Faiz SC Epidural

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Bedah sesar atau sectio cesarea sudah menjadi pembedahan yang lazim di
Indonesia. Sekarang ini, bedah sesar sudah berkembang pesat. Biasanya teknik
operasi ini lebih diperuntukkan bagi wanita dengan bedah sesar pada persalinan
sebelumnya dan wanita dengan kehamilan yang memiliki resiko besar saat
persalinan seperti distosia, posisi janin sungsang, dan fetal distress.

Teknik anestesi yang biasa digunakan pada pasien bedah sesar ada dua
macam, yaitu teknik anestesi umum dan teknik anestesi regional (anestesi spinal
atau anestesi epidural). Menurut beberapa literatur dan penelitian-penelitian
sebelumnya, anestesi umum memiliki tingkat keamanan yang lebih rendah dan
komplikasi yang lebih banyak daripada teknik anestesi regional. Di Negara-negara
maju, teknik anestesi regional lebih disukai untuk pasien-pasien bedah sesar. Di
Amerika sendiri, 80-90% prosedur bedah sesar dilakukan di bawah anestesi
regional.

Anestesi epidural atau bius lokal dari pinggang ke bawah adalah teknik
untuk menghilangkan rasa sakit dengan memasukan zat anestesi lewat suntikan
melalui otot pinggang hingga ke daerah epidural (salah satu bagian dari susunan
saraf pusat di bagian tulang belakang). Hal ini dilakukan oleh dokter anestesi.
Pembiusan dilakukan melalui suntikan tadi,sifatnya memblok daerah yang
disuntik sampai ke bagian bawah, sehingga si ibu tidak merasa nyeri di daerah
tersebut.

Pemilihan teknik anestesi pada pasien bedah sesar mempengaruhi prognosa


dan komplikasi pasien pasca operasi. Beberapa hal seperti keadaan kehamilan,
keadaan umum pasien pra-pembedahan, dan tingkat kemampuan ahli anestesi
yang ada berpengaruh terhadap jenis anestesi yang akan dilakukan.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI SECTIO CAESAR

Pelahiran caesar didefinisikan sebagai kelahiran janin melalui insisi pada


dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak
mencakup pengangkatan janin dari rongga abdomen pada kasus ruptur uterus atau
pada kasus kehamilan abdominal. Pada beberapa kasus, dan paling sering karena
komplikasi darurat seperti perdarahan yang tidak terkendali merupakan indikasi
histerektomi perabdominal setelah pelahiran. Jika dilakukan pada saat pelahiran
Caesar, operasinya disebut histerektomi Caesar. Apabila dilakukan segera setelah
pelahiran per vagina, maka disebut histerektomi pascapartum 1 .

II.2 INDIKASI SECTIO CAESAR

A. Indikasi Ibu

Dalam proses persalinan terdapat tiga faktor penentu yaitu power (tenaga
mengejan dan kontraksi dinding otot perut dan dinding rahim), passageway
(keadaan jalan lahir), passanger (janin yang dilahirkan) dan psikis ibu.

Mula-mula indikasi seksio sesarea hanya karena ada kelainan passageaway,


misalnya sempitnya panggul, dugaan akan terjadinya trauma persalinan pada jalan
lahir atau pada anak, sehingga kelahirannya tidak bisa melalui jalan vagina.
Namun, akhirnya merambat ke faktor power dan pasanger. Kelainan power yang
memungkinkan dilakukannya seksio sesarea, misalnya mengejan lemah, ibu sakit
jantung atau penyakit menahun lainnya mempengaruhi tenaga. Sedangkan
kelainan passenger diantaranya makrosemia, anak kelainan letak jantung,
primigravida >35 tahun dengan janin letak sungsang, persalina tak maju, dan anak
menderita fetal distress syndrome (denyut jantung janin melemah).

