Anda di halaman 1dari 15

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

 A.Latar Belakang
 B.Perumusan Masalah
 C.Tujuan

BAB 2 IBNU RUSYD

 A.Biografi Ibnu Rusyd


 B.Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd
 C.Karya-karya Ibnu Rusyd

BAB 3 PENUTUP

 A.Kesimpulan
 B.Saran
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dominasi pengaruh filsafat Yunani kian menimbulkan masalah dan tantangan


tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan
tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam.
Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah
umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya
adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian,
benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-
tuduhan kaum orthodok. Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema
sentralnya Ibnu Rusyd.

Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan
sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami
ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang.

Penyusunan makalah ini berawal dari tugas yang diberikan oleh Bpk. Rafiudin selaku
dosen pembimbing mata kuliah “Filsafat Umum” kepada kami. Dan makalah ini akan kami
jadikan sebagai bahan belajar kelompok atau diskusi. Jadikanlah makalah ini sebagai
penambah wawasan dalam peningakatan kegiatan belajar.

B. Perumusan Masalah

1. Penjelasan tentang Ibnu Rusyid dan sejarahnya.


2. Ibnu Rusyid sebagai filosof.
3. Pengaruh pemikiran Ibnu Rusyid terhadap perkembangan filsafat.

C. Tujuan

1. Menambah wawasan tentang Ibnu rusyid dan kehidupannya sebagai filosof.


2. Memahami hasil pemikiran Ibnu Rusyid dan karya-karyanya
3. Sebagai bahan diskusi atau belajar kelompok.
BAB II
IBNU RUSYD
A. Biografi Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan
ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi"
(hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator
terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan,
termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd
untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.

Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal
dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu
Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520
H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ayah dan kakek Ibnu
Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang
anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti
kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far
Harun dan Ibnu Baja.

Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam
keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-
hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada
saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa
Khalifah al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu
pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna
pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya
intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.

Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan
Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya
pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun
demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif
selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan
dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian
kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk
dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami
hidup pengasingan di Yasyanah.Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya
berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para
ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan
Ibnu Rusyd yang tinggi.

Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman
hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada
ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada
ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka
memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim)
selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan
kepada para wakilnya.

Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini
sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya
metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti
kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian,
nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan
penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averrois. Dari Averrois ini muncul sebuah
kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme.
Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat,
penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles
dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya
sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles.

Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam
penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan
pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan
uraian dan komentas terhadap filsafat Aristoteles.Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan
tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.

Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun) dialami Ibnu Rusyd, karena Khalifah
segera mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati
semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M/ 595 H di Marakesh dan usia 72 tahun menurut
perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah.

B. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd

1) Kritik Terhadap Al-Ghazali

Seperti disebut diatas, bahwa Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya
beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-
Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang
kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-
falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham
filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi
dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 soal sebagai bathil dan pada
akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para
filsuf. Tiga soal tersebut adalah:

1. Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
2. Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/
individual/ partikular).
3. Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga
paham tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran.Polarisasi dan kesimpulan ini
mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam
terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat
pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.

Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-
bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi
kajian para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan
argumen para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-
Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi
bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu
Rusyd.
Dalam pada itu, Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para
filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah
paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan
harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan
maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap
Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya. Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd
dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama pun secara rasional, namun ia tetap
berpegang pada sumber agama itu sendiri, yaitu al-Quran.

1. Harmonisasi agama dan filsafat


Memulai makalahnya, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah
mempelajari filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah
dilarang, ataukah diperintahkan –baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah
wajib?. Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala
wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’
menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang
ada.Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’, pengertian demikian
menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah
anjuran.

Tetapi karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat
al-Hasyr: 2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi
perintah tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan
dan penyimpulan sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari yang telah diketahui
serta penarikan pengertian baru dari padanya) dilakukan, menurut kias wajib
melakukan penelitian tentang segala yang ada menggunakan kias rasional. Artinya,
syara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari metode yang paling sempurna
dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula, yang
dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah metode filsafat.
Maka menurut syara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.

