Anda di halaman 1dari 18

Teknologi Minyak Nabati dan Atsiri

Perancangan Awal Pabrik Polyol dari


Minyak Bijih Karet

Disusun Oleh :
Kelompok 8

Fitri Nufajrina 1504103010012


Rizky Azzahra 1504103010067
Zahrati 1504103010073
Rahmatun Maula 1504103010035
Preshintama Putra 1504103010039
Feisal Ali Azmi 1504103010115

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) merupakan salah satu komoditas
pertanian yang penting untuk Indonesia dan lingkup Internasional. Indonesia adalah
negara produsen karet alam terbesar ke dua di dunia setelah Thailand, karet merupakan
salah satu hasil pertanian yang banyak menunjang perekonomian Negara. Selain
menghasilkan lateks, perkebunan karet juga menghasilkan biji karet yang belum
termanfaatkan secara optimum. Usmadi (2006) dalam Susila (2009) menyatakan
bahwa dalam penelitiannya tentang proses pengambilan minyak biji karet menemukan
bahwa randemen minyak biji karet (ηminyak) = 16%; ηAmpas = 44%; dan ηCangkang
= 40% dengan memakai metode pengepresan hidraulis dengan tekanan sebesar 105,3
kg/cm2 (Susila, 2009) Komposisi minyak biji karet mengandung asam-asam lemak
yang mempunyai manfaat dan bernilai ekonomi tinggi, seperti asam palmitat,
stearat,oleat, linoleat, dan linolenat (Ketaren, 2008).
Salah satu pemanfaatan minyak biji karet yaitu sebagai pembuatan sintesis
poliol. Poliol merupakan senyawa polihidroksil yang dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan industri, yaitu sebagai bahan surfaktan dalam formulasi makanan, kosmetik
dan dalam bidang farmasi seperti obat-obatan. Sedangkan dalam industri, senyawa
poliol digunakan sebagai monomer pembentuk polimer, pemlastis, pemantap, pelunak
dan sebagai bahan aditif lainnya untuk pengolahan berbagai bahan polimer diantaranya
PVC, polietilen, polipropilen, poliamida, polyester dan poliuretan (Mudjijono dkk,
2013).
Selama ini poliol diproduksi dari produk turunan minyak bumi yaitu etilen
oksida dan propilen oksida (Faleh, 2001). Mengingat minyak bumi merupakan bahan
baku yang tidak terbarukan dan cadangannya semakin berkurang, serta makin
meningkatnya permintaan poliol maka sebagai alternatif pengganti minyak bumi,
dipilih minyak nabati. Minyak nabati berasal dari sumber yang dapat diperbaharui
(Gala, 2011).

1
Poliol dapat disintesis dari minyak nabati seperti minyak sawit, namun hal ini
dipandang umum walaupun berkapasitas besar. Bahan-bahan yang bermanfaat untuk
makanan yang digunakan sebagai bahan dasar industri poliol dengan keperluan dalam
jumlah banyak sehingga mempengaruhi ketersediaan bahan pangan. Berdasarkan hal
tersebut, biji karet yang termasuk nabati non-food dengan produksi melimpah dapat
menjadi alternatifnya ((Mudjijono dkk., 2013).
Poliol minyak biji karet berpotensi untuk dibuat poliol nabati dan dapat
digunakan sebagai bahan baku poliuretan karena memiliki fungsionalitas (jumlah
gugus OH dalam satu molekul) lebih dari satu. Minyak biji karet dikonversi dari bentuk
epoksi menjadi hidroksi melalui beberapa cara di antaranya dengan hidrogenasi
katalitik, reaksi dengan asam hidroklorida atau hidrobromida, serta dengan reaksi
pembukaan cincin dengan katalis asam.

1.2 Perumusan Masalah


Selama ini pemanfaatan biji karet belumlah optimal. Kebanyakan biji karet
hanya terbuang percuma karena kurangnya pengolahan. Perkebunan karet hanya
mengambil lateks sebagai bahan baku jenis karet yang dibutuhkan. Olel sebab itu
diupayakan suatu cara untuk mengoptimalkan pemanfaatan biji karet menjadi minyak
biji karet sebagai bahan pembuatan poliol yang nantinya memiliki banyak manfaat. Hal
ini juga dilakukan untuk mengurangi penggunaan minyak bumi sebagai bahan
pembuatan poliol.

