Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian & Konsep Dasar (General Rule) PPN dan PPn BM

1) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah
Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi (Siti Resmi,
2012:1). Dalam Dirjen Pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didefinisikan sebagai pajak
yang dikenakan atas setiap pembelian Barang Kena Pajak dan pemanfaatan Jasa Kena
Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean.
Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga dikenakan PPN,
kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN. Misalnya barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang-
barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan
minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya dan
uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Ada juga barang yang merupakan Barang
Kena Pajak tetapi PPNnya dibebaskan, misalnya buku pelajaran umum dan buku pelajaran
agama dan barang-barang tertentunya.

2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)


Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan atas
penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh pengusaha
yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah
Pabean Indonesia dalam usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang tergolong
mewah.
PPn BM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPn BM ini sedikit berbeda
dengan PPN.
Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang PPN, Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dikenakan terhadap:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
b. Impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah. Dengan demikian, PPnBM hanya
dikenakan pada saat penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh pabrikan (pengusaha
yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP yang Tergolong Mewah. PPnBM tidak
dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun pihak yang memungut PPnBM
tentu saja pabrikan BKP yang Tergolong Mewah pada saat melakukan penyerahan atau
penjualan BKP yang Tergolong Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP yang
Tergolong Mewah dilunasi oleh importir.

2.2 Dasar Hukum PPN dan PPn BM

1. Dasar Hukum PPN


Undang-Undang yang mengatur tentang pajak pertambahan nilai (PPN) barang dan
jasa dan pajak penjualan atas barang mewah adalah UU No. 42 Tahun 2009. Setelah
sebelumnya mengalami perubahan dari UU No. 8 Tahun 1983, selanjutnya diubah
menjadi UU No. 11 Tahun 1994 dan berubah lagi dengan UU No. 18 Tahun 2000.
2. Dasar hukum PPnBM
- Pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 10 UU PPN
- PP Nomor 145 Tahun 2000
- KMK-569/2000 sttd PMK-355/2003
- KMK-570/2000 diganti dgn PMK-620/04
- PMK-35/2008
2.3 Syarat Suatu Penyerahan Barang atau Jasa yang Terutang PPN
A. Barang Kena Pajak
Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak
berwujud yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
B. Jasa Kena Pajak
Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas
atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

PENYERAHAN YANG DIKENAKAN PPN :

1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

2. Impor Barang Kena Pajak;

3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;

5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau

6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak

TERMASUK DALAM PENGERTIAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK :

1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;

2. Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;

3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

4. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-Cuma atas Barang Kena Pajak;
5. Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas
perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;

6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang
Kena Pajak antar Cabang;

7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi

SYARAT PENYERAHAN BARANG YANG DIKENAKAN PPN:

1. Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;

2. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud.

3. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean

4. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

SYARAT PENYERAHAN JASA YANG DIKENAKAN PPN:

1. Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak

2. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean

3. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

TIDAK TERMASUK DALAM PENGERTIAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undang Hukum Dagang;

2. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;

2.4 Subyek dan Obyek PPN & PPn BM

 Subjek PPN
Subjek PPN dibagi 2 yaitu :
1. PKP
PPN akan terutang (dipungut oleh PKP) dalam hal:
a. PKP melakukan penyerahan BKP
b. PKP melakukan penyerahan JKP
c. PKP melakukan ekspor BKP, ekspor BKP Tidak Berwujud, ekspor JKP
2. Non PKP
PPN akan tetap terutang walaupun yang melakukan kegiatan yang merupakan objek PPN adalah
bukan PKP, yaitu dalam hal:
a. impor BKP
b. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
c. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
d. Melakukan kegiatan membangun sendiri (Pasal 16C UU PPN)
 Objek PPN
Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah objek PPN. Tetapi oleh karena adanya pertimbangan
ekonomi, sosial dan budaya, maka diatur sendiri oleh Undang-undang PPN bahwa ada barang dan
jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan dari pengenaan PPN dan dibebaskan dari
pungutan PPN.

