Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN
Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang
mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran
finansial masyarakat.1,2 Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi
menjadi kelompok akut dan kronik.2
Menurut American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 1
dari 8 orang dewasa di Amerika Serikat menderita rinosinusitis. Lebih dari 30 juta
penderita di diagnosa setiap tahun dan menghabiskan dana mencapai 11 milyar
dolar per tahun. Lebih dari satu macam antibiotik diresepkan untuk pasien
rinosinusitis dan membuatnya berada pada urutan ke-5 penyakit dengan terapi
antibiotik tersering. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh CDC pada tahun
2012 di Amerika Serikat, dalam kurun waktu 12 bulan terdapat sebanyak 28,5 juta
penderita rinosinusitis yang berusia di atas 18 tahun. Sebanyak 10,3 juta
diantaranya merupakan laki-laki dan 18,2 juta merupakan perempuan.
Prevalensi rinosinusitis di Indonesia pada tahun 2004 dilaporkan sekitar 30
juta penduduk. Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003, penyakit hidung dan
sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama yang dikutip
oleh Ardine (2014). Dibagian Ilmu Kesehatan THT – KL FK Universitas
Hasanuddin Makassar, jumlah kasus rinologi periode tahun 2003 sampai dengan
tahun 2007 yaitu penderita rawat jalan sebanyak 12.557 kasus dan penderita rawat
inap sebanyak 1.092 kasus dengan perbandingan antara pria dan wanita hampir
sama (46% : 54%). Kasus rawat inap yang terbanyak yaitu rinosinusitis (41,5%)
dan kasus pada kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 23,3%. dari seluruh pasien
rinologi. (5)
Dampak yang diakibatkan rinosinusitis kronik meliputi berbagai aspek,
antara lain aspek kualitas hidup ( Quality of Life / QOL ) dan aspek sosioekonomi.1-

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 RINOSINUSITIS
Rinosinusitis adalah inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang ditandai
dengan adanya sumbatan/ obstruksi/ kongesti pada hidung, sekret hidung,
nyeri/tekanan pada wajah, dan/atau penurunan atau hilangnya penciuman. Karena
sinusitis biasanya disertai dengan rinitis dan kejadian sinusitis yang berdiri sendiri
sangat jarang, maka terminologi yang tepat untuk digunakan saat ini adalah
rinosinusitis. Rinosinusitis dapat dibedakan menjadi akut dan kronis. Rinosinositis
akut didefinisikan sebagai rinosinusitis yang berlangsung kurang dari 12 minggu,
dengan resolusi gejala yang komplit dan biasanya disebabkan oleh virus, kadang-
kadang bakteri. Rinosinusitis akut biasanya memiliki gejala yang lebih berat dan
lebih berisiko mengalami komplikasi. Sementara itu, rinosinusitis kronik
didefinisikan sebagai rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu, tanpa
resolusi komplit dari gejalanya, dan dapat berujung kepada obstruksi persisten dari
kompleks ostiomeatal.10 Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai sinus paranasal disebut pansinusitis.4
 Durasi penyakit2
- Akut :
- <12 minggu
- resolusi gejala lengkap.
- Kronis :
- Gejala ≥12 minggu
- tanpa resolusi gejala lengkap (mungkin juga mengalami
eksaserbasi)

2.1.3. ANATOMI FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


2.1.3.1 HIDUNG5
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak
hidung (tip), 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung

2
luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubah hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor) dan 3) tepi
anterior kartilago septum.1

Gambar 1. Anatomi hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.6
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondirum pada bagian
tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh
mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yaitu konka inferior
yang terbesar dan letaknya paling bawah, kemudian konka media, konka superior

3
dan yang terkecil yaitu konka suprema yang biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.6
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan
ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.6

Gambar 2. Anatomi Kavum Nasi

4
Batas rongga hidung antara lain:
- Inferior: dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum
- Superior: atap hidung yang sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis
yang memisahkan rongga tengkorak dari rungga hidung. Lamina kribiformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid yang berlubang-
lubang tempat masukna serabut-serabut saraf olfaktorius.
- Posterior: atap rongga hidung yang dibentuk oleh os sfenoid6

Kompleks Ostiomeatal (KOM)6


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting
yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang
letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi
obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang
signifikan pada sinus-sinus yang terkait.1

5
Gambar 3. Kompleks Ostiomeatal

2.1.3.2 SINUS PARANASAL6


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.7
Sinus disusun oleh mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam
sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium
alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Lendir yang berasal
dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke
nasofaring di depan muara tuba Eustachius, sedangkan lendir yang berasal dari
kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke
nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati
sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.7

6
Fungsi sinus paranasal belum diketahui secara pasti, beberapa teori yang
dikemukakan antara lain sebagai pengatur kondisi udara, penahan suhu, membantu
keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan
udara dan membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.7

Gambar 4. Anatomi Sinus Paranasal

2.1.4 Beratnya Penyakit2


Derajat rinosinusitis dapat ditentukan berdasarkan skor total visual
analogue scale (VAS) dengan menanyakan seberapa besar gangguan dari gejala
rinosinusitis pasien terhadap kegiatan sehari-hari yang diukur dengan skor 0 – 10.
Derajat rinosinusitis diinterpretasikan sebagai berikut:
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang = VAS >3-7
- Berat = VAS >7-10

Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien.

2.1.5 Diagnosis Klinis Rinosinusitis9

Menurut Task Force yang dibentuk oleh the American Academy of


Otolaryngologic Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS), gejala
klinis RS pada dewasa dapat digolongkan menjadi :

7
Gejala mayor yaitu gejala yang banyak dijumpai serta mempunyai faktor prediksi
yang tinggi.

Termasuk dalam gejala mayor Sedangkan gejala minor :


adalah :

 Sakit pada daerah muka  Batuk


(pipi,dahi ,hidung)
 Demam (untuk RS non akut)
 Buntu hidung
 Tenggorok berlendir
 Ingus purulens/pos-
nasal/berwarna  Nyeri kepala

 Gangguan penciuman  Nyeri geraham

 Sekret purulen di rongga hidung  Halitosis

 Demam (untuk RS akut saja)

Persangkaan adanya RS didasarkan atas adanya 2 gejala mayor atau lebih atau 1
gejala mayor disertai 2 gejala minor.