Menurut Ibnu Rusyd, karena syari’at ini benar dan ia menyeru untuk
mempelajari sesuatu kearah yang benar, maka pembahasan burhani tidak akan
membawa pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Kebenaran tidak akan
berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki dan menjadi saksi
atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak disebutkan syari’at, berarti tidak ada
pertentangan. Kalau syara’ menyebutkannya, jika berseuaian maka tidak ada
persoalan. Tetapi jika berselisih maka harus dilakukan takwil (interpretasi) yang
mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal.

2. Qadimnya alam
Tentang qadimnya alam atau dalam bahasa filsafat azalinya alam, menurut
Ibnu Rusyd itu hanya perselisihan mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat
tentang adanya tiga wujud yaitu; pertama, wujud yang terjadi dari sesuatu selain
dirinya, dan oleh sesuatu yang lain serta dari sesuatu bahan tertentu dan wujud ini
didahului oleh waktu. Inilah wujud benda-benda seperti air, tanah dst. Kedua,
lawannya adalah wujud yang adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh
sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim. Baik
yang pertama dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada wujud
ketiga yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului
oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh al-Qadim.Inilah alam
keseluruhan, perselisihan disini berkenaan dengan waktu yang lalu dan wujud yang
lalu. Plato berpendapat waktu dan wujud yang lalu adalah terbatas. Aristoteles
sebaliknya berpendapat bahwa waktu dan wujud yang lalu tidak terbatas, sama halnya
dengan waktu dan wujud mendatang. Wujud ini memiliki segi persamaan dengan
wujud muhdats dan wujud al-Qadim. Maka mereka yang terkesan dengan persamaan
wujud qadim akan menamakannya qadim pula, begitu pun mereka yang terkesan
dengan wujud muhdats akan menamakan muhdats pula.

Makna – makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-
Quran, sebab tidak ada perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah pencipta
alam keseluruhan ini. Jadi menurut filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan
qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada
dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan tidak
mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh karena itu materi asal
alam ini mesti kadim.Memperkuat pandangan ini, Ibnu Rusyd mengutip penjelasan al-
Quran, surat Hud ayat 7, yang makna lahiriah ayat mengatakan bahwa terdapat wujud
sebelum wujud ini, yaitu singgasana dan air. Begitu pula dikaitkan dengan bentuk
wujud ini yang berupa bilangan gerak falak (Ibrahim: 48). Maka disini Ibnu Rusyd
membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran.
Dalam hal ini kaum teolog yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari tiada, justeru
tidak mempunyai dasar pijakan dalam ajaran al-Quran.

3. Gambaran kebangkitan di akhirat


Menurut Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat,
tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa
yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan
rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia
ini. Jadi para filsuf tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa
filsuf hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.

Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justeru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten,


dalam tahafuth al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat
bahwa kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam
bukunya yang lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan
terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani.

4. Pengetahuan Tuhan
Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan
mengetahui hal-hal yang bersifat juz’I yang terdapat dialam semesta ini atau tidak
mengetahuinya. Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’a
tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahu yang juz’iyat dengan cara manusia
mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek
yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta
berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan
kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-
Nya. Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan
mengetahui yang juz’I tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’I berwujud seperti
wujud saat ini.

Lebih dari itu, sebenarnya bukan hanya yang juz’i, tetapi juga yang kulliyat
Tuhan tidak mengetahuinya seperti pengetahuan manusia. Kulliyat adalah juga efek
dari sifat wujud ini, sedangkan pengetahuan Tuhan adalah kebalikan dari itu. Maka
secara burhani, ilmu Tuhan sesungguhnya mengatasi kualifikasi
yang kulliyat dan juz’iyat tersebut, sebab Tuhan yang mengadakannya.
5. Kesalahan Al-Ghazali
Jadi, pengkafiran Al-Ghazali atas kedua failasuf tidaklah definitif. Karena
dalam bukunya “At-Tafriqah” bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar
ijma’ hanya mengandung sifat tentatif belaka. Tapi ijma’ tidak mungkin terjadi dalam
persoalan seperti ini, persoalan demikian sangat pelik dan sepenuhnya bergantung
pada kemampuan kias rasional dan kemampuan burhani seseorang yang hanya bisa
dilakukan oleh kaum rashikhun fi ‘ilm. Karena demikian keadaannya, maka mustahil
terjadi ijma’ yang meyeluruh dalam bidang takwil. Maka penilaian yang tepat adalah
bahwa orang-orang berselisih pendapat dalam persoalan yang pelik tersebut berhak
mendapat pahala jika mereka benar, tetapi bisa dimaafkan jika mereka salah.

