Anda di halaman 1dari 41

asuhan neonatus, bayi dan anak balita

Beranda

1.word BBLR

2. artikel asfiksia neonatorum

3. pdf neonatus resiko tinggi

4. PPT pendarahan tali pusat

5. gambar image kejang

6. hypotermi

7.hypertermi

8. hypoglikemi

9. bank soal dan tetanus neonatorum

vidio neonatus

Minggu, 05 Juni 2011

NEONATUS RESIKO TINGGI DAN PENATALAKSANAAN-NYA

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat
rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-
baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan
2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan
intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Dengan terpisahnya bayi
dari ibu, maka terjadilah awal proses fisiologik.

Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian
biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang
baik dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah lahir.

Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak
hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya
kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan
tidak bersih, kurangnya perawatan bayi baru lahir. Kalau ibu meninggal pada waktu melahirkan, si bayi
akan mempunyai kesempatan hidup yang kecil.

Yang termasuk neonatus resiko tinggi yaitu diantaranya sebagai berikut:


1. BBLR

2. asfiksia neonatorum

3. sindrom, gangguan pernafasan

4. ikterus

5. perdarahan tali pusat

6. kejang

7. hypotermi

8. hypertermi

9. hypoglikemi

10 tetanus neonatorum

BBLR

Definisi

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang
masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir (3).

Epidemiologi

Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan
batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah.
Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka
kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram (4). BBLR
termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi dan
anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya dimasa depan (1,2). Angka
kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 9%-
30%, hasil studi di 7 daerah multicenter diperoleh angka BBLR dengan rentang 2.1%-17,2 %. Secara
nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5 %. Angka ini lebih besar dari target BBLR
yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7%
(2,3).

Etiologi

Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain adalah umur,
paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan kembar/ganda, serta faktor
janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR (3).

(1) Faktor ibu

a. Penyakit
Seperti malaria, anaemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain

b. Komplikasi pada kehamilan.

Komplikasi yang tejadi pada kehamilan ibu seperti perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat, eklamsia,
dan kelahiran preterm.

c. Usia Ibu dan paritas

Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia <>

d. Faktor kebiasaan ibu

Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok, ibu pecandu alkohol dan ibu pengguna
narkotika.

(2) Faktor Janin

Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan kromosom.

(3) Faktor Lingkungan

Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan paparan
zat-zat racun (4,7).

Komplikasi

Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain (8):

* Hipotermia

* Hipoglikemia

* Gangguan cairan dan elektrolit

* Hiperbilirubinemia

* Sindroma gawat nafas

* Paten duktus arteriosus

* Infeksi

* Perdarahan intraventrikuler

* Apnea of Prematurity

* Anemia

Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) antara
lain (3,8):

* Gangguan perkembangan

* Gangguan pertumbuhan
* Gangguan penglihatan (Retinopati)

* Gangguan pendengaran

* Penyakit paru kronis

* Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit

* Kenaikan frekuensi kelainan bawaan

Diagnosis

Menegakkan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi dalam jangka waktu <> dapat
diketahui dengan dilakukan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (8).

Anamnesis

Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk menegakkan mencari etiologi dan faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR (3):

* Umur ibu

* Riwayat hari pertama haid terakir

* Riwayat persalinan sebelumnya

* Paritas, jarak kelahiran sebelumnya

* Kenaikan berat badan selama hamil

* Aktivitas

* Penyakit yang diderita selama hamil

* Obat-obatan yang diminum selama hamil

Pemeriksaan Fisik

Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain (3):

* Berat badan <>

* Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)

* Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa kehamilan).

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain (3):

* Pemeriksaan skor ballard

* Tes kocok (shake test), dianjur untuk bayi kurang bulan

* Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa kadar elektrolit dan analisa gas
darah.
* Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir dengan umur kehamilan kurang bulan
dimulai pada umur 8 jam atau didapat/diperkirakan akan terjadi sindrom gawat nafas.

* USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan <>

Penatalaksanaan/ terapi

Medikamentosa

Pemberian vitamin K1 (3):

* Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau

* Per oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari, dan umur 4-6
minggu)

Diatetik

Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah menyusui karena refleks menghisapnya masih lemah.
Untuk bayi demikian sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau diperas dan diberikan pada bayi
dengan pipa lambung atau pipet. Dengan memegang kepala dan menahan bawah dagu, bayi dapat
dilatih untuk menghisap sementara ASI yang telah dikeluarkan yang diberikan dengan pipet atau selang
kecil yang menempel pada puting. ASI merupakan pilihan utama (6):

* Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan cara apapun,
perhatikan cara pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling kurang sehari sekali.

* Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20 g/hari selama 3 hari berturut-
turut, timbang bayi 2 kali seminggu.

Pemberian minum bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan lahir dan keadaan bayi adalah
sebagai berikut (3):

a. Berat lahir 1750 – 2500 gram

- Bayi Sehat

* Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil lebih mudah merasa letih dan malas
minum, anjurkan bayi menyusu lebih sering (contoh; setiap 2 jam) bila perlu.

* Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai efektifitas menyusui. Apabila bayi
kurang dapat menghisap, tambahkan ASI peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara
pemberian minum.

- Bayi Sakit

* Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV, berikan minum seperti pada bayi
sehat.

* Apabila bayi memerlukan cairan intravena:

· Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama


· Mulai berikan minum per oral pada hari ke-2 atau segera setelah bayi stabil. Anjurkan pemberian ASI
apabila ibu ada dan bayi menunjukkan tanda-tanda siap untuk menyusu.