Berdasarkan kualitas gejalanya RSA dapat dikelompokkan dalam kategori ringan


(non severe) dan berat (severe) :

RSA ringan (non-severe acute RSA berat (severe acute sinusitis):


sinusitis):
 Rinore  Rinore purulen
(kental,berwarna)
 Buntu hidung
 Buntu hidung
 Batuk
 Sakit kepala/wajah berat
 Sakit kepala/wajah ringan
 Udem periorbital
 Demam tidak ada/ringan
 Demam tinggi

Untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis dapat dilakukan melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

8
Anamnesis 9

Anamnesis yang cermat dan diperlukan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang disebutkan di atas.

RSK karena diperlukan pengetahuan kemungkinan faktor penyebab yang lain selain
inflamasi itu sendiri. Adanya penyebab infeksi baik kuman maupun virus,riwayat
alergi atau kelainan anatomis di dalam rongga hidung dapat dipertimbangkan dari
riwayat penyakit yang lengkap.

Untuk RSA gejala yang ada mungkin cukup jelas karena berlangsung akut
(mendadak) dan seringkali didahului oleh infeksi akut saluran nafas atas. Pada anak
infeksi saluran nafas atas merupakan predisposisi pada 80% RSA anak.

Penderita dengan latar belakang alergi mempunyai riwayat yang khas terutama
karakteristik gejala pilek sebelumnya,riwayat alergi dalam keluarga serta adanya
faktor lingkungan yang mempengaruhi.

2.2 RHINOSINUSITIS AKUT


2.2.1 Definisi Rhinosinusitis Akut3
Rinosinusitis akut (ARS) adalah akut dalam kondisi peradangan hidung dan
sinus paranasal. Sebagai lapisan mukosa hidung dan sinus paranasal yang terus
menerus, ARS adalah istilah yang lebih tepat daripada sinusitis akut yang biasanya
digunakan.3

2.2.1.1 Rhinosinusitis Akut (ARS) pada dewasa1


Rinosinusitis akut pada orang dewasa didefinisikan sebagai: tiba-tiba dari dua
atau gejala lainnya, salah satu diantaranya hidung tersumbat / obstruksi / kongesti
atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip):

± wajah nyeri / tekanan, 


±berkurangnya atau anosmia <12 minggu; 
 dengan interval gejala yang

bebas jika masalahnya rekuren, dengan validasi melalui telepon atau wawancara. 1

2.2.1.2 Rhinosinusitis Akut (ARS) pada anak1


Rinosinusitis akut pada anak-anak didefinisikan sebagai: onset yang tiba-tiba
dari dua atau lebih gejala:

9
- sumbatan hidung / obstruksi / kongesti
- atau keluarnya cairan hidung yang berubah warna
- atau batuk (siang dan malam)
- untuk <12 minggu;
dengan interval gejala bebas jika masalah ini berulang; validasi dengan melalui
telepon atau wawancara.
Pertanyaan tentang gejala alergi (yaitu bersin, berair rhinorrhea, hidung gatal,
dan mata berair gatal) harus dimasukkan. ARS dapat terjadi sekali atau lebih dari
satu kali dalam jangka waktu yang ditentukan. Ini biasanya dinyatakan sebagai
episode / tahun tetapi harus ada penyelesaian lengkap gejala antara episode untuk
itu untuk membentuk ARS berulang asli.
- Common cold/Rinosinusitis virus akut didefinisikan sebagai: durasi
gejala kurang dari 10 hari.
- Rinosinusitis viral post akut didefinisikan sebagai: peningkatan gejala
setelah 5 hari atau gejala persisten setelah 10 hari dengan durasi kurang dari 12
minggu.2

2.2.2 Klasifikasi ARS pada dewasa dan anak-anak1


ARS terdiri dari ARS virus (flu biasa) dan ARS post-virus. Dalam EPOS
2007 istilah non-virus ARS dipilih untuk menunjukkan bahwa sebagian besar kasus
ARS diantaranya bukan bakteri. Namun istilah ini tampaknya menyebabkan
kebingungan dan untuk alasan itu kami telah memutuskan untuk memilih ARS
pasca-virus untuk mengungkapkan fenomena yang sama. Persentase sebagian kecil
dari pasien dengan ARS post-virus akan memiliki ARS bakteri.
Pilek / rhinosinusits virus akut didefinisikan sebagai: durasi gejala kurang
dari 10 hari.

Rinosinusitis post-virus akut didefinisikan sebagai:
 peningkatan gejala

setelah 5 hari atau gejala persisten setelah 10 hari dengan durasi kurang dari 12
minggu.

10
Rinosinusitis bakteri akut (ABRS)
 rinosinusitis bakteri akut setidaknya

mengacu pada adanya minimal 3 gejala / tanda-tanda :


- Discharge Berubah warna (dengan dominasi unilateral) dan sekresi

purulen di nasi cavum, 


- nyeri lokal yang parah (dengan didominasi unilateral) 


- Demam (> 38oC) 


- Peningkatan ESR / CRP 


- “double sickening” (yaitu pemburukan setelah fase ringan awal


 penyakit). 1

2.2.3 Etiologi8
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostiomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia
silia seperti pada sindrom Kartagenener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis
kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan
ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.5
2.2.4 Patofisiologi3

11
Gambar 5. Patofisiologi rhinosinusitis akut3

ARS biasanya berkembang sebagai akibat didahuluinya infeksi virus saluran


pernapasan atas yang menyebabkan infeksi bakteri sekunder (Gambar 5). Sebagian
besar kongesti drainase sinus di meatus tengah dan obstruksi bagian anatomi sino-
nasal yang sering diakitkan dalam ARS.

