Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehamilan merupakan suatu hasil dari proses fertilisasi atau penyatuan
(konsepsi) antara spermatozoa dan ovum lalu dilanjutkan dengan implantasi.
Selama masa kehamilan, hasil konsepsi akan bertumbuh dan berkembang
hingga cukup bulan hingga kemudian siap dilahirkan (Abdul Bari, 2008).
Kelahiran atau persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks
dan pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42
minggu), lahir spontan dengan persentasi kepala dalam kurun waktu 18 jam,
tanpa komplikasi baik pada ibu maupun janin (Prawihardjo S, 2008).
Setiap perempuan menginginkan persalinan berjalan dengan lancar dan
dapat melahirkan bayi dengan sempurna. Persalinan bisa saja berjalan secara
normal, namun tidak jarang proses persalinan mengalami hambatan dan harus
dilakukan melalui operasi besar yaitu pembedahan pada perut (Sectio
Caesarea atau yang biasa disebut dengan SC) (Sihombing dkk , 2017).
Menurut WHO peningkatan persalinan dengan operasi sesar terjadi dari
tahun ke tahun semenjak tahun 2007- 2008 yaitu 110.000 per kelahiran
diseluruh Asia (Sihombing dkk , 2017). Di Indonesia sendiri, angka kejadian
operasi sesar juga terus meningkat baik di rumah sakit pemerintah maupun di
rumah sakit swasta (Sihombing dkk , 2017). Menurut Data Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan terjadi kecenderungan
peningkatan operasi sesar di Indonesia dari tahun 1991 sampai tahun 2007
yaitu 1,3-6,8 persen. Persalinan sesar di kota jauh lebih tinggi dibandingkan di
desa yaitu 11 % dibandingkan 3,9 %. Berbagai survei juga ditemukan proporsi
persalinan sectio caesarea dirumah sakit di Bali dan Jakarta cukup tinggi
berada jauh dari standar yang ditentukan. Presentasi persalinan sectio
caesarea di rumah sakit pemerintah sebesar 20-25 % dari total persalinan
sedangkan untuk rumah sakit swasta sebesar 30-80 % dari semua persalinan
(Ningrum, 2011).

1
Beberapa penelitian terdahulu mengenai pentingnya menganalisa faktor-
faktor yang mempengaruhi pilihan ibu untuk melakukan persalinan SC antara
lain penelitian yang dilakukan oleh RA Mendoza-Sassi di Brasil.
Melihat kondisi tersebut diatas dan berdasarkan beberapa penelitian
terdahulu mengenai pentingnya menganalisa faktor-faktor yang
mempengaruhi pilihan persalinan sesar, maka perlu dikaji lebih mendalam
tentang karakteristik persalinan pada ibu hamil di daerah Klungkung tahun
2017..

1.2. Tujuan Penelitian

1.2.1. Tujuan Umum

Tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran karaktristik persalinan di RSUD Klungkung tahun
2017.
1.2.2. Tujuan Khusus

1.2.2.1 Untuk mengetahui angka kejadian kehamilan di RSUD


Klungkung tahun 2017.
1.2.2.2 Untuk mengetahui angka kejadian persalinan normal di
RSUD Klungkung tahun 2017.
1.2.2.3 Untuk mengetahui angka kejadian dengan operasi sesar di
RSUD Klungkung tahun 2017.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.2. PERSALINAN NORMAL

2
A. DEFINISI

Persalinan adalah suatu proses dimana bayi, plasenta, dan selaput ketuban
keluar dari uterus ibu. Persalinan normal adalah ketika bayi lahir melalui vagina
dengan letak belakang kepala atau ubun-ubun kecil, tanpa memakai alat atau
pertolongan istimewa, serta tidak melukai ibu maupun bayi, dan umumnya
berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam (Pribadi, Adhi. Mose CJ., 2008).
Kehamilan aterm adalah kehamilan yang berusia antara 37 sampai 42
minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Persalinan prematur adalah
kehamilan yang berusia 28 sampai 36 minggu, dimana hasil konsepsi dapat hidup
tetapi belum aterm atau cukup bulan dengan berat janin antara 1000-2500 gram.
Persalinan postmatur atau serotinus adalah kehamilan yang melebihi usia 42
minggu atau terjadi 2 minggu atau lebih dari waktu persalinan yang diperkirakan.
Persalinan immatur terjadi bila usia kehamilan kurang dari 28 minggu namun
lebih dari 20 minggu dengan berat janin antara 500-1000 gram, sedangkan abortus
adalah keluarnya hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan
dengan berat janin di bawah 500 gram atau umur kehamilan di bawah 20 minggu
(Pribadi, Adhi. Mose CJ., 2008).
B. Faktor Penyebab Mulainya Persalinan
Suatu persalinan ditandai dengan peningkatan aktivitas miometrium dari
aktivitas jangka panjang dan frekuensi rendah menjadi aktifitas tinggi dengan
frekuensi lebih tinggi. Kondisi ini menghasilkan suatu keadaan menipis dan
membukanya serviks uterus. Pada persalinan normal terdapat juga hubungan
antara waktu dengan perubahan biokimia jaringan ikat serviks yang menyebabkan
kontraksi uterus dan pembukaan serviks. Semua peristiwa tersebut terjadi sebelum
pecahnya ketuban (Gabbe, S.G,. et al, 2012).
Sebab-sebab terjadinya persalinan sampai kini masih merupakan teori-teori
yang kompleks. Terdapat beberapa teori yang sering dibicarakan antara lain
faktor-faktor hormonal, pengaruh prostaglandin, struktur uterus, sirkulasi uterus,
pengaruh saraf, dan faktor nutrisi dimana faktor-faktor ini dapat menyebabkan
persalinan dimulai. Perkembangan ilmu biokimia dan biofisika telah banyak

