Anda di halaman 1dari 24

TUBERCULOSIS PARU

Bumi Zulheri Herman, Sri Rahayu Paputungan

I. PENDAHULUAN

Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya seperti M. tuberculosis, M. africanum,
M. bovis, M. canettii, dan M. microti. Bakteri patogen ini menyerang paru-paru dan
organ tubuh lainnya. Mycobacterium tuberculosis umumnya disebarkan melalui udara
dalam bentuk droplet nuklei yang menimbulkan respon granuloma dan inflamasi
jaringan. Tanpa penanganan yang baik, kasus akan menjadi fatal dalam 5 tahun1,2,3,4.
Tuberculosis sebenarnya dapat menyerupai penyakit paru lainnya seperti
penumonia, penyakit paru interstitial bahkan keganasan akan tetapi dengan anamnesis
yang baik, tuberculosis dapat dengan mudah di tegakkan. Pada dasarnya pasien dengan
sistem imun yang baik biasanya terserang tuberculosis hanya pada satu area saja
misalnya pada paru atau salah satu organ ekstra paru sedangkan pada pasien dengan
immunokompeten, tuberculosis dapat terjadi lebih daripada satu organ. Terlepas dari
pasien dengan HIV positif, sekitar 80% pasien dewasa menderita tuberculosis paru,
15% ekstra paru dan 5% menderita tuberculosis paru dan ekstra paru.Tuberculosis
diklasifikasikan sebagai tuberkulosis paru dan ekstra paru berdasarkan lokasi
infeksinya. Pada tuberculosis paru dapat diklasifikasikan sebagai TB paru primer atau
post primer 1,2,3,4.
TB paru primer merupakan TB paru yang muncul segera saat infeksi pertama
kali. Pada daerah dengan tingkat transmisi M. Tuberculosis, jenis penyakit ini lebih
sering muncul pada anak-anak. Daerah yang sering terlibat dalam TB paru primer
adalah lobus medial dan lobus bawah paru. Lesi yang terbentuk biasanya terletak di
perifer dan disertai dengan limfadenopati hilar atau paratracheal yang biasanya sulit
dideteksi secara radiologis. Pembesaran limfonodus dapat menekan bronchus,
menimbulkan obstruksi saluran nafas dan menyebabkan kolaps paru segmental atau
bahkan lobar. Pada sebagian besar kasus, lesi biasanya sembuh sendiri dan
bermanifestasi sebagai nodul kalsifikasi (fokus gohn) 1,2,3,4.

1
Pada anak-anak dan orang dengan immunokompeten, TB paru primer dapat
berkembang pesat menimbulkan gangguan klinis yang serius. Lesi awal dapat
bertambah besar dan dapat menginduksi gangguan pada jaringan sekitar misalnya lesi
pada pleura yang berasal dari fokus subpleura. Penyebaran secara hematogen biasanya
terjadi pada kasus yang berat. Mycobacterium tuberculosis menyebar ke organ lainnya
dan membentuk fokus granuloma1,2,3,4.
Tuberculosis Post Primer Biasanya disebut juga sebagai tuberculosis sekunder.
Tuberculosis ini terjadi sebagai proses reaktivasi infeksi laten dan biasanya terjadi pada
segmen atas paru dimana tekanan oxigen lebih tinggi dibandingkan bagian paru lainnya
yang sangat menunjang pertumbuhan bakteri. Pada tahap ini, perkembangan lesi
biasanya sangat bervariasi mulai dari bercak inflitrat hingga terbentuknya kavitas
bahkan diikuti dengan infeksi sekunder yang menyebabkan pneumonia, selain itu pada
tahap ini, pasien sangat mudah untuk menularkan bakteri ke lingkungannya.1
WHO mendefinisikan penderita TB sebagai penderita yang terbukti secara
positif terinfeksi tuberculosis dengan menggunakan metode diagnosa apapun. TB paru
didefinisikan sebagai TB yang menyerang parenkim paru dan berdasarkan hasil apusan
tahan asam TB dibagi menjadi Sputum positif atau sputum negatif. 5
Pasien dengan sputum postif merupakan pasien yang sedikitnya menunjukkan
satu hasil positif dari 3 sampel sputum yang diambil. Sedangkan sputum negatif
merujuk kepada pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tanpa ditemukannya basil
tahan asam, namun pada pasien dengan sputum negatif tetapi hasil kultur menunjukkan
positif maka tetap dianggap sebagai pasien TB dengan sputum negatif.5
TB ekstra paru merupakan kasus infeksi TB yang menyerang organ lain selain
paru antara lain pleura, limfonodus, abdomen, saluran kemih, kulit, persendian, tulang
dan meninges. Diagnosa harus ditegakkan berdasarkan kultur atau pemeriksaan
histologis. Pasien dengan TB paru dan ekstra paru digolongkan sebagai kasus TB
paru1,2,3,4,5
Kasus baru TB adalah pasien yang belum pernah menerima pengobatan TB.
Pada kasus berobat ulang atau retreatment digolongkan dalam 3 jenis yakni retreatment
karena gagal pengobatan, retreatment pada keadaan default , dan Retreatment pada
pasien sputum positif dengan pengobatan tuntas.5