Kesalahan yang bisa dimaafkan demikian hanyalah kesalahan yang tidak


disengaja yang dilakukan kaum yang dikaruniai pengetahuan khusus mengetahui
takwil ketika mereka mempelajari persoalan-persoalan rumit yang diperintah syara’
untuk mempelajarinya. Adapun kesalahan oleh orang-orang selain kelompok ini,
adalah dosa. Maka bagi kaum burhani ini melakukan takwil terhadap ajaran-ajaran
yang memberi petunjuk untuk itu harus dilakukan, sebaliknya umat kebanyakan
hanya diperintah mengambil makna lahir ayat, jika tidak akan menyebabkan kekafiran
pada masing-masing mereka. Oleh sebab itu, larangan Al-Ghazali – terhadap semua
orang – dalam melakukan kias rasional seperti dilakukan para filsuf dan filsafat
mereka tidak tepat, karena bertentangan ajaran al-Quran.

2) Pengaruhnya di Eropa

Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian


timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi
falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali
mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat
bukanlah filsafat tetapi tasawuf, bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah
yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Sebaliknya, di dunia Islam
bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam pemikiran filsafat masih
berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut. Maka secara berangsur, kekayaan
khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat di wilayah timur beralih ke wilayah barat. Hal itu
terlihat dengan banyaknya buku-buku ilmu dan filsafat yang beredar di wilayah barat,
terutama di Andalusia dan Sisilia, sebagai maha karya kaum Muslimin di timur dan barat.
Dinamis dan semaraknya perkembangan ilmu pengetahuan ditangan umat Islam di
Andalusia dan Sisilia akhirnya menarik minat orang-orang dari kalangan Yahudi dan Kristen
untuk menuntut ilmu ke wilayah itu dan melakukan penerjemahan-penerjemahan atas seluruh
karya-karya Aristoteles, seperti yang dilakukan St. Thomas Aquinas dengan meminta
rekannya, William Moerbeke untuk melakukan penerjemahan tersebut. Setelah penerjemahan
tersebut, tampak bahwa Ibnu Rusyd tidak melakukan kesalahan dalam intisari filsafat.
Oleh kalangan Yahudi dan Nasrani, mereka mengenal Ibnu Rusyd sebagai sang pemberi
penjelasan atau komentator filsafat Aristoteles. Dante dalam syairnya Divine Comedy,
mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya.

Aziz Dahlan menjelaskan para pelopor lain dalam mempelajari filsafat tidak hanya
dari kalangan intelektual tetapi juga dari kalangan agamawan Kristen, seperti Paus Silvester
II (999-1003 M). Begitu pun setelah Toledo jatuh ketangan Alphonse (451 H/ 1058 M),
dewan penerjemahan (kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa Latin) didirikan oleh Raymund
(1130-1150 M), Uskup Kepala di Toledo dan dewan ini dipimpin oleh Dominikus
Gundisalvus. Pengakajian yang tidak kalah bergairah bahkan mendapat dukungan kuat dari
Kaisar Frederik II (1212-1250 M), seperti di wilayah-wilayah Italia Selatan Palermo, Sisilia,
dan Napoli. Di pusat-pusat pengkajian ini, karya-karya Ibnu Rusyd mendapat apresiasi yang
luar biasa tinggi, hal itu terlihat dari banyaknya fasilitas yang diberikan Kaisar kepada
Michael Scot (1175-1234 M) untuk menyalin dan menterjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd,
sedangkan Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M) menterjemahkan karya-karya al-
Farabi.

