP thorakal
 Infeksi DD : Spondilitis Tb, myelitis

E. PENATALAKSANAAN
Terapi Poli :
 IVFD RL 20 tetes per menit
 Inj. Kalmeco 3 x 1 dalam NaCl
 Inj. Kalmetason 3 x 1 amp
 Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

F. PROGNOSIS
Vitam : Dubia
Fungsionam : Dubia
Sanationam : Dubia

10
FOLLOW UP RUANGAN
Sejak 21 November 2012
Pemeriksaan
Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi
Penunjang
21/11/2012 S: - IVFD RL 20 Pro MSCT
kedua kaki kiri dan kanan, tetes per menit Thoracolumbal +
tidak dapat digerakkan, - Inj. Kalmeco 3 x kontras
demam (-), lemas (-) 1 amp dalam
O: NaCl
E4V5M6 - Inj. Kalmetason
TD = 120/80 mmHg 3 x 1 amp
RR = 16 x/menit - Inj. Ranitidin 2
N = 80 x/menit x 1 amp
T = 36 oC
D S
5 5
0 0
A:
Paraparesis inferior UMN
22/11/2012 S: - IVFD RL 20 Pro MSCT
Kedua kaki tidak bisa tetes per menit Thoracolumbal +
digerakkan (+), demam (-), - Inj. Kalmeco 3 x kontras
lemas (-) 1 amp dalam
O: NaCl
E4V5M6 - Inj. Kalmetason
TD = 120/70 mmHg 3 x 1 amp
RR = 16 x/menit - Inj. Ranitidin 2
N = 80 x/menit x 1 amp
T = 36,5oC

11
D S
5 5
0 0
A:
Paraparesis inferior UMN
23/11/2012 S: - IVFD RL 20 Pro MSCT
Kedua kaki tidak bisa tetes per menit Thoracolumbal +
digerakkan (+), demam (-). - Inj. Kalmeco 3 x kontras
Lemas (-), keluhan lain (-) 1 amp dalam Rencana Fisioterapi
O: NaCl
E4V5M6 - Inj. Kalmetason
TD = 130/80 mmHg 3 x 1 amp
RR = 12 x/menit - Inj. Ranitidin 2
N = 80 x/menit x 1 amp
T = 36,1 oC
D S
5 5
0 0
A:
Paraparesis inferior UMN
24/11/2012 S: - Vitamin B Rencana pulang dan
Kedua kaki tidak bisa komplex 3 x 1 tab konsul poli saraf
digerakkan (+), demam (-), untuk pro MSCT
lemas (-), keluhan lain (-) Thoracolumbal +
O: kontras
E4V5M6
TD = 120/80 mmHg
RR = 16 x/menit
N = 70 x/menit
T = 36,5 oC

12
D S
5 5
0 0
A:
Paraparesis inferior UMN
20/09/2008 S:  RL 20 tts/i drip Rencana MS-CT
Lemah kaki kiri dan kanan, Neurobion Thorakolumbal +
hipestesia setinggi segmen  Methycobalt kontras, bila pasien
medula spinalis thorakalis 2x1 setuju
VII-VIII, ulkus dekubitus  Rawat dekubitus
daerah sakral (+) dengan Mebo
O:
TD = 120/70 mmHg
RR = 14 x/menit
N = 68 x/menit
T = 36,5 oC
GCS 15
D S
5 5
0 1
A:
Paraparesis inferior UMN
22/09/2008 S:  Terapi lanjut  Lab : GDS = 135
Lemah kaki kiri dan kanan,  Pasien menolak
hipestesia setinggi segmen untuk MS-CT
medula spinalis thorakalis Thorakolumbal +
VII-VIII, ulkus dekubitus kontras
daerah sakral (+)
O:
TD = 120/70 mmHg
RR = 12 x/menit

13
N = 68 x/menit
T = 36 oC
GCS 15
D S
5 5
0 1
A:
Paraparesis inferior UMN
23/09/2008 S:  RL 20 tts/i
Lemah kaki kiri dan kanan,  Neurobion 1x1
hipestesia setinggi segmen  Ciprofloxacin
medula spinalis thorakalis 2x500 mg
VII-VIII, ulkus dekubitus  Rawat dekubitus
daerah sakral (+) dengan Mebo
O:
TD = 150/90 mmHg
RR = 14 x/menit
N = 70 x/menit
T = 36 oC
GCS 15
D S
5 5
0 1
A:
Paraparesis inferior UMN
24/09/2008 S:  RL - aff
Lemah kaki kiri dan kanan,  Neurobion 1x1
hipestesia setinggi segmen  Ciprofloxacin
medula spinalis thorakalis 2x500 mg
VII-VIII, ulkus dekubitus  Rawat dekubitus
daerah sakral (+) dengan Mebo