2
Secara terperinci ada tujuh indikasi medis seorang ibu yang harus menjalani
seksio sesarea yaitu 1 :

1. Jika panggual sempit, sehingga besar anak tidak proporsional dengan


indikasi panggul ibu (disporsi). Olehkarena itu, penting untuk melakukan
pengukuran panggul pada waktu pemeriksaan kehamilan awal. Dengan
tujuan memperkirakan apakah panggul ibu masih dalam batas normal.
2. Pada kasus gawat janin akibat terinfeksi misalnya, kasus ketuban pecah
dini (KPD) sehingga bayi terendam cairan ketuban yang busuk atau bayi
ikut memikul demam tinggi. Pada kasus ibu mengalami
preeklamsia/eklamsia, sehingga janin terpengaruh akibat komplikasi ibu.
3. Pada kasus plasenta terletak dibawah yang menutupi ostium uteri
internum (plasenta previa), biasanya plasenta melekat di bagian tengah
rahim. Akan tetapi pada kasus plasenta previa menutupi ostium uteri
internum.
4. Pada kasus kelainan letak. Jika posisi anak dalam kandungan letaknya
melintang dan terlambat diperiksa selama kehamilan belum tua.
5. Jika terjadi kontraksi yang lemah dan tidak terkordinasi, hal ini
menyebabkan tidak ada lagi kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari
rahim. (incordinate uterine-action).
6. Jika ibu menderita preeklamsia, yaitu jika selama kehamilan muncul
gejala darah tinggi, ada protein dalam air seni, penglihatan kabur dan
juga melihat bayangan ganda. Pada eklamsia ada gejala kejang-kejang
sampai tak sadarkan diri.
7. Jika ibu mempunyai riwayat persalinan sebelumnya adalah seksio sesar
maka persalinan berikutnya umumnya harus seksio sesar karena takut
terjadi robekan rahim. Namun sekarang, teknik seksio sesar dilakukan
dengan sayatan dibagian bawah rahim sehingga potongan pada otot
rahim tidak membujur lagi. Dengan demikian bahaya rahim robek akan
lebih kecil dibandingkan dengan teknik seksio dulu yang sayatan
dibagian tengah rahim dengan potongan yang bukan melintang

3
B. Indikasi sosial

Selain indikasi medis terdapat indikasi nonmedis untuk melakukan seksio


sesar yang indikasi sosial. Persalinan seksio sesar karena indikasi sosial timbul
karena adanya permintaan pasien walaupun tidak ada masalah atau kesulitan
untuk melakukan persalinan normal. Indikasi sosial biasanya sudah direncanakan
terlebih dahulu untuk dilakukan tindakan seksio sesar 1 .

II.3 KONTRAINDIKASI SECTIO CAESAR

Kontraindikasi seksio sesarea dilakukan baik untuk kepentingan ibu


maupun untuk kepentingan anak, oleh sebab itu, seksio sesarea tidak dilakukan
kecuali tidak dalam keadaan terpaksa. Seksio sesarea tidak boleh dilakukan pada
kasus-kasus seperti ini 1 :

1. Janin sudah mati dalam kandungan. Dalam hal ini dokter memastikan
denyut jantung janin tidak ada lagi, tidak ada lagi gerakan janin anak dan
dari pemeriksaan USG untuk memastikan keadaan janin.
2. Janin terlalu kecil untuk mampu hidup diluar kandungan.
3. Terjadi infeksi dalam kehamilan.
4. Anak dalam keadaan cacat seperti Hidrocefalus dan anecepalus

II.4 ANALGESIA EPIDURAL

Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi


disekitar saraf sehingga area yang dipersarafi teranestesi. Anestesi regional dibagi
menjadi epidural, spinal dan kombinasi spinal epidural. Spinal anestesi adalah
suntikan obat anestesi kedalam ruang subarahnoid sedangkan epidural di lakukan
suntikan ke ruang ekstradural.

Anestesi epidural memiliki waktu mula yang lebih lama dibandingkan


dengan anestesi spinal. Selain itu, jumlah zat yang diperlukan untuk mendapatkan
efek anestesi yang memadai juga lebih banyak.

4
Penggunaan agen anestesi juga perlu diperhatikan karena terkadang, tanpa
sengaja, agen anestesi tersebut masuk ke intravaskuler. Efek yang terjadi karena
hal tersebut tidak hanya berupa kejang tetapi juga dapat mengakibatkan
berhentinya detak jantung (cardiac arrest).

Keuntungan dari epidural anestesi adalah kejadian post-dural puncture


headache pada teknik ini jauh lebih rendah. Selain itu, karena teknik ini
menggunakan kateter epidural, ahli anestesi dapat mentitrasi berapa banyak zat
yang digunakan. Semakin tepat dosis yang digunakan, artinya semakin dosis yang
digunakan sesuai dengan yang pasien perlukan, maka semakin sedikit komplikasi
yang mungkin akan terjadi.

Penggunaan kateter juga memungkinkan ahli anestesi untuk melakukan re-


dose agen anestesi sekiranya operasi berlangsung lebih lama. Pemberian opioid
epidural juga membantu menangani nyeri pasca operasi.