· Apabila masalah sakitnya menghalangi proses menyusui (contoh; gangguan nafas, kejang), berikan ASI
peras melalui pipa lambung :

o Berikan cairan IV dan ASI menurut umur

o Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; 3 jam sekali). Apabila bayi telah mendapat minum 160
ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar berikan tambahan ASI setiap kali minum. Biarkan bayi
menyusu apabila keadaan bayi sudah stabil dan bayi menunjukkan keinginan untuk menyusu dan dapat
menyusu tanpa terbatuk atau tersedak.

b. Berat lahir 1500-1749 gram

- Bayi Sehat

* Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok. Bila jumlah yang dibutuhkan tidak dapat diberikan
menggunakan cangkir/sendok atau ada resiko terjadi aspirasi ke dalam paru (batuk atau tersedak),
berikan minum dengan pipa lambung. Lanjutkan dengan pemberian menggunakan cangkir/ sendok
apabila bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak (ini dapat berlangsung setela 1-2 hari namun ada
kalanya memakan waktu lebih dari 1 minggu)

* Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum
160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum.

* Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk menyusui
langsung.

- Bayi Sakit

* Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama

* Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan IV secara perlahan.

* Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum
160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum.

* Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok apabila kondisi bayi sudah stabil dan bayi
dapat menelan tanpa batuk atau tersedak

* Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk menyusui
langsung.

c. Berat lahir 1250-1499 gram

- Bayi Sehat

* Beri ASI peras melalui pipa lambung

* Beri minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum 160
ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum
* Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

* Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk menyusui
langsung.

- Bayi Sakit

* Beri cairan intravena hanya selama 24 jam pertama.

* Beri ASI peras melalui pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan intravena secara
perlahan.

* Beri minum 8 kali dalam 24 jam (setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum 160 ml/kgBB
per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum

* Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

* Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk menyusui
langsung.

d. Berat lahir <>tidak tergantung kondisi)

* Berikan cairan intravena hanya selama 48 jam pertama

* Berikan ASI melalui pipa lambung mulai pada hari ke-3 dan kurangi pemberian cairan intravena secara
perlahan.

* Berikan minum 12 kali dalam 24 jam (setiap 2 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum 160
ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum

* Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

* Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk menyusui
langsung.

Suportif

Hal utama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh normal (3):

* Gunakan salah satu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti kontak kulit
ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator atau ruangan hangat yang tersedia di tempat
fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk.

* Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin

* Ukur suhu tubuh dengan berkala

Yang juga harus diperhatikan untuk penatalaksanaan suportif ini adalah :

* Jaga dan pantau patensi jalan nafas

* Pantau kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit


* Bila terjadi penyulit, harus dikoreksi dengan segera (contoh; hipotermia, kejang, gangguan nafas,
hiperbilirubinemia)

* Berikan dukungan emosional pada ibu dan anggota keluarga lainnya

* Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan ibu berkunjung setiap saat
dan siapkan kamar untuk menyusui.

Pemantauan (Monitoring)

Pemantauan saat dirawat

a. Terapi

* Bila diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan

* Preparat besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia 2 minggu

b. Tumbuh kembang

* Pantau berat badan bayi secara periodik

* Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama (sampai 10% untuk bayi dengan berat lair
≥1500 gram dan 15% untuk bayi dengan berat lahir <1500>

* Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua kategori berat lahir) dan telah berusia
lebih dari 7 hari :

- Tingkatkan jumlah ASI denga 20 ml/kg/hari sampai tercapai jumlah 180 ml/kg/hari

- Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan peningkatan berat badan bayi agar jumlah pemberian ASI tetap
180 ml/kg/hari

- Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah pemberian ASI hingga 200 ml/kg/hari

- Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala setiap minggu.

Pemantauan setelah pulang

Diperlukan pemantauan setelah pulang untuk mengetahui perkembangan bayi dan mencegah/
mengurangi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi setelah pulang sebagai berikut (3,4):

* Sesudah pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap bulan.

* Hitung umur koreksi

* Pertumbuhan; berat badan, panjang badan dan lingkar kepala.

* Tes perkembangan, Denver development screening test (DDST)

* Awasi adanya kelainan bawaan

Pencegahan
Pada kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) pencegahan/ preventif adalah langkah yang penting. Hal-hal
yang dapat dilakukan (3):

1. Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal 4 kali selama kurun kehamilan dan
dimulai sejak umur kehamilan muda. Ibu hamil yang diduga berisiko, terutama faktor risiko yang
mengarah melahirkan bayi BBLR harus cepat dilaporkan, dipantau dan dirujuk pada institusi pelayanan
kesehatan yang lebih mampu

2. Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim, tanda tanda
bahaya selama kehamilan dan perawatan diri selama kehamilan agar mereka dapat menjaga
kesehatannya dan janin yang dikandung dengan baik

3. Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur reproduksi sehat (20-34 tahun)

4. Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam meningkatkan pendidikan ibu dan
status ekonomi keluarga agar mereka dapat meningkatkan akses terhadap pemanfaatan pelayanan
antenatal dan status gizi ibu selama hamil

2. asfiksia neonatorum

BATASAN

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia),
hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis.

PATOFISIOLOGI

Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan
menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian
asfiksia.

GEJALA KLINIK

Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit sianosis,
pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.

DIAGNOSIS

Anamnesis : Gangguan/kesulitan waktu lahir, lahir tidak bernafas/menangis.