14
O:  Pasien pulang
TD = 120/80 mmHg paksa
RR = 16 x/menit
N = 72 x/menit
T = 36,5 oC
GCS 15
D S
5 5
0 1
A:
Paraparesis inferior UMN

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Paraparesis [para- + paresis] paralisis sebagian ekstremitas

bawah. Paralisis yaitu kehilangan atau gangguan fungsi motorik yang

disebabkan oleh lesi mekanisme saraf atau otot. Sedangkan akut adalah

pola perjalanan yang singkat dan relative berat. Jadi,paraparesis akut

adalah hilangnya atau adanya gangguan fungsi motorik yang disebabkan

olah lesi mekanisme saraf atau otot yang terjadi secara singkat dan relative

berat.3,4

Paraparesis merupakan lesi intraspinal setinggi atau dibawah level

medulla spinalis thorakalis dengan deficit sensoris yang dapat

diidentifikasi setinggi dermatom medulla spinalis yang terkena lesi.

Paraparesis juga dapat berasal dari lesi pada lokasi lain yang

mempengaruhi UMN (terutama lesi parasagital dan hidrocepalus) dan

LMN (lesi pada cornu anterior, kauda equina, dan neuropati perifer).2

2.2 Anatomi5

Medula spinalis berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga

sebagai jaras konduksi impuls dari atau ke otak. Medula spinalis terdiri

16
dari substansia alba (serabut saraf bermielin) dengan bagian dalam terdiri

dari substansia grisea (jaringan saraf tak bermielin). Substansia alba

berfungsi sebagai jaras konduksi impuls aferen dan eferen antara berbagai

tingkat medulla spinalis dan otak. Substansia grisea merupakan tempat

integrasi refleks-refleks spinal.

Pada penampang melintang, substansia grisea tampak menyerupai

huruf H capital, kedua kaki huruf H yang menjulur ke bagian depan tubuh

disebut kornu anterior atau kornu ventralis, sedangkan kedua kaki

belakang dinamakan kornu posterior atau kornu dorsalis.

Kornu ventralis terutama terdiri dari badan sel dan dendrit

neuron-neuron motorik eferen multipolar dari radiks ventralis dan saraf

spinal. Sel kornu ventralis (lower motor neuron) biasanya dinamakan jaras

akhir bersama karena setiap gerakan (baik yang berasal dari korteks

motorik serebral, ganglia basalis atau yang timbul secara refleks dari

reseptor sensorik) harus diterjemahkan menjadi suatu kegiatan atau

tindakan melalui struktur tersebut.

Kornu dorsalis mengandung badan sel dan dendrit asal serabut-

serabut sensorik yang akan menuju ke tingkat SSP lain sesudah bersinaps

dengan serabut sensorik dari saraf-saraf sensorik.

Substansia grisea juga mengandung neuron-neuron internunsial

atau neuron asosiasi, serabut eferen sistem saraf otonom, serta akson-

akson yang berasal dari berbagai tingkatan SSP. Neuron internunsial

17
menghantar impuls dari satu neuron ke neuron lain dalam otak dan

medulla spinalis. Dalam medulla spinalis neuron-neuron internunsial

mempunyai banyak hubungan antara satu dengan yang lain, dan hanya

beberapa yang langsung mempersarafi sel kornu ventralis. Hanya sedikit

impuls saraf sensorik yang masuk ke medulla spinalis atau impuls motorik

dari otak yang langsung berakhir pada sel kornu ventralis (lower motor

neuron). Sebaliknya, sebagian besar impuls mula-mula dihantarkan lewat

sel-sel internunsial dan kemudian impuls tersebut mengalami proses yang

sesuai, sebelum merangsang sel kornu anterior. Susunan seperti ini

memungkinkan respons otot yang sangat terorganisasi.

