Anda di halaman 1dari 28

REFLEKSI KASUS

PERDARAHAN SUBARACHNOID (PSA)

Disusun Oleh:
Novihani Hidayati
NIPP. 20174011106
NIM. 20130310132

Pembimbing:
dr. Dony Ardianto, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan refleksi kasus dengan judul
PERDARAHAN SUBARACHNOID (PSA)

Disusun Oleh:
Novihani Hidayati
NIPP. 20174011106
NIM. 20130310132

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Minggu, 25 Februari 2018

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Dony Ardianto, Sp.S

ii
BAB I
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 41 tahun
Alamat : Salatiga
Pekerjaan : Karyawan
Masuk RS : 31 Desember 2018

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri kepala dan demam.
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala secara
mendadak sejak 5 hari yang lalu disertai dengan demam tinggi dan
tidak membaik setelah berobat maupun istirahat. Nyeri kepala
dirasakan seperti tertusuk-tusuk diseluruh kepala dan tidak membaik
saat istirahat maupun minum obat. Pasien juga merasakan nyeri
dibagian telinga kanan dirasakan dibagian dalam telinga lalu
diperiksakan ke dokter THT dan disedot isi didalam telinga sehingga
keluar cairan nanah dan berdarah dari telinga kanan serta terdapat
bengkak dibagian belakang telinga. Pasien juga merasakan mual
namun tidak bisa muntah, merasakan lemas dan nafsu makan menurun
sejak 4 hari SMRS.
Setelah berobat ke dokter THT dan diberikan obat tetes dibagian
telinga kanan yaitu obat ofloxacin lalu setelahnya pasien mengalami
kejang selama kurang lebih 3 menit lalu akhirnya keluarga
memutuskan untuk membawa ke rumah sakit. Saat dirawat dibangsal 1
hari pasien mengalami penurunan kesadaran dan dipindahkan ke ICU.

1
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien pernah merasakan hal serupa yaitu nyeri kepala dan demam
saat 1 bulan yang lalu dan tidak diberikan pengobatan lalu membaik
dengan sendirinya. Pasien pernah memiliki riwayat keluar kapas
dibagian telinga kiri dan terdapat riwayat nyeri telinga dan keluar
nanah dibagian telinga kanan dan diberikan obat tetes telinga. Pasien
belum pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya. Riwayat hipertensi,
DM, penyakit jantung dan penyakit stroke disangkal oleh pasien.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Didapatkan data dari anamnesis terhadap keluarga, bapak pasien
memiliki riwayat penyakit DM dan ibu pasien memiliki riwayat
penyakit hipertensi, serta anak pasien ada yang meninggal karena
memiliki penyakit jantung.
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien memiliki kebiasaan mengorek kuping dengan menggunakan
cutton bud dan dengan menggunakan korek api. Aktivitas pasien
dalam kesehariannya termasuk aktivitas dalam batas sedang yaitu
sebagai karyawan yang berada didepan komputer setiap harinya.
Pasien memiliki riwayat merokok dan dapat menghabiskan 1 pack
bungkus rokok dalam sehari. Riwayat minum alkohol, memakai obat
narkoba disangkal oleh keluarga pasien.
6. Anamnesis Sistem
 Kepala dan Leher : nyeri kepala
 THT : nyeri dibagian telinga kanan dan terdapat
luka dibagian telinga kanan dan bengkak
dibagian belakang telinga kanan.
 Respirasi : tidak ada keluhan
 Kardiovaskular : tidak ada keluhan
 Gastrointestinal : tidak ada keluhan
 Perkemihan : tidak ada keluhan
 Reproduksi : tidak ada keluhan
 Kulit dan Ekstremitas : tidak ada keluhan

2
C. PEMERIKSAAN FISIK
Kesan Umum Baik
Kesadaran Somnolen (E3V2M2)
IGD Bangsal
Tekanan Darah : 125/85
Vital Signs / Tekanan Darah : 122/78
Nadi : 70x/menit, isi dan
Tanda-Tanda Nadi : 80x/menit
tegangan kuat, reguler
Vital Respirasi : 24x/menit
Respirasi : 12x/menit
Suhu :36,5 0C
Suhu :38,6 0C
Kepala dan Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), deviasi
trakea (-), telinga bagian kanan keluar cairan.
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), Trakea teraba di garis
tengah, JVP tidak meningkat
Pulmo
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan
kelainan bentuk
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus
tidak ada peningkatan maupun penurunan
Perkusi Sonor
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ (positif di lapang
paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: +/+
Wheezing : -/-
Cor
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Teraba ictus cordis di SIC V linea midclavicularis
sinistra
Perkusi Batas kanan atas : SIC III linea sternalis dextra
Batas kiri atas : SIC III linea sternalis sinistra
Batas kanan bawah : SIC V linea sternalis dextra
Batas kiri bawah : SIC V linea midclavicularis