Silia memukul untuk memandu drainase sekresi alamiah dari ostium sinus.
Penyumbatan sinus sebagai akibat peradangan mencegah drainase dan
menghasilkan stasis sekresi lendir, yang mengarah ke pengembangan lingkungan
di mana infeksi bakteri berkembang.

Patogen bakteri yang paling sering terlibat adalah organisme pembentuk piogenik
atau nanah seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan
Moraxella catarrhalis.

Timbulnya atopi, kelainan anatomi (seperti deviasi septum dan obstruksi


mekanik ke jalur drainase sinus) dan riwayat rinosinusitis kronis (dengan atau tanpa
poliposis hidung) dapat mempengaruhi beberapa individu untuk mengembangkan
ARS. Tumor sinonasal dan benda asing juga dapat menyebabkan obstruksi
mekanik. Kondisi yang mempengaruhi pembersihan mukosiliar (misalnya fibrosis
kistik, sindrom Kartagener) serta gangguan imunodefisiensi juga merupakan faktor
risiko untuk ARS kambuhan.3

12
2.2.5 Pemeriksaan klinis1
2.2.5.1 Rhinoskopi anterior
Meskipun rinoskopi anterior sendiri merupakan investigasi yang sangat
terbatas, harus dilakukan dalam pengaturan perawatan primer sebagai bagian dari
penilaian klinis terhadap dugaan ARS. Ini mungkin mengungkapkan temuan yang
mendukung seperti peradangan hidung, edema mukosa dan cairan hidung purulen,
dan kadang-kadang dapat mengungkapkan temuan yang tidak terduga sebelumnya
seperti polip atau kelainan anatomi.

2.2.5.2 Suhu
Kehadiran demam> 38 ° C menunjukkan adanya penyakit yang lebih berat
dan kebutuhan yang mungkin untuk perawatan yang lebih aktif, terutama dalam
hubungannya dengan gejala yang lebih berat. Demam> 38 ° C secara signifikan
terkait dengan kehadiran kultur bakteriologis positif, terutama S. Pneumoniae dan
H. Influenzae, diperoleh dengan aspirasi sinus atau lavage S. Pneumoniae dan H.
Di uenzae fl, diperoleh dengan aspirasi sinus atau lavage.

2.2.5.3 Inspeksi dan palpasi sinus


Inspeksi dan palpasi area maksilofasial dapat mengungkapkan
pembengkakan dan nyeri tekan, yang biasanya ditafsirkan sebagai menunjukkan
penyakit yang lebih berat (226) dan kebutuhan untuk antibiotik, meskipun
sensitivitas dan spesifisitas gejala ini dalam identifikasi ABRS tidak ditetapkan.

2.2.5.4 Endoskopi hidung


Endoskopi hidung umumnya tidak tersedia dalam pengaturan perawatan
primer rutin, dan tidak diperlukan dalam diagnosis klinis ARS, meskipun mungkin
diperlukan dalam pengaturan penelitian.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang7


2.2.6.1 Bakteriologi
Investigasi mikrobiologi tidak diperlukan untuk diagnosis ARS dalam praktek

13
rutin, meskipun mungkin diperlukan dalam pengaturan penelitian, atau penyakit
atipikal atau berulang. Ada korelasi yang wajar antara spesimen yang diambil dari
meatus tengah di bawah kontrol endoskopi dan keran sinus (248), dan pengambilan
sampel mikrobiologi dapat diindikasikan dalam presentasi yang lebih parah,
berulang atau rumit.

2.2.6.2 Imaging
Studi pencitraan dan tidak diperlukan dalam diagnosis ARS dalam praktik rutin,
meskipun mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dalam pengaturan
penelitian.

2.2.6.3 C-Reactive Protein (CRP)


CRP adalah biomark hematologis (tersedia sebagai alat tes near-patient assay cepat)
dan dibesarkan dalam infeksi bakteri.Penggunaannya telah dianjurkan dalam
infeksi saluran pernafasan sebagai bantuan untuk menargetkan infeksi bakteri dan
sebagainya dalam membatasi penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Penelitian
terbaru menyatakan bahwa dalam ARS, CRP rendah atau normal dapat
mengidentifikasi pasien dengan kemungkinan infeksi bakteri positif yang rendah
yang kemungkinan tidak memerlukan atau mendapat manfaat dari antibiotik, dan
pengobatan yang dipandu CRP telah dikaitkan dengan penurunan penggunaan
antibiotik tanpa gangguan hasil. Hal ini dapat dianggap sebagai observasi yang
menarik tetapi awal, dan lebih banyak penelitian diperlukan sebelum tes ini dapat
direkomendasikan sebagai rutin dalam diagnosis ARS dan dalam penargetan terapi.
Namun, tingkat CRP secara signifikan berkorelasi dengan perubahan CT scan dan
CRP yang meningkat adalah prediksi dari kultur bakteri positif pada tusukan sinus
atau lavage.

2.2.6.4 Prokalsitonin
Prokalsitonin juga telah diadvokasi sebagai biomarker hematologis
potensial yang menunjukkan infeksi bakteri yang lebih parah, dan diteliti sebagai
alat untuk membimbing pemberian antibiotik pada infeksi saluran pernafasan di

14
masyarakat.
Ini tersedia sebagai tes manual dekat-pasien yang dapat memberikan hasil
dalam 30 menit, tetapi dengan hasil kinerja yang terbatas (254), atau sebagai tes
laboratorium. Saat ini, bagaimanapun, tidak ada bukti efektivitasnya sebagai
biomarker di ARS.

2.2.6.5 Tingkat Sedimentasi Eritrosit (ESR) dan viskositas plasma


Penanda peradangan seperti ESR dan viskositas plasma meningkat pada
ARS, mungkin mencerminkan keparahan penyakit dan dapat menunjukkan
perlunya perawatan yang lebih agresif dengan cara yang mirip dengan CRP.
Tingkat ERS berkorelasi dengan perubahan CT di ARS dan ESR> 10 adalah
prediksi tingkat cairan sinus atau opasitas sinus pada CT scan. ESR yang
meningkat adalah prediksi dari kultur bakteri positif pada tusukan sinus atau
lavage.