Lintasan beberapa traktus medulla spinalis. Traktus ascendens

membawa informasi sensorik ke SSP dan dapat berjalan ke bagian-bagian

medulla spinalis dan otak. Traktus spinotalamikus lateralis merupakan

suatu traktus ascendens penting, yang membawa serabut-serabut untuk

jaras nyeri dan suhu. Jaras untuk raba halus, propiosepsi sadar, dan getar

mempunyai serabut-serabut yang membentuk kolumna dorsalis substansia

alba medulla spinalis. Impuls dari berbagai bagian otak yang menuju

neuron-neuron motorik batang otak dan medulla spinalis disebut traktus

descendens. Traktus kortikospinalis lateralis dan ventralis merupakan jaras

motorik voluntary dalam medulla spinalis. Traktus asosiatif merupakan

traktus ascendens atau descendens yang pendek; misalnya, traktus ini

dapat hanya berjalan antara beberapa segmen medulla spinalis, sehingga

18
disebut juga traktus intersegmental. Tabel 1 menyebutkan beberapa traktus

ascendens dan descendens yang penting pada medulla spinalis.

Tabel 1. Traktus Ascendens dan Descendens Utama Medula Spinalis

Traktus Fungsi

ASCENDENS

Kolumna dorsalis (posterior) Kemampuan untuk melokalisasi stimulus dari sentuhan halus,

Fasikulus kuneatus (T6 kemampuan untuk membedakan tekanan dan intensitas

dan di atasnya, bagian (membedakan dua-titik, persepsi berat badan)

atas tubuh) Kesadaran propioseptif (merasakan posisi)

Fasikulus grasilis (T7 dan Vibrasi (sensasi fasik)

di bawahnya, bagian Hantaran cepat informasi sensorik

bawah tubuh)

Spinotalamikus Nyeri

Spinotalamikus lateralis Temperatur, termasuk sensasi hangat dan dingin

Spinotalamikus ventralis Kurang dapat melokalisasi stimulus dari sentuhan kasar serta

membedakan tekanan dan intensitas

Sensasi gatal dan geli

Hantaran informasi sensorik lebih lambat daripada kolumna

dorsalis

Spinoserebelaris Propioseptif yang tidak disadari (sensasi otot)

19
Spinoserebelaris dorsalis Koordinasi postur tubuh dan gerakan ekstremitas

Spinoserebelaris ventralis Informasi sensorik yang dihantarkan hampir seluruhnya dari

apparatus tendon Golgi dan gelendong otot

Serabut traktus-besar yang menghantarkan impuls lebih cepat

daripada neuron-neuron lain dalam tubuh

DESCENDENS

Kortikospinalis

Kortikospinalis lateralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk pengendalian

voluntar otot ekstremitas

Kortikospinalis ventralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk pengendalian

voluntar otot tubuh

Rubrospinalis Traktus ekstrapiramidalis mengurus integrasi yang tidak

disadari dan koordinasi gerakan otot yang disesuaikan

dengan masukan propioseptif

Tektospinalis Traktus ekstrapiramidalis mengurus gerakan pemindaian dan

pergantian refleks pada kepala dan gerakan refleks pada

lengan sebagai respons terhadap sensasi penglihatan,

pendengaran, atau kulit

Vestibulospinalis Traktus ekstrapiramidalis terlibat dalam mempertahankan

keseimbangan dan koordinasi gerakan kepala dan mata

2.3 Etiologi

20
Paraparesis akut (lebih sering terjadi pada hitungan hari daripada

hitungan jam atau minggu) merupakan permasalahan dalam diagnosis.

Terjadinya nyeri punggung dan adanya refleks tendon atau tanda-tanda lesi

upper motor neuron (tabel. 2) berarti telah munculnya lesi kompresif.1

Tabel 2. Tanda-tanda lesi Upper Motor Neuron6

Karakteristik Upper Motor Neuron (UMN)


Jenis dan Lesi di otak: “distribusi piramidalis” yaitu bagian

distribusi distal terutama otot-otot tangan; ekstensor lengan

kelemahan dan fleksor tungkai lebih lemah.

Lesi di medula spinalis: bervariasi, bergantung lokasi

lesi.

