Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

DEMAM REMATIK AKUT DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Oleh:
Serinda Okky Silawati,S.Ked
J510181057

Pembimbing:
dr.Setyo Utomo,Sp.JP.FIHA

BAGIAN KEPANITERAAN ILMU PEYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
REFERAT
DEMAM REMATIK AKUT DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Oleh:
Serinda Okky Silawati,S.Ked
J510181057

Pembimbing:
dr.Setyo Utomo,Sp.JP.FIHA

BAGIAN KEPANITERAAN ILMU PEYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
REFERAT
DEMAM REMATIK AKUT DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Yang diajukan oleh :


Serinda Okky Silawati
J510181057

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada ..................................................

Pembimbing:
dr.Setyo Utomo,Sp.JP.FIHA (...........................)

dipresentasikan dihadapan:
dr.Setyo Utomo,Sp.JP.FIHA (...........................)

Disahkan Ka Program Profesi:


dr.Flora Ramona, Sp.KK, M.Kes (...........................)

BAGIAN KEPANITERAAN ILMU PEYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Demam rematik akut merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non


supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskuler kolagen atau kelainan jaringan
ikat. Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai
banyak organ tubuh terutama jantung, sendi, dan sistem saraf pusat (Pereira, et al.,
2015).

Demam rematik akut merupakan komplikasi non supuratif yang terjadi pada
0,3-3% kasus faringitis Streptococcus-hemolyticus grup A. Meskipun diduga
proses autoimun berperan, tetapi patogenesisnya masih belum jelas. Komplikasi ini
mengenai sendi besar, kulit, jaringan sub-cutan, otak, dan jantung (Rahajoe, 2012).

Pada 30%-70% pasien demam rematik akut yang tidak mendapat


penanganan baik, dapat terjadi komplikasi pankarditis (perikarditis, miokarditis,
endokarditis) pada serangan pertama. Kerusakan katub jantung umumnya
berlangsung kronis, dikenal dengan penyakit jantung rematik yang dapat
menyebabkan komplikasi gagal jantung kongestif bahkan kematian (Pereira, et al.,
2015).
BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Epidemiologi
Demam rematik akut banyak menimpa anak-anak di negara
berkembang. Kejadiaannya dihubungkan dengan kemiskinan atau sosial
ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, dan akses pelayanan kesehatan
yang sulit dijangkau. Di negara-negara industri, insidensi dan prevalensi
demam rematik akut menurun drastis sejalan dengan perbaikan sosial dan
ekonomi dan higiene penduduknya, serta kemudahan akses pelayanan
kesehatan yang berkualitas (Pereira, et al., 2015).

B. Diagnosis
Saat ini, diagnosis demam rematik masih didasarkan pada
serangkaian kriteria, yaitu kriteria Jones, yang telah ditinjau oleh American
Heart Association (AHA). Diagnosis demam rematik akut ditegakkan bila
terdapat dua kriteria mayor, satau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor,
disertai dengan bukti faringitis Streptococcus sebelumnya (Rahajoe, 2012).