2.2.6.6 Nasal Nitric Oxide (NO)


Metabolit gas ini ditemukan di saluran pernapasan bagian atas dan bawah
dan merupakan indikator sensitif adanya peradangan dan disfungsi siliaris.
Pengukuran NO hidung relatif sederhana, membutuhkan kerjasama pasien
sederhana dengan menghembuskan nafas ke dalam alat analisa, dan cepat dan
mudah dilakukan dengan menggunakan peralatan pengujian
chemiluminescence. Pengukuran
Layak dalam pengaturan klinis rutin, dan seiring dengan peningkatan
teknologi dan biaya peralatan pengukuran berkurang, dapat dipraktekkan
sebagai alat klinis. Bukti awal ada kemungkinan menggunakan NO pengukuran
dalam perawatan primer dalam diagnosis asma dan pemantauan, tetapi
kelayakan penggunaan NO hidung dalam perawatan rutin belum dinilai. Tingkat
NO hidung yang sangat rendah dapat mengindikasikan tardive ciliary primer,
tetapi bisa juga terjadi obstruksi sinus yang tidak signifikan. Peningkatan kadar
mungkin menunjukkan adanya peradangan yang diberikan patensi ostiomeatal
dipertahankan. Sebuah studi percontohan baru-baru ini telah menyarankan

15
bahwa pemantauan kadar NO hidung mungkin berguna dalam diagnosis dan
manajemen ARS, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan.

2.2.6.7 Investigasi lainnya


Pemeriksaan rinci fungsi saluran napas hidung seperti tes fungsi mukosiliar,
patensi hidung, dan penciuman jarang dilakukan dalam diagnosis ARS selain
dalam pengaturan penelitian tertentu.

2.2.7 Diagnosis2
2.2.7.1 Diagnosis pada orang dewasa
berdasarkan Gejala, tidak diperlukan pencitraan (polos x-ray tidak dianjurkan)

Gejala kurang dari 12 minggu:
 tiba-tiba dua atau lebih gejala, salah satu yang

harus daintaranya hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau nasal discharge


(anterior / posterior nasal drip):

+ nyeri wajah / tekanan 


+ Pengurangan / anosmia 


Pemeriksaan: rhinoskopi anterior: pembengkakan, kemerahan, nanah


X-ray / CT-scan yang tidak dianjurkan kecuali ada masalah tambahan seperti:

- penyakit yang sangat parah, 


- pasien immunocompromised; 


- tanda-tanda complcations


dengan interval Gejalanya bebas jika masalahnya berulang
 dengan validasi

melalui telepon atau wawancara mengajukan pertanyaan pada gejala alergi, yaitu,
bersin, rhinorrhea berair, hidung gatal dan mata gatal berair.

2.2.7.2 Diagnosis pada anak- anak

16
Gejala: tiba-tiba dua atau lebih gejala salah satunya harus berupa sumbatan hidung
/ obstruksi / kongesti atau nasal discharge (nasal drip anterior / posterior):
± nyeri / tekanan wajah;
± batuk
Tanda (jika ada)
• Pemeriksaan hidung (bengkak, kemerahan, nanah);
• pemeriksaan oral: discharge posterior; tidak termasuk infeksi gigi.
Tidak dianjurkan: x-ray polos.
CT-Scan juga tidak disarankan kecuali ada masalah tambahan seperti:
• penyakit yang sangat parah,
• pasien immunocompromised;
• tanda-tanda komplikasi

2.2.8 Diagnosis Banding RSA Dalam Praktek Klinis1


Gejala-gejala ARS tidak spesifik dan mungkin tumpang tindih dengan sejumlah
kondisi lain, yang harus dibedakan.

2.2.8.1 Infeksi Saluran Pernapasan Atas pada Virus (URTI)


Gejala flu biasa dan URTI viral yang membatasi diri tumpang tindih dengan ARS
post-viral. Memang, sebagian besar episode ARS akan mulai sebagai virus URTI,
tetapi dengan penyakit berkepanjangan di luar 10 hari atau dengan gejala yang
memburuk setelah 5 hari. Kebanyakan pilek umum berhubungan dengan infeksi
rhinovirus dengan gejala memuncak selama 3 hari dan mayoritas pasien tidak
mencari perawatan medis. Diagnosis adalah saran klinis dan suportif, pengobatan
simptomatik dan jaminan umumnya merupakan satu-satunya intervensi yang
diperlukan.

2.2.8.2 Rinitis alergi


Alergi rhinitis (AR) adalah kondisi global umum yang mempengaruhi 10-20% dari
populasi orang dewasa. Rinitis alergi adalah bentuk paling umum dari rinitis non-
infeksius dan berhubungan dengan respon imun IgE-mediated terhadap alergen,