3
mengungkapkan proses dimulai dan berlangsungnya persalinan antara lain
penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Seperti diketahui progesteron
merupakan penenang bagi otot-otot uterus. Penurunan kadar kedua hormon ini
terjadi kira-kira 1-2 minggu sebelum persalinan dimulai. Selain itu kadar
prostaglandin dalam kehamilan dari minggu ke-15 hingga aterm meningkat
terlebih sewaktu persalinan (Pribadi, Adhi. Mose CJ., 2008).
Tiga faktor penting yang berperan selama persalinan adalah kekuatan
kontraksi ibu (his) dan kekuatan mengedan, kondisi jalan lahir, dan janin itu
sendiri. His adalah kekuatan kontraksi uterus karena otot-otot polos rahim bekerja
dengan baik. Sifat his yang baik dalah kontraksi simetris, fundus dominan,
terkoordinasi, dan relaksasi. Walaupun his merupakan kontraksi yang bersifat
fisiologis, sifat ini bertentangan dengan kontraksi fisologis lainnya karena bersifat
nyeri (Cunningham G.E, et al, 2014).
Tiap his di mulai sebagai gelombang dari salah satu sudut di mana tuba
masuk ke dalam dinding uterus. Di tempat tersebut ada suatu pacemaker darimana
gelombang tersebut berasal. Kontraksi ini bersifat involunter karena berada di
bawah pengaruh saraf intrinsik. Ini berarti bahwa seorang wanita tidak memiliki
kendali fisiologis terhadap frekuensi dan durasi kontraksi. Kontraksi uterus juga
bersifat intermiten sehingga ada periode relaksasi uterus di antara kontraksi.
Fungsi penting relaksasi, yaitu: mengistirahatkan otot uterus, memberi
kesempatan istirahat bagi ibu, mempertahankan kesejahteraan bayi karena uterus
menyebabkan konstriksi pembuluh darah plasenta. Kontraksi yang sempurna
adalah kontraksi yang simetris dengan dominasi di fundus uteri, dan mempunyai
amplitudo 40-60 mmHg yang berlangsung selama 60-90 detik dengan jangka
waktu kontraksi 2-4 menit, dan pada relaksasi tonus uterus kurang dari 12 mmHg.
Walaupun diagnosis banding antara persalinan palsu dan persalinan sejati kadang
sulit di tentukan, diagnosis biasanya di buat berdasarkan kontraksi yang terjadi
(Pribadi, Adhi. Mose CJ., 2008).
Setelah pembukaan lengkap dan selaput ketuban telah pecah atau
dipecahkan, serta sebagian presentasi sudah berada di dasar panggul, sifat
kontraksi berubah, yakni bersifat mendorong keluar dibantu dengan keinginan ibu

4
untuk mengedan. Keinginan mengedan ini di sebabkan karena kontraksi otot-otot
dinding perut yang mengakibatkan peninggian tekanan intra abdominal dan
tekanan ini menekan uterus pada semua sisi dan menambah kekuatan untuk
mendorong keluar. Tenaga ini serupa dengan tenaga mengedan sewaktu buang air
besar, tetapi jauh lebih kuat. Saat kepala bayi sampai ke dasar panggul, timbul
refleks yang mengakibatkan ibu menutup glotisnya, mengkontraksikan otot-otot
perut dan menekan diafragma ke bawah. Tenaga mengedan ini hanya dapat
berhasil bila pembukaan sudah lengkap dan paling efektif sewaktu ada his. Tanpa
tenaga menegedan bayi tidak akan lahir (Cunningham G.E, et al, 2014).
C. Tahapan Persalinan Normal
Proses persalinan terdiri dari 4 kala yaitu kala I, kala II, kala III, dan kala
IV. Kala I merupakan kala yang terdiri dari 2 fase yakni fase laten dan fase aktif,
dimana waktu untuk pembukaan serviks pada kala ini yakni sampai menjadi
pembukaan lengkap 10 cm. Kala II meliputi proses pengeluaran janin, sewaktu
uterus dengan kekuatan his dan juga kekuatan mengedan mendorong janin hingga
lahir. Kala III adalah waktu untuk pelepasan dan pengeluaran plasenta disertai
dengan pengeluaran darah kira-kira 100-200 cc, serta yang terakhir adalah kala IV
yakni kala pengawasan selama 2 jam setelah bayi dan plasenta lahir untuk
mengamati keadaan ibu terutama terhadap perdarahan postpartum (Sofian A.
Rustam M., 2011).
Kala I
Secara klinis dinyatakan persalinan dimulai apabila timbul his dan wanita
tersebut mengeluarkan lendir yang bercampur darah (bloody show). Lendir ini
berasal dari lendir kanalis servikalis yang mulai membuka atau mendatar.
Sedangkan darah berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler yang berada disekitar
kanalis servikalis yang pecah karena pergeseran-pergeseran ketika serviks
membuka. Proses membukanya serviks sebagai akibat his dibagi dalam 2 fase.
Fase laten. Berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi sangat lambat sampai
mencapai ukuran diameter 3 cm. Selama fase ini, orientasi dari kontraksi uterus
adalah perlunakan serviks serta penipisan (efficement). Kriteria minimal Friedman

5
untuk memasuki fase aktif adalah pembukaan dengan laju 1,2 cm/jam untuk
nullipara, serta 1,5 cm/jam untuk multipara (Cunningham G.E, et al, 2014).
Fase aktif. Dibagi dalam 3 fase, yakni:
a. Fase akselerasi. Dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm menjadi 4 cm.
b. Fase dilatasi maksimal. Dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung
sangat cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm.
c. Fase deselerasi. Pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam waktu 2 jam
pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap.
Mekanisme membukanya serviks berbeda antara primigravida dengan
multigravida. Pada primigravida, ostium uteri internum akan membuka terlebih
dahulu sehingga serviks akan mendatar dan menipis, kemudian ostium uteri
eksternum membuka. Pada multigravida ostium uteri internum sudah sedikit
terbuka, sehingga pembukaan ostium uteri internum dan eksternum serta
penipisan dan pendataran serviks terjadi dalam waktu bersamaan. Ketuban akan
pecah sendiri ketika pembukaan hampir atau telah lengkap. Tidak jarang ketuban
harus di pecahkan ketika pembukaan hampir lengkap atau telah lengkap. Kala I
selesai apabila pembukaan serviks uteri sudah lengkap (Pribadi, Adhi. Mose CJ.,
2008).
Kala II
Pada kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira satu kali setiap
2 sampai 3 menit. Karena biasanya kepala janin sudah masuk di ruang panggul,
secara reflektoris timbul rasa ingin mengedan. Tekanan pada rektum juga
menimbulkan perasaan hendak buang air besar sehingga perineum mulai
menonjol dan menjadi lebar dengan anus membuka. Labia mulai membuka dan
tidak lama kemudian kepala janin tampak dalam vulva pada waktu his. Bila dasar
panggul sudah lebih berelaksasi, kepala janin tidak akan masuk lagi di luar his.
Kemudian dengan his dan kekuatan mengedan maksimal, kepala janin dilahirkan
dengan suboksiput di bawah simfisis dan secara berurutan lahir dahi, muka, dan
dagu melewati perineum. Setelah istirahat sebentar, his mulai lagi untuk
mengeluarkan badan dan ekstremitas bayi. Pada primigravida kala II berlangsung