Gambar 1. Kriteria Jones


1. Kriteria Mayor
• Poli arthritis migrans
Artritis merupakan gejala mayor yang sering ditemukan pada
demam rematik akut. Poliartritis migrans ditandai dengan kemerahan,
pembengkakan, dan nyeri pada sendi. Sendi besar seperti lutut, siku,
pergelangan tangan, dan pergelangan kaki adalah yang paling sering terkena
(Leman, 2012). Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-
24 jam yang diikuti dengan reaksi radang dan berlangsung selama 2-6 hari.
Nyeri akan menghilang secara perlahan-lahan (jarang lebih dari 4 minggu).
Respon terhadap inflamasi nonsteroid obat-obatan sangat baik, dengan
remisi gejala dalam 48-72 jam (Rahajoe, 2012).
• Carditis/Pankarditis
Karditis merupakan manifestasi klinis yang paling penting dengan
insiden 40-50% dan biasanya akan berlanjut menjadi gagal jantung. Karditis
biasanya asimtomatik. Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami
dispnea ringan-sedang, rasa tak nyaman di dada atau nyeri pleutitik, edema,
batuk, atau ortopnea (Pereira, et al., 2015).
Lapisan yang paling sering terkena adalah endokardium. Pada
endokarditis, katub yang paling sering terkena dampak adalah katub mitral,
diikuti dengan katub aorta, trikuspid, dan pulmonal. Regurgitasi mitral
bermanifestasi sebagai murmur sistolik apikal menjalar sampai aksila.
Kadang juga disertai dengan bising mid diastolik (bising Carey Coombs).
Murmur baru atau perubahan murmur merupakan tanda khas dari valvulitis
rematik. Murmur demam rematik akut umumnya berasal dari regurgitasi
katub, sedangkan murmur penyakit jantung rematik berasal dari stenosis
katub. Kadang-kadang, miokarditis dan perikarditis dapat hadir. Dengan
tidak adanya valvulitis, manifestasi ini jarang terjadi demam rematik
(Rahajoe, 2012).
Gagal jantung kongestif dapat terjadi sekunder akibat insufisiensi
katub yang parah atau miokarditis, ditandai dengan takipnea, ortopnea,
distensi vena jugularis, rhonkhi, hepatomegali, irama gallop, dan edema
perifer (Rahajoe, 2012).
Friction rub perikardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang
redup, suara jantung yang melemah, dan pulsus paradoksus merupakan
tanda khas efusi perikard dan tamponade kordis yang mengancam. Perlu
segera dipastikan dengan pemeriksaan EKG dan selanjutnya dilakukan
perikardiosintesis bila perlu (Pereira, et al., 2015).
• Chorea sydenham
Chorea dapat merupakan manifestasi klinis sendiri atau bersamaan
dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea adalah 2-6 bulan
atau lebih sehingga pasien sering lupa atau menyangkal pernah mengalami
faringitis Streptococcus. Chorea lebih sering mengenai anak perempuan
umur 8-12 tahun. Chorea ditandai dengan gerakan tidak terkontrol pada
wajah dan anggota gerak, bicara cadel, menjatuhkan atau melempar benda-
benda seperti piring, cangkir, buku catatan, ada labilitas emosional yang
cukup besar, mudah bergantian antara menangis dan tertawa (Pereira, et al.,
2015).
 Erythema marginatum atau eritema anulare
adalah lesi makula merah muda yang tidak nyeri dan tidak gatal
dengan margin membulat dan bagian tengah pucat. Umunya ditemukan di
dada atau punggung (Pereira, et al., 2015).

Gambar 2. Eritema marginatum


 Nodul subkutan
Besarnya kira-kira 1,5-2 cm, bulat, tidak nyeri dan biasanya terletak
di permukaan ekstensor siku, lutut, pergelangan kaki, buku-buka jari,
kulit kepala, dan processus spinosus vertebra lumbal dan thoraks
(Pereira, et al., 2015).