Kekurangan dari anestesi epidural adalah onset obat yang lebih lambat dari
spinal, kemungkinan untuk terjadinya blok inkomplit, dan dosis yang lebih besar
berbanding obat spinal dapat meningkatkan resiko toksisitas obat anestesi lokal.

Analgesia lumbar epidural telah dipakai secara meluas untuk blok regional
penghilang nyeri saat persalinan, dan menimbulkan analgesia yang memuaskan
tanpa sedasi. Dengan memakai jarum epidural no 16 atau 18 G melewati
ligamentum flavum keruang epidural, biasanya pada L2 – 3, L3 – 4, atau L4 – 5.
Melalui jarum epidural dimasukkan kateter ukuran no 18 atau 20 G kearah sefald
dengan jarak 2 – 4 cm kedalam ruang epidural. Katete ini dilekatkandengan aman
ditempatnya dan menjadi tempat masuknya anastetik lokal, opioid atau keduanya
secara intermiten maupun injeksi yang terus menerus. Pemberian anastetik lokal
yang tidak pekt meminimalkan blok motorik dan membuat ibu hamil tetap
merasakan dorongan dipanggul saat janin mulai turun 3,4 .

5
II.5 INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI ANALGESIA EPIDURAL

Indikasi utama analgesia epidural adalah keinginan ibu untuk dihilangkan


nyerinya. Indikasi medik analgesia epidural selama proses persalinan adalah
antisipasi intubasi sulit, riwayat hipertermi maligna, penyakit-penyakit
kardiovaskular dan pernapasan, pencegahan atau pengobatan hiperrefleksia
otonom dalam persalinan karena lesi medula spinalis tinggi. Indikasi obstetrik
lebih bersifat kontroversi antara lain letak sungsang, kehamilan multipel, atau
naiknya risiko kelahiran bedah sesar darurat 4 .

Analgesia spinal/epidural atau kombinasi spinal-epidural adalah teknik


analgesia yang lebih dipilih untuk kebanyakan kasus preeklampsia dengan alasan
sebagai berikut 4 :

a. Bisa memberi analgesia yang lebih baik daripada teknik yang lainnya
b. Mengurangi konsentrasi katekolamin, mengendalikan tekanan darah ibu
hamil, dan pada beberapa kasus meningkatkan perfusi uteroplasenta
c. Dokter spesialis anestesiologi dpat menghindari penggunaan laringoskopi
dan intubasi, yang bisa mengakibatkan timbulnya hipertensi berat. Patut
diingat juga bahwa intubasi akan sulit atau tidak mungkin dilakukan
karena beberapa ibu preeklampsia menderita edema faringolaringeal.

Kontraindikasi analgesia spinal atau epidural adalah 4 :

 Pasien menolak atau tidak bisa bekerja sama

 Naiknya tekanan intrakranial akibat tumor otak

 Infeksi ditempat tusukan jarum

 Koagulopati

 Hipovolemia amternal yang belum terkoreksi

 Tidak ada orang yang terlatih atau berpengalaman dalam teknik ini

6
II.6 PATOFISIOLOGI DAN PENGARUH TERAPI

Rasa nyeri saat persalinan, disebabkan oleh kontraksi rahim dan dilatasi
serviks, ditrasnmisi oleh aferen visceral (simpatik) memasuki spinal cord
belakang dari T10 hingga L1. Selanjutnya terjadi juga peregangan perineum yang
mentransmisikan stimulus nyeri melalui saraf pudenda dan saraf sakral S2 hingga
S4. Respon stres ibu dapat menyebabkan peningkatan pelepasan corticotropin,
kortisol, norepinefrin, β-endorfin, dan epinefrin. Epinefrin dapat memiliki efek
relaksasi pada rahim. Studi pada domba betina hamil yang sehat menunjukkan
bahwa stres psikologis atau peningkatan nyeri kadar plasma ibu pada norepinefrin
sebesar 25% dan menurunkan aliran darah uterus sebesar 50%. Pelepasan
katekolamin juga disertai dengan peningkatan curah jantung ibu, resistensi
pembuluh darah sistemik, dan konsumsi oksigen. Untuk wanita dengan riwayat
penyakit jantung atau gangguan pernapasan, kenaikan tersebut mungkin sulit
untuk dipertahankan.