Disamping kelompok pengidola, ternyata paham filsafat Ibnu Rusyd juga mendapat
penolakan bangsa Eropa yang datang dari kalangan gereja, seperti Keuskupan Paris
“mengharamkan” kajian-kajian terhadap buku-buku Ibnu Rusyd di berbagai perguruan tinggi
pada abad ke-13. Fakta-fakta diatas terkesan berlawanan, tetapi sebenarnya disanalah
kekuatan pengaruh filsafat Ibnu Rusyd yang tidak habis dan henti-hentinya dibahas bangsa
Eropa, secara sembunyi-sembunyi sekalipun. Karena itu sekali pun para Rahib dilarang
mempelajari hal-hal yang berbau duniawi tetapi mereka tetap mengkaji dan mendiskusikan
Ibnu Rusyd.
3) Averroisme
Ditangan Ibnu Rusyd, filsafat menjadi demikian menantang dan menarik minat
banyak orang untuk mendalaminya. Paham rasional yang dikembangkannya menjadi titik
terang bagi bangsa Eropa untuk meneropong persoalan peradaban dan keagamaan mereka.
Kias rasional, takwil dan pengetahuan burhani merupakan bentuk tertinggi dalam pemikiran
Muslim yang menjadikan peradaban Muslim unggul dan maju adalah tantangan secara
diametreal bagi paham keagamaan Kristen yang terbelakang karena tertutup, otoriter dan
dogmatis.

Seperti ditulis diatas, disini para agamawan Kristen bersikap “munafik” karena
secara resmi melarang, tetapi mempelajarinta secara diam-diam dalam gereja mereka. Karena
itu larangan Gereja tidak mempan menghalangi kaum intelektual untuk terus
mengembangkan paham filsafat, terutama paham Ibnu Rusyd di Eropa. Dari sini muncullah
sekelompok intelektual yang bersemangat menjadikan Ibnu Rusyd sebagai guru pertama (al-
mua’allim al-awwal). Mereka ini dipimpin Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M)
mendirikan aliran Averroisme. Penamaan Averroisme sebagai pengikut Ibnu Rusyd, menurut
Sirajuddin Zar (seperti disebut sebelumnya) adalah kurang tepat, lebih tepatnya dinisbahkan
pada kakek Ibnu Rusyd sendiri.

Munculnya gerakan dan aliran Averroisme ini sejatinya adalah lompatan besar
dalam pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa, khususnya dalam bidang ilmu
pengetahuan dan filsafat. Sebab sebelumnya Eropa kosong dari dari ilmu pengetahuan,
berfikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sumber kebenaran
hanyalah Gereja Kristen. Seperti diketahui bahwa Gereja Katolik Roma sudah menancapkan
dominasinya selama 11 abad di Eropa (abad ke-5 - abad ke-16 M) dan sukses dalam
menyatukan Eropa didalam kerajaan Gereja Katolik– ditandai dengan supremasi gereja
secara absolut diatas negara. Dalam situasi itu kehidupan masyarakat Barat sepenuhnya
dalam kontrol dan dogma gereja Katolik Roma, sehingga tidak ada kemerdekaan dan
keselamatan diluar gereja.

Menurut Sirajuddin Zar, kendatipun Averroisme ini namanya dibangsakan kepada


Ibnu Rusyd, namun ajaran keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Hal itu disebabkan
oleh latar belakang agama yang berbeda. Kalau Ibnu Rusyd mengembangkan paham rasional
dalam bingkai ajaran Islam, sebaliknya Averroisme hanya mengambil dasar-dasar rasional
saja dengan meninggalkan keyakinan keagamaan mereka. Lebih jelasnya Sirajuddin Zar
menulis demikian.

“Ibnu Rusyd dilatarbelakangi oleh ajaran Islam yang rasional dan dinamis.
Di dalam Islam terdapat ajaran yang bersifat dogmatis (qath’I al-dalalah) amat sedikit
jumlahnya. Adapun yang terbanyak ialah ajaran Islam yang bersifat zhanni al-
dalalah. Ia datang hanya dalam bentuk prinsip-prinsip pokok, karena itu untuk
mengoperasionalkannya diserahkan pada otak manusia setempat dimana ia
hidup…berbeda dengan Islam, agama Kristen semua ajarannya bersifat dogmatis
sehingga tidak bisa didamaikan antara ajarannya dengan filsafat. Atas dasar inilah
ketika Averroisme mengembangkan pemikiran rasional Ibnu Rusyd di Eropa, yang
atara agama dan filsafat dapat direkonsiliasikan, mendapat kesulitan.”

Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa dalam Islam, demikian juga paham
filsafat Ibnu Rusyd tidak ada kebenaran ganda, karena dari penjelasan sebelumnya jika terjadi
ketidak sesuaian penemuan kebanaran akal dengan kebenaran wahyu, maka dilakukan proses
takwil. Sehingga akhirnya hanya ada satu kebenaran, yaitu kesatuan kebenaran agama dan
filsafat. Sebaliknya bagi bangsa Eropa terdapat kebenaran ganda(double truth), karena tidak
mungkin mendamaikan kebenaran akal dan kebenaran agama. Jadi konsep kebenaran ganda
yang dikembangkan Averroisme merupakan bentuk penyimpangan dari paham Ibnu Rusyd.

C. Karya-Karya Ibnu Rusyid

 Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih)


 Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran)
 Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan
menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat)
Pemikiran Ibnu Rusyd terlihat ketika terjadi polemik antara ia dengan Hujjatul Islam
Imam Al-Ghazali. Ketidaksepakatan Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat Ibnu Rusyd
(hingga mengkafirkan) yang dituangkan dalam bentuk tulisan berjudul “tahafut al-tahafut"
(kerancuan dari kerancuan). Menurut penilaian Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah mengisi
bukunya tahafut falasifah dengan pikiran-pikiran sufistik, dan kata-katanya tidak sampai pada
tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahaman terhadap filsafat itu sendiri.
Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filusof-filusof dengan cara
demikian, tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari dua hal. Pertama, ia sebenarnya
memahami pemikiran-pemikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan disini secara benar-benar
dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami secara
benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya,
dan ini adalah perbuatan orang-orang bodoh.

Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak terdapat dalam
diri Al-Ghazali. Akan tetapi “kuda balab kadang-kadang terantuk” demikian kata pepatah.
Dan bagi Al-Ghazali, terantuknya itu ialah karena ia menulis buku tahafut-nya tersebut.
Boleh jadi penulisannya itu dilakukan karena melayani selera massa dan
lingkungannya.Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah kebangkitan kembali
manusia setelah meninggal.

Menurut Ibnu Rusyd, pembangkitan yang dimaksud kaum filsuf adalah pembangkitan
Ruhiyah bukan Jasmaniyah. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi
Ibnu Rusyd dan juga filsuf lainnya, yang bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan
ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedangkan menurut Al-Ghazali, kebangkitan
kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga Jasmaniyah. Ibnu Rusyd juga mengajarkan
bagaimana cara membangun rules of dialogue , dalam kaitannya memahami orang lain di luar
kita.

Teori ini didasarkan pada tiga prinsip epistemologi. Pertama, keharusan untuk
memahami yang lain dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari
penerapan metode aksimotik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.
Prinsip kedua, dalam kaitan relasi kita dengan Barat, adalah prinsip menciptakan kembali
hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu
Rusyd membela pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran
agama dan filsafat, tetapi terjadi harmoni diantara keduanya. Harmoni yang dimaksud tidak
harus sama dan identik. Karena itu hak untuk berbeda harus dihargai.
Prinsip ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara-cara Al-Ghazali
menguliti filosuf tidak dengan tujuan mencari kebenaran, tetapi untuk mempertanyakan tesis-
tesis mereka. Dan prilaku ini menurut Ibnu Rusyd tidak layak dilakukan oleh orang
terpelajar, karena tujuan orang terpelajar adalah hanya untuk mencari kebenaran bukan
menyebarkan keragu-raguan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat
yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim
seperti al_kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh
kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya
berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu
mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.

Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta
kedalaman ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya
demikian pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat
pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya
diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang menyamainya dalam
keahliannya dalam bidang figh Islam.

B. Saran
Tentunya makalah ini banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kririk dan sarannya dari berbagai pihak manapun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya. Dan mudah-mudahan dapat dijadikan referensi untuk menambah khasanah
keilmuan kita. Amin…

Anda mungkin juga menyukai