3
sinistra
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada
bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Tidak ada kelainan bentuk abdomen
Auskultasi Bising usus (+)
Palpasi Defens muscular (-), liver span 12 cm untuk lobus
dextra dan 7 cm untuk lobus sinistra
Perkusi Timpani pada semua kuadran abdomen, area traube
timpani
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-)
Palpasi Pitting edema (-), akral hangat

Status neurologis

No Pemeriksaan Superior Inferior


1 Sistem Motorik
Kekuatan Otot 1/1/1 | 1/1/1 1/1/1 | 1/1/1
2 Gerakan Involunter
Tremor (-) (-)
Chorea (-) (-)
Atetosis (-) (-)
Mioklonik (-) (-)
Tics (-) (-)
3 Refleks Fisiologis
Biceps (+) / (+) -
Triceps (+) / (+) -
Patella - (+) / (+)
Achiles - (+) / (+)
4 Refleks Patologis
Hoffman Tromer (-)/(-) (-)/(-)
Babinsky (-)/(-) (-)/(-)
Chaddock (-)/(-) (-)/(-)
Oppenheim (-)/(-) (-)/(-)
Gordon (-)/(-) (-)/(-)
Schaeffer (-)/(-) (-)/(-)
Bing (-)/(-) (-)/(-)
Gonda (-)/(-) (-)/(-)
Mendel (-)/(-) (-)/(-)
Rossolimo (-)/(-) (-)/(-)

4
5 Tonus N/N N/N
6 Klonus -/- -/-

Meningeal Sign
Kernig Sign Positif

Lasegue Sign Positif

Kaku Kuduk Positif

Brudzinski 1 Negatif

Brudzinski 2 Positif

Brudzinski 3 Negatif

Brudzinski 4 Negatif

Pemeriksaan Nervus Cranialis


No Nervus Pemeriksaan Keterangan
Dextra Sinistra
1 Olfactorius - Subjektif Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
2 Opticus Pengecekan kasar :
- Daya penglihatan Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
- Warna Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
- Medan Penglihatan Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
3 Oculomotorius - Ptosis - -
- Ukuran Pupil 2 mm 2mm
- Bentuk Pupil Bulat Bulat
- Refleks Cahaya pada + +
Pupil (direct)
- Reflek Akomodatif N N
(indirect)
4 Oculomotorius, - Melirik ke medial Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
Throclearis, - Melirik ke medial Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
Abducens bawah
- Melirik ke lateral Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
- Diplopia Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
5 Trigeminus Fungsi Sensorik
- Sensibilitas dahi Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
- Sensibilitas pipi Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
- Sensibilitas dagu Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
Fungsi Motorik
- Menggigit Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
- Membuka Mulut Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
6 Facialis - Mengerutkan dahi Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
- Menggembungkan Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
pipi

5
- Menutup mata
- Senyum N N
- Daya perasa 2/3 Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
anterior lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
7 Vestibulocochlearis - Mendengarkan arloji Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
- Mendengarkan Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
gesekan tangan
- Tes garpu tala Tidak dilakukan Tidak dilakukan
8 Glosopharingeus - Suara sengau -
- Reflek muntah Tidak dilakukan
- Daya perasa 1/3 Tidak dilakukan
posterior lidah
9 Vagus - Gangguan menelan -
- Afonia atau Disfonia N
10 Asesorius - Kekuatan trapezius Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
- Kekuatan Tdk dpt dinilai Tdk dpt dinilai
sternomastoideus
11 Hipoglossus - Menjulurkan lidah Tdk dpt dinilai
- Artikulasi Tdk dpt dinilai
- Tremor lidah -
- Trofi lidah -

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (9 Februari 2018)