Tonus Spastisitas: lebih nyata pada fleksor lengan dan

ekstensor tungkai

Massa otot Hanya sedikit mengalami disuse atrophy

Refleks fisiologis Meninggi

Refleks patologis Ada

Fasikulasi Tidak ada

Klonus Seringkali ada

Berdasarkan umur, populasi lebih tua, penyebab terseringnya

adalah metastase tumor. Pada anak-anak atau dewasa muda, sindrom ini

lebih tidak menyenangkan karena disertai dengan nyeri yang penyebab

terseringnya adalah mielitis transversa akut. Pada anak-anak dan dewasa,

21
selain gangguan motorik, timbul pula gangguan sensorik. MRI spinal atau

mielografi diperlukan sebagai diferensiasi. Pada orang tua, kasus akut

paraplegia pada spinal cord jarang terjadi. Sindrom tersebut biasanya

terjadi setelah operasi klem aorta.1

Jika refleks tendon hilang disertai tidak adanya sensorik pada

pasien dengan paraparesis akut maka kasus yang sering terjadi adalah

sindrom Guillain Barre. Ini terjadi pada semua umur. Hilangnya sensorik

merupakan gejala yang mengarah ke diagnosis sindrom Guillain Barre

namun, kadang-kadang tidak selalu demikian. Diagnosis pasti ditegakkan

berdasarkan pemeriksaan CSF dan elektromiografi (EMG). Pada negara

berkembang, akut paralisis poliomyelitis juga merupakan penyebab akut

paraplegia.1

Episode rekuren paraparesis biasanya disebabkan oleh adanya

multiple sklerosis atau adanya malformasi vascular medulla spinalis.2

Kelainan akut pada medulla spinalis dengan deficit UMN

biasanya menunjukkan gejala inkontinensia, hilangnya sensoris dari

ekstremitas bawah yang menjalar kearah rostral tubuh setinggi dermatom

medulla spinalis yang terkena lesi, tonus otot bersifat flaccid dan reflex

tendon menghilang, pada beberapa kasus, penegakan diagnosis didasarkan

pada pencitraan radiologis pada medulla spinalis.2

Kelainan-kelainan UMN tersebut dapat berupa:2

1. Lesi kompresif (seperti tumor epidural, abscess, ataupun hematoma)

2. Infark medulla spinalis (propriosepsi biasanya terganggu)

22
3. Fistula arteriovenous atau kelainan vaskular lainnya (trombosis arteri

spinalis anterior)5

4. Mielitis transversa

Kelainan pada hemisfer serebral yang dapat menyebabkan

paraparesis akut yakni anterior cerebral artery ischemia (reflex

mengangkat bahu dapat terganggu), superior sagittal sinus atau cortical

venous thrombosis, dan acute hydrocephalus. Jika tanda UMN disertai

adanya drowsiness, confusion, seizures, atau tanda hemisferik lainnya

tanpa adanya gangguan sensoris maka penegakan diagnosis dimulai

menggunakan MRI otak. Paraparesis merupakan bagian dari sindrom

kauda equine yang dapat disebabkan oleh trauma pada punggung bawah,

HNP, dan tumor intraspinal.2

Meskipun jarang paraparesis dapat disebabkan oleh neuropati


perifer yang berkembang dengan cepat seperti pada Sindrom Guillain-
Barre atau oleh miopati dan pada kasus ini studi elektrofisiologis dapat
membantu penegakan diagnosa.2

2.4 Klasifikasi Paraparese


Pembagian paraparese berdasarkan kerusakan topisnya :
a. Paraparese spastik
Parapeaese spastik terjadi kerusakan yang mengenai upper motor
neuron (UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot
atau hipertoni.

b. Paraparese Flaksid

23
Paraparese flaksid terjadi karena krusakan yang mengenai lower
motor neuron (LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus
otot atau hipotoni.

2.5 Patofisiologi
Lesi yang mendesak medula spinalis sehingga merusak daerah jaras
kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot –
otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingakt lesi. Lesi yang memotong
melintang (transversal) medula spinalis pada tingkat servikal, misalnya C5
dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot yang berada di bawah
C5, yaitu sebagian dari kedua otot – otot kedua lengan yang berasal dari
miotoma C6 sampai miotoma C8, kemudian otot – otot thorax dan
2.4 Penyakit-penyakit dengan paraparesis akut

2.4.1 Kompresi medulla spinalis akut7,

Kompresi medulla spinalis timbul dengan gejala disfungsi

motorik yang terutama mengenai ektremitas bawah, dimanapun tingkat

lesinya. Kompresi berhubungan dengan tingkat sensoris dan tanda-tanda

upper motor neuron (UMN< neuron motorik atas) di bawah tingkat

terjadinya lesi. Reflek abdomen hilang apabila lesi terjadi di atas T9.