Pemeriksaan fisik :

Nilai Apgar

Klinis
0

Detak jantung

Tidak ada

< 100 x/menit

>100x/menit

Pernafasan

Tidak ada

Tak teratur

Tangis kuat

Refleks saat jalan nafas dibersihkan

Tidak ada

Menyeringai

Batuk/bersin

Tonus otot

Lunglai
Fleksi ekstrimitas (lemah)

Fleksi kuat gerak aktif

Warna kulit

Biru pucat

Tubuh merah ekstrimitas biru

Merah seluruh tubuh

Nilai 0-3 : Asfiksia berat

Nilai 4-6 : Asfiksia sedang

Nilai 7-10 : Normal

Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang
dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi
karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian
skor Apgar)

Pemeriksaan penunjang :

- Foto polos dada

- USG kepala

- Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit

Penyulit

Meliputi berbagai organ yaitu :

- Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis

- Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru

- Gastrointestinal : enterokolitis nekrotikans

- Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH


- Hematologi : DIC

PENATALAKSANAAN

Resusitasi

· Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar (lihat bagan)

· Terapi medikamentosa :

Epinefrin :

Indikasi :

- Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan
pemijatan dada.

- Asistolik.

Dosis :

- 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau endotrakeal.
Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.

Volume ekspander :

Indikasi :

- Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan
resusitasi.

- Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat,
perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.

Jenis cairan :

- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)

- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.

Dosis :

- Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon
klinis.

Bikarbonat :

Indikasi :
- Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan
sirkulasi sudah baik.

- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.

Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%)

Cara :

- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan
kecepatan minimal 2 menit.

Efek samping :

- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium
dan otak.

Nalokson :

- Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan depresi pernafasan.
Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan stabil.

Indikasi :

- Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4 jam sebelum
persalinan.

- Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai pemakai obat narkotika
sebab akan menyebabkan tanda with drawltiba-tiba pada sebagian bayi.

Dosis : 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)

Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau s.c

Suportif

· Jaga kehangatan.

· Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.

· Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)

Bagan Resusistasi neonatus


Uji kembali efektifitas :

- Ventilasi

- Kompresi dada

- Intubasi Endotrakeal

- Pemberian epinefrin
Pertimbangkan kemungkinan :

- Hipovolemia

- Asidosis metabolik berat

Resusitasi dinilai tidak berhasil jika :

apnea dan denyut jantung 0 setelah dilakukan resusitasi secara efektif selama 15 menit.
3. sindrom gangguan pernafasan

. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. DEFENISI

Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea
dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi
di daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi ( Perawatan Anak Sakit, Ngastiah. Hal 3).

Penyakit Membran Hialin (PMH)

Penyebab kelainan ini adalah kekurangan suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. PMH
sering kali mengenai bayi prematur, karena produksi surfaktan yang di mulai sejak kehamilan minggu ke
22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan.

2. PATOFISIOLOGI

Penyebab PMH adalah surfaktan paru. Surfaktan paru adalah zat yang memegang peranan dalam
pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak.
Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan
mencapai maksimum pada minggu ke 35. Fungsi surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan
permukaan alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk bernafas berikutnya di
butuhkan tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar dan di sertai usaha inspiarsi yang lebih kuat.
Kolaps paru ini menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2. dan
oksidosis.

3. PROGNOSIS

Prognosis bayi dengan PMH terutama ditentukan oleh prematuritas serta beratnya penyakit. Bayi yang
sembuh mempunyai kesempatan tumbuh dan kembang sama dengan bayi prematur lain yang tidak
menderita PMH.

4. GAMBARAN KLINIS
PMH umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000 gram. Atau masa generasi 30-
36 minggu. Gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala yang
karakteritis mulai terlihat pada umur 24-72 jam.

5. PEMERIKSAAN DIAKNOSTIK

Foto thorak

Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan oleh berbagai penyebab dan untuk
melihat keadaan paru, maka bayi perlu dilakukan pemeriksaan foto thoraks.

Pemeriksaan darah : perlu pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit.

6. PENATALAKSANAAN

Tindakan yang perlu dilakukan :

1. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam batas normal (36.5-37oc) dan
meletakkan bayi dalam inkubator.

2. Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh kompleks terhadap bayi prematur,
pemberian oksigen terlalu banyak menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.

3. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan hemeostasis dan
menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan glukosa 5-10 % dengan jumlah 60-125 ML/ Kg BB/ hari.

4. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin dengan dosis 50.000-10.000 untuk /
kg BB / hari / ampisilin 100 mg / kg BB/ hari dengan atau tanpa gentasimin 3-5 mg / kg BB / hari.

5. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan ekstrogen ( surfaktan
dari luar).

Keperawatan

Pada umumnya dengan BB lahir 1000-2000 gr dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu.

1. Bahaya kedinginan

Bayi PMH adalah bayi prematur sehingga kulitnya sangat tipis, jaringan lemak belum berbentuk dan
pusat pengatur suhu belum sempurna. Akibatnya bayi dapat jatuh dalam keadaan cold injury, sianosis,
dispnea, kemudian apnea. Untuk mencegah harus dirawat dalam inkubator yang dapat
mempertahankan suhu bayi 36.5-37oc.

2. Resiko terjadi gangguan pernafasan

Gejala pertama biasanya timbul dalam 4 jam setelah lahir. Tata laksana perawatan bayi prematur adalah

a. Dirawat dalam inkubator dengan suhu optimum

b. Bila bayi mulai terlihat sianosis, dispnea / hiperapsnea segera berikan oksigen.
3. Kesukaran dalam pemberian makanan

Untuk memenuhi kebutuhan kalori maka dipasang infus dengan cairan glukosa 5-10 %. Makanan bayi
yang terbaik adalah asi. Karena itu selama bayi belum diberi asi harus tetap pertahankan dengan
memompa payudara ibu setiap 3 jam.