1.3 Tujun Perancangan Pabrik


Tujuan pembuatan perancangan pabrik polyol dari minyak biji karet ini adalah
unutk menerapkan disiplin ilmu teknik kimia khususnya dibidang perancangan, proses
dan operasi teknik kimia sehingga memberikan gambaran kelayakan pabrik poliol.

1.4 Manfaat Perancangan Pabrik


Pembuatan poliol dari minyak biji karet ini bermanfaat untuk mengurangi
limbah biji karet dan mengurangi penggunaan minyak bumi sebagai bahan pembuatan

2
poliol. Penggunaan poliol yang diperoleh dari bahan baku dalam negeri dapat
mengurangi impor Indonesia terhadap bahan baku poliuretan sebagai bahan pelapis
dapat terpenuhi. Manfaat lain yang ingin dicapai adalah terbukanya lapangan pekerjaan
dan memacu rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang pada akhirnya
dapat meningkatkan aspek perekonomian negara Indonesia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Karet


Karet adalah tanaman perkebunan tahunan berupa pohon batang lurus. Pohon
karet pertama kali hanya tumbuh di Brasil, Amerika Selatan, namun setelah percobaan
berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon ini berhasil dikembangkan di Asia Tenggara,
di mana sekarang ini tanaman ini banyak dikembangkan sehingga sampai sekarang
Asia merupakan sumber karet alami. Di Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman
karet mulai dicoba dibudidayakan pada tahun 1876. Tanaman karet pertama di
Indonesia ditanam di Kebun Raya Bogor. Indonesia pernah menguasai produksi karet
dunia, namun saat ini posisi Indonesia didesak oleh dua negara tetangga Malaysia dan
Thailand. Lebih dari setengah karet yang digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi
beberapa juta ton karet alami masih diproduksi setiap tahun, dan masih merupakan
bahan penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer. Berikut dapat
dilihat gambar pohon karet pada Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Tanaman Karet

Klasifikasi botani tanaman karet adalah sebagai berikut:


Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

4
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae (suku nangka-nangkaan)
Genus : Ficus
Spesies : Ficus elastica Roxb. ex Hornem

Tanaman karet merupakan tanaman perkebunan yang tumbuh di berbagai


wilayah di Indonesia. Karet merupakan produk dari proses penggumpalan getah
tanaman karet (lateks). Pohon karet normal disadap pada tahun ke-5. Produk dari
penggumpalan lateks selanjutnya diolah untuk menghasilkan lembaran karet (sheet),
bongkahan (kotak), atau karet remah (crumb rubber) yang merupakan bahan baku
industri karet. Ekspor karet dari Indonesia dalam berbagai bentuk, yaitu dalam bentuk
bahan baku industri (sheet, crumb rubber, SIR) dan produk turunannya seperti ban,
komponen, dan sebagainya.
Tanaman karet tumbuh optimal di dataran rendah, yakni pada ketinggian
sampai 200 meter di atas permukaan laut. Semakin tinggi letak tempat,
pertumbuhannya semakin lambat dan hasilnya lebih rendah. Ketinggian lebih dari 600
meter dari permukaan laut tidak cocok lagi untuk tanaman karet. Selain itu, tanaman
karet juga dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah-tanah vulkanis
maupun vulkanis tua, aluvial, dan bahkan tanah gambut.

2.2 Biji Karet


Perkebunan karet juga menghasilkan produk tambahan berupa biji karet yang
dapat dimanfaatkan sebagai sumber minyak biji karet. Tingginya potensi biji karet
sebagai sumber minyak nabati ditunjukkan dengan data bahwa satu hektar tanaman
karet (populasi sekitar 500 pohon), umur lebih dari 10 tahun, dapat menghasilkan lebih
dari 5 ton biji. Jika kadar lemak biji karet sebesar 32%, maka dapat dihasilkan sekitar

5
1,5 ton minyak per hektar (Mulyadi, 2011). Bentuk biji karet dapat dilihat pada Gambar
2.2 berikut.