Nilai Satuan
Pemeriksaan Hasil
Rujukan
Hematologi
Leukosit 13,68* 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 4,62 4,5 – 6,5 juta/ul
Hemoglobin 14,5 13 – 18 gr/dL
Hematokrit 42,6 40 – 54 vol%
MCV 92,1 85 – 100 Fl
MCH 31,4 28 – 31 Pg
MCHC 34,1 30 – 35 gr/dL
Trombosit 211 150 – 450 ribu/ul
Golongan darah AB
Hitung Jenis
Eosinophil 0,4 1–6 %
Basophil 0,1 0–1 %

6
Limfosit 3,0 20 – 45 %
Monosit 3,7 2–8 %
Neutrofil 92,8 40 – 75 %
Kimia
GDS 139 < 140 mg/Dl
Ureum 27 10 – 50 mg/Dl
Creatinin 0,9 1,0 – 1,3 mg/Dl
SGOT 181 < 37 U/L
SGPT 194 < 42 U/L
Imuno/Serologi
HBs Ag
Negative Negative
(Rapid)

2. Pemeriksaan CT Scan Urologi (12 Februari 2018)

7
KESAN
- Gambaran lesi hiperdens didaerah arachnoid secara luas
- Gambaran meningonecephalitis
- Gambaran sinusitis maxillaris Sn

E. ASSESSMENT
 Perdarahan Subarachnoid
 Meningoenchepalitis
 Otitis Media Kronis

F. PENATALAKSANAAN/PLANNING
Di IGD
 Infus Asering + NB 20 tpm
 Inf Manitol 200cc
 Injeksi I.V Citicolin 500mg
 Injeksi I.V Asam Tranexamat 1gr
 Injeksi I.V. Ketorolac 1 amp/12 jam
 Injeksi I.V. Ondansetron 1 amp/8 jam
Di bangsal
 Infus Asering + NB 20 tpm
 Injeksi I.V Citicolin 500mg
 Injeksi I.V Asam Tranexamat 1gr
 Injeksi I.V. Ketorolac 1 amp/12 jam
 Injeksi I.V. Ondansetron 1 amp/8 jam
 Injeksi I.V dexametason 4 x 2gr
 Injeksi I.V ceftriaxone 2 x 2gr

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI LAPISAN MENINGENS

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya


adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx,
dibagi menjadi arachnoidea dan piamater.

1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua
lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di
tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus
venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural),
dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian
otak.

9
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke
dalam tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa
kuat yang berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di
anatara kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia
melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke
protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan
tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars
superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing
hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli terbentang
seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior.
Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir
atas os petrosus dan processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan
lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-
saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam dua lamina dura.

2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan
hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural.
Ia menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis,
cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan
septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system
rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam
sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi
arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus
sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali
memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut
menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam
vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater
yang secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum,

10
namun rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada
dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi
nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara
bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas
subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena
ini bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang
terletak pada aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa
vena. Di bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus
temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma
opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna
interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus
frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis
(cisterna sylvii).

3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan
sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam
fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk
tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan
ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus
choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap
dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.

B. PERDARAHAN SUBARACHNOID
1. Definisi
Perdarahan subaraknoid dapat diartikan sebagai proses pecahnya
pembuluh darah di ruang yang berada dibawah arakhnoid (subaraknoid).
Prevalensi terjadinya perdarahan subaraknoid dapat mencapai hingga
33.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Perdarahan subarakhnoid
memiliki puncak insidens pada usia ekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60

11
tahun untuk perempuan. Lebih sering dijumpai pada perempuan dengan
rasio 3:2.
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah
pada rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis.
Perdarahan subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke
rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan
lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang
membungkus otak (meninges).
2. Etiologi
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid
adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya
malformasi arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang
dapat terbentuk di arteri otak seperti :
1. Aneurisma sakuler (berry) Herediter2

Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial.


Lokasi tersering aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior
(40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding
lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika
atau arteri komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%).
Aneurisma dapat menimbulkan deficit neurologis dengan menekan
struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma
pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius,
menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia)3.