4. Resiko mendapat infeksi

Untuk mencegah infeksi, perawat harus bekerja secara aseptik dan inkubator harus aseptik pula.
Ruangan tempat merawat bayi terpisah, bersih, dan tidak di benarkan banyak orang memasuki ruangan
tersebut kecuali petugas, semua alat yang diperlukan harus steril.

5. Kebutuhan rasa nyaman

Gangguan rasa nyaman dapat terjadi akibat tindakan medis, misalnya penghisapan lendir, pemasangan
infus dll. Untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya selain sikap yang lembut setiap menolong bayi
dalam memberi pasi harus di pangku.

4. ikterus

A. Definisi

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi
produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.

Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.

Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:

Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.

Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.

Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.

Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.

Ikterus menetap pada usia >2 minggu.


Terdapat faktor risiko.

Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan
otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak.
Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2
hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis
melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada
tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan,
kehilangan pendengaran sensorial.

B. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus
yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir
mengalami ikterus pada minggu pertama.

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi
cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo
selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar
bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama
kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin
di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0,
3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia
terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan
hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian
neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.

Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun
2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis.
Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada
bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.

Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada
tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang
berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5
mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr.
Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.

C. Etiologi dan Faktor Risiko

1. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.

Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan
ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.

Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus dan
belum ada nutrien.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh
faktor/keadaan:

Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter
dan pengaruh obat.

Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.

Polisitemia.

Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.

Ibu diabetes.

Asidosis.

Hipoksia/asfiksia.

Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

2. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:


a. Faktor Maternal

Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)

Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.

ASI

b. Faktor Perinatal

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c. Faktor Neonatus

Prematuritas

Faktor genetik

Polisitemia

Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

Rendahnya asupan ASI

Hipoglikemia

Hipoalbuminemia

D. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat
secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun
mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

1. Ikterus fisiologis

Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12
mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada
bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5
kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir.
Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2
mg/dL.

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi
prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan
berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar
puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya
ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif,
pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan
konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.

2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)

Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini
dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di
usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan
frekuensi ditambah.

Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada
peningkatan kadar bilirubin.

E. Penegakan Diagnosis
1. Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada
alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian.
Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat
keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera
dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.

WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari)
karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat
pada pencahayaan yang kurang.

Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan
subkutan.

Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)

2. Bilirubin Serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta
untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam
pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap
dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel
serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil)

Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia
bayi > 2 minggu.

3. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan
bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan
merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit.
Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh
pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi
pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode
standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34
minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL
(249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB)
memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar,
sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil
pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.

Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya
yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun
transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya
dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa
ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.

Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan
metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi
terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata
laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.

Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang
ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan
dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.

Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus


Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus

Hari 1

Hari 2

Hari 3

Bagian tubuh manapun

Tengan dan tungkai *

Tangan dan kaki

Berat

* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai,
tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi
sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi
sinar.

F. Tata laksana

1. Ikterus Fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat,
cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk
mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:

Minum ASI dini dan sering

Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO

Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat
(terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi
hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang
dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)

Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.

Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan
37 minggu, hemolisis atau sepsis

Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi
dan lakukan tes Coombs:

Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.

Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi
sinar

Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada
riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.

Tentukan diagnosis banding

2. Tata laksana Hiperbilirubinemia

Hemolitik

Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan
ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus
hemolitik, apapun penyebabnya.

Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.

Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:


Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL
(hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.

Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs,
segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).

Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:

Persiapkan transfer.

Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.

Kirim contoh darah ibu dan bayi.

Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi apa
yang akan diterima bayi.

Nasihati ibu:

Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan informasi yang
cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan berikutnya.

Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu
untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa,
aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).

Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.

Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih lama
pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus
berkepanjangan (prolonged jaundice).

Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu. Bila
hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.

Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)

Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan, dan 3
minggu pada neonatus kurang bulan.

Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke
rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.

Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.

Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar selengkapnya dimuat terpisah.

G. Efek Hiperbilirubinemia

Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf,
meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim
mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori
dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli
saraf.

Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal
ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan
bilirubin terhadap jaringan.

Ensefalopati bilirubin

Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan komplikasi
ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel
neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan
sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya
ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini
hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi
belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan
hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau
kerusakan neurologik yang disebabkannya.

Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum
sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan
bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin.
Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi
prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur
berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.

Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen
dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor
seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.

H. Pencegahan

Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya.
AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai
berikut:

1. Primer

AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang
sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali
sehari selama beberapa hari pertama.

Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat
menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan
kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi
ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.

AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus
nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum
maupun menurunkan kadar bilirubin serum.

2. Sekunder

Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus
neonatorum.

Pemeriksaan Golongan Darah


Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani
skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama
kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila
golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah
bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.

Penilaian Klinis

Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya
ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai
sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.

Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan warna
kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik
menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih
dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan
menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.

5.pendarahan tali pusat

Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan tali pusat yang
kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat
juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit pada bayi.

ETIOLOGI

1 Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :

a Patus precipitatus

b Adanya trauma atau lilitan tali pusat

c Umbilikus pendek, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan yang berlebihan pada saat

persalinan

d Kelalaian penolong persalinan yang dapat menyebabkan tersayatnya dinding umbilikus atau

placenta sewaktu sectio secarea

2 Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :

a Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun

perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya bagi
bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi

b Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah

c Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh darah

setempat saja karena salah dalam proses perkembangan atau terjadi kemunduran dinding

pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah rapuh

dan mudah pecah

3 Robekan pembuluh darah abnormal

Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya

dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah seperti :

a Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada

perlindungan jely wharton

b Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat

percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta tidak adda

proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda

c Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah yang menghubungkan masing-

masing lobus dengan jaringan placenta karena bagian tersebut sangat rapuh dan mudah

pecah

4 Perdarahan akibat placenta previa dan abrotio placenta

Perdarahan akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan bayi. Pada

kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada kasus abrutio

placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat terjadi anoreksia.

Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan pada bayi

baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio secarea apabila

diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.

PENATALAKSANAAN

1. Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang terjadi

2. Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan infeksi paa tali pusat.

3. Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga pasien untuk dilakukan
rujukan.

6. kejang

Kejang adalah penyakit pada anak yang disebabkan oleh demam. Sekitar 2-5% anak berumur enam
bulan sampai lima tahun umumnya mengalami demam. Namun, tidak sampai menginfeksi otak anak.

Apa yang harus dilakukan bila anak mengalami kejang demam? Walaupun kejang demam terlihat sangat
menakutkan, sebenarnya jarang sekali terjadi komplikasi yang berat, yang paling penting adalah tetap
tenang.

Ketika demam, miringkan posisi anak sehingga ia tidak tersedak air liurnya dan jangan mencoba
menahan gerak si anak. Turunkan demam dengan membuka baju dan menyeka anak dengan air yang
sedikit hangat. Setelah air menguap, demam akan turun. Jangan memberikan kompres dengan es atau
alkohol karena anak akan menggigil dan suhu tubuh justru meningkat, walaupun kulitnya terasa dingin.
Untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dapat diberikan obat, umumnya kejang demam akan
berhenti dengan sendirinya sebelum lima menit.

Apakah anak perlu masuk rumah sakit? Bila kejang berlangsung kurang dari lima menit, kemudian anak
sadar dan menangis, biasanya tidak perlu dirawat. Bila demam tinggi dan kejang berlangsung lebih dari
10-15 menit atau kejang berulang, maka Anda harus membawanya ke dokter atau rumah sakit.

Untuk membantu menentukan apa yang akan terjadi pada anak di kemudian hari, kejang demam dibagi
menjadi kejang demam sederhana dan kejang kompleks.

Kejang demam sederhana adalah bila kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak berulang pada
hari yang sama, sedangkan kejang kompleks adalah bila kejang hanya terjadi pada satu sisi tubuh,
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) atau berulang dua kali atau lebih dalam satu hari.

Kejang demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal atau mengganggu kepandaian.
Risiko untuk menjadi epilepsi di kemudian hari juga sangat kecil, sekitar 2-3%. Risiko terbanyak adalah
berulangnya kejang demam, yang dapat terjadi pada 30-50% anak-anak. Risiko-risiko tersebut akan lebih
besar pada kejang yang kompleks.

Rekaman otak atau electroencephalografi (EEG) biasanya tidak dilakukan secara rutin karena tidak
berguna untuk memperkirakan apakah kejang akan berulang kembali, juga tidak dapat memperkirakan
apakah akan terjadi epilepsi di kemudian hari.

Untuk anak dengan kejang kompleks atau anak yang mengalami kelainan saraf yang nyata, dokter akan
mempertimbangkan untuk memberikan pengobatan dengan anti kejang jangka panjang selama 1-3
tahun.