6
rata-rata 1,5 jam dan pada multipara rata-rata 30 menit (Pribadi, Adhi. Mose CJ.,
2008).
Kala III
Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas
pusat. Beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan
plasenta dari dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6 sampai 15 menit
setelah bayi lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri.
Pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran darah (Pribadi, Adhi. Mose CJ.,
2008).
Kala IV
Kala IV adalah kala dimana ibu pasca melahirkan dipantau selama 1-2 jam
untuk melihat apakah terjadi perdarahan postpartum atau tidak. Pada saat ini juga
dilakukan pemantauan tanda vital untuk mengetahui keadaan umum ibu (Pribadi,
Adhi. Mose CJ., 2008).
D. Mekanisme Persalinan Normal
Hampir 96% janin berada dalam uterus dengan presentasi kepala dan pada
presentasi kepala ini ditemukan ± 58% ubun-ubun kecil terletak di kiri depan, ±
23% di kanan depan, ± 11% di kanan belakang, dan ± 8% di kiri belakang.
Keadaan ini mungkin disebabkan terisinya ruangan di sebelah kiri belakang oleh
kolon sigmoid dan rektum. Menjadi pertanyaan mengapa janin dengan persentasi
tinggi berada dalam uterus dengan presentasi kepala. Keadaan ini mungkin
disebabkan karena kepala relatif lebih besar dan lebih berat. Mungkin pula karena
bentuk uterus sedemikian rupa sehingga volume bokong dan ekstremitas yang
lebih besar berada di atas, yaitu di ruangan yang lebih luas sedangkan kepala
berada di bawah, di ruangan yang lebih sempit. Hal ini dikenal sebagai teori
akomodasi (Pribadi, Adhi. Mose CJ., 2008).
Persalinan diawali dengan adanya peristiwa engagement, dimana diameter
biparietal yang merupakan diameter melintang dalam presentasi occiput melewati
rongga pelvis. Kepala janin akan masuk pada beberapa minggu terakhir
kehamilan. Masuknya kepala melintasi pintu atas panggul dapat dalam keadaan
sinklitismus, yaitu bila sumbu kepala janin tegak lurus dengan bidang pintu atas

7
panggul. Dapat pula kepala masuk dalam keadaan asinklitismus, yaitu arah sumbu
kepala janin miring dengan bidang pintu atas panggul. Asinklitismus anterior
menurut Naegele ialah apabila arah sumbu kepala membuat sudut lancip ke depan
dengan pintu atas panggul. Dapat pula asinklitismus posterior menurut Litzman
yaitu keadaan sebaliknya dari asinklitismus anterior. Keadaan asinklitismus
anterior lebih menguntungkan daripada mekanisme turunnya kepala dengan
asinklitismus posterior karena ruangan pelvis di daerah posterior lebih luas
dibandingkan dengan ruangan pelvis di daerah anterior. Hal asinklitismus penting
apabila daya akomodasi panggul agak terbatas (Pribadi, Adhi. Mose CJ., 2008).
Kemudian janin akan menurun oleh karena adanya dorongan dari kontraksi
fundus uterus. Akibat sumbu kepala janin yang eksentrik atau tidak simetris,
dengan sumbu lebih mendekati suboksiput, dan tahanan oleh jaringan dibawah
terhadap kepala yang akan menurun, maka kepala akan mengadakan fleksi di
dalam rongga panggul menurut hukum Koppel. Dengan fleksi kepala janin
memasuki ruang panggul dengan ukuran yang paling kecil, yakni dengan diameter
suboksipitobregmatikus (9,5cm) dan sirkumferensia suboksipitobregmatikus (32
cm). Sampai di dasar panggul kepala janin berada dalam keadaan fleksi maksimal.
Kepala yang sedang turun menemui diafragma pelvis yang berjalan dari belakang
atas ke bawah depan. Akibat kombinasi elastisitas diafragma pelvis dan tekanan
intrauterin disebabkan oleh his yang berulang-ulang, kepala mengadakan rotasi
yang disebut juga putaran paksi dalam. Pada saat melakukan rotasi, ubun-ubun
kecil berada di bawah simfisis. Sesudah kepala janin sampai di dasar panggul dan
ubun-ubun kecil di bawah simfisis, maka dengan suboksiput sebagai hipomoklion,
kepala mengadakan gerakan defleksi untuk dapat dilahirkan. Pada tiap his, vulva
lebih membuka dan kepala janin makin tampak. Perineum menjadi lebih melebar,
berturut-turut tampak bregma, dahi, muka, dan akhirnya dagu. Sesudah kepala
lahir, Kepala segera mengadakan rotasi yang disebut putaran paksi luar. Putaran
paksi luar ini ialah gerakan kembali sebelum putaran paksi dalam terjadi, untuk
menyesuaikan kedudukan kepala dengan punggung anak (Pribadi, Adhi. Mose
CJ., 2008).

8
Bahu melintasi pintu atas panggul dalam keadaan miring. Di dalam rongga
panggul, bahu akan menyesuaikan diri dengan bentuk panggul yang dilaluinya,
sehingga di dasar panggul, apabila kepala telah dilahirkan, bahu akan berada
dalam posisi depan belakang. Selanjutnya dilahirkan bahu depan terlebih dahulu,
kemudian bahu belakang. Demikian pula dilahirkan trokanter depan terlebih
dahulu, kemudian trokanter belakang. Kemudian bayi lahir seluruhnya
(Cunningham G.E, et al, 2014).
Apabila bayi telah lahir, segera jalan nafas dibersihkan. Tali pusat dijepit
diantara 2 cunam pada jarak 5 cm dan 10 cm. Kemudian di gunting diantara kedua
cunam tersebut, lalu diikat. Jepit tali pusat diberi antiseptik. Umumnya bila telah
lahir lengkap, bayi akan segera menarik napas dan menangis. Resusitasi dengan
jalan membersihkan dan mengisap lendir pada jalan napas harus segera dikerjakan
(Cunningham G.E, et al, 2014).
Bila bayi telah lahir, uterus akan mengecil. Persalinan berada dalam kala
III atau kala uri. Kala ini tidak kalah pentingnya dengan kala I dan II, sebab
kematian ibu karena perdarahan pada kala uri tidak jarang terjadi sebab pimpinan
kala II kurang cermat diterapkan. Seperti telah dikemukakan, segera setelah bayi
lahir, his mempunyai amplitudo yang kira-kira sama tingginya, hanya
frekuensinya yang berkurang. Akibat his ini uterus akan mengecil, sehingga
perlekatan plasenta dengan dinding uterus akan terlepas. Lepasnya plasenta dari
dinding uterus ini dapat dimulai dari tengah (sentral) menurut Schultze, pinggir
(marginal) menurut Mathews-Duncan, atau kombinasi keduanya. Yang terbanyak
adalah pelepasan menurut Schultze. Umumnya pada kala II berlangsung selama 6
sampai 15 menit. Tinggi fundus uteri setelah kala III kira-kira 2 jari di bawah
pusat (Cunningham G.E, et al, 2014).
E. Pemantauan Persalinan Dengan Partograf WHO
Partograf WHO adalah alat bantu untuk memantau kemajuan kala satu
persalinan dan informasi untuk membuat keputusan klinik. Tujuan utama dari
penggunaan partograf adalah untuk (Keman, K., 2008):
1. Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai
pembukaan serviks melalui periksa dalam.