Objek PPN dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu:


1. Barang Kena Pajak yaitu barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai.
2. Jasa Kena Pajak yaitu setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia
untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 42 tahun 2009 telah menjelaskan apa saja yang menjadi objek PPN dalam pasal:
1. Pasal 4 ayat (1):
Dalam 4 ayat (1) Undang-undang PPN disebutkan PPN dikenakan atas:
a) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b) Impor Barang Kena Pajak;
c) Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
e) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h) Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
2. Pasal 16 C
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
3. Pasal 16 D
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas
penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

 Bukan Objek PPN


selain mengatur mengenai apa saja yang menjadi objek PPN, Undang-Undang PPN juga mengatur
mengenai apa saja Barang tidak kena Pajak (non BKP) dan Jasa tidak kena pajak (non JKP)

 Barang tidak kena pajak (non BKP)


Berdasarkan Pasal 4A ayat (2), Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah
barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut :
a) barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b) barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d) uang, emas batangan, dan surat berharga.
 Jasa tidak Kena Pajak (non JKP)
Berdasarkan Pasal 4A ayat (3), Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa
tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a) jasa pelayanan kesehatan medis;
b) jasa pelayanan sosial;
c) jasa pengiriman surat dengan perangko;
d) jasa keuangan;
e) jasa asuransi;
f) jasa keagamaan;
g) jasa pendidikan;
h) jasa kesenian dan hiburan;
i) jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j) jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k) jasa tenaga kerja;
l) jasa perhotelan;
m) jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum;
n) jasa penyediaan tempat parkir;
o) jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p) jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q) jasa boga atau katering.

• Subjek dan Objek PPnBM


– Subjek PPnBM
• PKP yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah
• PKP yang mengimpor barang yang tergolong mewah
– Objek PPnBM
• Penyerahan barang berwujud yang tergolong mewah
• Impor barang berwujud yang tergolong mewah

2.4Mekanisme Pemungutan PPN dan PPn BM

Mekanisme Pemungutan PPN

1. Secara umum PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP dipungut oleh PKP
Penjual. Dengan demikian, pembeli BKP/JKP yang bersangkutan wajib membayar kepada
PKP Penjual sebesar harga jual ditambah PPN yang terutang (10%).

2. Dalam hal harga jual atau penggantian telah termasuk PPN, maka PPN yang terutang atas
penyerahan BKP/JKP tersebut dihitung dengan formula : 10/110 x harga jual atau
penggantian.

3. Apabila pembeli BKP/JKP tersebut berstatus Pemungut PPN (Pembeli Khusus), PPN yang
terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP Penjual, melainkan
disetor langsung ke kas negara oleh Pemungut PPN tersebut. Dengan demikian, Pemungut
PPN hanya membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%)
disetor langsung ke kas negara.

4. Pemungut PPN (Pembeli Khusus) terdiri dari (563/KMK.03/2003) :

 Bendaharawan Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, yang dananya dari


APBN/APBD.

 Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara

5. Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP antar Pemungut PPN, PPN/PPnBM terutang atas
BKP/JKP dipungut, disetor dan dilaporkan oleh Pemungut PPN yang melakukan
penyerahan BKP/JKP (Penjual), Lihat SE - 43/PJ.51/2002

6. Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP oleh Badan-Badan tertentu kepada Bendaharawan
Pemerintah/KPKN, maka PPN/PPnBM terutang atas BKP/JKP dipungut, disetor, dan
dilaporkan oleh Bendaharawan Pemerintah/KPKN (Pembeli), Lihat SE - 43/PJ.51/2002.
7. Penyerahan BKP/JKP oleh Instansi Pemerintah yang bertindak sebagai PKP kepada
Badan-Badan tertentu, PPN terutang dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Bendaharawan
Instansi Pemerintah (Penjual), Lihat SE - 43/PJ.51/2002.

Mekanisme Pemungutan PPn BM

Mekanisme PPnBM diatur dalam pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 10 UU PPN, yang sama secara
garis besar adalah sebagai berikut:
a) Atas impor dan Penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh PKP yang
menghasilkan BKP yang tergolong Mewah tersebut disamping dikenakan PPN juga
dikenakan PPnBM.
b) PPnBM hanya dipungut satu kali, yaitu pada waktu Impor atau pada waktu
menyerahkan BKP yang tergolong Mewah tersebut oleh pabrikan.
c) PPnBM tidak dapat dikreditkan baik terhadap PPN maupun terhadap PPnBM;
d) Tarif PPnBM yang berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983 berkisar antara 10% sampai
dengan 35% dengan UU No. 11 Tahun 1994 diubah menjadi setinggi-tingginya
50% dan dengan UIJ No. 18 Tahun 2000 diubah lagi menjadi setinggi-tingginya
75%.
e) Atas ekspor BKP yang tergolong mewah dapat meminta kembali PPnBM yangtelah
dibayar pada waktu perolehan BKP yang tergolong mewah yang diekspor tersebut.