7. hypotermi

Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal. Adapun suhu normal bayi adalah 36,5-
37,5 °C. Suhu normal pada neonatus 36,5-37,5°C (suhu ketiak). Gejala awal hipotermi apabila suhu <36°C
atau kedua kaki & tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah
mengalami hipotermi sedang (suhu 32-36°C). Disebut hipotermi berat bila suhu <32°C, diperlukan
termometer ukuran rendah (low reading thermometer) yang dapat mengukur sampai 25°C. (Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo, 2001). Disamping sebagai suatu gejala, hipotermi merupakan awal
penyakit yang berakhir dengan kematian. (Indarso, F, 2001). Sedangkan menurut Sandra M.T. (1997)
bahwa hipotermi yaitu kondisi dimana suhu inti tubuh turun sampai dibawah 35°C. Etiologi Penyebab
terjadinya hipotermi pada bayi yaitu : 1)Jaringan lemak subkutan tipis. 2)Perbandingan luas permukaan
tubuh dengan berat badan besar. 3)Cadangan glikogen dan brown fat sedikit. 4)BBL (Bayi Baru Lahir)
tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan. (Indarso, F, 2001). 5)Kurangnya
pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang beresiko tinggi mengalami hipotermi. ( Klaus, M.H et
al, 1998). Mekanisme hilangnya panas pada BBL Mekanisme hilangnya panas pada bayi yaitu dengan :
1Radiasi yaitu panas yang hilang dari obyek yang hangat (bayi) ke obyek yang dingin. 2)Konduksi yaitu
hilangnya panas langsung dari obyek yang panas ke obyek yang dingin. 3)Konveksi yaitu hilangnya panas
dari bayi ke udara sekelilingnya. 4)Evaporasi yaitu hilangnya panas akibat evaporasi air dari kulit tubuh
bayi (misal cairan amnion pada BBL). (Indarso, F, 2001). Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh hipotermi
Akibat yang bisa ditimbulkan oleh hipotermi yaitu : 1)HipoglikemiAsidosis metabolik, karena
vasokonstrtiksi perifer dengan metabolisme anaerob. 3)Kebutuhan oksigen yang meningkat.
4)Metabolisme meningkat sehingga pertumbuhan terganggu. 5)Gangguan pembekuan sehingga
mengakibatkan perdarahan pulmonal yang menyertai hipotermi berat. 6)Shock. 7)Apnea. 8)Perdarahan
Intra Ventricular. (Indarso, F, 2001). Pencegahan dan Penanganan Hipotermi Pemberian panas yang
mendadak, berbahaya karena dapat terjadi apnea sehingga direkomendasikan penghangatan 0,5-1°C
tiap jam (pada bayi < 1000 gram penghangatan maksimal 0,6 °C). (Indarso, F, 2001). Alat-alat Inkubator
Untuk bayi < 1000 gram, sebaiknya diletakkan dalam inkubator. Bayi-bayi tersebut dapat dikeluarkan dari
inkubator apabila tubuhnya dapat tahan terhadap suhu lingkungan 30°C. Radiant Warner Adalah alat
yang digunakan untuk bayi yang belum stabil atau untuk tindakan-tindakan. Dapat menggunakan servo
controle (dengan menggunakan probe untuk kulit) atau non servo controle (dengan mengatur suhu yang
dibutuhkan secara manual). Pengelolaan Menurut Indarso, F (2001) menyatakan bahwa pengelolaan bayi
hipotermi : (1)Bayi cukup bulan -Letakkan BBL pada Radiant Warner. -Keringkan untuk menghilangkan
panas melalui evaporasi. -Tutup kepala. -Bungkus tubuh segera. -Bila stabil, dapat segera rawat gabung
sedini mungkin setelah lahir bayi dapat disusukan. (2)Bayi sakit -Seperti prosedur di atas. -Tetap letakkan
pada radiant warmer sampai stabil. Bayi kurang bulan (prematur) -Seperti prosedur di atas. -Masukkan
ke inkubator dengan servo controle atau radiant warner dengan servo controle. (3)Bayi yang sangat kecil
-Dengan radiant warner yang diatur dimana suhu kulit 36,5 °C. Tutup kepala. Kelembaban 40-50%. Dapat
diberi plastik pada radiant warner. Dengan servo controle suhu kulit abdomen 36, 5°C. Dengan dinding
double. - Kelembaban 40-50% atau lebih (bila kelembaban sangat tinggi, dapat dipakai sebagai sumber
infeksi dan kehilangan panas berlebihan). Bila temperatur sulit dipertahankan, kelembaban dinaikkan. -
Temperatur lingkungan yang dibutuhkan sesuai umur dan berat bayi. Tabel 2.1 Temperatur yang
dibutuhkan menurut umur dan berat badan neonatus Umur Berat Badan Neonatus <1200 gr 1201-1500
gr 1501-2500 gr > 2500 gr 0-24 jam 34-35,4 33,3-34,4 31,8-33,8 31-33,8 24-48 jam 34-35 33-34,2 31,4-
33,6 30,5-33 48-72 jam 34-35 33-34 31,2-33,4 30,1-33,2 72-96 jam 34-35 33-34 31,1-33,2 29,8-32,8 4-14
hari 32,6-34 31-33,2 29 2-3 minggu 32,2-34 30,5-33 3-4 minggu 31,6-33,6 30-32,2 4-5 minggu 31,2-33
29,5-32,2 5-6 minggu 30,6-32,3 29,31,8 Sumber : Klaus, M,H et al. (1998). Penatalaksanaan Neonatus
Resiko Tinggi : Mempertahankan Suhu Tubuh Untuk Mencegah Hipotermi Menurut Indarso, F (2001)
menyatakan bahwa untuk mempertahankan suhu tubuh bayi dalam mencegah hipotermi adalah :
(1)Mengeringkan bayi segera setelah lahir Cara ini merupakan salah satu dari 7 rantai hangat ;
a.Menyiapkan tempat melahirkan yang hangat, kering dan bersih. b.Mengeringkan tubuh bayi yang baru
lahir/ air ketuban segera setelah lahir dengan handuk yang kering dan bersih. c.Menjaga bayi hangat
dengan cara mendekap bayi di dada ibu dengan keduanya diselimuti (Metode Kangguru). d.Memberi ASI
sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang pooting reflex dan bayi memperoleh
kalori dengan : -Menyusui bayi. -Pada bayi kurang bulan yang belum bisa menetek ASI diberikan dengan
sendok atau pipet. -Selama memberikan ASI bayi dalam dekapan ibu agar tetap hangat.
e.Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu rujukan. f.Memberikan
penghangatan pada bayi baru lahir secara mandiri. g.Melatih semua orang yang terlibat dalam
pertolongan persalinan. Menunda memandikan bayi lahir sampai suhu tubuh normal Untuk mencegah
terjadinya serangan dingin, ibu/keluarga dan penolong persalinan harus menunda memandikan bayi.
a.Pada bayi lahir sehat yaitu cukup bulan, berat < 2500 gram, langsung menangis kuat, memandikan bayi
ditunda 24 jam setelah kelahiran. Pada saat memandikan bayi, gunakan air hangat. b.Pada bayi lahir
dengan resiko, keadaan umum bayi lemah atau bayi dengan berat lahir 2000 gram sebaiknya jangan
dimandikan. Tunda beberapa hari sampai keadaan umum membaik yaitu bila suhu tubuh stabil, bayi
sudah lebih kuat dan dapat menghisap ASI dengan baik. Menangani Hipotermi (1)Bayi yang mengalami
hipotermi biasanya mudah sekali meninggal. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera
menghangatkan bayi di dalam inkubator atau melalui penyinaran lampu. (2)Cara lain yang sangat
sederhana dan mudah dikerjakan setiap orang ialah metode dekap, yaitu bayi diletakkan telungkup
dalam dekapan ibunya dan keduanya diselimuti agar bayi senantiasa hangat. (3)Bila tubuh bayi masih
dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang diseterika terlebih dahulu yang digunakan untuk
menutupi tubuh bayi dan ibu. Lakukan berulangkali sampai tubuh bayi hangat. Tidak boleh memakai
buli-buli panas, bahaya luka bakar. (4)Biasanya bayi hipotermi menderita hipoglikemia sehingga bayi
harus diberi ASI sedikit-sedikit dan sesering mungkin. Bila bayi tidak dapat menghisap beri infus glukosa
10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari.