Analgesia epidural untuk persalinan dan melahirkan menggunakan injeksi


obat anestesi lokal (misalnya lidokain atau bupivakain) dan agen analgesik opioid
(misalnya, morfin atau fentanyl) ke dalam lumbar epidural space. Agen
disuntikkan secara bertahap melintasi dura ke ruang subarachnoid, di mana ia
bekerja pada akar saraf spinalis dan untuk tingkat yang lebih rendah pada spinal
cord belakang dan saraf paravertebral. Pada analgesia spinal, yang sering
dikombinasikan dengan analgesia epidural, agen analgesik disuntikkan langsung
ke dalam ruang subarachnoid, menghasilkan onset dengan efek yang lebih cepat.

Analgesia epidural yang sukses menghasilkan segmental simpatik dan blok


saraf sensorik dan penurunan katekolamin endogen dengan timbulnya nyeri.
Hipotensi atau normalisasi tekanan darah ke tingkat prelabor mungkin terjadi
dengan vasodilatasi, yang mungkin dihasilkan dari simpatik blokade saraf dan
penurunan sirkulasi catecolamine. Bagaimanapun ketika tekanan darah
dipertahankan, pengurangan hasil resistensi vaskuler dalam peningkatan statistik
signifikan dalam aliran darah uteroplasenta pada pasien sehat dan orang-orang
dengan pre-eklampsia berat. Tingkat dari efek motor neuron tergantung pada dasar
anestesi lokal. Namun, anestesi lokal neuraksial dalam dosis yang relevan secara

7
klinis hanya mempengaruhi otot rangka, agen ini tidak mengurangi amplitudo atau
frekuensi kontraksi myometrium 2.

II.7 TEKNIK ANALGESIA EPIDURAL

Manajemen nyeri merupakan bagian penting dari perawatan kebidanan yang


baik, meskipun tidak semua wanita meminta analgesia selama persalinan dan
melahirkan. Dokter kandungan harus membicarakan pilihan dengan pasien, tetapi
keputusan harus didasarkan pada preferensi pasien. Banyak pilihan yang efektif
yang tersedia untuk pengelolaan nyeri selama persalinan, termasuk opioid
sistemik dan alternatif pilihan non-farmakologis, seperti suntikan air steril,
akupunktur, Bantuan fromadoula (orang dengan pelatihan), dan terapi air di kamar
mandi atau mandi pusaran air. Teknik ini sering digunakan oleh perempuan di
awal persalinan, bahkan jika analgesia epidural diminta di lain waktu.

Ketika wanita meminta analgesia epidural, ia harus dievaluasi oleh ahli


anestesi, yang juga akan memperoleh informed consent. Kontraindikasi untuk
teknik neuraksial (spinal atau epidural) adalah koagulopati (termasuk
thromboprophylaxis berkelanjutan dengan berat molekul yang rendah atau
unfractionated heparin), maternal hipovolemia yang tidak dikoreksi, infeksi di
lokasi tusukan jarum, peningkatan tekanan intra kranial yang dapat menyebabkan
herniasi jika pungsi dural terjadi, dan pelatihan yang tidak memadai atau
pengalaman pada bagian dari mereka yang memberikan anestesi.

Pada saat penempatan blok saraf, peralatan darurat harus segera tersedia
untuk mengobati reaksi serius yang tak diinginkan. Ini termasuk hipotensi,
gangguan pernapasan, dan dalam kasus yang jarang, kejang dan serangan jantung.
Tindakan pencegahan diambil untuk mencegah infeksi termasuk menanggalkan
perhiasan, mencuci tangan secara hati-hati, penggunaan masker wajah yang baru,
dan disinfeksi punggung pasien dengan 2% chlorhexidine dalam alkohol.

Epidural space berlokasi yang berhubungan dengan penggunaan teknik


"hilangnya resistensi". Sebuah vertebral lumbar space dibawah vertebra L1, di
mana sumsum tulang belakang berakhir pada orang dewasa. Titik pertemuan garis
yang ditarik dari setiap krista iliaka berfungsi untuk menemukan proses spinosus

8
L4. Sebuah jarum epidural melekat pada jarum suntik udara atau salin maju
perlahan-lahan melalui ligamen tulang belakang saat tekanan diterapkan pada
plunger jarum suntik. Resistensi terhadap tekanan plunger hilang pada saat masuk
ke dalam epidural space. Jika penempatan sulit (misalnya, karena pasien obesitas),
penggunaan USG dapat digunakan untuk mengidentifikasi garis tengah dan
anatomi lainnya, kedalaman epidural space, dan intervertebralis space.