2
Saat ini dikenal pula istilah Multidrug-resistant TB (MDR-TB) dan Extensively
drug-resistant TB (XDR-TB). Multidrug-resistant TB (MDR-TB) disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampicin. MDR-TB
biasanya terjadi akibat infeksi primer dari bakteri yang sudah resisten atau dari
pengobatan yang tidak maksimal yang menimbulkan resistensi.6
Extensively drug-resistant TB (XDR-TB) merupakan bentuk infeksi tuberculosis
yang lebih berat daripada MDR-TB dimana terjadi resistensi pengobatan lini kedua
seperti amikacin, kanamycin atau capreomycin. Bentuk TB ini tidak berespon terhadap
pengobatan selama 6 bulan dengan pengobatan lini pertama dan perlu pengobatan
selama 2 tahun atau bahkan lebih.6

II. ETIOLOGI

Mycobacterium tuberculosis merupakan suatu bakteri berbentuk basil non spora


berukuran 0.5-3 μm. Gram netral dan bersifat tahan asam. Sifat tahan asamnya
disebabkan oleh banyaknya kandungan asam mikolik, asam lemak rantai panjang dan
beberapa unsur lemak lainnya. Asam mikolik tersebut terikat dalam struktur
arabinogalactan dan peptidoglikan yang menyebabkan permeabilitas dinding sel bakteri
sangat rapat sehingga menurunkan kerja antibiotik. Lipoarabinomannan juga merupakan
suatu struktur bakteri yang berperan dalam proses interaksi dan pertahanan diri dalam
makrofag. Oleh sebab itu bakteri ini dapat diwarnai dengan carbol fuchsin dan
dipanaskan. Mycobacteriun tuberculosis biasanya ditemukan di udara, tanah, bahkan
air. Mycobacterium tuberculosis tumbuh lambat dan berkembang biak dalam 18-24 jam.
Mycobacteriun tuberculosis biasanya akan tampak membentuk koloni dalam agar
sekitar 2-5 minggu.1,2,3
Mycobacterium tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya tampak serupa
namun berbeda dalam tes biokimia. Mycobacterium bovis biasanya terdapat pada susu
basi dan varian mycobacterium lainnya menyerang hewan pengerat. Biasanya varian
lain lebih sering ditemukan di Afrika.4
Kultur Agar yang biasa digunakan untuk kultur M. tuberculosis dapat berupa
kultur pada atau kultur cair yang may berbasis telur seperti Löwenstein–Jensen,
BACTEC, Middlebrook 7H10/ 7H11. Kultur M. Tuberculosis pada medium cair
tergolong lebih cepat. 4

3
III. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010) sekitar 8,8
juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih berdasarkan data
pada tahun 2010, diperkirakan pula sebanyak 1,1 juta kematian (rentang antara 0,9-1,2
juta) terjadi akibat tubeculosis pada penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak
0,35 juta kematian (rentang 0.32-0.39 juta ) yang terjadi akibat TB pada penderita
dengan HIV positif. Hal yang perlu dicermati adalah penurunan jumlah absolut kasus
TB sejak tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi kejadian dengan angka
estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun 2009
menjadi yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.5

Gambar 1. Perkiraan jumlah insiden, Berdasarkan negara, tahun 2010


(dikutip dari kepustakaan nomor 5)

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 terdapat 5.7 kasus TB paru baru setara
dengan 65% angka prediksi di tahun 2011. India dan China memberikan kontribusi 40%
total penderita baru TB dan Afrika menyumbang 24% pasien baru. Secara global angka
keberhasilan terapi pada penderita baru TB dengan sputum BTA positif adalah 87% di

4
tahun 2009 MDR-TB dideteksi mencapai 46.000 kasus. Walaupun jauh dibawah angka
estimasi yakni 290.000 kasus, MDR-TB masih menjadi tantangan besar hingga saat ini.5
Survei prevalensi TB yang dilakukan di enam propinsi di Indonesia pada tahun
1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia berkisar antara 0,2 –
0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TB Global yang dikeluarkan oleh
WHO pada tahun 2010, angka insiden TB di Indonesia pada tahun 2009 mencapai
430.000 kasus, dan dengan 62.000 kasus berakhir dengan kematian. 7
Sedangkan sebuah studi yang dilakukan oleh Rao et al dari Universitas
Queensland berdasarkan data epidemiologi tahun 2007-2008 menunjukkan bahwa
angka kematian akibat tuberculosis di Indonesia sangat tinggi terutama di propinsi
Papua. 8
Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia mencapai
1.200.000 kasus atau 484 kasus per 100.000 populasi dengan angka mortalitas mencapai
91.000 kasus atau 38 orang per 100.000 populasi. Insidensi TB mencapai 540.000 kasus
atau 226 kasus per 100.000 populasi dengan 29.000 kasus TB HIV positif. 5
Diperkirakan telah terdapat 440.000 kasus dari multi-drug resistant TB (MDR-
TB) pada tahun 2008. Keempat negara yang memiliki jumlah kasus MDR-TB tertinggi
adalah China (100.000 kasus), India (99.000 kasus), Federasi Rusia (38.000 kasus), dan
Afrika Selatan (13.000 kasus). Dan pada Oktober 2011, 77 negara dan wilayah telah
melaporkan setidaknya terdapat satu kasus dari extensively drug-resistant TB (XDR-
TB). 6