8. hypertermi

kenaikan suhu tubuh diatas 410 C (rectal). Merupakan keadaan gawat darurat medik dengan angka
kematian yang tinggi terutama pada bayi sangat muda, usia lanjut dan penderita-penderita penyakit
jantung.

Hiperpirexia terjadi karena produksi panas berlebihan, terhambatnya pengeluaran panas atau kerusakan
thermoregulator. Setiap kenaikan 10 C suhu tubuh akan menaikkan metabolisme + 13%, sehingga pada
suhu 40,50 C metabolisme meningkat 50%, konsumsi oksigen meningkat, terjadi metabolisme anaerob
dan asidosis metabolik. Suhu > 410 C anak bisa mengalami kejang, sedangkan suhu > 420 C dapat
menyebabkan denaturasi dan kerusakan sel secara langsung.

Akibat yang bisa terjadi pada hiperpirexia :

1. Renjatan / Hipovolemia

2. Gangguan fungsi jantung

3. Gangguan fungsi koagulasi

4. Gangguan fungsi ginjal

5. Nekrosis hepatosellular
6. Hiperventilasi, yang dapat menyebabkan hipokapnea, alkalosis dan tetani.

PENGOBATAN

Antipiretik tidak diberikan secara otomatis pada setiap penderita panas karena panas merupakan usaha
pertahanan tubuh, pemberian antipiretik juga dapat menutupi kemungkinan komplikasi. Pengobatan
terutama ditujukan terhadap penyakit penyebab panas.

Antipiretika.

Parasetamol : 10 -15 mg/kg BB/ kali (dapat diberikan secara oral atau rektal).

Metamizole ( novalgin ) : 10 mg/kg BB/kali per oral atau intravenous.

Ibuprofen : 5-10 mg/kg BB/ kali, per oral atau rektal.

Pendinginan Secara fisik

Merupakan terapi pilihan utama. Kecepatan penurunan suhu > 0,10 C/menit sampai tercapai suhu 38,50
C. Cara-cara physical cooling/compres :

Evaporasi : penderita dikompres dingin seluruh tubuh, disertai kipas angin untuk mempercepat
penguapan. Cara ini paling mudah, tidak invasif dan efektif. Cara lain yang bisa digunakan : kumbah
lambung dengan air dingin, infus cairan dingin, enema dengan air dingin atau humidified oksigen dingin,
tetapi cara ini kurang efektif.

Penurunan suhu tubuh yang cepat dapat terjadi refleks vasokonstriksi dan shivering yang akan
meningkatkan kebutuhan oksigen dan produksi panas yang merugikan tubuh. Untuk mengurangi
dampak ini dapat diberi :

- Diazepam : merupakan pilihan utama dan lebih menguntungkan karena mempunyai efek antikonvulsi
dan tidak punya efek hipotensi.

- Chlorpromazine

9. hypoglikemi

BATASAN

Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukose darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).

PATOFISIOLOGI

· Hipoglikemi sering terjadi pada BBLR, karena cadangan glukosa rendah.

· Pada ibu DM terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin sehingga respon insulin juga
meningkat pada janin. Saat lahir di mana jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti
sedangkan respon insulin masih tinggi (transient hiperinsulinism) sehingga terjadi hipoglikemi.
· Hipoglikemi adalah masalah serius pada bayi baru lahir, karena dapat menimbulkan kejang yang
berakibat terjadinya hipoksi otak. Bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan pada
susunan saraf pusat bahkan sampai kematian.

· Kejadian hipoglikemi lebih sering didapat pada bayi dari ibu dengan diabetes melitus.

· Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan hidup selama proses persalinan
dan hari-hari pertama pasca lahir.

· Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada karena meningkatkan
penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan.

DIAGNOSIS

Anamnesis

· Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan

· Riwayat bayi prematur

· Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)

· Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)

· Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus

· Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan

· Bayi yang beresiko terkena hipoglikemia

- Bayi dari ibu diabetes (IDM)

- Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)

- Bayi yang kecil untuk masa kehamilan (SGA)

- Bayi prematur dan lewat bulan

- Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)

- Bayi puasa

- Bayi dengan polisitemia

- Bayi dengan eritroblastosis

- Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-simpatomimetik dan beta blocker

GEJALA KLINIS/Pemeriksaan fisik

Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang, distress nafas
Ÿ Jitteriness

Ÿ Sianosis

Ÿ Kejang atau tremor

Ÿ Letargi dan menyusui yang buruk

Ÿ Apnea

Ÿ Tangisan yang lemah atau bernada tinggi

Ÿ Hipotermia

Ÿ RDS

DIAGNOSIS BANDING

insufisiensi adrenal, kelainan jantung, gagal ginjal, penyakit SSP, sepsis, asfiksia, abnormalitas metabolik
(hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia, hipomagnesemia, defisiensi piridoksin).