Setelah ruang epidural telah dimasukkan, kateter epidural berulir melalui


jarum dan ke dalam ruang. Jarum epidural kemudian ditarik, meninggalkan
kateter di tempat. Bolus Incremental agen analgesik yang dipilih diberikan melalui
kateter epidural. Anestesi lokal biasanya dikombinasikan dengan opioid untuk
tujuan ini. Kualitas analgesia yang ditingkatkan dengan penggunaan gabungan
dari anestesi lokal dan opioid dibandingkan dengan penggunaan agen tersebut
sendiri. Pendekatan ini juga mengurangi dosis setiap agen yang dibutuhkan
(membatasi toksisitas), memperpanjang efek analgesik, dan meningkatkan
kepuasan pasien, dibandingkan dengan penggunaan anestesi lokal saja. Contoh
kombinasi yang menyediakan blok sensorik yang sangat baik dengan relatif
sedikit blok motorik meliputi 0,125% bupivacaine atau 0,1% ropivacaine dengan
5 ug fentanyl per mililiter atau 1 ug sufentanil per mililiter.

Pilihan kedua untuk menginduksi analgesia adalah 25 sampai 27 "pensil-


point" spinal kebutuhan melalui jarum epidural (menggunakannya sebagai
introducer), dan menyuntikkan dosis kecil opioid, dengan atau tanpa bius lokal, ke
dalam cairan tulang belakang. Jarum spinal kemudian ditarik, dan kateter epidural
ditempatkan melalui jarum epidural seperti dijelaskan di atas. Pendekatan ini
disebut gabungan analgesia spinal-epidural.

Pilihan menggunakan bolus epidural atau dosis tulang belakang (spinal


gabungan-epidural) untuk memulai blok sebagian besar didasarkan pada
preferensi penyedia. Opioid spinal memberikan analgesia yang sangat baik tanpa
motor blok pada awal persalinan, yang berguna bagi wanita yang ingin berjalan
(kadang-kadang merujuk kembali sebagai epidural berjalan) atau untuk
memungkinkan posisi selain posisi terlentang. Selain itu, timbulnya analgesia
spinal lebih cepat dibandingkan dengan analgesia epidural, dan menyebar ke akar

9
saraf sakral lebih dapat diandalkan, membuat analgesia spinal berguna. Namun,
hasil keseluruhan dan komplikasi yang terkait dengan teknik epidural dan
gabungan teknik spinal-epidural sama.

Pemeliharaan analgesia dapat dicapai dengan memungkinkan infus anestesi


dan opioid agen lokal encer melalui kateter epidural atau dengan memberikan
kontrol pasien dengan pemberian bolus intermiten. Manfaat dari teknik pasien
yang dikendalikan meliputi kepuasan pasien yang lebih besar, lebih sedikit
intervensi oleh dokter anestesi, mengurangi kebutuhan untuk anestesi lokal, dan
mengurangi blok motorik. Kebanyakan rejimen menggabungkan tingkat infus
basal bolus dengan pasien yang dikendalikan. Tarif infus yang efektif dapat
bervariasi, tergantung pada variasi individu dalam respon terhadap rasa sakit, dan
harapan pasien untuk pengalaman melahirkan. Tarif dapat ditingkatkan dalam
kasus-kasus kontrol nyeri yang tidak memadai dan menurun ketika ada blok
motorik berlebihan.

Tekanan darah ibu harus dipantau setiap saat, dan denyut jantung janin
setiap saat atau terus-menerus, sepanjang pemberian anestesi. Selama posisi ibu
untuk penempatan kateter epidural, pemantauan janin terus menerus mungkin
tidak dapat dilakukan tanpa penggunaan elektroda. Tingkat kehilangan sensorik
dermatom dan blok motor harus dievaluasi secara berkala setelah blok inisiasi dan
infus sedang diberikan. Pemantauan pernapasan harus dilakukan setiap jam. Jika
pasien ingin keluar dari tempat tidur setelah penempatan epidural, tanda-tanda
vital ortostatik dan kekuatan motorik harus normal.

Infus epidural dihentikan setelah melahirkan, dan kateter dihilangkan. Tidak


ada manfaat untuk menghentikan infus selama tahap kedua persalinan, saat pasien
mendorong, meskipun blok motor harus diminimalkan dengan menyesuaikan
tingkat infus. Jika sesar diperlukan, kateter epidural dapat digunakan untuk
memberikan anestesi dengan anestesi lokal yang lebih terkonsentrasi.