IV. PATOFISOLOGI

PROSES PENULARAN

M. tuberculosis ditularkan melalui udara dalam bentuk aerosolisasi ±3000


droplet nukleus berukuran 5-10 µm yang dapat dikeluarkan pada saat batuk, bersin
bahkan saat bercakap-cakap, terutama pada pasien dengan Tuberculosis saluran
pernapasan. Droplet tersebut mengering dengan cepat, bertahan di udara selama
beberapa jam dan masuk kedalam saluran nafas. Selain melalui udara, penularan
melalui kulit dan plasenta juga dapat terjadi walaupun sangat tidak umum. Resiko
terjangkitnya M. Tuberculosis tergantung pada jumlah M. Tuberculosis yang masih
bertahan hidup di udara. Penularan secara outdoor biasanya lebih rendah daripada

5
diruangan tertutup dimana pertukaran udara diluar ruangan berlangsung baik dan
ekspose trehadap sinar ultraviolet jauh lebih tinggi. Penularan juga dapat terjadi melalui
alat-alat intervensi seperti bronchoscopy atau intubasi endotracheal. Selain melalui
udara, penularan juga dapat terjadi melalui abses yang mengandung M. Tuberculosis.
Faktor yang mempengaruhi kerentanan tertularnya Mycobacterium tuberculosis adalah
lamanya kontak dengan penderita, dan derajat keparahan penyakit. Pasien dengan smear
negatif cenderung lebih aman terutama pasien dengan TB ekstra paru. 1,2,4

PROSES INFEKSI

Dropet nukleus cukup kecil untuk masuk kedalam saluran nafas dan mampu
bertahan dari proses filtrasi di saluran nafas atas. Sekali terhirup, droplet nukleus dapat
mencapai alveoli untuk melakukan invasi dan menimbulkan infeksi. Pada sekitar 5 %
pasien yang terinfeksi, M. Tuberculosis mampu berkembang biak dalam jangka waktu
mingguan hingga bulanan dan dapat memberikan pembesaran limfonodus perihilar dan
peritracheal serta dapat memberikan gambaran pneumonia lobaris dan merangsang
terjadinya reaksi serosa serta efusi pleura. 1,2,4
M. tuberculosis kemudian ditelan oleh makrofag alveolar melalui proses
introduksi yang melibatkan aktivasi komplemen C3b. Liporabinomannan yang terdapat
dalam dinding M. Tuberculosis mampu menghambat peningkatan ion Ca2+ yang dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada jalur calmodulin yang akan menimbulkan
gangguan fusi phagosom dan lisosom sehingga tidak ada percampuran antara bakteri
dengan lisosom yang menyebabkan bakteri dapat bertahan dan berkembang biak
didalam makrofag. Selain itu faktor yang dapat mendukung pertumbuhan M.
Tuberculosis didalam makrofag adalah adanya gen protektif antara lain katG yang
memproduksi enzim katalase/peroksidase yang dapat melindungi M.tuberkulosis dari
proses oksidatif, gen rpoV yang merupakan gen “induk” dari beberapa protein penting
M. Tuberculosis. Dua gen ini merupakan gen yang penting dalam proses virulensi M.
Tuberculosis. Selain itu gen lain seperti erp membantu proses pembentukan protein
untuk multiplikasi. 1,2,4
Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan sitokin seperti TNF α dan IL-1 serta
sitokin lainnya untuk merangsang Monosit dan Limfosit T terutama CD4+ yang akan
membentuk IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag lainnya. Proses ini dikenal sebagai