Gambar 3. Nodul subcutan


2. Kriteria minor
 Artralgia, yaitu nyeri pada beberapa sendi yang tidak disertai
warna kemerahan atau pembengkakan.
 Demam, biasanya tinggi mencapai 39oC
 Penanda peradangan akut pada pemeriksaan darah, umunya tidak
spesifik:
o LED dan CRP umumnya meningkat pada demam rematik
akut.
o Blok atrioventrikuler derajat 1, ditandai pemanjangan
interval PR. Keberadaannya tidak bisa dipakai untuk
prediktor terjadinya PJR (Rahajoe, 2012).
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Kultur apusan tenggorok. Sebaiknya dilakukan sebelum pemberian
antibiotik. Teknik pengambilan yang benar yaitu usapan pada kedua
tonsil dan faring posterior (Rahajoe, 2012).
b. Pemeriksaan darah meliputi
1) Rapid test antigen streptococcus
2) Tes antibodi Streptococcus. Kadarnya mencapai puncak ketika
gejala klinis DRA muncul. Tes ini sangat bermanfaat bagi pasien
DRA yang gejalanya hanya chorea. Test antibodi yang dapat
digunakan:
- Anti-streptolisin O / ASO
Titer ASO naik >333 unit pada anak, dan >250 unit
pada dewasa.
- Antidesoxyribonuclease B
Nilai normal titer pada anak pra sekolah adalah 1:60
unit dan pada anak sekolah 1:480 unit
- Peningkatan streptokinase
3) LED dan CRP meningkat pada fase akut.
(Rahajoe, 2012)
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto rontgen toraks dibuat untuk mendeteksi kardiomegali dan
kongesti pulmonal sebagai tanda GJK (pada karditis) (Rahajoe, 2012).
3. Pemeriksaan EKG
Pada EKG sering ditemukan sinus takikardi. Blok AV derajat 1 juga
dapat ditemukan pada DRA, kelainan ini dihubungkan dengan proses
inflamasi lokal yang berpengaruh pada AV node. Nilai normal PR
interval adalah 0,16 detik sampai 0,20 detik.
Pada EKG juga dapat dijumpai tanda-tanda perikarditis akut yaitu
elevasi segmen ST pada lead II, III, aVF, dan V4-V6.
Selain itu, pasien PJR juga bisa mengalami atrial flutter atau atrial
fibrilasi pada PJR katub mitral yang kronis.
4. Pemeriksaan ekokardiografi
Pada pasien PJR, ekokardiografi doppler digunakan untuk
mengidentifikasikan dan menilai derajat insufisiensi atau stenosis katub,
efusi perikard, dan disfungsi ventrikel.
Pada pasien demam rematik akut dengan karditis ringan, Doppler
mungkin memperlihatkan regurgitasi mitral yang menghilang beberapa
minggu kemudian. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi
anulus, elongasi kordae mitral dan semburan mitral ke postero-lateral.
Pada PJR kronis, ekokardiografi akan mendeteksi adanya stenosis
katub (akibat penebalan atau pengapuran katub, fusi komisura atau
kordae tendinea) (Conti, 2016).

D. Diagnosis Banding
1. Reumatoid arthritis
2. Kawasaki disease
3. Takayasu disease
4. Lyme disease

E. Tatalaksana
Tujuan terapi pertama adalah pemberantasan agen infeksi penyebab,
Streptococcus hemoliticus grup A: penicillin G benzathine, IM, 1.200.000
U, untuk anak-anak dengan berat lebih dari 20 kg; 600.000 U untuk anak-
anak beratnya kurang 20 kg (Pereira, et al., 2015).
Alternatif
• Untuk pasien dengan gangguan hemoragik (tidak bisa menerima obat
melalui rute IM) penicillin-V, peroral (50mg / kg / hari, 4 kali sehari) atau
amoxicillin (50mg / kg / hari, diminum tiga kali sehari), keduanya selama
10 hari (Almazini, 2014).
• Untuk pasien atopik, alergi terhadap penisilin dan turunannya:
eritromisin (40mg / kg / hari, empat kali sehari selama 10 hari) atau
azitromisin (20mg / kg / hari, sekali sehari selama 3 hari) (Almazini, 2014).

Pengobatan sesuai manifestasi klinis pasien:


• Arthritis: obat anti-inflamasi nonsteroid untuk sekitar 7–10 hari, lebih
disukai secara peroral:
o Asam asetil-salisilat (80-100 mg / kg / hari);
o Naproxen (10–20mg / kg / hari);
o Ibuprofen (30-40mg / kg / hari);
o Ketoprofen (1,5mg / kg / hari)
• Carditis: prednisone (1-2mg / kg / hari), secara oral, maksimum 60mg /
hari. Gunakan dosis penuh, difraksinasi menjadi 2 atau 3 setiap hari dosis
selama 15 hari; kemudian kurangi 20-25% dosis per minggu. Catatan: dalam
kasus arthritis dan karditis, tidak perlu menggunakan obat anti-inflamasi
nonsteroid (Pereira, et al., 2015).
• Chorea: haloperidol, oral, dengan dosis 1mg / hari dua kali sehari.
Tingkatkan 0,5mg setiap 3 hari hingga menjadi baik respon tercapai (lebih
dari 75% pengampunan gerakan) atau hingga dosis maksimum 5mg / hari.
Pengobatan durasi tiga bulan (Pereira, et al., 2015).
Catatan: Dosis yang mendekati dosis maksimum dapat menyebabkan
impregnasi atau sindrom ekstrapiramidal. Asam valproat (30mg / kg / hari,
secara oral, dimulai dengan 10mg / kg / hari dan meningkatkan 10mg / kg,
mingguan) diindikasikan sebagai alternatif.
F. Prognosis
Demam rematik tidak akan kambuh bila infeksi Streptococcus
diatasi. Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada saat permulaan
serangan akut. Selama 5 tahun pertama, serangan demam rematik dan
penyakit jantung rematik tidak membaik bila bising jantung organik katub
tidak menghilang. Prognosisnya memburuk bila gejala karditisnya lebih
berat.
G. Profilaksis
Profilaksis primer
Profilaksis primer dari demam rematik akut adalah dengan
identifikasi dan pengobatan yang tepat infeksi saluran napas bagian atas,
seperti faringotonsilitis, disebabkan oleh Streptococcus -hemolytic Grup A.
Antibiotik yang direkomendasikan sama dengan yang digunakan untuk
pemberantasan agen seperti yang dijelaskan di atas (Pereira, et al., 2015).
Profilaksis sekunder
adalah dengan penggunaan jangka panjang dan sporadis antibiotik yang
mempertahankan konsentrasi penghambatan minimum untuk Streptococcus
Grup A, yang bertujuan untuk mencegah demam rematik kambuh pada
pasien yang sudah pernah mengalami wabah pertama penyakit. Yang paling
umum digunakan dan obat yang paling efektif adalah:
• Penicillin G benzathine, IM, setiap 21 hari, 1.200.000 U, untuk anak-anak
dengan berat lebih dari 20 kg dan 600.000 U untuk anak-anak beratnya
mencapai 20 kg.
Sebagai alternatif, hal-hal berikut ini ditunjukkan:
• Pasien dengan penyakit hemoragik (yang tidak dapat menerima Obat IM):
oral V-penicillin (250mg, dua kali sehari, setiap hari).
• Pasien atopik yang alergi terhadap penisilin dan turunannya: eritromisin
(250mg dua kali sehari) atau sulfadiazine (500mg untuk pasien hingga 30
kg, 1 g untuk yang beratnya lebih dari 30 kg), keduanya daily (Almazini,
2014).

H. Kesimpulan
Mengingat tingginya prevalensi penyakit, khususnya di negara-
negara berkembang, kriteria Jones merupakan ukuran penting untuk
meningkatkan sensitivitas diagnostik, sehingga identifikasi penyakit lebih
dini, sehingga mengurangi dampak sosial dari penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA

Bibliography
Almazini, P., 2014. Antibiotik untuk demam rematik akut dan penyakit jantung rematik.
Kalbe Med, 41(7), pp. 497-502.
Conti, R., 2016. Mitral Stenosis : a Review. Cardivascular Innovations and Application,
pp. 1-7.
Leman, S., 2012. Demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. In: A. Sudoyo, ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing, p. 1662.
Pereira, B., Bello, A. & Silva, N., 2015. Rheumatic fever: update on the Jones criteria.
REVISTA BRASILEIRA DE Rheumatologia, 57(4), pp. 364-368.
Rahajoe, A. U., 2012. Demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. In: Penyakit
Kardiovaskuler. Jakarta: s.n., pp. 331-341.

Anda mungkin juga menyukai