Keadaan ini merupakan kegawatdaruratan medis apapun penyebabnya.

MRI harus segera dilakukan dan hasil pencitraan tersebut menentukan

penatalaksanaanya. Medulla spinalis paling sering mengalami kompresi

akibat:

 Tumor sekunder dari payudara, prostat dan paru

24
 Diskus intervertebralis yang prolaps, yang bisanya mengalami herniasi

ke lateral dan menyebabkan timbulnya tanda-tanda yang asimetris,

meskipun prolaps bagian tengah diskus juga dapat terjadi.

 Abses dan lesi inflamasi lainnya juga dapat menekan medulla spinalis.

Terapi biasanya dengan dekompresi secara bedah atau radioterapi

untuk tumor ganas.

2.4.2 Mielitis transversa7

Merupakan penyakit inflamasi yang terlokalisasi pada bagian

tengah medulla spinalis, timbul sebagai kelemahan akut dengan

kehilangan tingkat sensoris secara ascendens, sangat mirip dengan

kompresi medulla spinalis akut (yang perlu disingkirkan dengan

pemeriksaan MRI segera). Sebagian pasien telah mengalami penyakit

menyerupai flu dan kondisi ini dapat terjadi sebagai komplikasi

parainfeksi pada infeksi Mycoplasma atau Legioneella spp., infeksi virus

Epstein-Barr, infeksi herpes simpleks dan zoster, dan lainnya.

Pada mielitis gejala yang timbul berupa nyeri lokal yang hebat,

paraparesis, parastesia atau kombinasi dari gejala tersebut.

Pencitraan mungkin menunjukkan adanya lesi fokal atau bisa juga

normal. Pada sebagian pasien, mielitis transversa merupakan manifestasi

pertama pada sklerosis multipel.

25
2.4.3 Trombosis arteri spinalis anterior7

Pola anatomis aliran darah menuju medulla spinalis menyebabkan

regio toraks pertengahan dan atas sangat rentan terhadap insufisiensi

vascular. Dua buah arteri spinalis posterior, yang memberikan sirkulasi

kolateral yang cukup, memperdarahi bagian posterior medulla spinalis.

Akan tetapi, bagian anterior medulla spinalis (traktus spinotalamikus dan

kortikospinal) hanya mendapat aliran darah dari satu arteri spinalis anterior

yang dibentuk dari anastomosis cabang dari masing-masing arteri

vertebralis pada tingkat medulla. Pada tingkat tertentu tidak terdapat

sirkulasi kolateral (lokasi daerah ini bervariasi tetapi biasanya pada daerah

T4). Apabila suplai darah di daerah tersebut mengalami gangguan

(misalnya, akibat thrombosis in situ atau sebuah emboli), dapat

menyebabkan iskemia pada daerah yang di suplai oleh arteri spinalis

anterior yang menimbulkan gejala (yang menetap paling lama sampai

beberapa jam) berupa paraparesis flasid yang timbul mendadak serta

hilangnya fungsi kandung kemih. Fungsi kolumna dorsalis masih utuh

ketidakstabilan otonom akibat syok spinal mungkin terjadi. Pencitraan

sering menunjukkan hasil normal pada keadaan akut. Tidak terdapat terapi

dan prognosis untuk pulih buruk. Sumber emboli perlu dicari (misalnya

26
fibrilasi atrium, serangan infark miokard baru) menyingkirkan

kemungkinan vaskulitis, dan dilakukan tindakan antiaterogenik umum.

2.4.4 Sindrom Guillain-Barre8

Sindrom ini mempunyai banyak sinonim, antara lain polineuritis

akut pasca infeksi, polyneuritis akut toksik, polyneuritis febril,

poliradikulopati dan acute ascending paralysis. Sindrom ini dicirikan oleh

kelumpuhan otot ekstremitas yang akut dan progresif, biasanya muncul

sesudah infeksi.

Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi,

akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab.

Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik

secara primary immune respone maupun immune mediated process.