6
Macrophage Activating response sedangkan sel CD4+ Th2 akan memproduksi IL 4, IL
5, IL 10 dan IL 13 dan merangsang sistem imun humoral. Sel Dendritik juga berperan
dalam mempresentasikan antigen dan merangsang proses imun lebih jauh didalam
limfonodus. Tahapan ini dikenal sebagai proses Cell Mediated Immunity. Pada tahapan
ini pasien dapat menunjukkan gambaran delayed-type-hypersensitivity terhadap protein
tuberkulin. Reaksi ini dapat timbul 48-96 jam setelah injeksi tuberkulin dan bertahan
hingga 6 minggu namun sekitar 20 % pasien tidak bereaksi terhadap tes tuberkulin. 1,2,4
Pada jaringan, Makrofag tersebut dapat membentuk sel raksasa berinti banyak
dan akan membentuk granuloma yang dikelilingi oleh limfosit dan makrofag yang
teraktifasi. Pada granuloma, pertumbuhan M. Tuberculosis dapat terhambat karena
lingkungan yang rendah oksigen dan derajat keasaman yang rendah. Ketika mengalami
proses penyembuhan dapat terbentuk fibrosis. Proses ini dikenal sebagai Tissue
Damaging Reponse. Dalam jangka waktu tahunan, granuloma dapat meluas dan
membentuk kalsifikasi dan akan tampak dalam gambaran radiologi sebagai densitas
radioopaque pada lapangan paru atas, apex paru (fokus Simon), atau limfonodus
perihilar. Focus granuloma juga dapat ditemukan pada jaringan lainnya tergantung
seberapa luas penyebaran M. Tuberculosis.1,2,4
Pada kasus tertentu, pada pusat lesi, material kaseosa mencair, dinding bronchial
dan pembuluh darah menjadi rusak dan terbentuklah kavitas. Pada materi caseosa yang
mencair terdapat basil M. Tuberculosis dalam jumlah besar yang dapat menyebar ke
jaringan paru lainnya dan dapat keluar saluran nafas melalui batuk dan berbicara. 1,2,4
Bila tidak timbul penyakit, maka telah terjadi keseimbangan antara sistem imun
dan reaksi patologis dari M. Tuberculosis. Faktor yang dapat menimbulkan terjadinya
aktivasi M. Tuberculosis adalah kekuatan sistem imun. Sekitar 10% pasien dengan
imunokompeten biasanya akan menderita tuberculosis. 1,2,4
Pada pasien dengan infeksi laten, infeksi dapat teraktivasi dalam jangka waktu
beberapa tahun, aktivasi dapat terjadi pada hampir semua jaringan karena M.
Tuberculosis menyebar secara limfogen. Lokasi tertentu yang lebih sering terjadi
reaktivasi adalah jaringan paru. Rekativasi muncul pada fokus granuloma terutama pada
apeks paru. Fokus kaseosa yang besar dapat membentuk kavitas pada parenkim paru.
1,2,4

7
Semakin banyak jumlah basil M. Tuberculosis yang ditularkan maka semakin
infeksius. Hal ini dapat dilihat dari jumlah M. Tuberculosis pada sediaan tahan asam.
M. tuberculosis dapat dideteksi pada sputum yang mengandung sedikitnya 104 M.
Tuberculosis. Pada pasien dengan TB paru berkavitas biasanya lebih infeksius.2

V.DIAGNOSIS

MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang muncul awalnya bersifat non spesifik, biasanya ditandai dengan
demam baik subfebris hingga febris dan keringat malam, berat badan yang menurun,
anoreksia, dan merasa lemas. Pada 80 % kasus ditemukan demam dan tidak adanya
demam bukan berati tuberculosis dapat dihilangkan. Dalam sebagian besar kasus, batuk
non produktif biasanya muncul minimal selama 2 minggu dan selanjutnya diikuti oleh
batuk produktif dengan sputum yang purulen bahkan diikuti bercak darah. Hemoptisis
yang masif biasanya muncul sebagai destruksi pembuluh darah pada kavitas terutama
pembuluh darah yang berdilatasi pada dinding kavitas (Rasmussen's aneurysm). Nyeri
dada biasa juga dirasakan terutama pada pasien dengan lesi pada pleura. Lebih lanjut
biasanya pasien akan sesak nafas dan diikuti dengan adult respiratory distress syndrome
(ARDS). 1,2,3,4
Temuan pemeriksaan fisis cukup terbatas pada TB paru. Terkadang abnormalitas
tidak ditemukan pada pemeriksaan thorax. Bunyhi ronkhi biasa ditemukan terutama
karena peningkatan produksi sputum. Bunyi wheezing juga terkadang ditemukan akibat
obstruksi parsial bronkus dan bunyi amphoric klasik pada kavitas. Terkadang bunyi
pernafasan terdengar redup yang berarti menunjukkan ada proses abnormalitas yang
cukup parah sebagai komplikasi dari infeksi tuberculosis. Pada keadaan tertentu pasien
juga dapat menunjukkan wajah yang pucat serta clubbing finger. 1,3.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan foto thoraks PA merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan


untuk evaluasi tuberculosis paru. Gambaran yang biasanya muncul adalah bercak
infiltrat terutama kavitas yang biasanya dapat ditemukan pada 19% hingga 50%.
Gambaran lainnya yang biasa muncul adalah infiltrat lobus dan interstitial serta