Penyulit

- Hipoksia otak

- Kerusakan sistem saraf pusat

TATALAKSANA

a. Monitor

Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :

o Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam

o Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan

Kadar glukosa ≤ 45 mg/dl atau gejala positif tangani hipoglikemia

o Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai

b. Penanganan hipoglikemia dengan gejala :

· Bolus glukosa 10% 2 ml/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1 ml/menit

· Pasang jalur iv D10 sesuai kebutuhan (kebutuhan infus glukosa 6-8 mg/kg/menit).
Contoh : BB 3 kg, kebutuhan glukosa 3 kg x 6 mg/kg/mnt = 18 mg/mnt = 25920 mg/hari. Bila dipakai D
10% artinya 10 g/100cc, bila perlu 25920 mg/hari atau 25,9 g/hari berarti perlu 25,9 g/ 10 g x 100 cc=
259 cc D 10% /hari.

Atau cara lain dengan GIR

Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah 12,5%, bila lebih dari 12,5% digunakan vena
sentral.

· Untuk mencari kecepatan Infus glukosa pada neonatus dinyatakan dengan GIR.

Kecepatan Infus (GIR) = glucosa Infusion Rate

GIR (mg/kg/min) = Kecepatan cairan (cc/jam) x konsentrasi Dextrose (%)

6 x berat (Kg)

Contoh : Berat bayi 3 kg umur 1 hari

Kebutuhan 80 cc/jam/hari = 80 x 3 = 240 cc/hari = 10 cc/jam

GIR = 10 x 10 (Dextrose 10%) = 100 = 6 mg/kg/min

6x3 18

· Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 3 jam

· Bila kadar glukosa masih < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala, ulangi seperti diatas

· Bila kadar 25-45 mg/dl, tanpa gejala klinis :

- Infus D10 diteruskan

- Periksa kadar glukosa tiap 3 jam

- ASI diberikan bila bayi dapat minum

Bila kadar glukosa ≥ 45 mg/dl dalam 2 kali pemeriksaan

- Ikuti petunjuk bila kadar glukosa sudah normal (lihat ad d)

- ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah infus diturunkan pelan-pelan

- Jangan menghentikan infus secara tiba-tiba

c. Kadar glukosa darah < 45 mg/dl tanpa GEJALA :

· ASI teruskan

· Pantau, bila ada gejala manajemen seperti diatas

· Periksa kadar glukosa tiap 3 jam atau sebelum minum, bila :

- Kadar < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala tangani hipoglikemi (lihat ad b)

- Kadar 25-45 mg/dl naikkan frekwensi minum


- Kadar ≥ 45 mg/dl manajemen sebagai kadar glukosa normal

d. Kadar glukosa normal IV teruskan

· IV teruskan

· Periksa kadar glukosa tiap 12 jam

Bila kadar glukosa turun, atasi seperti diatas

· Bila bayi sudah tidak mendapat IV, periksa kadar glukosa tiap 12 jam, bila 2 kali pemeriksaan dalam
batas normal, pengukuran dihentikan.

e. Persisten hipoglikemia (hipoglikemia lebih dari 7 hari)

· konsultasi endokrin

· terapi : kortikosteroid hidrokortison 5 mg/kg/hari 2 x/hari iv atau prednison 2 mg/kg/hari per oral,
mencari kausa hipoglikemia lebih dalam.

· bila masih hipoglikemia dapat ditambahkan obat lain : somatostatin, glukagon, diazoxide, human
growth hormon, pembedahan. (jarang dilakukan)

10. TETANUS NEONATORUM

Tetanus Noenatorum merupakan penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi < 1 bulan) yang
disebabkan oleh clostridium tetani (kuman yang mengeluarkan toksin yang menyerang sistem syaraf
pusat)

Patofisiologi: spora clostridium tetani masuk ke dalam tali pusat yang belum puput.

Masa inkubasi:

3- 28 hari dengan rata- rata 6 hari.

Apabila masa inkubasi < 7 hari biasanya penyakit lebih parah dan angka kematisnnya tinggi

Epidemiologi:

Angka kematian kasus tinggi

Tetanus Neonatorum yang dirawat angka kematiannya mendekati 100%, terutama dengan masa
inkubasi <>
Angka kematian tetanus neonatorum yang dirawat di RS di Indonesia bervariasi dengan kisaran 10,8-
55%

Faktor risiko:

Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil tidak dilakukan atau tidak lengkap

Pemberian tidak sesuai dengan program

Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat- syarat 3 bersih

Perawatan tali pusat tidak memenuhi persyaratan kebersihan

Gejala klinik tetanus neonatorum:

Bayi yang semula dapat menetek tiba- tiba sulit menetek karena kejang otot rahang dan faring

Mulut bayi mencucu seperti mulut ikan

Kejang terutama bila kena rangsang cahaya, suara, sentuhan

Kadang- kadng disertai sesak nafas dan wajah membiru

Penanganan tetanus neonatorum:

Mengatasi kejang dengan injeksi anti kejang

Menjaga jalan nafas tetap bebas dan pasang spatel lidah agar tidak tergigit

Mencari tempat masuknya kuman tetanus, biasanya di tali pusat atau di telinga

mengobati pnyebab tetanus dengan anti tetanus serum dan antibotik

Perawatan adekuat : kebutuhan O2, makanan, cairan dan elektrolit

Tempatkan di ruang yang tenang dn sedikit sinar.

Diposkan oleh ayuk di 04.07 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke


FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:


Poskan Komentar

Beranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Pengikut

Arsip Blog

▼ 2011 (1)

▼ Juni (1)

NEONATUS RESIKO TINGGI DAN PENATALAKSANAAN-NYA

Template Jendela Gambar. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai