FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016
KASUS
SKENARIO 3 :
Seorang anak perempuan berumur 6 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
demam sejak 2 hari yang lalu disertai nyei menelan, sesak napas dan ada
pembesaran di leher kanan, pasien merasa lemas dan lesu.
B. PERTANYAAN PENTING
2. Patomekanisme demam
7. Langkah-langkah diagnosis
Jawaban :
DEFINISI
International Union of Physiological Sciences Commission for Thermal
Physiology mendefinisikan demam/ febris sebagai suatu keadaan peningkatan
suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya) merupakan bagian dari respons
pertahanan organisme multiselular (host) terhadap invasi mikroorganisme atau
benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh host. El-Rahdi dan kawan-
kawan mendefinisikan demam (pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara
patofisiologis demam adalah peningkatan thermoregulatory set point dari pusat
hipotalamus yang diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis
demam adalah peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata
suhu normal di tempat pencatatan. Sebagai respons terhadap perubahan set
pointini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru. Hal ini dicapai
secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan memproduksi panas.
Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal). Suhu
terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 – 06.00 dan tertinggi pada awal
malam hari pukul 16.00 – 18.00. Kurva demam biasanya juga mengikuti pola
diurnal ini.1,2 Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan,
meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena
itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran
suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).
Suhu rektal normal 0,27o – 0,38oC (0,5o – 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral. Suhu
aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral.5 Untuk kepentingan
klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38oC, suhu oral
37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai
37,6oC.1 Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu
tubuh melampaui 41,1oC (106oF).
ETIOLOGI DEMAM
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam
akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit.
Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara
lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia,
sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media,
infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah
dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi jamur
yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis,
criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan
demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis.
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, Tipe
demam Penjelasan Demam septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke
tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari. Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik
ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat yang
normal pada pagi hari Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun
setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu normal Demam intermiten Pada
demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam
satu hari. Demam Kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepanjang hari
yang tidak berbeda lebih dari satu derajat. Demam Siklik Pada demam ini,
kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam
untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
POLA DEMAM
sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat
yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak
patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk
diagnosis yang berguna (Tabel 2.).Interpretasi pola demam sulit karena berbagai
alasan, di antaranya anak telah mendapat antipiretik
Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi
derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam,
dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:
Demam Kontinyu
Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu
tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam.
Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.
Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)
Demam Remiten
Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai
normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe
demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik
untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya
bila demam disebabkan oleh proses infeksi.
Demam Intermiten
Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi
hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis
demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.
Gambar 3. Demam intermiten
Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan
Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 – 10 minggu sebelum
awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.
Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada 1887,
pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya sedikit pasien
dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada, sugestif untuk LH.
Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang berlangsung 3 – 10 hari, diikuti
oleh periode afebril dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini
mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan
anemia hemolitik.
Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).
KLASIFIKASI DEMAM
Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis
masalah. Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut,
subakut, atau kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs. Tabel 3. dan Tabel
4. memperlihatkan tiga kelompok utama demam yang ditemukan di praktek
pediatrik beserta definisi istilah yang digunakan.
Tabel 3. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik
Lama demam
Klasifikasi Penyebab tersering
pada umumnya
Demam tanpa localization Penyakit demam akut tanpa penyebab demam yang
jelas setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik
Letargi Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada interaksi
dengan pemeriksa atau orang tua, tidak tertarik
dengan sekitarnya
Infeksi saluran nafas ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis, stomatitis
atas herpetika
Pulmonal Bronkiolitis, pneumonia
Gastrointestinal Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis
Sistem saraf pusat Meningitis, encephalitis
Eksantem Campak, cacar air
Kolagen Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki
Neoplasma Leukemia, lymphoma
Tropis Kala azar, cickle cell anemia
Di daerah malaria
2. Patomekanisme demam
Jawaban:
Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh. Zat
pirogen sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan endogen. Pirogen
eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh seperti mikroorganisme dan
toksin. Sedangkan pirogen endogen merupakan pirogen yang berasal dari dalam
tubuh meliputi interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosing
factor-alfa (TNF-A). Sumber utama dari zat pirogen endogen adalah monosit,
limfosit dan neutrophil.Seluruh substansi di atas menyebabkan selsel fagosit
mononuclear (monosit, makrofag jaringan atau sel kupfeer) membuat 10 sitokin
yang bekerja sebagai pirogen endogen, suatu protein kecil yang mirip interleukin,
yang merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting. Sitokin-
sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun local dan berhasil memasuki
sirkulasi. Interleukin-1, interleukin-6, tumor nekrosis factor α dan interferon α,
interferon β serta interferon γ merupakan sitokin yang berperan terhadap proses
terjadinya demam. Sitokin-sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel-sel di Susunan
Saraf Pusat (SSP) dan kemudian bekerja pada daerah preoptik hipotalamus
anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam arakidonat dari membrane
fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat selanjutnya
diubah menjadi prostaglandin karena peran dari enzim siklooksigenase (COX,
atau disebut juga PGH sintase) dan menyebabkan demam pada tingkat pusat
termoregulasi di hipotalamus . Enzim sikloosigenase terdapat dalam dua bentuk
(isoform), yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2).
Kedua isoform berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi
regulasi yang berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalis
pembentukan prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput
lender traktus gastrointestinal, ginjal, platelet dan epitel pembuluh darah.
Sedangkan COX-2 tidak konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada
stimuli radang, mitogenesis atau onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu
terbentuk prostanoid yang merupakan mediator nyeri dan radang. Penemuan ini
mengarah kepada, 11 bahwa COX-1 mengkatalis pembentukan prostaglandin
yang bertanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis, sedangkan
COX-2 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang
menyebabkan.Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin yang
menyebabkan demam. Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron
termosensitif. Area ini juga kaya dengan serotonin dan norepineprin yang
berperan sebagai perantara terjadinya demam, pirogen endogen meningkatkan
konsentrasi mediator tersebut. Selanjutnya kedua monoamina ini akan
meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cAMP) dan prostaglandin di susunan
saraf pusat sehingga suhu thermostat meningkat dan tubuh menjadi panas untuk
menyesuaikan dengan suhu thermostat.
Jawaban :
Pada keadaan lebih lanjut toksin akan diproduksi lebih banyaj sehingga
daerahnekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk jaringan nekrotik, fibrin,
sel epitel, sel leukosit , sel eritrosit yang berwarna abu-abu sampai hitam.
Membran ini sulit terkelupas, kalau dipaksa menimbulkan perdarahan.
Selanjutnya membrane akan menyebar ke bronchial, menyebabkan obstruksi
saluran pernapsan dan terjadi dispneu.
4. Patomekanisme Pembesaran leher di kanan
Jawaban :
a. Limfadenopati
Sistem limfatik merupakan pusat fungsi efektif dari sistem kekebalan tubuh.
Makrofag dan sel antigen-presenting lainnya bermigrasi ke kelenjar getah
bening untuk menyajikan antigen yang ditemukan ke sel T dan B. Saat sel T
dan B mengenali antigen, mereka berproliferasi di dalam kelenjar getah
bening untuk menghasilkan respon imun yang efektif. Limfadenopati (lokal /
sistemik) merupakan konsekuensi dari proliferasi ini.
Saat invasi langsung terjadi, kelenjar getah bening soliter menjadi terinfeksi
dengan bakteri atau antigen jenis lainnya. Dampak dari respon imun ini ialah
hiperplasia struktur kelenjar getah bening, proliferasi sel T dan B, dan
infiltrasi sel imun lainnya untuk mengatasi infeksi. Hal-hal tersebut
menyebabkan peradangan dan pembengkakan nodus limfatikus.
a. DIFTERI
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang
tonsil, faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau
kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi
yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh
bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan
yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit,
sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti
dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus
yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema di
leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan
dapat terjadi obstruksi jalan napas.