8
limfadenopati. Pada segmen apeks paru biasa ditemukan gambaran densitas radiopak
yang menandakan terbentuknya fibronodular. Pada tahap lanjut lesi ini dapat menjadi
kavitas dengan gambaran radiologi kavitas yang berdinding tipis. Pada TB paru
rekativasi, daerah yang paling sering tampak kelainan yakni, apeks dan segmen
posterior lobus kanan, apeks dan segmen posterior lobus kiri, dan segemen superior
lobus bawah Lesi pada daerah ini lebih sering terlihat pada pasien dengan diabetes.
Efusi pleura pada tuberculosis paru tahap dini juga dapat terlihat terutama pada
perkembangan penyakit yang progresif. CT scan biasanya dapat dilakukan untuk
menentukan luasnya penyebaran lesi namun biasanya tidak memberikan gambaran khas
pada infeksi tahap dini.4,9

Gambar 2. Gambaran radiologis infeksi TB pada paru.


(dikutip dari kepustakaan nomor 9.)
Pada gambar kiri terdapat gambaran kavitas serta bercak berawan pada lapangan
paru kanan atas, sedangkan gambaran CT scan menunjukkan penyebaran bahan
infeksius dari kavitas ke sistem tracheobronchial.9

Gambar 3. TB paru primer


(dikutip dari kepustakaan nomor 10)

9
Pada gambar diatas, gambar kiri menunjukkan gambaran limfadenopati hilar
pada lapangan paru kanan sedangkan gambar kanan adalah gambaran CT scan yang
menunjukkan limfadenopati hilar kanan.

Gambar 4. TB paru post primer pada pasien dengan immunodefisiensi.


(Dikutip dari kepustakaan nomor 10)

Gambar kiri tampak kavitas dan bercak berawan pada kedua lapangan atas paru
dan pada CT scan terdapat gambaran cavitas pada kedua lapangan paru.
Dalam hasil analisis laboratorium darah dapat ditemukan leukositosis, limfositik
leukopenia atau neutrofilik leukopenia. Ditemukan pula anemia normositik normokrom
dan hiponatremia terutama pada pasien dengan penyebaran lesi yang luas.4
Apusan sputum dan kultur merupakan pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dengan sensitivitas 40-60%. Pada pasien suspek tuberculosis
paru, tiga sampel sputum diambil yakni sewaktu, pada pagi hari dan sewaktu. Pada
pasien dengan tuberculosis paru, sputum dapat diperoleh dengan proses ekspektorasi
atau nebulisasi dengan saline hipertonik, bilasan bronkus atau bahkan dengan
bronchoscopy.4,11
Induksi sputum dianggap sebagai salah satu cara yang umum dilakukan untuk
mendapatkan sputum, terutama dalam keadaan yang tidak memungkinkan dilakukannya
pengambilan sputum. Pada penelitian yang dilakukan di Bangladesh menunjukkan
bahwa sputum yang diinduksi dengan nebulisasi Salin 3% memberikan sensitifitas dan
spesifitas yang sama dengan teknik diagnosa menggunakan bilasan bronkus.11,12

10
Pengambilan sputum dengan fibreoptic bronchoscopy (FOB) dan transbronchial
lung biopsy (TBLB) biasanya sangat membantu dalam menegakkan diagnosa TB.
Walaupun demikian FOB merupakan metode yang invasif dan membutuhkan tenaga
ahli untuk melakukannya.Selain itu FOB dapat berkontribusi meningkatkan penularan
TB.11,12
Pada anak-anak, aspirasi cairan lambung juga dapat digunakan untuk
mendiagnosa TB dan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Aspirasi nasofaringeal,
induksi sputum, apusan laring juga dapat dilakukan.13
Pemeriksaan apusan sputum dilakukan dengan menggunakan metode tahan
asam Ziehl-Neelsen atau Kinyoun dimana bakteri akan tampak bewarna kemerahan
dengan latar belakang biru dan putih. Metode pewarnaan lainnya seperti auramine juga
dapat dilakukan, dengan pewarnaan ini maka Mycobacterium tuberculosis yang
terwarna akan dapat berpendar pada sinaran Ultra Violet. Mycobacterium tuberculosis
akan tampak berwarna kuning muda. Akan tetapi hasil apusan sputum bergantung pada
jumlah bakteri yang ditemukan pada sampel sehingga dianggap kurang sensitif.1,2,4

Gambar 4. Basil Tahan Asam Mycobacterium Tuberculosis


(Dikutip dari kepustakaan nomor 1)

Kultur merupakan gold standard untuk menegakkan diganosis akan tetapi hal ini
membutuhkan waktu yang lama. Spesimen diinokulasi di kultur Löwenstein-Jensen atau
Middlebrook 7H10 dan diinkubasi pada suhu 37°C. Karena pertumbuhannya lambat
maka kultur harus ditunggu 4-8 minggu. Selain dari penampakan koloninya yang