Ketika digunakan untuk persalinan, analgesia epidural diperkirakan sedikit


lebih mahal daripada analgesia intravena. Dalam satu penelitian AS yang
diterbitkan pada tahun 2002, perkiraan biaya persalinan vagina dengan

10
penggunaan analgesia intravena adalah $3.117, dengan analgesia epidural,
perkiraan biaya adalah $3.455 3 .

Gambar : Teknik penusukan anestesi epidural

11
II.8 KOMPLIKASI DAN EFEK SAMPING ANALGESIA EPIDURAL

Efek samping yang paling sering terjadi pada analgesia epidural adalah
hipotensi maternal. Pada saat pemberian analgesia epidural, pasien harus diberi
500-1000 ml cairan kristaloid yang tidak mengandung glukosa ( contohya RL atau
ringer asetat). Pemberian infus yang mengandung cairan glukosa secar cepat harus
diminmalkan selama proses persalinan karena berpotensi menyebabkan asidemia
dan hipoglikemia janin. Jika timbul hipotensi harus diperbaiki dengan tambahan
cairan intravena atau pemberian 5 – 10 mg efedrin secara i.v. atau keduanya.
Sebagai tambahan, kompresi aortokaval harus dihindari setiap saat. Pasien
berbaring telentang kira-kira 30° left uterine displacement, atau berbaring dengan
posisi decubitus lateral kiri atau kanan.

Pemakaian bupivakain untuk analgesia epidural dihubungkan dengan


perlambatan denyut jantung janin (djj) untuk sementara. Satu penelitian
retrospektif meneliti hubungan antara perlambatan djj (dibawah 120 denyut/menit
dalam paling tidak selama 2 menit) dengan hipertonus uterus pada pasien yang
menerima analgesia epidural bupivakain selama proses persalinan. Kebalikannya,
studi yang prospektif meneliti tidak adanya pola djj yang tidak normal setelah
pemberian analgesia epidural bupivakain atau lidokain dengan epinefrin untuk
operasi bedah sesar berencana. Ketika hemodinamik maternal berubah, karena
hipotensi maternal akibat anastesia regional atau perdarahan maternal,
diindikasikan untuk mengetatkan pengawasan terhadap janin.

Komplikasi serius yang paling sering muncul dengan segera dari analgesia
epidural adalah toksisitas anastetik lokal sistemik dan anastesia spinal tinggi atau
total. Tanda dan gejala dari keracunan obat anastesia lokal termasuk mengantuk,
sakit kepala ringan, tinitus, sirkumoral, rasa besi dimulut, penglihatan kabur,
ketidaksadaran, kejang serta disritmia dan henti jantung. Tanda-tanda dan gejala-
gejala dari analgesia spinal tinggi termasuk mati rasa dan lemas pada ekstremitas
atas, dispnea, bicara berbisik, ketidakmampuan bicara, dan akhirnya apnea serta
hilang kesadaran.

12
Tindakan yang akan meminimalkan komplikasi-komplikasi seperti ini
termasuk aspirasi kateter sebelum setiap dosis dari anastesia lokal dan pemberian
test-dose anastetik lokal sebelum pemberian dosis terapi. Test-dose akan
mengenali ketidaksengajaan penyuntikan kedalam intravena atau subaraknoid
anastesia lokal tanpa menyebabkan keracunan sistemik atau anastesia total spinal.
Pemebria 15 μg epinefrin pada test-dose akan mengenali ketidaksengajaan injeksi
intravena, gejalanya berupa takikardia maternal sementara yang khas. Jika terjadi
sedikit blok atau tidak ada blok setelah injeksi dari dosis terapi anestesia local
yang tepat, harus dipertimbangkan kemungkinan pasien pasien telah diijeksi
secara intravena.

Pengobatan toksisitas sistemik anesthesia local adalah pemberian oksigen


murni, dengan penggunaan ventilasi tekanan positif jika diperlukan. Intubasi
endotrakeal akan memudahkan ventilasi dan membantu menjaga jalan napas.
Dosis rendah dari thiopental (25 – 50 mg) atau diazepam (2,5 -5,0 mg) akan
menghentikan kejang. Alternatif lain, pemberian suksinilkolin (1 mg/kg)akan
menghentikan aktivitas otot rangka dan memudahkan intubasi endotrakeal.
Kompresi aortokaval harus dihindari setiap saat dan cairan intravena dan obat
vasoaktif harus diberikan untuk mendukung sirkulasi maternal. Bradikardi harus
diobati dengan atropine (0,6 – 1,0 mg) dan takikardia ventricular diobati dengan
bretilium (5 mg/kg). fibrilasi ventricular diobati dengan bretilium, epinefrin, dan
defibrilasi.