Gambar 2.2 Biji Karet

Bobot biji karet sekitar 3-5 gram tergantung dari varietas, umur biji, dan kadar air.
Komposisi kimia daging biji karet disajikan pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Komposisi kimia daging biji karet


Komposisi
Komponen
A B C
Kadar air 14,50 7,60 6,10
Kadar lemak 49,50 39,00 50,56
Kadar serat kasar 3,80 2,80 15,30
Kadar protein 22,50 21,70 18,60
Kadar abu 3,50 3,10 3,21
Sumber: A = Bahasuan (1984) diacu dalam Aritonang (1986)
B = Stosic dan Kaykay (1981) diacu dalam Aritonang (1986)
C = Silam (1998)

Kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak biji karet meliputi: 28-30%
asam oleat, 33-35% asam linoleat dan 20-21% asam linolenat. Minyak biji karet

6
tergolong minyak berwujud cair dan mempunyai sifat mudah mengering. Asam linoleat
adalah asam lemak tak jenuh rantai panjang (C18) yang mempunyai dua ikatan rangkap
pada kedudukan atom C nya. Adanya ikatan rangkap tersebut memungkinkan
terbentuknya minyak

2.3 Epoksidasi
Epoksida (oksirena) ialah eter siklik dengan cincin beranggota tiga yang
mengandung satu atom oksigen (Hart, 2003). Alkena dapat diokasidasi menjadi
anekaragam produk, bergantung pada reagensia yang digunakan. Epoksida sederhana
sering disebut etilena oksida. Metode yang umum digunakan untuk mensintesis
epoksida adalah reaksi alkena dengan asam peroksida dan prosesnya dinamakan
epoksidasi.
Reaksi Epoksidasi sebagai berikut:

Gambar 2.3 Reaksi Epoksidasi


(Riswiyanto,2009)

Dalam reaksi ini, asam peroksida memberikan sebuah atom oksigen ke alkena.
Karena cincinnya beranggotakan tiga, cincin epoksida sangat terikat sehingga epoksida
jauh lebih reaktif dibanding eter yang lain. Misalnya, cincin epoksida dari epoksietana
mudah membuka. Senyawa alkena yang memiliki ikatan π dapat dioksidasi menjadi
anekaragam produk, tergantung kepada reagensia yang digunakan.
Epoksidasi dari minyak nabati merupakan hal yang penting dan sangat berguna
terutama dalam hal sebagai stabilisator dan plastisasi bahan polimer. Berdasarkan pada
kereaktifan yang tinggi dari cincin oksiran, epoksida juga dapat dipakai untuk berbagai

7
jenis bahan kimia yaitu alkohol, glikol, alkanolamin, senyawa karbonil, senyawa
olefin, dan polimer seperti poliester, poliuretan.

Ada empat teknik yang dapat digunakan untuk menghasilkan epoksida dari molekul
olefin:
1. Epoksida dengan asam perkarboksilat yang sering digunakan dalam industri dan
dapat dipercepat dengan bantuan katalis atau enzim
2. Epoksida dengan peroksida organik dan anorganik, termasuk epoksidasi alkali
dengan hydrogen peroksida nitril dan epoksida yang dikatalisis logam transisi.
3. Epoksida dengan halohidrin, menggunakan asam hipohalogen (HOX) dengan
garamnya sebagai reagen, dan epoksida olefin dengan defisiensi elektron ikatan
rangkap.
4. Epoksida dengan menggunakan molekul oksigen, untuk minyak nabati jarang
digunakan karena dapat menyebabkan degradasi dari minyak menjadi senyawa
yang lebih kecil seperti aldehid dan keton atau asam dikarboksilat berantai pendek
sehingga oksidasi dengan O2 merupakan metode yang tidak efisien untuk epoksida
minyak nabati (Goud dkk,2006).