17
dan sering dikaitkan dengan gejala okular. Karena mukosa hidung terus menerus
dengan sinus paranasal, kemacetan ostia dapat menyebabkan sinusitis, yang tidak
ada tanpa rinitis, sehingga AR dapat menjadi bagian dari rinosinusitis alergi dengan
gejala yang mirip dengan ARS (dan CRS). Gejala-gejala AR termasuk rinorea (non-
purulen), sumbatan hidung, gatal hidung, dan bersin-bersin, yang reversibel secara
spontan atau dengan perawatan. AR dibagi lagi menjadi penyakit “intermiten” atau
“persisten”. Rinitis intermiten dapat terjadi secara tiba-tiba sebagai respons
terhadap paparan alergen tertentu, sehingga menyebabkan kebingungan diagnostik
antara AR dan ARS. AR musiman berhubungan dengan berbagai macam alergen di
luar ruangan seperti serbuk sari atau jamur, dan paparan yang tiba-tiba pada
aeroalergen atau kepada orang lain (misalnya bulu kucing dan anjing pada individu
yang peka) dapat menyebabkan timbulnya gejala akut. Dalam AR, biasanya akan
ada riwayat gejala serupa dalam menanggapi eksposur serupa, seringkali dengan
pola musiman. Non-spesifik iritasi seperti polusi udara dan infeksi virus dapat
memperburuk gejala pada pasien AR simtomatik dan menginduksi gejala pada
pasien asimtomatik dengan peradangan hidung subklinis.
Diagnosis AR dan diferensiasi dari ARS dibuat terutama atas dasar riwayat alergi
dan atopi sebelumnya, dan paparan alergen (biasanya aeroalergen) yang membuat
pasien peka. Gejala okular sering terjadi pada AR, khususnya pada pasien yang
alergi terhadap alergen di luar ruangan, tetapi tidak pada ARS. Rhinorrhoea
mukopurulen, nyeri, obstruksi nasal tanpa gejala lain dan anosmia jarang terjadi
pada AR. Tes diagnostik untuk AR didasarkan pada demonstrasi IgE spesifik
alergen di kulit (tes kulit) atau darah (IgE spesifik), dan mungkin dipertimbangkan
untuk mengklarifikasi diagnosis, terutama pada mereka dengan gejala berat atau
persisten.

2.2.8.3 Penyakit Orodontal


Pasien dengan penyakit orodontal dapat datang ke dokter perawatan primer dengan
nyeri wajah yang tidak jelas, dengan atau tanpa demam dan sakit gigi. Tidak adanya
gejala lain yang terkait ARS seperti rhinorrhoea, cairan hidung dan gangguan
penciuman akan membuat ARS menjadi diagnosis yang kurang mungkin, meskipun

18
dalam beberapa kasus, keraguan dapat berlanjut. Penilaian gigi dan radiografi gigi
mungkin diperlukan untuk memperjelas diagnosis. ARS dapat terjadi lebih sering.
dan memiliki gejala yang tumpang tindih pada pasien dengan penyakit orodental.

2.2.8.4 Penyakit langka


Sejumlah kondisi yang kurang umum kadang-kadang muncul secara akut dengan
gejala yang mirip dengan ARS.

2.2.8.4.1 Sepsis intrakranial


Sepsis intrakranial jarang terjadi tetapi sangat penting bahwa praktisi perawatan
primer sadar akan tanda-tanda peringatan penyakit yang rumit dan parah dan segera
rujuk ketika diagnosis dimungkinkan. Gejala seperti edema periorbital, pergeseran
bumi, diplopia, ophtalmoplegia, ketajaman penglihatan berkurang, sakit kepala
frontal unilateral atau bilateral berat, sakit kepala frontal, tanda neurologis fokal
atau meningisme mengarah ke komplikasi seperti sepsis intrakranial, atau diagnosis
alternatif dan membalas diagnosis mendesak dan tepat pengelolaan.

2.2.8.4.2 Sindrom nyeri wajah


Sejumlah kondisi dapat hadir akut dengan nyeri wajah dan gejala hidung, termasuk
migrain dan sakit kepala klaster. Diagnosis banding nyeri wajah dibahas di bagian
4. Sensasi tekanan bilateral tanpa gejala hidung lainnya mungkin disebabkan oleh
sakit kepala tegang dan nyeri segmentasi wajah pertengahan.

2.2.8.4.3 Vasculitis
Vaskulitid autoimun seperti granulomatosis Wegener dan sindrom Churg-Strauss
atau sarkoidosis dapat melibatkan hidung dan sinus dan pada kesempatan langka
dapat muncul secara akut. Kehadiran gejala sugestif lainnya dan kursus klinis
atipikal dapat mengingatkan dokter untuk diagnosis alternatif.

2.2.8.4.4 Rinosinusitis jamur invasif akut

19
Pada pasien immunosuppressed dan pada penderita diabetes (tidak terkontrol),
rinosinusitis jamur invasif akut dapat hadir dengan cara yang mirip dengan ARS,
tetapi dengan gejala progresif yang berat dan cepat. Ketika diagnosis ini dicurigai,
pendekatan diagnostik yang lebih agresif diperlukan karena keterlambatan
diagnosis memperburuk prognosis.

2.2.8.4.5 Kebocoran CSF


Rhinorrhoea berair unilateral jarang terjadi dan harus meningkatkan kecurigaan
kebocoran cairan serebrospinal.

2.2.9 Tatalaksana2
2.2.9.1 Tatalaksana pada orang dewasa1

Tabel 1. Penatalaksanaan berbasis bukti dan rekomendai untuk rinosinusitis akut


pada dewasa.

20
Skema 1. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada dewasa1

Skema 2.Penatalaksanaan RSA pada dewasa untuk dokter spesialis THT1

21
2.2.9.2 Tatalaksana pada anak-anak2

Tabel 2. Penatalaksanaan Berbasis Bukti Dan Rekomendasi Untuk Rinosinusitis


Akut Pada Anak

Skema 3. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada anak

22
2.2.10 Prognosis4
Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang
diberikan. Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika
serta obat-obat simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat
memberikan prognosis yang baik.
Polip nasi sering kambuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Tetapi yang paling ideal pada
rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab. Secara
medikamentosa dapat diberikan antihistamin, dengan atau tanpa dekongestan yang
berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk
alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat
dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi
pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.4