9
2. Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal. Dengan
demikian juga dapat mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya
persalinan lama.
3. Data pelengkap yang terkait dengan pemantauan kondisi ibu, kondisi bayi,
grafik kemajuan proses persalinan, bahan dan medikamentosa yang diberikan,
pemeriksaan laboratorium, membuat keputusan klinik dan asuhan atau
tindakan yang diberikan dimana semua itu dicatatkan secara rinci pada status
atau rekam medik ibu bersalin dan bayi baru lahir.
Jika digunakan dengan tepat dan konsisten, partograf akan membantu
penolong persalinan untuk :
1. Mencatat kemajuan persalinan
2. Mencatat kondisi ibu dan janinnya
3. Mencatat asuhan yang diberikan selama persalinan dan kelahiran
4. Menggunakan informasi yang tercatat untuk identifikasi dini penyulit
persalinan
5. Menggunakan informasi yang tersedia untuk membuat keputusan klinik yang
sesuai dan tepat waktu.
Partograf harus digunakan kepada semua ibu bersalin dalam fase ahtif kala I
dan merupakan elemen penting dari asuhan persalinan. Partograf harus digunakan
untuk semua persalinan baik normal maupun patologis. Partograf sangat
membantu penolong persalinan dalam memantau, mengevaluasi dan membuat
keputusan klinik baik persalinan dengan penyulit maupun yang tidak disertai
dengan penyulit. Penggunaan partograf secara rutin dapat memastikan bahwa ibu
dan bayi mendapatkan asuhan yang aman, adekuat dan tepat waktu derta
membantu mencegah terjadinya penyulit yang mengancam keselamatan ibu
maupun bayi (Keman, K., 2008).
Pencatatan Temuan Pada Partograf
a. Informasi Tentang Ibu
Lengkapi bagian awal (atas) partograf secara teliti pada saat memulai
asuhan persalinan. Waktu kedatangan (tertulis sebagai: ‘jam atau pukul’ pada

10
partograf) dan perhatikan kemungkinan ibu datang dalam fase laten. Catat waktu
pecahnya selaput ketuban (Keman, K., 2008).

b. Kondisi Janin
Bagan atas grafik pada partograf adalah untuk pencatatan denyut jantung
janin (DJJ), air ketuban dan penyusupan kepala janin (Keman, K., 2008).
 Denyut Jantung Janin
- Nilai dan catat denyut jantung janin (DJJ) setiap 30 menit (lebih sering
jika ada tanda-tanda gawat janin).
- Setiap kotak di bagian atas partograf menunjukkan waktu 30 menit.
- Skala angka di sebelah kolom paling kiri menunjukkan DJJ
- Catat DJJ dengan memberi tanda titik pada garis yang sesuai dengan
angka yang menunjukkan DJJ.
- Hubungkan yang satu dengan titik lainnya dengan garis tegas dan
bersambung
- Penolong harus waspada bila DJJ mengarah hingga dibawah 120 atau
diatas 160.
Warna dan adanya air ketuban

- Nilai air kondisi ketuban setiap kali melakukan periksa dalam dan nilai
warna air ketuban jika selaput ketuban pecah.
- Catat temuan-temuan dalam kotak yang sesuai di bawah lajur DJJ.
- Gunakan lambang-lambang berikut ini:
U : selaput ketuban masih utuh (belum pecah)
J : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban jernih
M : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur
mekonium
D : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur darah
K : selaput ketuban sudah pecah tapi air ketuban tidak mengalir
lagi (kering)
 Penyusupan (molase) tulang kepala janin

11
- Penyusupan adalah indikator penting tentang seberapa jauh kepala bayi
dapat menyesuaikan diri terhadap bagian keras panggul ibu
- Semakin bear derajat penyusupan atau tumpang-tindih antar tulamg
kepala semakin menunjukkan risiko disproporsi kepala-panggul (CPD)
- Gunakan lambang-lambang berikut ini :
0 :Tulang-tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dapat di
palpasi
1 :Tulang-tulang kepala janin hanya saling bersentuhan
2 :Tulang-tulang kepala janin saling tumpang-tindih tetapi masih dapat di
pisahkan
3 :Tulang-tulang kepala janin saling tumpang-tindih dan tidak dapat di
pisahkan
c. Kemajuan Persalinan
 Pembukaan Serviks
Nilai dan catat pembukaan serviks setiap 4 jam (lebih sering dilakukan jika
ada tanda-tanda penyulit). Saat ibu berada dalam fase aktif persalinan, catat pada
partograf setiap temuan dari setiap pemeriksaan. Tanda ‘’ harus dicantumkan di
garis waktu yang sesuai dengan lajur besarnya pembukaan serviks. Hubungkan
tanda ‘’ dari setiap pemeriksaan dengan garis utuh (tidak terputus) (Keman, K.,
2008).
 Penurunan Bagian Terbawah Janin
Setiap kali melakukan periksa dalam (setiap 4 jam), atau lebih sering (jika
ditemukan tanda-tanda penyulit). Cantumkan hasil pemeriksaan penurunan kepala
(perlimaan) yang menunjukkan seberapa jauh bagian terbawah janin telah
memasuki rongga panggul. Pada persalinan normal, kemajuan pembukaan serviks
selalu diikuti dengan turunnya bagian terbawah janin. Tapi ada kalanya,
penurunan bagian terbawah janin baru terjadi setelah pembukaan serviks
mencapai 7 cm. Tulisan “Turunnya kepala” dan garis tidak terputus dari 0-5,
tertera di sisi yang sama dengan angka pembukaan serviks. Berikan tanda ‘O’
yang ditulis pada garis waktu yang sesuai. Sebagai contoh, jika hasil pemeriksaan
palpasi kepala di atas simfisi pubis adalah 4/5 maka tuliskan tanda “O” di garis

12
angka 4. Hubungkan tanda ‘O’ dari setiap pemeriksaan dengan garis tidak
terputus (Keman, K., 2008).
 Garis Waspada dan Garis Bertindak
Garis waspada dimulai pada pembukaan serviks 4 cm dan berakhir pada
titik dimana pembukaan lengkap diharapkan terjadi jika laju pembukaan adalah 1
cm per jam. Pencatatan selama fase aktif persalinan harus dimulai di garis
waspada. Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada
(pembukaan kurang dari 1 cm per jam), maka harus dipertimbangkan adanya
penyulit (misalnya : fase aktif yang memanjang, serviks kaku, atau inersia uteri
hipotonik, dan lain-lain). Garis bertindak tertera sejajar dan di sebelah kanan
(berjarak 4 jam) garis waspada. Jika pembukaan serviks telah melampaui dan
berada di sebelah kanan garis bertindak maka hal ini menunjukkan perlu
dilakukan tindakan untuk menyelesaikan persalinan (Keman, K., 2008).

d. Kontraksi Uterus
- Periksa frekuensi dan lama kontraksi uterus setiap jam selama fase laten dan
setiap 30 menit selama fase aktif.
- Nilai frekuensi dan lama kontraksi yang terjadi dalam 10 menit observasi.
- Catat lamanya kontraksi menggunakan lambang yang sesuai:

 20 detik 20–40 detik  40 detik


- Catat temuan-temuan di kotak yang sesuai dengan waktu penilaian.
e. Obat-obatan dan cairan yang diberikan
Dibawah lajur kotak observasi kontraksi uterus tertera lajur kotak untuk
mencatat oksitosin, obat-obat lainnya dan cairan IV(Keman, K., 2008).