11
berwarna persik, tes biokimia juga penting untuk menentukan jenis mycobacterium.
Teknik kultur yang cepat sedang dikembangkan untuk memotong waktu pemeriksaan.1,2
Analisa cairan tubuh juga dapat dilakukan apabila terjadi infeksi tuberculosis
ekstra paru seperti analisa cairan pleura, pericardium dan peritoneal. Biasanya akan
ditemukan cairan yang sifatnya eksudat dengan kadar glukosa yang normal hingga
rendah. Sampel tersebut dapat digunakan untuk apusan, dan kultur untuk penegakan
diagnosa. Nilai spesifiknya mencapai 65% pada cairan peritoneal, 75% pada cairan
perikardium dan 85% pada cairan pleura. Biopsi biasa dilakukan terutama untuk
mendapatkan bukti adanya pembentukan granuloma. 1,2
Pada umumnya diagnosis biasa di tegakkan berdasarkan gejala, temuan
radiologi dan respon terhadap pengobatan empiris tanpa konfirmasi kultur. Akan tetapi
melihat insidensi resistensi obat yang tinggi maka pemeriksaan kultur dan tes
sensitivitas perlu dilakukan. Secara umum, Mycobacterium tuberculosis perlu diperiksa
senstivitas terhadap isoniazid, rifampin, dan ethambutol. Pemeriksaan terhadap
sensitivitas obat lainnya juga perlu dilakukan guna mencegah resistensi dan kegagalan
pengobatan. 1,2
Pada pasien dengan infeksi tuberculosis laten, Tuberculin Skin Test dapat
dilakukan. Pada tahun 1891, Robert Koch menemukan komponen Mycobacterium
tuberculosis yang disebut tuberculin. Komponen ini mampu merangsang reaksi kulit
ketika diinjeksi secara subkutan pada pasien dengan tuberculosis. Pada tahun 1932,
Seibert dan Munday memurnikan produki ini dengan presipitasi amonium sulfat yang
dikenal sebagai tuberculin purified protein derivative (PPD). Tahun 1941 tes ini
dijadikan sebagai tes standar diagnosa. Keterbatasan terbesarnya adalah spesifitas yang
rendah karena protein tersebut banyak disekresikan oleh varian mycobacterium lainnya.
Dan yang perlu diperhatikan hasil tes tuberkulin juga positif pada pasien dengan
imunisasi BCG dan infeksi mycobacterium lainnya. 1,2
IGRAs atau IFN-γ Release Assays merupakan tes yang lebih spesifik
dibandingkan tes tuberkulin. IGRAs juga tampak lebih sensitif dalam mendeteksi
tuberculosis aktif dan tuberculosis laten. Keuntungan lainnya dari IGRAs terletak pada
kemampuannya untuk mengurangi hasil yang subjektif terutama pada skin test.1
Saat ini terdapat 2 jenis pemeriksaan IFN-γ yang dapat bereaksi dengan antigen
ESAT-6 dan CFP-10 Mycobacterium tuberculosis yakni QuantiFERON-TB Gold®

12
(Cellestis Ltd., Carnegie, Australia) yang menggunakan prinsp enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) untuk mengukur kadar IFN-γ, dan T-SPOT.TB®
(Oxford Immunotec, Oxford, UK) yang menggunakan enzyme-linked immunospot
(ELISpot). Studi komparatif pemeriksaan IGRAs dengan metode ELISpot memiliki
sensitifitas lebih tinggi dibanding ELISA.1
Amplifikasi asam nukleat merupakan cara lain dalam mendiagnosa tuberculosis.
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan diagnosa dalam hitungan jam dengan
spesifitas dan sensitivitas yang tinggi. Tes ini biasa digunakan sebagai konfirmasi cepat
untuk pasien dengan BTA positif maupun negatif. Selain itu semua tahap pengerjaan
dilakukan dengan mesin sehingga mengurangi resiko infeksi tuberculosis pada pekerja
laboratorium 1,2,14,15
Tes ini juga berperan untuk menentukan gen yang mengalami mutasi yang juga
menjadi sumber masalah resistensi pengobatan TB antara lain gen rpoB yang
menimbulkan resistensi rifampicin, dan gen lainnya inh A dan katG untuk INH, dan gen
gyr untuk resistensi fluoroquinolon sehingga kasu MDR-TB dapat diketahui dengan
cepat. Salah satu tes amplifikasi asam nukleat yang direkomendasikan oleh WHO yakni
Xpert(®) MTB/RIF assay 5,15,16

VI. DIAGNOSA BANDING

Banyak diagnosa banding yang dapat dikemukakan karena tuberculosis dapat


menimbulkan infeksi yang sistemik yang menyerupai penyakit lainnya . Beberapa
diagnosa banding Tuberculosis Paru yang mungkin dapat dipertimbangkan antara lain
Actinomycosis, Aspergillosis, Bronchiectasis, Histoplasmosis, Abses paru, Keganasan,
Nocardiosis, dan pneumonia.17