Pengobatan anesthesia spinal total adalah pemebrian oksigen murni dan


penggunaan ventilasi tekanan positif, lebih baik melalui pipa endotrakeal.
Kompresi aortovokal harus dihindari setiap saat. Cairan intravena dan obat
vasoaktif (contoh efedrin) harus diberikan untuk memperbaiki sirkulasi maternal.
Jika muncul hipotensi yang hebat dan pasien tidak merespon dosis efedrin dengan
semestinya, epinefrin dosis resusitasi (0,5 – 1,0 mg) harus diberikan. Demikian
juga, epinefrin harus diberikan pada kasus bradikardia berat.

Pada kasus henti jantung dan resusitasinya gagal, dokter harus


mempertimbangkan persalinan dengan segera. Kelahiran bayi dalam waktu 4 -5
menit dari saat henti jantung, akan memaksimalkan kemungkinan bayi lahir

13
selamat. Tindakan ini tidak berbahaya bagi ibu. Karena pengosongan uterus akan
menghilangkan kompresi aortokaval, tindakan ini menguntungkan, meskipun
belum bisa dibuktikan.

Komplikasi lain analgesia epidural termasuk retensi urin antepartum dan


sakit kepala pascapersalinan (sebagai efek dari dural puncture yang tidak sengaja).
Sakit kepala setelah melahirkan terjadi kurang dari 2% kasus pemberian analgesia
epidural. Tindakan konservatif (misalnya bedrest, oral, atau intravena kafein, oral
teofilin) memperbaiki gejala-gejala pada sebagian kecil pasien. Pengobatan yang
pasti untuk postdural puncture headache adalah autologous epidural blood patch.

Akibat jangka panjang yang serius (contohnya sekunder paralisis dari


epidural hematoma atau abses) jarang terjadi. Bagaimanapun, epidural hematoma
atau abses diperkirakan terjadi jika hilangnya efek blok lambat atau tidak terjadi
atau jika fungsi saraf memburuk setelah sebelumnya sudah terjadi masa
pemulihan dari analgesia regional. Gejala utama adalah nyeri dan lemah (dan
demam pada pasien dengan abses epidural) yang akan berkembang menjadi
kelumpuhan. Laminektomi awal dan surgical drainage adalah satu-satunya
pertolongan untuk mempertahankan atau memperbaiki fungsi saraf.

Masih terjadi kontroversi menyangkut efek analgesia epidural pada proses


persalinan pada kala satu dan dua dan efeknya pada operative delivery rate.
Percobaan terkontrol yang acak memeperlihatkan hasil yang bertolak belakang.
Beberapa dokter percaya bahwa ada sebab akibat yang berhubungan antara
analgesia epidural, proses persalinan yang lama dan persalinan operatif. Pendapat
yang lain bahwa ibu hamil pada risiko yang meningkat untuk persalinan operatif
adalah lebih kepada pengalaman nyeri yang parah dan permintaan analgesia
epidural selama proses persalinan 4 .

14
Menurut wiiliam, komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang diberikan
analgesia epidural yaitu 1 :

Hipotensi

Blokade simpatetik dari agen analgesik yang diijeksikan secara epidural


dapat menyebabkan hipotensi dan pengurangan curah jantung. Pada perempuan
hamil normal, hipotensi yang diinduksi oleh analgesia epidural biasanya dapat
dicegah dengan infus cepat 500 – 1000 ml larutan kristaloid. Mempertahankan ibu
dalam posisi lateral akan meminimalkan hipotensi dibandingkan dengan posisi
telentang. Disamping tindakan pencegahan ini, hipotensi adalah efek samping
yang paling sering terjadi dan cukup berat hingga memerlukan terapi pada
sepertiga perempuan.

Stimulasi saraf pusat

Kejang merupakan komplikasi yang jarang tetapi serius, diperlukan


penatalaksanaan segera.