 Oksitosin

13
Jika tetesan (drip) oksitosin sudah dimulai, dokumentasikan setiap 30 menit
jumlah unit oksitosin yang diberikan per volume cairan IV dan dalam satuan
tetesan per menit.
 Obat-obatan lain dan cairan IV
Catat semua pemberian obat-obatan tambahan dan/atau cairan IV dalam kotak
yang sesuai dengan kolom waktunya.
f. Kondisi Ibu
Bagian terbawah lajur dan kolom pada halaman depan partograf, terdapat
kotak atau ruang untuk mencatat kondisi kesehatan dan kenyamanan ibu selama
persalinan (Keman, K., 2008).
 Nadi, tekanan darah dan suhu tubuh
Angka di sebelah kiri bagian partograf ini berkaitan dengan nadi dan tekanan
darah ibu.
- Nilai dan catat nadi ibu setiap 30 menit selama fase aktif persalinan (lebih
sering jika diduga adanya penyulit). Beri tanda titik () pada kolom waktu yang
sesuai.
- Nilai dan catat tekanan darah ibu setiap 4 jam selama fase aktif persalinan
(lebih sering jika diduga adanya penyulit. Beri tanda panah pada partograf pada
kolom waktu yang sesuai: 
- Nilai dan catat temperatur tubuh ibu (lebih sering jika terjadi peningkatan
mendadak atau diduga adanya infeksi) setiap 2 jam dan catat temperatur tubuh
pada kotak yang sesuai.
 Volume urin, protein dan aseton
Ukur dan catat jumlah produksi urin ibu sedikitnya setiap 2 jam (setiap kali ibu
berkemih). Jika memungkinkan, setiap kali ibu berkemih, lakukan pemeriksaan
aseton dan protein dalam urin.
Pencatatan Pada Lembar Belakang Partograf (Keman, K., 2008).
Catatan persalinan adalah terdiri dari unsur-unsur berikut:
a. Data atau informasi umum - data dasar terdiri dari tanggal, nama bidan, tempat
persalinan, alamat tempat persalinan, catatan dan alasan merujuk, tempat
rujukan dan pendamping pada saat merujuk.

14
b. Kala I - terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang partograf saat melewati
garis waspada, masalah-masalah lain yang timbul, penatalaksanaannya, dan
hasil penatalaksanaan tersebut.
c. Kala II - terdiri dari episiotomi, pendamping persalinan, gawat janin, distosia
bahu, masalah lain, penatalaksanaan masalah dan hasilnya.
d. Kala III - terdiri dari lamanya kala III, pemberian oksitosin, penegangan tali
pusat terkendali, rangsangan pada fundus, kelengkapan plasenta saat
dilahirkan, retensio plasenta yang > 30 menit, laserasi, atonia uteri, jumlah
pendarahan, masalah lain, penatalaksanaan dan hasilnya.
e. Bayi baru lahir - informasi yang perlu di peroleh dari bagian bayi baru lahir
adalah berat dan panjang badan, jenis kelamin, penilaian bayi baru lahir,
pemberian ASI, masalah lain dan hasilnya.
f. Kala IV – terdiri dari data tentang tekanan darah, nadi, temperatur, tinggi
fundus, kontraksi uterus, kandung kemih dan pendarahan. Pemantauan pada
kala IV ini sangat penting, terutama untuk menilai deteksi dini risiko atau
kesiapan penolong mengantisipasi komplikasi pendarahan pasca persalinan.
Pemantauan kala IV dilakukan setiap 15 menit dalam 1 jam pertama setelah
melahirkan dan setiap 30 menit pasa 1 jam berikutnya.
F. Pimpinan Persalinan
Pimpinan persalinan yang normal terbagi dalam 4 kala sesuai dengan
mekanisme persalinan normal (Sofian A. Rustam M., 2011):
1. Kala I
Dalam kala I, pekerjaan dokter, bidan, atau penolong persalinan adalah
mengawasi wanita inpartu sebaik-baiknya dan melihat apakah semua persiapan
untuk persalinan sudah dilakukan. Pemberian obat atau tindakan hanya apabila
ada indikasi untuk ibu maupun anak. Pada seorang primigravida aterm umumnya
kepala janin sudah masuk pintu atas panggul pada kehamilan 36 minggu,
sedangkan pada multigravida baru pada kehamilan 38 minggu. Pada kala I,
apabila kepala janin telah masuk sebagian ke dalam pintu atas panggul serta
ketuban belum pecah, wanita tersebut dapat dipersilahkan duduk atau berjalan-
jalan di sekitar kamar bersalin. Akan tetapi, pada umumnya wanita lebih suka

15
berbaring karena sakit yang dirasakan ketika muncul his. Berbaring sebaiknya ke
sisi, tempat punggung janin berada. Cara ini mempermudah turunnya kepala dan
putaran paksi dalam. Apabila kepala janin belum turun ke dalam pintu atas
panggul, sebaiknya wanita tersebut berbaring terlentang, karena bila ketuban
pecah, mungkin terjadi komplikasi-komplikasi, seperti prolaps tali pusat, prolaps
tangan, dan sebagainya. Apabila his sudah sering dan ketuban sudah pecah,
wanita tersebut harus berbaring.
Pemeriksaan luar untuk menentukan letak janin dan turunnya kepala
hendaknya dilakukan untuk memeriksa kemajuan persalinan, disamping dapat
dilakukan pula pemeriksaan rektal atau pervaginam. Hasil pemeriksaan
pervaginam juga disebut pemeriksaan dalam harus menyokong dan lebih merinci
apa yang dihasilkan oleh pemeriksaan luar. Harus disadari bahwa tiap
pemeriksaan dalam pada waktu persalinan selalu menimbulkan bahaya infeksi dan
rasa nyeri pada Pasien. Akan tetapi hal-hal tersebut jangan sampai menghalangi
untuk menjalankan pemeriksaan dalam yang diperlukan untuk menilai vagina
(terutama dindingnya, menyempit atau tidak), keadaan dan pembukaan serviks,
kapasitas panggul, ada tidaknya penghalang jalan lahir, sifat fluor albus, dan
adanya penyakit (bartholinitis, urethritis, sistitis, dan sebagainya), ketuban,
presentasi kepala janin, turunnya kepala dalam ruang panggul, penilaian besar
kepala terhadap panggul, dan menilai kelangsungan persalinan.
Pemeriksaan per rektum baik untuk menilai turunnya kepala, tetapi kurang
baik untuk menilai ketuban, keadaan serviks, serta posisi dan presentasi kepala.
Pemeriksaan per rektum dapat mengurangi infeksi eksogen (dari luar), tetapi dapat
menimbulkan infeksi endogen (dari dalam) bila pemeriksaan kurang
memperhatikan asepsis dan antisepsis dan menggosok-gosok dengan jari dinding
vagina bagian belakang yang pada umumnya mengandung kuman-kuman ke
dalam pembukaan serviks. Pada pemeriksaan per vaginam kemungkinan infeksi
eksogen dapat diperkecil bila pemeriksa memperhatikan asepsis dan antisepsis
dengan memakai sarung tangan steril dan dapat menggunakan krem dettol atau
sejenis. Mengingat adanya kemungkinan menimbulkan infeksi, maka pemeriksaan