b. DEMAM BERDARAH DENGUE
Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue
dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam. Limfadenopati, trombositopenia dan
diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi pembesaran plasma yang
ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematocrit) atau
penumpukan cairan dirongga tubuh.
c. MALARIA
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh
plasmodium yang menyerang eritrosit yang ditandai oleh dengan
ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria
memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan
splenomegali. Dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria
dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi
sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi parasit
yang menyerupai malaria ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan
babesiosa.
d. PAROTITIS (MUMPS)
Parotitis adalah inflamasi pada kelenjar parotis yang dapat
disebabkan oleh agen infeksius maupun penyakit sistemik non
infeksius. Parotitis supuratif disebabkan infeksi bakteri pada neonatus
dan pasien post operasi. Parotitis epidemika disebabkan oleh virus
mumps yang banyak terjadi pada era sebelum vaksinasi. Setelah
maraknya vaksinasi mumps, parotitis dapat disebabkan oleh infeksi
virus lain seperti Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenza A dan
parainfluenza yang disebut parotitis viral. Infeksi mumps merupakan
infeksi virus yang paling umum pada parotitis yang bersifat self-
limited dan sering menyerang anak di negara berkembang, dimana
jumlah anak yang divaksinasi belum optimal. Gejala yang dapat
muncul adalah demam, bengkak dan nyeri pada kelenjar parotis
unilateral atau bilateral
e. YELLOW FEVER
Atau demam kuning adalah suatu penyakit infeksi akut yang
disebabkan oleh virus yellow fever yang pennyebarannya melalui
nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini ditandai dengan timbul demam
mendadak disertai menggigil, sakit kepala, punggung hingga myalgia,
nausea, muntah, kadang ditemukan muka dan konjungtifa merah, tanda
faget dan bradikardi relative badan menjadi kuning, disfungsi renal,
perdarahan hingga menyebabkan hipotensi (mukosa, perifer,
gastrointestinal), kerusakan hati hingga dapat menjadi sindrom
hepatorenal, oliguria, azotemia.
f. SARS
Sindrom Pernapasan Akut Berat (bahasa Inggris: Severe Acute
Respiratory Syndrome, SARS) adalah sebuah jenis penyakit
pneumonia. SARS pertama kali muncul pada November 2002 di
Provinsi Guangdong, Tiongkok. SARS sekarang dipercayai
disebabkan oleh virus SARS. Sekitar 10% dari penderita SARS
meninggal dunia. Penyakit ini ditandai dengan demam, myalgia,
lethargy, gejala gastrointestinal, batuk, radang tenggorokan dan gejala
non-spesifik lainnya. Satu-satunya gejala yang sering dialami seluruh
pasien adalah demam di atas 38 °C (100.4 °F), sesak napas.
g. RABIES
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada
manusia dan mamalia yang berakibat fatal. Penyakit in ditandai dengan
disfungsi hebat susunan saraf dan hampir selalu berakhir dengan
kematian. Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies yang termasuk
genus Lyssa-virus , famili Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia
melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang.
h. HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS
adalah tahap akhir dari infeksi HIV.
7. Langkah-langkah diagnosis
Jawaban :
Anamnesis
- Identitas; nama, alamat, tanggal lahir, usia, jenis kelamin, etnis, ras, negara
kelahiran.
- Keluhan penyerta
- Riwayat keluarga
- Riwayat obat
- Riwayat vaksinasi; tanggal dan jenis vaksinasi, jumlah dosis difteri toxoid
yang didapatkan, nama pabrik vaksin. Jika tidak divaksinasi, tanyakan
alasannya.
Pemeriksaan Fisis
- Inspeksi
- Palpasi
- Auskultasi
- Tanda vital
Pemeriksaan Penunjang Diphteriae
Jawaban :
DIFTERI
Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada
kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini.
Etiologi
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius
dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini
merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik.
Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa
diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen
B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim
translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) +
H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses
traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan.
Manifestasi Klinis
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada
tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39ºC.
Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih
sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan
pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam
adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat.