Secara umum, reaksi epoksidasi yang kemudian dilanjutkan oleh reaksi hidrolisis
ditulikan sebagai berikut:

8
z
Gambar 2.5 Reaksi epoksidasi yang kemudian dilanjutkan oleh reaksi hidrolisis

2.4 Poliol
Poliol merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil lebih dari
satu dan dalam industri material sangat luas digunakan baik sebagai bahan pereaksi
maupun bahan additif. Senyawa poliol dapat diperoleh langsung di alam seperti
amilum, selulosa, sukrosa dan lignin ataupun hasil olahan industri kimia. Pengolahan
senyawa tersebut secara industri masih banyak dilakukan dengan mengandalkan hasil
olahan industri petrokimia yang mana bahan bakunya berasal dari gas alam maupun
minyak bumi terbatas dan tidak dapat derperbaharui disamping pengolahannya
memerlukan energi yang besar, sehingga perlu dikembangkan untuk diteliti sebagai
bahan alternatif.
Poliol dapat disintesis dari minyak nabati melalui epoksidasi dilanjutkan
dengan pembukaan cincin epoksida (Rios, 2003 dan Petrovic 2005). Pembuatan poliol
dari minyak nabati melibatkan pengubahan ikatan rangkap pada rantai samping
trigliserida menjadi gugus hidroksil (Sudradjat dkk., 2010). Poliol dari minyak nabati
telah banyak dikembangkan untuk dapat menggantikan petroleum berbasis poliol
dalam pembuatan poliuretan dan poliester, juga telah banyak digunakan sebagai bahan
pemelastis dalam matrik polimer untuk menghasilkan suatu material, demikian juga

9
sebagai pelunak maupun pemantap yang bertujuan agar diperoleh kekerasan dan
kelunakan tertentu sehingga material tersebut mudah dibentuk keberbagai jenis barang
sesuai kebutuhan (Harjono, 2008).

10
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Alat-alat
1. Mesin Pengupas Kulit
2. Grinder
3. Tangki Maserasi
4. Bed-Filter
5. Rotary Evaporator
6. Stirred Tank
7. pH-meter

3.2 Bahan yang Digunakan


1. Biji karet
2. Asam Formiat (HCOOH) 90%
3. Hidrogen Peroksida (H2O2) 30%
4. n-heksana
5. H2SO4 98%
6. PEG-400
7. Sodium Bikarbonat (NaHCO3)
8. Aquadest

11
3.3 Metode Percobaan
Biji karet dikupas dari kulitnya, dan
didapatkan biji karetnya.

Dioven pada suhu 150 oC selama 3 jam

Dihaluskan dengan Grinder

Dimaserasi dengan menggunakan n-heksana


selama 2 hari.

Disaring slurry dan filtratnya

Filtratnya dievaporasi sehingga didapatkan minyak karet

Membuat poliol, dengan menambahkan HCOOH 90 %, H2O2 30%, dan diaduk didalam
tangki. Kemudian ditambahkan H2SO4 dengan suhu 40-45 oC selama 1 jam. Selanjutnya
ditambahkan minyak biji karet lalu diaduk selama 2 jam, Hasil sintesis diendapkan selama
1 hari,.
Reaksi Epoksidasi

Larutan hasil sintesis dipisahkan, kemudian dimasukan n- heksana 1:1.

Kemudian dipisahkan lapisan bagian bawah, lalu di uapkan dengan menggunakan rotary
evaporator, Pada suhu 55-60 0C, residu yang diperoleh ditambahkan NaHCO3 sampai pH
netral, kemudian diuapkan kembali pada suhu 55-60 0C. dan didapatkan poliol dari
minyak biji karet

12
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Produk


Poliol minyak biji karet memiliki kelebihan sebagai berikut:
4.1.1 Densitas
Densitas poliol lebih besar dibandingkan dengan minyaknya, hal ini
dikarenakan berat molekul tinggi dan struktur yang lebih polar (gugus - OH).
Gugus –OH menyebabkan adanya interaksi antar molekul sehingga pada poliol
mengalami peningkatan densitas (Mudjijono dkk., 2013).
Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Densitas Minyak dan Poliol
No Sampel Densitas (gr/mL)
1 Minyak Bijih Karet 0,896
2 Poliol Minyak Bijih Karet 0,997

4.1.2 Viskositas
Viskositas sangat sensitif terhadap berat molekul. Kenaikan viskositas
pada poliol karena keberadaan gugus polar (-OH) yang meningkatkan interaksi
antar molekul (Mudjijono dkk., 2013).
Tabel 4.2 Hasil Karakterisasi Viskositas Minyak dan Poliol
No Sampel Viskositas (cP)
1 Minyak Bijih Karet 42,6
2 Poliol Minyak Bijih Karet 563