16
dalam hendaknya hanya dilakukan bila ada indikasi ibu maupun janin atau bila
akan diadakan tindakan di samping perlu untuk mengetahui kemajuan persalinan.
Dalam kala I wanita dalam keadaan inpartu dilarang mengedan. Sebaiknya
sebelumnya dilakukan dahulu lavement. Lazimnya dimasukkan 20 sampai 40 ml
gliserin ke dalam rektum dengan penyemprot klisma atau diberi suppositoria. Jika
tidak diberi klisma, skibala di rektum akan membuat wanita tersebut mengedan
sebelum waktunya. Skibala di rektum juga akan menghalangi rotasi kepala yang
baik pada kala I.

2. Kala II
Kala II dimulai jika pembukaan serviks telah lengkap. Umumnya pada akhir
kala I atau permulaan kala II dengan kepala janin sudah masuk dalam ruang
panggul, ketuban akan pecah sendiri. Bila ketuban belum pecah, ketuban harus
dipecahkan. Kadang-kadang pada permulaan kala II ini, wanita tersebut mau
muntah disertai timbulnya rasa mengedan yang kuat. Di samping his, wanita
tersebut harus dipimpin untuk mengedan pada waktu ada his. Selain itu, denyut
jantung janin juga harus sering diawasi.
Ada dua cara mengedan yang baik, yaitu (Saifuddin, Abdul Bari., 2008):
1. Wanita tersebut dalam letak terbaring merangkul kedua pahanya sampai batas
siku. Kepala sedikit diangkat, sehingga dagunya mendekati dadanya dan ia
dapat melihat perutnya.
2. Sikap seperti diatas, tetapi badan dalam posisi miring ke kiri atau ke kanan,
tergantung pada letak punggung anak. Hanya satu kaki dirangkul, yakni kaki
berada di atas. Posisi ini baik dilakukan bila putaran paksi dalam belum
sempurna. Dokter atau penolong persalinan berdiri pada sisi kanan wanita
tersebut.
Bila kepala janin telah sampai di dasar panggul, vulva mulai membuka.
Rambut dan kepala janin mulai tampak. Perineum dan anus tampak mulai
meregang. Perineum mulai lebih tinggi, sedangkan anus mulai membuka. Anus
pada awalnya berbentuk bulat, kemudian berbentuk seperti huruf D. Yang tampak
dalam anus adalah dinding depan rektum. Perineum harus ditahan dan bila tidak,

17
dapat menyebabkan ruptur Perineum, terutama pada primigravida. Perineum
ditahan dengan tangan kanan dan sebaiknya dilapisi dengan kain steril.
Episiotomi dianjurkan untuk dilakukan pada primigravida atau pada wanita
dengan perineum yang kaku. Episiotomi ini dilakukan bila perineum telah
menipis dan kepala janin tidak masuk kembali ke dalam vagina. Ketika kepala
janin akan mengadakan defleksi dengan suboksiput di bawah simfisis sebagai
hipomoklion, sebaiknya tangan kiri menahan bagian belakang kepala dengan
maksud agar gerakan defleksi tidak terlalu cepat. Dengan demikian, ruptura
perineum dapat dihindarkan. Untuk mengawasi perineum ini, posisi miring (Sims
position) lebih menguntungkan dibandingkan dengan posisi biasa. Akan tetapi,
bila perineum jelas telah tipis dan menunjukkan akan timbul ruptura perineum,
maka sebaiknya dilakukan episiotomi. Ada beberapa teknik untuk melakukan
episiotomi, antara lain episiotomi mediana, dikerjakan pada garis tengah,
episiotomi mediolateral, dikerjakan pada garis tengah yang dekat muskulus
sfingter ani yang diperluas ke sisi, episiotomi lateral dimana sering menimbulkan
perdarahan.
Keuntungan episiotomi mediana ialah tidak menimbulkan perdarahan
banyak dan penjahitan kembali lebih mudah, sehingga sembuh per primam dan
hampir tidak berbekas. Bahaya yang dapat terjadi ialah dapat menimbulkan
ruptura perinei totalis. Dalam hal ini muskulus sfingter ani eksternus dan rektum
ikut robek pula. Perawatan ruptura perinei totalis harus dikerjakan serapi-rapinya,
agar jangan sampai gagal dan timbul inkontinensia alvi. Untuk menghindarkan
robekan perineum kadang-kadang dilakukan perasat menurut Rintgen, yaitu bila
perineum meregang dan menipis, tahan kiri menahan dan menekan bagian
belakang kepala janin ke arah anus. Tangan kanan pada perineum. Dengan ujung
jari-jari tangan kanan tersebut melalui kulit perineum dicoba menggait dagu janin
dan ditekan ke arah simfisis dengan hati-hati. Dengan demikian, kepala janin
dilahirkan perlahan-lahan keluar. Setelah kepala lahir diselidiki apakah tali pusat
mengadakan lilitan pada leher janin. Bila terdapat lilitan dilonggarkan, bila sukar
dapat dilepaskan dengan cara menjepit tali pusat dengan 2 cunam Kocher,
kemudian diantaranya dipotong dengan gunting yang tumpul ujungnya. Setelah

18
kepala lahir, kepala akan mengadakan putar paksi luar ke arah letak punggung
janin. Usaha selanjutnya ialah melahirkan bahu janin. Mula-mula dilahirkan bahu
depan, dengan kedua telapak tangan pada samping kiri dan kanan kepala janin.
Kepala janin ditarik perlahan-lahan ke arah anus sehingga bahu depan lahir. Tidak
dibenarkan penarikan yang terlalu keras dan kasar oleh karena dapat
menimbulkan robekan pada muskulus sternokleidomastoideus. Kemudian, kepala
janin diangkat kearah simfisis untuk melahirkan bahu belakang.
Setelah kedua bahu janin dapat dilahirkan, maka usaha selanjutnya ialah
melahirkan badan janin, trokanter anterior disusul oleh trokanter posterior. Usaha
ini tidak sesukar usaha melahirkan kepala dan bahu janin oleh karena ukuran-
ukurannya lebih kecil. Dengan kedua tangan dibawah ketiak janin dan sebagian di
punggung atas, berturut-turut dilahirkan badan, trokanter anterior, dan trokanter
posterior. Setelah janin lahir, bayi sehat dan normal umumnya segera menarik
napas dan menangis keras. Kemudian bayi diletakkan dengan kepala ke bawah
kira-kira membentuk sudut 30 derajat dengan bidang datar. Lendir pada jalan
napas segera dibersihkan atau diisap dengan pengisap lendir. Tali pusat digunting
5 sampai 10 cm dari umbilikus. Dengan cara, tali pusat dijepit 2 cunam Kocher
pada jarak 5 dan 10 cm dari umbilikus. Bila ada kemungkinan akan diadakan
transfusi pertukaran pada bayi maka pemotongan tali pusat diperpanjang sampai
antara 10-15 cm . Di antara kedua cunam tersebut tali pusat digunting dengan
yang berujung tumpul. Ujung tali pusat bagian bayi didesinfeksi dan diikat dengan
kuat. Hal ini harus diperhatikan karena ikatan kurang kuat dapat terlepas dan
perdarahan dari tali pusat masih dapat terjadi yang dapat membahayakan bayi
tersebut. Kemudian diperhatikan kandung kencing, bila penuh dilakukan
pengosongan kandung kencing, jika bisa wanita tersebut kencing sendiri.
Kandung kencing yang penuh dapat menimbulkan atonia uteri dan mengganggu
pelepasan plasenta, yang berarti dapat menimbulkan perdarahan postpartum.
3. Kala III
Kala III ini, seperti telah dijelaskan, tidak kalah pentingnya dengan kala I
dan kala II. Ketidakhati-hatian dalam memimpin kala II dapat mengakibatkan
kematian karena perdarahan. Kala uri dimulai sejak bayi lahir lengkap sampai