VII. PENATALAKSANAAN

1. Pada pasien yang baru pertama kali menderita Tuberkulosis


Rekomendasi pertama adalah pemberian 2HRZE/4HR kecuali pada penderita TB
sistem saraf pusat, TB tulang yang membutuhkan terapi lebih lama. Rekomendasi kedua
adalah pemberian 2HRZE/6HE. Pemberian tiga kali seminggu Isoniazid dan
rifampicin(2HRZE/4(HR)3) pada fase lanjutan merupakan pilihan lain yang dapat
dilakukan namun perlu dilakukan pemantauan ketat menelan obat. Pemberian regimen

13
tiga kali seminggu baik pada fase intensif maupun fase lanjutan (2(HRZE)3/4(HR)3)
merupakan alternatif terakhir yang dapat diberikan asalkan pasien tidak tinggal dalam
lingkungan yang rentan dengan infeksi HIV. Secara umum pemberian regimen
pengobatan setiap hari lebih diutamakan karena angka keberhasilan pengobatan lebih
tinggi dibanding dengan metode pemberian 3 kali seminggu.18
WHO tidak lagi menyarankan pemberian ethambutol pada fase intensif pasien
dengan TB non-kavitas, BTA Negatif atau TB ekstraparu pada pasien dengan HIV
negatif. Namun demikian, walaupun masih tergolong lemah bukti, pada pasien yang
tinggal di negara dengan resistensi isoniazid yang tinggi, pemberian Ethambutol pada
fase lanjutan dapat dipertimbangkan walaupun dengan resiko gangguan visual yang
tinggi. 18
Pada pasien TB yang positif mengidap HIV dan pasien yang tinggal dalam
lingkungan beresiko tinggi terinfeksi HIV, regimen yang diberikan adalah regimen
harian baik pada fase intensif dan lanjutan. Pada keadaan tertentu dimana pasien tidak
dapat menerima terapi harian, pemberian obat tiga kali seminggu tetap dapat
dipertimbangkan. 18

Tabel 1. Dosis Antituberculosis pada dewasa.


(dikutip dari kepustakaan nomor 18)

MONITORING TERAPI

Pada pasien TB paru baik pasien baru maupun pasien relaps yang ditangani
dengan regimen lini pertama, pemeriksaan sputum dilakukan setelah fase intensif
selama 2 bulan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa hasil apusan tahan asam bukan
merupakan indikator utama untuk menentukan kegagalan terapi.18

14
Bila pasien menunjukkan hasil positif pada smear bulan kedua, makan
pemeriksaan smear tahan asam dilanjutkan pada bulan ketiga. Bila hasil pada bulan
ketiga masih menunjukkan hasil positif maka harus dilakukan kultur sputum dan tes
sensitivitas antibiotik. Pemeriksaan tetap dilanjutkan hingga bulan ke 5 dan ke 6. Bila
masih positif maka pengobatan dianggap gagal. 18

Tabel 2. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB baru dengan regimen lini pertama
(dikutip dari kepustakaan nomor 18)

Pada pasien yang diobati dengan regimen rifampicin, bila hasil smear ditemukan
positif pada fase intensif yang sudah selesai, tidak direkomendasikan untuk
memperpanjang fase intensif. 18
Pada pasien yang sudah pernah mendapat pengobatan sebelumnya, pasien perlu
menjalani tes kultur sputum dan sensitivitas antibiotik rifampicin dan isoniazid sebelum
memulai pengobatan. Di negara dengan tes sensitivitas antiobitik yang rutin dilakukan,
regimen pengobatan mengacu pada hasil tes sedangkan pada negara yang jarang
menjalankan tes sensitivitas antibiotik, pengobatan didasarkan pada empirisme atau
regimen MDR-TB. 18

15
Regimen yang dapat diberikan pada pasien dengan relaps dengan pengobatan
lini pertama adalah 2HRZES/1HRZE/5HRE dengan catatan bahwa negara tersebut
tergolong negara dengan insidensi MDR yang rendah. 18

Tabel 3. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB retreatmen dengan regimen lini pertama
(dikutip dari kepustakaan nomor 18)

Saat ini obat kombinasi tetap atau Fixed Drug Combination (FDC) sering
digunakan walaupun dalam kenyataanya WHO belum mengkaji lebih lanjut mengenai
FDC. Akan tetapi WHO tetap merekomendasikan penggunaan FDC untuk mencegah
insidensi obat yang tidak terminum yang berujung pada resistensi pengobatan.18