2.6 Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha
Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil
yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Sedangkan Pengusaha dapat didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Singkatan PKP juga biasa dipakai untuk menyebut Penghasilan Kena Pajak dalam konteks Pajak
Penghasilan.
Dalam artian bisa di katakan mengenai Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah
Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya:

1. menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP)


2. mengimpor Barang Kena Pajak (BKP)
3. mengekspor Barang Kena Pajak (BKP)
4. melakukan usaha perdagangan.
5. memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar daerah pabean
6. melakukan usaha Jasa Kena Pajak (JKP)
7. memanfaatkan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean.

2.7 Pengertian Faktur Pajak (sederhana&standar)

Secara teoritits, pengertian dari faktur pajak itu adalah bukti dari pungutan pajak, yang dibuat oleh
pengusaha kena pajak (PKP) sebagai bagian dari kewajiban wajib pajak untuk melakukan
penyerahan jasa kena pajak (JKP), atau penyerahan barang kena pajak (BKP).

Dengan kata lain, faktur pajak menjadi bagian dari tanggungan pengusaha kena pajak yang harus
diserahkan kepada dinas perpajakan. Agar terjadi transparansi dalam bidang perpajakan dan tidak
terjadi penggelapan pajak.

Sebelum menjadi wajib pajak yang dikenai kewajiban untuk menyerahkan faktur pajak, maka
seorang pengusaha harus terlebih dahulu dikukuhkan oleh pihak Direktorat Jendral Pajak. Setelah
itu PKP atau Pengusaha Kena Pajak yang telah dikukuhkan secara otomatis dikenai kewajiban
untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Undang-undang PPN menyebutkan bahwa terdapat sekurang-kurangnya tiga jenis faktur pajak
yaitu:

1. Faktur Pajak Bentuk Standar

Adalah faktur pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak dengan mengacu pada ketentuan dirjen
pajak No. Kep-53/PJ/1994 yang berlaku sejak tanggal 29 Desember 1994, dan berkewajiban untuk
dilaksanakan per satu januari 1995.

Faktur Pajak jenis ini berbentuk kuarto dan paling sedikit harus memuat keterangan sebagai
berikut:

 Tertera NPWP, Alamat, dan Nama PKP yang melakukan penyerahan dan atau pembelian BKP
(Barang Kena Pajak ) atau JKP (Jasa Kena Pajak).

 Memasukkan informasi tentang Barang atau Jasa, beserta jumlah harga jual atau penggantian, dan
potongan harga

 Jumlah PPN dan atau PPnBM yang dipungut

 Nomor seri, kode serta tanggal pembuatan faktur pajak

 Jabatan, Nama Terang serta tanda tangan dari pihak terkait yang berhak

Sebagai satu bentuk dokumen formal, pembuatan faktur pajak harus mengikuti ketentuan yang
diatur dalam undang-undang terkait dengan bentuk dan caranya.

2. Faktur Pajak Bentuk Gabungan

Sebenarnya Faktur Pajak Gabungan adalah, faktur pajak standar, yang cara penggunaannya
diijinkan untuk dijalankan oleh PKP jika terjadi beberapa kali penyerahan BKP / JKP kepada
pembeli atau penerima jasa yang sama yang dilakukan dalam satu masa pajak. Faktur Pajak
Gabungan wajib dibuat oleh PKP selambat-lambatnya di akhir bulan berikutnya setelah bulan
terjadinya penyerahan BKP / JKP.
3. Faktur Pajak Bentuk Sederhana

Dalam rancangan teoritisnya, faktur pajak semacam ini merupakan dokumen yang secara
fungsional disamakan fungsinya sebagai faktur pajak. Biasanya diserahkan kepada pembeli dan
atau pengguna BKP/JKP dalam bentuk sobekan kecil, hampir sama seperti karcis, yang bisa juga
berbentuk bon kontan, atau faktur bukti penjualan BKP atau penggunaan JKP.

2.8 Tarif & Dasar Pengenaan Pajak PPN & PPn BM

PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP).

Tarif PPN dan PPnBM

1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen).


2. Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas:

- ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;


- ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
- ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua
ratus persen).
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen).

2.9 Pengertian PPN Keluaran dan PPN Masukan

Pajak keluaran dan pajak masukan adalah dua istilah yang dikenal dalam tata cara perhitungan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak keluaran adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha
Kena Pajak melakukan penjualan terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak. Pajak masukan
adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian terhadap barang
kena pajak atau jasa kena pajak.