19
plasenta lahir lengkap. Terdapat dua tingkat kelahiran plasenta, yang pertama
ialah melepasnya plasenta dari implantasinya pada dinding uterus dan dilanjutkan
dengan pengeluaran plasenta dari kavum uteri. Seperti telah disebut diatas, setelah
janin lahir uterus masih mengadakan kontraksi yang mengakibatkan pengecilan
permukaan kavum uteri tempat implantasi plasenta. Hal ini mengakibatkan
plasenta akan lepas dari tempat implantasinya. Pelepasan ini dapat dimulai dari
tengah menurut Schultze atau dari pinggir menurut Mathews-Duncan atau
serempak dari tengah dan pinggir plasenta. Cara yang pertama ditandai oleh
makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina, tanda ini dikemukakan oleh
Ahlfield, tanpa adanya perdarahan pervaginam, sedangkan cara yang kedua
ditandai oleh adanya perdarahan dari vagina apabila plasenta mulai terlepas.
Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml. Bila lebih, maka hal ini patologik.
Apabila plasenta lahir, umumnya otot-otot uterus segera berkontraksi menjepit
pembuluh-pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan segera berhenti.
Pada keadaan normal menurut Caldeyro-Barcia, plasenta akan lahir spontan
dalam waktu ± 6 menit setelah anak lahir lengkap.1 Untuk mengetahui apakah
plasenta telah lepas dari tempat implantasinya, dipakai beberapa perasat antara
lain:
1. Perasat Kustner. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali pusat,
tangan kiri menekan daerah di atas simfisis. Bila tali pusat ini masuk kembali
dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus. Perasat ini
hendaknya dilakukan secara hati-hati. Apabila hanya sebagian plasenta
terlepas, perdarahan banyak akan dapat terjadi.
2. Perasat Strassmann. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali
pusat, tangan kiri mengetok-ngetok fundus uteri. Bila terasa ada getaran pada
tali pusat yang diregangkan ini, berarti plasenta belum lepas dari dinding
uterus. Bila tidak terasa getaran, berarti plasenta telah lepas dari dinding uterus.
3. Perasat Klein. Wanita tersebut disuruh mengedan dan tali pusat tampak turun
ke bawah. Bila pengedanannyan dihentikan dan tali pusat masuk kembali ke
dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.

20
Kombinasi dari tiga perasat ini baik dijalankan secara hati-hati setelah
mengawasi wanita yang baru melahirkan bayi selama 6 sampai 15 menit. Bila
plasenta telah lepas spontan, maka dapat dilihat bahwa uterus berkontraksi baik
dan terdorong keatas kanan oleh vagina yang berisi plasenta. Dengan tekanan
ringan pada fundus uteri plasenta mudah dapat dilahirkan, tanpa menyuruh wanita
bersangkutan mengedan yaitu dengan menggunakan perasat Crede. Dengan cara
memijat uterus seperti memeras jeruk agar plasenta lepas dari dinding uterus
hanya dapat digunakan bila terpaksa misalnya perdarahan. Perasat ini dapat
mengakibatkan kecelakaan perdarahan postpartum. Pada orang yang gemuk,
perasat Crede sukar atau tidak dapat dikerjakan.
Setelah plasenta lahir, harus diteliti apakah kotiledon-kotiledon lengkap atau
masih ada sebagian yang tertinggal dalam kavum uteri. Begitu pula apakah pada
pinggir plasenta masih didapat hubungan dengan plasenta lain, seperti adanya
plasenta suksenturiata. Selanjutnya harus pula diperhatikan apakah korpus uteri
berkontraksi baik. Harus dilakukan masase ringan pada korpus uteri untuk
memperbaiki kontraksi uterus. Apabila diperlukan karena kontaksi uterus kurang
baik, dapat diberikan uterotonika seperti pitosin, metergin, ermetrin, dan
sebagainya, terutama pada persalinan lama, grande multipara, gemelli,
hidroamnion, dan sebagainya. Bila semuanya telah berjalan dengan lancar dan
baik, maka luka episiotomi harus diteliti, dijahit, dan diperbaiki.
Segera bayi lahir, tinggi fundus uteri dan konsistensinya hendaknya
dipastikan. Selama uterus kencang dan tidak ada perdarahan yang luar biasa,
menunggu dengan waspada sampai plasenta terlepas biasa dilakukan. Jangan
dilakukan masase; tangan hanya diletakkan diatas fundus, untuk memastikan
bahwa organ tersebut tidak menjadi atonik dan berisi darah dibelakang plasenta
yang telah terlepas. Tanda-tanda pelepasan plasenta:
1. Uterus menjadi globular, dan biasanya terlihat lebih kencang. Ini
merupakan tanda awal.
2. Sering ada pancaran darah mendadak.