2.2.11 Komplikasi3

Gambar 6. Preorbiltal cellulitis3

23
Gambar 7. Komplikasi intracranial dari ARS3

Sebagian besar kasus ARS sembuh tanpa efek samping. Lokasi anatomi
hidung dan sinus paranasal, bagaimana pun, itu berarti bahwa infeksi dapat
menyebar ke daerah yang berdekatan.
Komplikasi ARS yang paling sering, terutama pada anak-anak, adalah
perkembangan selulitis periorbital (Gambar 3). Infeksi dapat menyebar langsung
melalui tulang tipis yang memisahkan sinus dari orbit (lamina papyracea) atau
dengan thromboflebitis vena. Jika tidak segera diobati, ini dapat dengan cepat
berkembang menjadi selulitis orbita, subperiosteal dan / atau pembentukan abses
orbita, kebutaan dan trombosis sinus kavernosus, yang dapat berakibat fatal.
pemeriksaaan mendesak seorang spesialis yang mendesak dan didalam banyak
kasus masuk rumah sakit untuk antibiotik intravena dan pemantauan ketajaman
visual diperlukan jika ada tingkat keterlibatan orbital dicurigai. Sebagai pasien rawat
inap, kasus-kasus ini dikelola dengan cara multi-disipliner dengan keterlibatan dari
ahli bedah THT, dokter mata dan dokter anak dalam kasus anak-anak. Pencitraan
radiologis (CT scan) digunakan pada pasien yang memiliki gejala berat pada
permulaan atau pada mereka yang gejalanya terus berkembang atau tidak merespon

24
terapi medis maksimal. Intervensi bedah diperlukan jika ada bukti pembentukan
abses.
Osteomielitis, meningitis, abses ekstradural / subdural dan intracranial dapat
juga merupakan sekuel dari ARS (Gambar 4). Osteomielitis tulang depan dapat
mengakibatkan pembentukan abses subperiosteal di dahi dan disebut sebagai 'tumor
bengkak Pott's'. Abses subdural adalah komplikasi intrakranial yang paling umum.
Ini dapat terjadi melalui perluasan langsung melalui dinding posterior sinus frontal
atau infeksi dapat menyebar melalui thrombophlebitis vena tanpa katup. Indeks
kecurigaan yang tinggi perlu dipertahankan dalam kasus-kasus dengan sakit kepala
berat, demam ayun dan semua gejala dan tanda neurologis. pendapat THT yang atau
pendapat neurologis yang urgent harus dicari dalam kasus-kasus ini. Diagnosis yang
tertunda dapat menyebabkan defisit neurologis jangka panjang dan bahkan
kematian.
Infeksi sinus lama yang tidak diterapi dapat menyebabkan obstruksi kronis
pada jalur drainase sinus sehingga tulang membesar dan menyebabkan kelainan
bentuk eksternal - yang dikenal sebagai mukocele. Ini secara progresif dapat
memperluas konsentris dan menghasilkan erosi tulang dan perluasan di luar sinus
dan harus dirujuk untuk masukan dan manajemen spesialis awal.
Beberapa episode sinusitis akut berulang dapat menyebabkan peradangan
parah pada mukosa hidung dan kadang-kadang berkembang menjadi rinosinusitis
kronis.

2.3 RHINOSINUSITIS KRONIK


2.3.1 Definisi rinosinusitis kronis pada orang dewasa1

2.3.1.1. Definisi dari rinosinusitis kronis pada orang dewasa
 rinosinusitis kronis

(dengan atau tanpa polip hidung) pada orang dewasa didefinisikan sebagai:
Kehadiran dua atau lebih gejala salah satunya harus berupa hidung tersumbat /
obstruksi / kongesti atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip):

- ± wajah nyeri / tekanan; 


25
- pengurangan ± atau anosmia; untuk ≥12 minggu; 
 dengan validasi

melalui telepon atau wawancara. 
 Pertanyaan pada gejala alergi (yaitu

bersin, rhinorrhea berair, gatal hidung, dan mata berair gatal) harus

dimasukkan.


2.3.1.2 Definisi dari rinosinusitis kronis pada anak-anak1

rinosinusitis kronis (dengan atau tanpa polip hidung) pada anak-anak


didefinisikan sebagai:

Kehadiran dua atau lebih gejala salah satunya harus berupa hidung tersumbat
/ obstruksi / kongesti atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip):

- ± wajah nyeri / tekanan; 


- batuk ±; untuk ≥12 minggu; 
 dengan validasi melalui telepon

atau

wawancara. 


1,8
2.3.2 Etiologi
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan
kontribusi dalam terjadinya obstruksi akut ostium sinus atau gangguan
pengeluaran cairan oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis.
Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau
iritan kimia.
Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme,
termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan
adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang
sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae,

26
Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga
terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan
infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai
penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang
menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang
menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, Rhizomucor,
Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.

2.3.3 Patofisiologi3

gambar 8. Cavum nasi

CRS sebagian besar merupakan penyakit radang multifaktorial. Ada empat


pasang sinus paranasal yang dilapisi dengan epitel kolumnar bersilia, pseudo-
stratifikasi. Sel goblet diselingi di antara sel-sel kolumnar. Mukosa melekat
langsung ke tulang. Sinus ethmoid maksilaris, frontal dan anterior mengalir melalui
ostia mereka yang terletak di kompleks osteo-meatal yang terletak di lateral bagian
tengah turbinate (meatus tengah) dan posterior ethmoid dan sinus sphenoid terbuka
di belakang konka superior (meatus superior).
Obstruksi mekanis saluran drainase, peningkatan produksi lendir (misalnya
dengan infeksi saluran pernapasan atas) dan gangguan fungsi siliaris (misalnya
fibrosis kistik) menyebabkan stasis sekresi dalam sinus dan peradangan yang
dihasilkan. Stasis sekresi menghasilkan penghentian ekspor bakteri, menyebarkan
peradangan mukosa dan mengorbankan aerasi mukosa. Hal ini pada gilirannya

27
menyebabkan peningkatan disfungsi siliaris dan siklus setan berlanjut,
menghasilkan CRS.
Faktor etiologi lain yang berkontribusi pada CRS termasuk yang berikut:
• Alergi dan atopi
• Penyakit saluran napas lainnya (mis. Asma)
• Jamur menginduksi reaksi eosinofilik (mis. Aspergillus spp.)
• Antigen antigen bakteri
• Infeksi derajat rendah yang persisten (biofilm, osteitis)
• Sensitivitas obat anti-peradangan non-steroid
• Disfungsi siliaris (misalnya fibrosis kistik, sindrom Kartagener)
• Disfungsi kekebalan tubuh
• Predisposisi genetik
• Faktor lingkungan.2