4.2. Analisa Ekonomi


Biaya bahan baku yang digunakan
Kebutuhan
No Bahan Harga (Rp) Total harga (Rp)
(Hari)
1 Biji Karet 1.000/kg 2.000 2.000.000

13
2 Asam formiat (90%) 12.500/kg 500 6.250.000
Hidrogen peroksida
3 26.000/kg 500 13.000.000
30 %
4 n-heksana 35.000/L 200 7.000.000
5 asam sullfat 98% 97.500/L 1 97.500
6 PEG-400 95.000/kg 1 95.000
7 Sodium bikarbonat 17.000/kg 200 3.400.000
8 Aquades 5.000/L 1.000 5.000.000
TOTAL Rp. 36.842.500

Biaya peralatan yang digunakan


No Alat Kebutuhan Harga (Rp) Total Harga (Rp)
1 Mesin pengupas kulit 1 11.500.000 11.500.000
2 Ginder 1 6.750.000 6.750.000
3 Screw press 1 15.000.000 15.000.000
4 Bed-filter 1 15.000.000 15.000.000
5 Rotary evaporator 1 20.225.000 20.225.000
6 stirred tank 1 37.500.000 37.500.000
7 pH-meter 1 5.950.000 5.950.000
8 Pompa 4 13.000.000 52.000.000
9 storage Tank 1 24.000.000 24.000.000
TOTAL Rp. 187.925.000

Keuntungan kotor perhari


Hasil produksi perhari = 1.500 L
Harga jual = 52.000/L
Harga hasil penjualan = 1.500 x 52.000 = 78.000.0000

Keuntungan = harga hasil penjualan – biaya produksi

14
= 78.000.000-36.842.500
= 41.157.500

15
DAFTAR PUSTAKA

Faleh, S.B., & Zainal, A. (2001). The Study of Conversion CPO to Polyol. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Gala, S. (2011). Sintesa Poliol dari Minyak Sawit dengan Reaksi Epoksidasi dan
Hidroksilasi The Poliol Sithesis from Sawit Oil with Epoksidasion and
Hidroksilasion Reaction. Jurnal Chemica, 12(2), 36–43.
Goud, V. V., Pradhan, N. C., & Padwardhan, A.V. (2006). Epoxidation of Karanja Oil
by H2O2. Jurnal of Oil Chemistry. 83(2): 635-640.
Harjono. (2009). Sintesis Poliuretan dari Minyak Jarak Pagar dan Aplikasinya sebagai
Bahan Pelapis. Tesis. IPB. Bogor.
Hart, H. (2003). Kimia Organik. Edisi Kesebelas. Jakarta: UI-Press.
Mudjijono, Rudiyanti, I. P., & Utami, S. (2013). Minyak Bijih Karet sebagai Sumber
Poliol. Seminar Nasiolnal Kimia Dan Pendidikan Kimia V, (April), 420–427.
Mulyadi, E. (2011). Proses Produksi Biodiesel Berbasis Biji Karet. Rakayasa Proses,
5(2), 40–44.
Ketaren, S. (2008). Pengantar Teknologi Lemak dan Minyak Pangan. Jakarta: UI-Press
Riswiyanto. (2009). Kimia Organik. Jakarta: Erlangga
Rios, L.A. (2003). Heterogeneously catalysed reactions with vegetable oils:
epoxidation and nucleophilic epoxide ring-opening with alcohol (disertasi].
Aachen: The Institute of Chemical Technology and Heterogeneous Catalysis.
University RWTH.
Sudradjat, R., Yulita, R. I., & Setiawan, D. (2010). Pembuatan Poliol dari Minyak Jarak
Pagar sebagai Bahan Baku Poliuretan ( Polyol Manufacturing from Jatropa curcas
L . Oil as Raw Material for Polyurethane ). Penelitian Hasil Hutan, 28(3), 231–
240.
Susila, I. W. (2009). Pengembangan Proses Produksi Biodiesel Biji Karet Metode Non-
Katalis “ Superheated Methanol ” pada Tekanan Atmosfir. Teknik Mesin, 11(2),
115–123.
Petrovic. Z.S., Zhang. W., & Javni. I. (2005). Structure and properties of poliuretans

16
prepared from triglyceride poliols by ozonolysis. Biomacromolecules, 6: 713-719.

17

Anda mungkin juga menyukai