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum,
tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri
kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih
kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan
lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull
neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas
membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu
sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur
dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane
akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Difteri Laring
Diagnosis
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena
beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada
difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri
lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat
dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai
dari tonsil dan menyebar ke uvula.
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian
cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup
mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan
terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7
dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.
B. Pengobatan Khusus
Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji
kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes
larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan
garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif,
ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas
tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-
120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena
dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
2. Antibiotik
Dosis :
3. Kortikosteroid
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus
berat selama 14 hari.
C. Pengobatan Penyulit
D. Pengobatan Karier
Prognosis
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria,
pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian
pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis
prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis >
25.000/prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%)
menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) .
Pencegahan
MUMPS/PAROTITIS
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
PATOGENESIS
PATOLOGI
Masa inkubasi mumps antara 2-4 minggu, kebanyakan 16-18 hari. Gejala
prodromal mencakup demam ringan, anoreksia, malaise, sakit kepala. Dalam
waktu 1 hari timbul sakit telinga dan nyeri pada kelenjar parotis unilateral. Dalam
waktu 2-3 hari kelenjar parotis membesar dan mencapai ukuran maksimal disertai
nyeri hebat. Umumnya kelnjar parotis yang lain membesar 1-2 hari kemudian.
Pembesaran parotis bias menyebabkan trismus dan kesulitan menelan. Setelah
parotis membesar maksimal, demam dan nyeri berkurang dan kelenjar perotis
kembali ke ukuran normal dalam waktu 1 minggu.
KOMPLIKASI
DIAGNOSIS
PENATALAKSANAAN
PENCEGAHAN
TONSILO FARINGITIS
A. Definisi
B. Etiologi
C. Patogenesis
D. Manifestasi Klinik
E. Diagnosis
F. Tata laksana
Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala dan
mencegah terjadinya komplikasi.4 Faringitis streptococcus grup A merupakan
faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan
antibiotik. Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi
suportif yang dapat diberikan. Pemberian obat kumur dan obat hisap pada
anak cukup besar dapat mengurangi gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat
nyeri berlebih atau demam dapat diberikan paracetamol atau ibuprofen.1
Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut streptococcus grup A adalah
penisislin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau
benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB30 kg).
Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti pilihan pengganti penisislin
pada anak yang lebih kecil karena selain efeknya sama amoksisilin memiliki
rasa yang enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi 2 selama
6 hari1. Selain itu eritromisin 40mg/kgBB/hari, Klindamisin 30
mg/kgBB/hari, atau sefadroksil monohidrat 15 mg/kgBB/hari dapat
digunakan untuk pengobatan faringitis streptococcus pada penderita yang
alergi terhadap penisilin.4 Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah
digunakan secara luas untuk mengurangi frekuensi tonsillitis rekuren.
Indikator klinis yang digunakan adalah Children’s Hospital of Pittsburgh
Study yaitu tujuh atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan
antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau lebih episode infeksi tenggorok
yang diterapi antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau
lebih episode infeksi tenggorok yang diterapi dengan antibiotik selama 3
tahun sebelumnya. Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi
tambahan pada otitis media kronis dan berulang. Indikasi tonsiloadenektomi
yang lain adalah bila terjadi obstructive sleep apneu akibat pembesaran
adenotonsil.
G. Komplikasi Kejadian
Jawaban :
Penatalaksanaan awal
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan
sumbatan jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, dan
gangguan bicara.
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil,
yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan Tonsilitis
berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β
hemoliticus
6. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
7. Otitis media efusa / otitis media supurataif
Jawab:
Bahwasanya Rasulullah
Dia menjawab, ‘Sakit demam yang tidak ada keberkahan Allah padanya.’
Maka beliau bersabda, ‘Janganlah kamu mencela demam, karena ia
menghilangkan dosa anak Adam, sebagaimana alat pemanas besi mampu
menghilangkan karat’.
26) Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick
PA, penyunting. Fever: Basic mechanisms and management. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott-Raven;1997.h.215-3
27) Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit
Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18
28) Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176