Rinosinusitis dan Polip Nasi6


Polip nasi dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian
menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan rinosinusitis, tetapi dapat juga timbul
setelah ada rinosinusitis kronis.
Pada patofisiologi sinusitis, permukaan mukosa ditempat yang sempit di
komplek osteomeatal sangat berdekatan dan jika mengalami oedem, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak
dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi dari sinus maksila
dan sinus frontal, sehingga akibatnya aktifitas silia terganggu dan terjadi genangan
lendir sahingga lendir menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk
tumbuh bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus maka akan terjadi
hipoksia dan retensi lendir sehingga bakteri anaerob pun akan berkembang biak.
Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertofi, polipoid atau terbentuk polip dan kista.

2.3.4 Pemeriksaan Fisik 4

28
pemeriksaan klinis harus mencakup kepala penuh dan pemeriksaan leher.
Pemeriksaan hidung lengkap harus mencakup visualisasi langsung dari rongga
hidung menggunakan nasoendoscope kaku (Gambar 20.2). Temuan Endoskopi
mungkin menunjukkan satu atau lebih hal berikut:
• Mukosa hidung di Peradangan
• Polip hidung

sekresi mukopurulen 


hipertrofi konka 


kelainan anatomi lainnya (misalnya hidung septum deviasi menyebabkan

obstruksi). 


2.3.5 Pemeriksaan Penunjang8


 Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat
perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.18
 Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba,
hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.1,13 Indikasi endoskopi nasal
yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.18 Untuk
rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar
46 % dan spesifisitas 86 %.18
 Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi
X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas
pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi
rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan
respon.1,18 Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan
pembedahan.1,2,18 Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 4.
 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:1,2,13,18

29
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

Gambar 9. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik


akibat konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.19

2.3.6 Diagnosis2
2.3.6.1 Diagnosis Rhinosinusitis Kronik dewasa2
Gejala lebih dari 12 minggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± penurunan/ hilangnya penghidu
dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi, ingus seperti air,
hidung gatal, mata gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan

30
pemeriksaan alergi. (Foto polos sinus paranasal/ tomografi komputer tidak
direkomendasikan)

2.3.6.2 Diagnosis Rhinosinusitis Kronik anak2


Gejala selama lebih dari 12 minggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

31
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah ± penurunan/ hilangnya penghidu

Informasi diagnostik tambahan

• pertanyaan tentang alergi harus ditambahkan, tes alergi harus dilakukan
 • faktor

predisposisi lain harus dipertimbangkan: defisiensi imun (dapatan, innate, GERD)


Pemeriksaan
• pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus • pemeriksaan mulut: post
nasal drip
• singkirkan infeksi gigi geligi
Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi
Pencitraan

(foto polos sinus paranasal tidak disarankan)
 Tomografi komputer juga tidak

disarankan kecuali pada keadaan di bawah ini: • penyakit parah
 • pasien

imunokompromais
 • tanda komplikasi berat (orbita & intrakranial)

Pengobatan haruslah berdasarkan tingkat keparahan sakitnya

2.3.7 Tatalaksana Rinosinusitis4


Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah
komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih
secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilagkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada
sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah
hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif
gram dan anaerob.4
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan
NaCL atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat
sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz
displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.

32
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang
berat.
Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi/ Tindakan ini telah menggantikan hampir
semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan
dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik
yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau
kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta
sinusitis jamur.4

2. Penatalaksanaan Polip6
a. Non Operatif
Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid. Baik
bentuk oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non -spesifik yang
mengurangi ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat- obatan
lain tidak memberikan dampak yang berarti
1) Kortikosteroid oral
Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip nasal adalah
kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi nonspesifik ini secara
signifikan mengurangi ukuran peradangan polip dan memperbaiki gejala lain secara
cepat. Sayangnya, masa kerja sebentar dan polip sering tumbuh kembali dan
munculnya gejala yang sama dalam waktu mingguan hingga bulanan
2) Kortikosteroid Topikal Hidung
Respon antiinflamasi non-spesifiknya secara teoritis mengurangi ukuran polip dan
mencegah tumbuhnya polip kembali jika digunakan berkelanjutan. Tersedia
semprot hidung steroid yang efektif dan relatif aman untuk pemakaian jangka
panjang dan jangka pendek seperti fluticson, mometason, budesonid dan lain-lain .
Follow up:
- Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua kali
setahun.
-
- Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan follow up yang
lebih sering, terutama jika mereka sedang menerima kortikosteroid oral
dosis tinggi atau menggunakan semprot hidung steroid topikal dalam jangka
lama.
-
- Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi medikamentosa
gagal dan untuk pasien dengan infeksi / peradangan sinus berulang yang
memerlukan perawatan dengan berbagai antibiotik.

b. Operatif
Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari pasien diberi antibiotik dan kortikosteroid
sistemik dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi bakteri dan mengurangi
inflamasi, karena inflamasi akan menyebabkan edema dan perdarahan yang
banyak, yang akan mengganggu kelancaran operasi. Kortikosteroid juga

33
bermanfaat untuk mengecilkan polip sehingga operasinya akan lebih mudah.
Dengan persiapan yang teliti, maka keadaan pasien akan optimal untuk menjalani
bedah sinus endoskopi dan kemungkinan timbulnya komplikasi juga ditekan
seminimal mungkin.
Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau
cunam dengan analgetik lokal, bisa juga dengan menggunakan alat yang sangat
menguntungkan seperti microdebrider yang dapat memotong langsung menghisap
polip sehingga perdarahan sangat minimal, yang terbaik ialah Bedah Sinus
Endoskopik Fungsional (BSEF).

Skema 4. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa Polip


Hidung Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer Dan Dokter Spesialis
NDN THT

34
skema 5. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung
Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT

35
Tabel 4. Penatalaksanaan Berbasis Bukti Dan Rekomendasi Untuk Rinosinusitis
Kronik Dengan Polip Hidung Pada Dewasa*

36
Skema 6. Penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan polip pada dewasa untuk
dokter spesialis THT.1

Terapi Bedah Berbasis Bukti Untuk Rinosinusitis2

Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi, karena operasi
diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan respon yang adekuat
terhadap pengobatan medikamentosa. Terdapat masalah khusus dalam
melaksanakan studi operatif, karena operasi sangat sulit untuk diprediksi atau
distandarisasi, terutama pada penelitian multisenter, dan tipe penatalaksanaan sulit
dibuat membuta (blinding/ masking). Randomisasi kemungkinan berhadapan
dengan masalah etik kecuali kriteria inklusi dipersempit dan adalah sangat sulit
untuk memperoleh kelompok pasien homogen dengan prosedur terapi yang dapat
dibandingkan untuk menyingkirkan bias evaluasi hasil operasi sinus. Meskipun
demikian :

37
- Pada rinosinusitis akut, operasi diindikasikan pada kasus yang berat dan

komplikasi yang berhubungan. 


- Lebih dari 100 kasus berseri (level IV) dengan hasil yang konsisten bahwa
pasien rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip mendapat manfaat dari

operasi sinus 


- Komplikasi mayor terjadi pada kurang dari 1 % dan operasi revisi

dilaksanakan kira - kira 10 % dalam kurun waktu 3 tahun 


- Pada sebagian besar kasus rinosinusitis kronis, pengobatan medikamentosa


yang adekuat sama efektifnya dengan operasi, jadi operasi sinus seharusnya
dicadangkan untuk pasien yang tidak memberikan respon memuaskan

terhadap pengobatan medikamentosa. (level Ib) 


- Bedah sinus endoskopik fungsional lebih superior dibandingkan prosedur


konvensional termasuk polipektomi dan irigasi antrum (Level Ib), tetapi
superioritas terhadap antrostomi meatus inferior atau sfenoetmoidektomi

belum terbukti 


- Pada pasien rinosinusitis kronis yang belum pernah dioperasi, operasi yang
lebih luas tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan prosedur
operasi yang terbatas (level Ib). Walaupun bukan berbasis bukti, perluasan
operasi biasanya disesuaikan terhadap perluasan penyakit, yang merupakan
pendekatan secara rasional. Pada bedah sinus paranasal primer,

direkomendasikan bedah secara konservatif. 


- Operasi sinus endonasal revisi hanya diindikasikan jika pengobatan


medikamentosa tidak efektif. Perbaikan gejala secara umum diobservasi
pada pasien dengan rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip, walaupun

38
perbaikannya kurang dibandingkan setelah operasi primer. Angka
komplikasi dan terutama resiko rekurensi penyakit lebih tinggi

dibandingkan operasi primer 


Tabel 5. Penatalaksanaan Berbasis Bukti Dan Rekomendasi Untuk Rinosinusitis


Kronik Pada Anak

39
Skema 7. penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada anak

40
BAB III
KESIMPULAN

Rinosinusitis adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan


sinus paranasal.Penyebab utama dan terpenting dari RS adalah obstruksi ostium
sinus. Berbagai faktor baik lokal maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi
atau kondisi yang mengarah pada obstruksi ostium sinus. Berbagai faktor tersebut
meliputi infeksi saluran nafas atas,alergi,paparan bahan iritan, kelainan
anatomi,defisiensi imun dan lain-lain.
Secara klinik RS adalah keadaan yang terjadi sebagai manifestasi adanya
peradangan yang mengenai mukosa rongga hidung dan sinus paranasal dengan
terjadinya pembentukan cairan atau adanya kerusakan pada tulang di bawahnya. .
Terdapat 5 sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris, sinus ethmoidalis anterior
dan posterior, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis. Penyebab utama sinusitis
adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang
paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Gejala umum
rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat diserai dengan nyeri/rasa tekanan pada
muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorokkan (post nasal
drip).
Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial.
Tatalaksana berupa terapi antibiotik diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi
hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka
dibutuhkan tindakan operasi. Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan dini
mengenai sinusitis dapat memberikan prognosis yang baik.

41
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens W.J., Lund V.J., Et al. 2012. Rhinology:European Position Paper


On Rhinosinusitis And Nasal Polyps 2012. Amsterdam. EPOS : 2012.
2. Guide EPOS. European Position Paper on Rhinosinusitus and Nasal Polyps
2012. Amsterdam Medical Centre. Department of Othorinolaryngology.
3. Munir, rey et all. Ear, nose and throat at a glance.2013. UK.
4. Budiman JB, Asyari A. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis
Dengan Polip Nasi. Diakses dari
http://repository.unand.ac.id/17218/1/Penatalaksanaan_rinosinusitis
_dengan_polip_nasi.pdf pada tanggal 9 Juli 2014.
5. E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012; hal.150-153.\
6. Soetjipto D, 4 E, Wardani RS. Hidung. Dalam Soepardi EA, dkk. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012; hal.118-122.
7. Alan Kaplan. Canadian guidelines for chronic rhinosinusitis. Can Fam
Physician 2013;59:1275-81
8. Rahmi AD, Punagi Q. Pola penyakit Sub- bagian Rinologi di RS Pendidikan
Makassar periode 2003-2007. Makasar: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK
Universitas Hasanuddin. Dipresentasikan di PIT IV Bandung, Juli 2008.
9. Husni, Teuku. 2015. diagnosis dan penanganan rinosinusitis. Tersedia
:http://conference.unsyiah.ac.id/TIFK/1/paper/viewFile/783/78. Banda
aceh.
10. Huvenne W, et al. Chronic Rhinosinusitis With and Without Nasal Polyps:
What Is the Difference? Current Allergy and Asthma Reports. 2009;(9):213
– 220.

42
43

Anda mungkin juga menyukai