Tata cara umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha kena pajak mengurangkan atau
mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang
sama. Apabila dalam masa pajak tersebut lebih besar pajak keluaran, kelebihan pajak keluaran
harus disetorkan ke kas negara. Sebaliknya, apabila dalam masa pajak tersebut pajak masukan
lebih besar dari pajak keluaran, kelebihan pajak masukan dapat dikompensasikan ke masa pajak
berikutnya atau dimintakan restitusi. Dalam tata cara umum tersebut, jumlah yang harus
dibayarkan oleh pengusaha kena pajak berubah-ubah sesuai dengan pajak masukan yang
dibayarkan dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak.

Pajak Keluaran (PK) adalah :


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor
Jasa Kena Pajak.

Contoh :
PT.ABC melakukan penjualan komputer dengan perincian sebagai berikut :

Harga Jual Komputer 10.000.000


PPN 1.000.000
Harga Jual Komputer dan PPN 11.000.000
Maka PPN sebesar 1.000.000 merupakan Pajak Keluaran bagi PT.ABC.
Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan adalah:

Pajak Masukan yang telah dibayar oleh PKP pada waktu perolehan atau impor BKP atau
penerimaan JKP dapat dikreditkan dengan pajak Keluaran yang dipungut oleh PKP pada waktu
menyerahkan BKP atau JKP. Pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran tersebut harus
dilakukan dalam masa pajak yang sama.

Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dibayar dan disetor oleh PKP ke kas
negara, terlebih dahulu wajib pajak (wp) harus mengurangi pajak keluaran dengan pajak masukan
yang dapat dikreditkan. Apabila dalam suatu masa pajak, pajak keluaran lebih besar daripada pajak
masukan, maka selisihnya merupakan pajak pertambahan nilai yang harus dibayar dan disetor oleh
PKP ke kas negara.
Pajak masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa
pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan.

Untuk memahami lebih lanjut mekanisme pengkreditan pajak masukan disajikan contoh sebagai
berikut :

Pengusaha kena pajak “ABC” dalam masa pajak Januari 20xx. Komposisi PPN sebagai berikut:

PPN Keluaran Rp 25.000.000

PPN Masukan Rp 15.000.000 (dikurang)

PPN Kurang Bayar Rp 10.000.000

Pada masa bulan Februari 20xx

PPN Keluaran Rp 50.000.000

PPN Masukan Rp 70.000.000 (selisih)

Kelebihan PPN Rp 20.000.000

Pada masa bulan Maret 20xx

PPN Keluaran Rp 50.000.000

PPN Masukan Rp 30.000.000 (dikurang)

PPN Kurang Bayar Rp 20.000.000


Kelebihan bulan Februari Rp 20.000.000 (dikurang)

PPN masa Maret Rp NIHIL

Pajak Keluaran dan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak dituangkan dalah sebuah Faktur
Pajak yakni bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

2.10 Pengertian WAPU PPN

Wapu PPN adalah istilah yang digunakan oleh praktisi pajak untuk menyebut badan atau instansi
tertentu yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN/PPn-BM.

Pemungt PPN (Wapu PPN) yang dimaksud di sini adalah Bendaharawan Pemerintah (Pusat
maupun Daerah) dan Kantor Pelayanan Perbendaraan Kontraktor Pertambangan Migas dan Panas
Bumi (lihat PMK 73/PMK.03/2010). Badan/instansi ini ditunjuk menjadi Wapu PPN/PPn-BM
dan wajib memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Masukan atas pembelian/perolehan BKP
maupun JKP dari para rekanan atau supplier mereka.

Dalam dunia ketentuan perpajakan Wajib Pajak yang ditunjuk untuk melakukan pemungutan PPN
(WAPU) terdiri dari tiga katagori :

1. Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN)

(Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor KMK-563/KMK.03/2003 Tentang Penunjukkan


Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) untuk
memungut, menyetorkan dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporannya )

2. Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan kontarktor/
pemegang kuasa/ pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi
(Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-73/PMK.03/2010 Tentang
Penunjukkan Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan
kontraktor/ pemegang kuasa/ pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi untuk
memungut, menyetorkan dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporannya)

3. Badan Usaha MiliK Negara (BUMN)

(Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-136/PMK.03/2012 Tentang Penunjukkan


Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporannya)

2.11 Tata Cara Perhitungan, Penyetoran dan Pelaporan

Anda mungkin juga menyukai