21
3. Uterus naik di abdomen karena plasenta yang telah terlepas, berjalan
turun masuk ke segmen bawah uterus dan vagina, serta massanya
mendorong uterus keatas.
4. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina yang menandakan bahwa
plasenta telah turun.
Tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir dan
biasanya dalam waktu lima menit. Kalau plasenta sudah lepas, penolong harus
memastikan bahwa uterus telah berkontraksi kuat. Ibu boleh diminta untuk
mengejan dan tekanan intraabdominal yang ditimbulkan mungkin cukup untuk
mendorong plasenta.
Manajemen Aktif Kala III
Penatalaksanaan aktif pada kala III (pengeluaran aktif plasenta) membantu
menghindarkan terjadinya perdarahan pasca persalinan. Penatalaksanaan aktif
kala III meliputi:
1. Penatalaksanaan oksitosin dengan segera
2. Pengendalian tarikan pada tali pusat
3. Pemijatan uterus segera setelah plasenta lahir
Penanganan tersebut dilakukan dalam tahap sebagai berikut:
1. Memberikan oksitosin untuk merangsang uterus berkontraksi yang juga
mempercepat pelepasan plasenta.
2. Lakukan Peregangan Tali Pusat Terkendali atau PTT dengan cara:
a. Satu tangan diletakkan pada korpus uteri tepat di atas simfisis pubis. Selama
kontraksi tangan mendorong korpus uteri dengan gerakan dorso kranial ke
arah belakang dan ke arah kepala ibu
b. Tangan yang satu memegang tali pusat dengan klem 5 cm di depan vulva
c. Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu adanya kontraksi kuat (2-3
menit)
d. Selama kontraksi lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yang terus
menerus, dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus.
 PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi. Tangan pada uterus
merasakan kontraksi, ibu dapat juga memberitahu petugas ketika ia

22
merasakan kontraksi. Ketika uterus tidak berkontraksi, tangan petugas
dapat tetap berada pada uterus, tetapi bukan melakukan PTT. Ulangi
langkah-langkah PTT pada setiap kontraksi sampai plasenta terlepas.
 Begitu plasenta terasa lepas, keluarkan dengan menggerakkan tangan
atau klem tali pusat mendekati plasenta, keluarkan plasenta dengan
gerakan ke bawah dan ke atas sesuai dengan jalan lahir. Kedua tangan
dapat memegang plasenta dan perlahan memutar plasenta searah
jarum jam untuk mengeluarkan selaput ketuban.
 Segera setelah plasenta dan selaputnya dikeluarkan, masase fundus
agar menimbulkan kontraksi. Hal ini dapat mengurangi pengeluaran
darah dan mencegah perdarahan pascapersalinan.
 Periksa wanita tersebut secara seksama dan jahit semua robekan pada
serviks atau vagina atau perbaiki episiotomi.
4. Kala IV
Dua jam pertama setelah persalinan merupakan waktu yang kritis bagi ibu
dan bayi. Kala ini perlu untuk melihat apakah ada perdarahan postpartum. Rata-
rata dalam batas normal, jumlah pada umumnya adalah 100-300 cc. Bila
perdarahan lebih dari 500 cc ini sudah dianggap abnormal, harus dicari
penyebabnya. Tujuh pokok penting yang harus diperhatikan sebelum
meninggalkan ibu yang baru melahirkan adalah:
1. Kontraksi rahim. Dapat diketahui denga palpasi fundus uteri. Bila perlu
dilakukan masase dan berikan uterotonika (methergin, ermetrin, pitogin).
2. Perdarahan. Apakah ada atau tidak serta jumlahnya.
3. Kandung kencing. Diharuskan kosong, jika penuh ibu diminta kencing
sendiri atau menggunakan kateter.
4. Luka-luka. Dilihat jahitan terdapat perdarahan atau tidak.
5. Uri dan selaput ketuban harus telah lahir lengkap.
6. Keadaan umum ibu. Tekanan darah, nadi, dan pernapasan.
7. Bayi dalam keadaan baik.
2.2. Sectio Caesarea

23
A. DEFINISI
Sectio Caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat
insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn & William, 2010).
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan
syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram
(Sarwono, 2009).
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat
badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh
(Gulardi & Wiknjosastro, 2006).
Dari beberapa pengertian tentang Sectio Caesarea diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa Sectio Caesarea adalah suatu tindakan pembedahan
yang tujuannya untuk mengeluarkan janin dengan cara melakukan sayatan
pada dinding abdomen dan dinding uterus.
B. Etiologi
Menurut Amin & Hardi (2013) etiologi Sectio Caesarea ada dua yaitu
sebagai berikut:
a. Etiologi yang berasal dari ibu
Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para tua
disertai kelainan letak ada, disporporsi sefalo pelvik (disproporsi
janin/ panggul), ada sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk,
terdapat kesempitan panggul, placenta previa terutama pada
primigravida, solutsio placenta tingkat I - II, komplikasi kehamilan
yaitu preeklampsi-eklampsia, atas permitaan, kehamilan yang
disertai penyakit (jantung, DM), gangguan perjalanan persalinan
(kista ovarium, mioma uteri dan sebagainya).
b. Etiologi yang berasal dari janin
Fetal distress/ gawat janin, mal presentasi dan mal posisi
kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil,
kegagalan persalinan vakum atau forseps ekstraksi.

24
C. Komplikasi
Menurut Wikjosastro (2007) komplikasi Sectio Caesarea sebagai
berikut:
a. Komplikasi pada ibu
1) Infeksi puerperal
Komplikasi ini bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu
selama beberapa hari dalam masa nifas; atau bersifat berat,
seperti peritonitis, sepsis dan sebagainya. Infeksi
postoperatif terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada
gejala – gejala yang merupakan presdisposisi terhadap
kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah,
tindakan vaginal sebelumnya).
2) Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika
cabang – cabang arteri uterina ikut terbuka, atau karena
atonia uteri.
3) Komplikasi – komplikasi lain seperti luka kandung kencing,
embolisme paru – paru, dan sebagainya sangat jarang terjadi.
4) Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang
kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan peristiwa ini
lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.
b. Komplikasi pada bayi
Nasib anak yang dilahirkan dengan Sectio Caesarea banyak
tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan
Sectio Caesarea.
D. Indikasi dan Kontraindikasi
Menurut Rasjidi (2009) indikasi dan kontra indikasi dari Sectio
Caesarea sebagai berikut:
a. Indikasi Sectio Caesarea
1) Indikasi mutlak

25
Indikasi Ibu
a) Panggul sempit absolute
b) Kegagalan melahirkan secara normal karena kurang
adekuatnya stimulasi
c) Tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan
obstruksi
d) Stenosis serviks atau vagina
e) Placenta previa
f) Disproporsi sefalopelvik
g) Ruptur uteri membakat Indikasi janin
h) Kelainan letak
i) Gawat janin
j) Prolapsus placenta
k) Perkembangan bayi yang terhambat
l) Mencegah hipoksia janin, misalnya karena
preeklampsia.
2) Indikasi relatif
a) Riwayat Sectio Caesarea sebelumnya
b) Presentasi bokong
c) Distosia
d) Fetal distress
e) Preeklampsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes
f) Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu
g) Indikasi Sosial
h) Wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman
sebelumnya.
i) Wanita yang ingin Sectio Caesarea elektif karena takut bayinya
mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan atau
mengurangi resiko kerusakan dasar panggul.
j) Wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau
sexuality image setelah melahirkan.

26
b. Kontra indikasi
Kontraindikasi dari Sectio Caesarea adalah:
1. Janin mati
2. Syok
3. Anemia berat
4. Kelainan kongenital berat.
5. Infeksi piogenik pada dinding abdomen
6. Minimnya fasilitas operasi sectio caesarea.

27

Anda mungkin juga menyukai