Demam

Suhu rata-rata menigkat pada ibu melahirkan yang diberikan analgesia


epidural.etiologi hipertermia pada ibu adalah infeksi ibu-janin atau disregulasi
suhu tubuh. Histopatologi plasenta pada ibu melahirkan yang diberikan analgesia
epidural dan diketahui bahwa demam intrapartum hanya terjadi ketika terdapat
inflamasi plasenta. Hal ini mengarahkan bahwa demam diakibatkan oleh infeksi.
Mekanisme lain yang mungkin adalah perubahan tiitk termoregulator
hipotalamus, gangguan masukan termoreseptor perifer ke sistem saraf pusat
dengan blockade selektif terhadap stimulus hangat, atau ketidak seimbangan
antara produksi panas dan panas yang hilang. Hipertermia terlihat pada sebagian
kecil ibu dan bahwa hal itu terjadi segera stelah injeksi epidural. Apapun
mekanismenya, ibu dengan demam persisten biasanya diterapi dengan
antimikroba yang biasa diberikan untuk korioamnionitis.

Nyeri punggung

Nyeri punggung stelah pelahiran sering terjadi dengan analgesia epidural,


tetapi, nyeri yang menetap jarang terjadi.

15
Detak jantung janin

Detak jantung janin selama persalinan telah dilaporkan dalam 10 sampai


20% pasien setelah memulai analgesia neuraksial, meskipun hasil yang merugikan
neonatal belum dilaporkan. Kontraksi uterus hipertonik dapat terjadi lebih sering
setelah pemberian opioid spinal daripada setelah epidural dan mungkin hasil dari
penurunan cepat kadar plasma epinefrin (yaitu, penurunan aktivitas tokolitik β-
agonis) disebabkan oleh onset yang analgesia sangat cepat. Relaksasi uterine
dapat dicapai dengan pemberian intravena 250 mg dari terbutaline atau 50 sampai
150 mg nitrogliserin atau dengan pemberian 400 mg nitrogliserin. Retensi urin
selama analgesia epidural adalah umum, tetapi dapat diminimalkan dengan
menghindari blok motorik dan blok sensorik 2 .

Komplikasi lainnya

Injeksi intratekal dengan dosis besar anestesi lokal dapat menyebabkan blok
spinal tinggi, menyebabkan gangguan pernapasan, dan injeksi intravena tidak
disengaja dapat menyebabkan darah tinggi tingkat anestesi lokal, sehingga kejang
dan serangan jantung. Peralatan darurat harus selalu segera tersedia. Emulsi lipid
intravena telah muncul sebagai terapi efektif untuk efek kardiotoksik dari anestesi
lokal seperti bupivacaine atau ropivacaine. Terapi tersebut harus tersedia setiap
kali anestesi regional disediakan 2 .

16
BAB III

KESIMPULAN

Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi teknik anestesi yang


akan digunakan. Pemilihan teknik anestesi pada pasien obstetri (khususnya pada
sectio cesarea) mempengaruhi prognosa dan komplikasi pasien pasca operasi.
Beberapa hal seperti keadaan kehamilan, keadaan umum pasien pra-pembedahan,
dan tingkat kemampuan ahli anestesi yang ada berpengaruh terhadap jenis
anestesi yang akan dilakukan.

Pemilihan teknik anestesi bukan hanya mempengaruhi keadaan ibu selama


dan pasca pembedahan, tetapi juga keadaan bayi. Oleh karena itu selama operasi
berlangsung, seorang ahli anestesi harus memikirkan bahwa saat itu dia memiliki
dua pasien yaitu sang ibu dan bayinya.

Anestesi regional (spinal atau epidural) dengan teknik yang sederhana, lebih
disukai karena ibu tetap sadar, bahaya aspirasi minimal, namun sering
menimbulkan mual muntah sewaktu pembedahan, bahaya hipotensi lebih besar,
serta timbul sakit kepala pasca bedah.

Efek samping yang dapat terjadi pada anestesi epidural diantaranya ;


hipotensi, stimulasi saraf pusat (kejang), demam, nyeri punggung, Kontraksi
uterus hipertonik serta gangguan pernapasan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, FG., et al. 2013. Obstetri Williams (Williams Obstetri). Jakarta


: EGC.

2. Joy L. Hawkins, M.D. 2014. Penggunaan Epidural Analgesia untuk


Persalinan. The New England Journal of Medicine.

3. Kleinman, Wayne. 2006. Spinal, Epidural, and Caudal Blocks.dalam:


Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. Clinical Anesthesiology 4th
edition. USA: Lange Medical Book .

4. Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Ilmu Kebidanan. Yogyakarta : Yayasan Bina


Pustaka Sarwono Prawirihardjo.

18

Anda mungkin juga menyukai