12
2. Aneurisma fusiformis

Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang


disebut aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi
pada segmen intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri
serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma fusiformis dapat
disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma
fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak.
Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat
pembentukan bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya.
Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf,
karena merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang
memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma
sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah cerebral.
3. Aneurisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak.
Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal
ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang
mengalami regresi spontan; struktur ini jarang menyebabkan
3
perdarahan subarachnoid . Malformasi arterivenosa (MAV) adalah
anomaly vasuler yang terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat
arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV
arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang
menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung
tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan
merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah
tambahan yangberasal dari arteri. Pembuluh darah yang lemah nantinya

13
akan mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi
paada aneurisma9. MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital
dan didapat. MAV yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma,
atau kraniotomi1.

3. Patofisiologi
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri
serebral utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi
anterior dan 15% dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat
yang paling umum adalah arteri communicans anterior diikuti oleh arteri
communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi
posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi
arteri basilar ke arterie otak posterior4.

Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi


orang dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma
intrakranial dan rupture tidak dipahami; Namun, diperkirakan bahwa
aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang relatif singkat dan
baik pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap
stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi

14
menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya
lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang.
Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali
kandungan kolagen dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan
ketebalan aneurisma bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati
dan untuk resiko rupture menjadi rendah4. Meskipun masih terdapat
kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan kejadian pecah, 7 mm
tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat ruptur. Secara keseluruhan,
aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar daripada aneurisma yang
tidak rupture.4
Aneurisma yang pecah
Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam
kehidupan. Hanya 20% dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien
berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat
dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari,
dan aktivitas berat4.
Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika dianamnesis
pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3
minggu sebelum perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Puncak kejadian perdarahan
berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap ada risiko hari-hari
berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali rupture
dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah kejadian
pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan kedua hampir 70%.4

4. Manifestasi Klinis
Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang
besar, meliputi :
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak,
2. Hilangnya kesadaran,
3. Fotofobia
4. Meningismus,

15
5. Mual dan muntah.
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat
dan mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada
umumnya tidak memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun
dokter yang merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi dapat muncul
beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum terjadinya
perdarahan yang hebat.5
Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak
dan kemudian hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai
mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita
mengalami serangan seperti “disambar petir”. Sementara itu, aneurisma
yang membesar (sebelum pecah) dapat menimbulkan tanda dan gejala
sebagai berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata,
nyeri wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi.5
Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat
menimbulkan defek medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri
kepala di daerah frontal. Aneurisma pada arteri karotis internus dapat
menimbulkan paresis okulomotorius, defek medan penglihatan, penurunan
visus, dan nyeri wajah disuatu tempat. Aneurisma pada arteri karotis
internus didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan fistula
karotiko-kavernosus, dapat menimbbulkan sindrom sinus kavernosus.5
Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia,
kelemahan lengan fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada bifukarsio
basiaris dapat menimbulkan paresis okulomotorius.5 Hasil pemeriksaan
fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan lokasi perdarahan.
Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau kombinasi dengan
hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian
tanda kklinis dapat bervariasi mulai dari meningismus ringan, nyeri
kepala, sampai defiist neurologis berat dan koma. Semnetara itu, reflek
Babinski positif bilateral.5
Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai koma,
biasa terjadi pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa

16
hari kemudian. Disfasia tidak muncul pada PSA tanpa komplikasi, bila ada
disfasia maka perlu dicurigai adanya hematom intraserebral. Yang cukup
terkenal adalah munculnya demensia dan labilitas emosional, khususnya
bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai akibat dari pecahnya
aneurisma pada arteri komunikans anterior.5
Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi sebagai akibat dari a)
kompresi langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah yang
keluar dari pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus optikus
seringkali terkena akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri kepala
mendadak dan terlihat adanya perdarahan subarachnoid maka hal itu
bersifat patognomik untuk PSA.
Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup
luas atau besar, atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari
munculnya vasospasme. Perdarahan dapat meluas kearah parenkim otak.
Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-aksial.5
Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada
penderita PSA. Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-
cabang besar sirkulus Willisi yang terpapar darah akan mengalami
vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih lama lagi.5

5. Diagnosis
Kejadian misdiagnosis pada perdarahan subarakhnoid berkisar
antara 23% hingga 53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus
selalu dievaluasi lebih cermat. Anamnesis yang cermat mengarahkan
untuk mendiagnosis PSA. Maka dari itu faktor resiko terjadinya PSA perlu
diperhatikan seperti pada tabel berikut.1

17
Bisa dimodifikasi Tidak bisa dimodifikasi
Hipertensi Riwayat pernah menderita PSA
Perokok (masih atau riwayat) Riwayat keluarga PSA
Konsumsi alkohol Penderita atau riwayat keluarga
Tingkat pendidikan rendah menderita polikistik renal
BMI rendah
Konsumsi kokain
Bekerja terlalu keras atau ekstrim 2
jam sebelum onset

Pada pemeriksaan fisik dijumpai semua gejala dan tanda seperti


yang dijelaskan sebelumnya. Untuk menunjang diagnosis, dapat dilakukan
pemeriksan1
CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena
sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih
akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam
pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah
serangan.
Pungsi Lumbal
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic
selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat
penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi
lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah
adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau
xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang
dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. Xantokromia
adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk
eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.1
Angiografi
Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas
untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering

18
digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih
tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan
karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multiple. Foto radiologic
yang negative harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi
kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk
melihat kemungkinan adanya malformasi vascular di otak maupun batang
otak.
Adapun parameter klinis yang dapat dijadikan acuan untuk
intervensi dan prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang bisa
digunakan.
Tabel Skala Hunt and hess
Grade Gambaran Klinis
I Asimtomatik atau sakit kepala ringan dan iritasi
meningeal
II Sakit kepala sedang atau berat (sakit kepala terhebat
seumur hidupnya), meningismus, deficit saraf kranial
(paresis nervus abdusen sering ditemukan)
III Mengantuk, konfusi, tanda neurologis fokal ringan
IV Stupor, deficit neurologis berat (misalnya,
hemiparesis), manifestasi otonom
V Koma, desebrasi

Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk
mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah di
kepala pada pemeriksaan CT scan.

19
Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan CT scan kepala
1 Tidak terdeteksi adanya darah
2 Deposit darah difus atau lapisan vertical terdapat darah
ukuran <1 mm, tidak ada jendalan
3 Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertical terdapat darah
tebal dengan ukuran >1 mm
4 Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler
secara
difus atau tidak ada darah

6. Penatalaksanaan
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid
adalah identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa
diintervensi dengan pembedahan atau tindakan intravascular lain. Jalan
napas harus dijamin aman dan pemantauan invasive terhadap central
venous pressure dan atau pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap
tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah penigkatan
tekanan intracranial, manipulasi pasien harus dilakukan secara hati-hati
dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien harus istirahat
total.1
PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus
iintubasi dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk
mencapai PCO2 sekitar 30-35 mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan
untuk menurunkan tekanan intracranial seperti6:
 Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan
intracranial secara signifikan (50% dalam 30 menit
pemberian).
 Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan
intracranial
 Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan
tekanan intracranial masih kontroversial tapi
direkomendasikan oleh beberapa penulis lain.

20
Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang,
pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi
medis dan neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas
normal dan jika perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti
labetalol dan nikardipin. Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan
penggunaan obat-obat anti hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130
mmHg. Setelah aneurisma dapat diamankan, sebetulnya hipertensi tidak
masalah lagi, tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan berapa nilai
amannya.
Analgesic seringkali diperlukan, obat obat narkotika dapat
diberikan berdasarkan indikasi. Dua factor penting yang dihubungkan
dengan luaran buruk adalah hiperglikemia dan hipertermia, karena itu
keduanya harus segera dikoreksi. Profilaksis terhadap thrombosis vena
dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan peralatan
kompresif sekunsial, heparin subkutan dapat diberikan setlah dilakukan
penatalaksanaan terhadap aneurisma. Calcium channel blocker dapat
mengurangi risiko komplikasi iskemik, direkomendasikan nimodipin
oral.1,6
Hasil penelitian terakhir yang dilakukan mengemukakan bahwa
penambahan obat cilostazol oral pada microsurgical clipping dapat
mencegah kejadian vasospasme serebral dengan menurunkan resiko resiko
yang memperparah kejadian vasospasme serebral.7

7. Komplikasi
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering
pada perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa
status mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan
iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal
tunggal dan lesi multiple luas. 1
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi
risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan
darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin,

21
norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi
(hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg
untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan
darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada
gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200-
220 mmHg. 1
Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang
dapat terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan
epilepsi.

8. Prognosis
Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40%
meninggal tanpa sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada
tahun pertama sekitar 60%. Apabila tidak ada komplikasi dalam 5 tahun
pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada intervensi bedah maka sekitar 30%
penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama,
dan 60% dalam 2 bulan pertama.5
Hal-hal yang dapat memperburuk prognosis dapat dilihat pada
tabel Sistem Ogilvy dan Carter berikut ini.
Tabel Sistem Ogilvy dan Carter
Skor Keterangan
1 Nilai Hunt dan Hess > III
1 Skor skala Fisher > 2
1 Ukurn aneurisma > 10 mm
1 Usia pasien > 50 tahun
1 Lesi pada sirkulasi posterior berukuran besar (≥ 25mm)

Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan


Carter, yaitu skor 5 mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0
mempunyai prognosis lebih baik. Pendapat lain mengemukakan bahwa
prognosis pasien-pasien PSA tergantung lokasi dan jumlah perdarahan
serta ada tidaknya komplikasi yang menyertai. Disamping itu usia tua dan

22
gejala-gejala yang berat memperburuk prognosis. Seseorang dapat sembuh
sempurna setelah pengobatan tapi beberapa orang juga meninggal
walaupun sudah menjalani treatment.8
Sedangkan prognosis yang baik dapat dicapai jika pasien-pasien
ditangani secara agresif seperti resusitasi preoperative yang agresif,
tindakan bedah sedini mungkin, penatalaksanaan tekanan intracranial dan
vasospasme yang agresif serta perawatan intensif perioperative dengan
fasilitas dan tenaga medis yang mendukung.9

23
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Hasil anamnesis didapatkan adanya keluhan nyeri kepala datang


mendadak selama 3 hari SMRS, keluhan tersebut dirasakan dengan adanya
demam yang tinggi dan juga meraskan mual namun tidak dapat muntah. Timbul
kejang saat dibawa kerumah sakit dan setelah itu mengalami penurunan kesadaran
sejak mengalami nyeri kepala yang sangat hebat. Hal tersebut dapat mengindikasi
adanya perdarahan diotak dimana diawali dengan nyeri kepala yang mendadak
hingga mengalami penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan fisik juga
didapatkan rangsangan meningeal (+) pada kaku kuduk dan brudzinski 2 yang
menandakan bahwa terdapat hal yang abnormal dibagian meningeal cerebri.
Sebelum mengetahui etiologi dari gejala klinis tersebut maka dilakukan
pemberian anti nyeri yaitu ketorolac serta pemberian osmotic agent dengan
menggunakan manitol untuk mengurangi tekanan intrakranial pada pasien.

Pada pemeriksaan CT scan dengan kontras didapatkan lesi hiperdens


dibeberapa titik bagian arachnoid cerebri. Hal tersebut mengindikasikan adanya
perdarahan dibagian subarachnoid. Jika disesuai dengan algoritma yang ada, gold

24
standart yang tepat dalam penegakkan perdarahan subarachnoid maka pada pasien
ini sudah tepat yaitu dengan menggunakan ct scan dengan kontras untuk melihat
kerusakan otak dibagian mana8.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing

Medical Education. 2012;39.Purnomo, BB. 2012. Dasar-Dasar Urologi.

Jakarta : CV Sagung Seto

2. Student Med. Stroke.2011.

3. Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi,

Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.

4. Jones R, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Subarachnoid Hemorrhage.

Netter's Neurology2014. p. 526-37

5. PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University

Pres; 2011.

6. Becske T. Subarachnoid Hemorrhage Treatment & Management. Medscape

Reference Drugs, Disease & Procedures. 2014

7. N S, H K, K K, Y O, A F, etc. Effects of cilotazol on cerebral vasospasm after

aneurysmal subarachnoid hemorrhage: a multicenter prospective, randomized,

open-label blinded end point trial. journal of Neurosurgery. 2014

8. Jasmine L. Subarachnoid Hemorrhage. Medline Plus. 2013.

9. Zuccarello M, McMahon N. Arteriovenous Malformation (AVM). Mayfield

Clinic. 2013

10. Wahjoepurmono EJ, Junus J. Tindakan Pembedahan pada Penderita

Aneurisma Intrakranial. 2003;22(2).

11. Yahya RC. Stroke Hemragik - Defenisi, Penyebaba & Pengobatan Stroke

Perdarahan Otak. Jevuska. 2014.

26

Anda mungkin juga menyukai