Gambaran klinik sindroma Guillein-Barre:

 Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi

progresivitasnya akan berhenti setelah berjalan 4 minggu. Lebih

kurang 50% akan terjadi kelemahan menjelang 2 minggu, 80%

menjelang 3 minggu, dan lebih dari 90% selama 4 minggu.

Kelumpuhan terjadi secara simetris, jarang asimetris. Kelumpuhan

dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai, dapat pula total pada

keempat anggota gerak yang terjadi secara cepat, dalam waktu kurang

27
dari 72jam. Keadaan ini disebut ascending paralysis atau ascending

Landry’s paralysis.

 Gangguan sensorik umumnya ringan. Hipotoni dan hiporefleksi selalu

ditemukan.

 Nervus kranialis dapat terkena.

 Fungsi saraf otonom dapat pula terganggu.

Pada pemeriksaan darah tepi bisa diperoleh hasil normal ataupun

mungkin memperlihatkan tanda-tanda radang akut berupa leukositosis.

Pada cairan serebrospinal (CSS) didapatkan kadar protein yang tinggi,

kadang-kadang dapat sampai 1.000 mg%; hal demikian ini tidak sesuai

dengan jumlah sel dalam CSS yang dapat dikatakan tidak mengalami

perubahan. Keadaan demikian ini disebut disosiasi sel albumin (albumin-

cytologic dissociation), dan mencapai puncaknya pada minggu ke 4-6.

Peningkatan protein ini diduga sebagai inflamasi yang luas. Sedangkan

pada pemeriksaan elektroneuromiografi menunjukkan adanya

demielinisasi hampir semua penderita sindrom Guillain-Barre. Kecepatan

hantar saraf tepi (KHST) menurun.

Terapi pada sindrom Guillain-Barre :

 Dapat dikatakan tidak ada drug of choice. Yang diperlukan adalah

kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai

akibat perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-

otot pernafasan.

28
 Roboransia saraf dapat diberikan, terutama secara parenteral. Apabila

terjadi kesulitan mengunyah dan/atau menelan, maka perlu dipasang

nasogastric tube.

 Manfaat kortikosteroid untuk sindrom Guillain-Barre masih

kontroversial. Namun demikian, apabila keadaan menjadi gawat

akibat terjadinya paralisis otot-otot pernafasan maka kortikosteroid

dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid ini harus

diiringi dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin

terjadi.

 Plasmafaresis untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang

besar, terutama untuk kasus akut. Di Negara-negara Barat,

plasmafaresis mulai sering diberikan, namun demikian belum

diperoleh kesimpulan yang pasti.

 Pengobatan dengan cara lain misalnya dengan imunoglobin dan

immunomodulating pernah dicoba, tetapi hasilnya masih diragukan.

Terlepas dari obat apa yang diberikan, maka perawatan terhadap

penderita sindrom Guiilain-Barre harus tetap prima. Latihan dan

fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat penyembuhan.

Pada sindrom Gullain-Barre, prognosis akan lebih baik apabila

usia penderita lebih muda, selama sakit tidak memerlukan pernafasan

bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan tidak terjadi

kelumpuhan total. Kira-kira 90% penderita akan sembuh sempurna.

29
Kecepatan penyembuhan bervariasi dari beberapa minggu sampai

beberapa bulan. Namun, apabila terjadi paralisis otot-otot pernafasan maka

prognosis akan lebih buruk. Hal demikian ini akan lebih diperburuk lagi

apabila rumah sakit tidak mempunyai fasilitas perawatan yang memadai.

30
PEMBAHASAN

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesa, pasien datang ke poli
saraf RSUD AWS Samarinda dengan keluhan kedua kaki tidak bisa digerakkan.
Keadaan ini dialami pasien sejak 8 tahun yang lalu, awalnya kedua kaki terasa
lemas dan lemah namun dengan seiringnya waktu kedua kaki tidak dapat
digerakkan. Selain itu, pasien memiliki riwayat jatuh dari sepeda dan memiliki
riwayat batuk berdahak sekitar lebih dari 3 minggu yang disertai dengan keluhan
keringat pada malam hari. Berdasarkan penuturan pasien, pasien pernah
didiagnosis TB paru pada tahun 2000 dan mendapatkan pengobatan 6 bulan. Dan
pada tahun 2010, pasien pernah didiagnosis spondilitis tb.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya kifosis ( gibbus/angulasi
tulang belakang). Pada pemeriksaan neurologis didapatkan pemeriksaan sensorik
anggota gerak atas dan bawah dalam batas normal, sementara pemeriksaan
motorik didapatkan pemeriksaan refleks fisiologis normal, namun pada anggota
gerak bawah pemeriksaan refleks fisiologis negatif. Sementara pemeriksaan
refleks patologis ditemukan pada pasien ini. Pada pemeriksaan koordinasi, gait
dan keseimbangan pasien tidak bisa melakukan sama sekali.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka diagnosa klinis pasien
ini adalah paraplegi inferior tipe UMN, diagnosis etiologi adalah dermatom
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah IVFD RL 20 tetes per menit,
Analsik tab 3x1 (k/p jika nyeri), ranitidin tab 3x1, versilon tab 1-1-1, dramamin
tab 1-1-0, dan alprazolam 0,5 mg 0-0-1. Pemberian analsik pada pasien ini
seharusnya tidak diberikan karena keluhan sakit kepala tidak ada, dan salah satu
efek samping dari obat ini adalah vertigo. Dari hasil pemeriksaan fisik pada pasien
ini ditemukan adanya nyeri tekan epigastrium dan adanya riwayat sakit maag,
maka diberikan ranitidine tablet 3x1. Pemberian versilon dan dramamin pada
pasien ini tepat sesuai dengan indikasi. Pemberian alprazolam 0,5 mg diberikan
pada pasien ini untuk mengurangi kecemasan sehingga menyebabkan sulit tidur.

31
Fakta Teori
Analsik tab 3x1 (k/p jika nyeri) Merupakan kombinasi Metampiron dan
Diazepam. Metampiron adalah suatu
obat analgesik- antipiretik. Diazepam
mempunyai kerja sebagai antiansietas,
juga memiliki sifat relaksasi otot
rangka. Kombinasi ini dimaksudkan
untuk menghilangkan rasa nyeri dan
spasme organ visceral.
Ranitidin tab 3x1 Merupakan golongan reseptor H2
antagonis, Diindikasikan untuk ulkus
duodenum, tukak lambung, kondisi
hipersekresi.
Versilon tab 1-1-1 Mengandung betahistine mesylate.
Diindikasikan untuk vertigo, tinnitus,
ketulian yang berhubungan dengan
sindroma meniere.
Dramamin tab 1-1-0 Merupakan golongan antihistamin,
Mengandung dimenhydranate, indikasi
untuk mengobati vertigo, mual &
muntah, anastesi, pembedahan,
gangguan system labirin.
Alprazolam 0,5 mg 0-0-1 Bekerja pada reseptor GABA,
mensupresi kelenjar hipotalamic-
pituitari. Untuk keluhan kecemasan
pasien yang sulit untuk istirahat tidur.

32
KESIMPULAN

Dilaporkan laki-laki usia 48 tahun dengan diagnose klinis vertigo


vestibular perifer, diagnosa topis sistem vestibularis, dan diagnosa etiologik
BPPV (Benign Paroksimal Positional Vertigo). Terapi yang diberikan yaitu IVFD
RL 20 tetes per menit, analsik tab 3x1 (k/p jika nyeri), ranitidine tab 3x1, versilon
tab 1-1-1, dramamin tab 1-1-0, alprazolam o,5 mg 0-0-1. Prognosis pasien ini
dubia ad bonam.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Budi Riyanto Wreaksoatmodjo. 2004. Vertigo : Aspek Neurologi. Bogor.


Online, diakses tgl 16 April 2010.
(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/144_14VertigoAspekNeurologi.pdf/
144_14VertigoAspekNeurologi.html)
2. Lumbaltobing. 2000. Vertigo. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada
University Press : Yogyakarta. Hal 341-357.
3. Majalah Farmacia. 2007. Si Penyebab Kepala Berputar. Online, diakses
tgl 17 April 2010.

34
(http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=221)
4. Wijayakusumah. 2008. Vertigo. Online, diakses tgl 17 April 2010.
http://fk.wijayakusumasby.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Ilmu
%2520Penyakit%2520Saraf/Vertigo%2520%255BCompatibility
%2520Mode)

35

Anda mungkin juga menyukai