PENATALAKSANAAN TB DENGAN INFEKSI HIV

Banyak pendapat mengenai bagaimana pemberian anti tuberculosis pada


penderita HIV, berbagai pendapat berkembang mengenai apakah pemberian
antiretroviral sebaiknya diberikan bersamaan atau beberapa minggu berikutnya.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Daine et al terhadap 809 pasien
membandingkan antara kelompok penderita TB-HIV positif dengan CD4+ <250 per
milimeter cubic yang diberi ART 2 minggu setelah terapi TB dimulai dengan kelompok
yang diberi anti TB 8-12 minggu kemudian. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan keparahan penyakit karena AIDS terhadap kedua kelompok namun
pada kelompok dengan CD4+<50 pemberian ART lebih dini memperlambat munculnya
keparahan penyakit karena AIDS.19
Penelitian oleh Salim et al terhadap 642 pasien di Afrika Selatan menunjukkan
bahwa pemberian ART 4 minggu pasca dimulainya terapi tuberculosis pada pasien

16
dengan CD4+ T-cell <50 per cubic millimeter memperlambat keparahan penyakit
karena AIDS.20
Sedangkan studi yang dilakukan Francois et al terhadap 661 pasien di Kamboja
menunjukkan bahwa pemberian ART 2 minggu sejak dimulainya terapi tuberculosis
meningkatkan angka survivalitas pada pasien dengan CD4+ T-cell 200 per cubic
millimeter atau lebih rendah. 21
WHO tetap menganjurkan pemberian antiretroviral 8 minggu setelah terapi TB
dimulai terlepas dari jumlah CD4+ penderita dan berbagai penelitian terbaru lainnya.
ART yang dianjurkan adalah lini pertama yang mengandung dua jenis nucleoside
reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) ditambah satu jenis nonnucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI). Atau agen ART terbaru lainnya seperti protease
inhibitors sebagai pengobatan lini kedua. NRTI pilihan antara lain zidovudine (AZT)
atau tenofovir disoproxil fumarate (TDF), kombinasi dengan lamivudine (3TC) atau
emtricitabine (FTC). Untuk NNRTI, WHO merekomendasikan efavirenz (EFV) atau
nevirapine (NVP) (23). Pada pasien TB, regimen ART yang direkomendasikan harus
mengandung efavirenz (EFV) karena interaksinya dengan obat TB tergolong rendah
namun tidak dianjurkan pada kehamilan.Regimen AZT +3TC + NVP atau TDF +3TC
atau FTC + NVP atau triple NRTI regimen (AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF)
direkomendasi bila efavirenz tidak memungkinkan untuk diberikan.18

EFEK SAMPING PENGOBATAN

Obat Anti Tuberculosis sering menimbulkan gangguan hepar ditandai dengan


peningkatan enzim hati. Faktor resiko yang mungkin menimbulkan hepatotoksisitas
pada pasien yang menjalani pengobatan TB antara lain usia muda, jenis kelamin wanita,
infeksi TB dengan apusan BTA positif, status gizi, level albumin seperti yang
dipaparkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Rajani et al pada 50 penderita TB di
Kathmandu tahun 2006. 22
Neuritis optik merupakan efek samping yang dapat muncul pada penggunaan
ethambutol terutama neuritis retrobulbar. Pada studi dengan hewan menunjukkan bahwa
ethambutol menimbulkan toksisitas pada ganglion saraf retina pada tikus. Hal ini
didasari pada teori jalur eksitotoksik dimana terjadi peningkatan glutama endogen yang
dapat menyebabkan kerusakan sel. Ethambutol juga dapat menyebabkan penurunan

17
kalsium sitosilik, peningkatan kalsium mitokondira dan meningkatkan membran
potensial mitokondria yang dapat mengganggu fungsi mitokondria. Selain itu
ethambutol juga dapat menyebabkan penipisan serat saraf di retina 24,25.
Pada Retina Pigmented Epithelial, keterlibatan isozim PKCδ yang diinduksi
oleh ethambutol menyebabkan perlambatan proliferasi sel, dan menggangu siklus sel.
Hal ini juga berhubungan dengan peningkatan apoptosis pada sel epitel berpigmen pada
retina. Toksisitas bergantung pada dosis dan durasi yang diberikan. 23
Isoniazid dimetabolisme di hati melalui asetilasi oleh N-acetyl transferase yang
mennghasilkan acetylisoniazid.Acetylisoniazid dihidrolisa menjadi asam isonicotinic
dan acetylhydrazine yang keduanya akan diekskresi di urin. Acetylhydrazine akan
dimetabolisme menjadi bahan reaktif yakni hydrazine yang menyebabkan
hepatotoksisitas. INH dapat mengganggu metabolisme pyridoxin dan meningkatkan
pengeluaran pyridoxin ke urin. Metabolit hydrazine menghambat secara kompetitif
enzim pyridoxine kinase yang mengkonversi pyridoxine menjadi pyridoxal phospate
yang berujung pada terhambatnya produksi neurotransmitter inhibitor yakni GABA. Hal
ini menjelaskan mengapa isoniazid dapat menimbulkan kejang. Selaini itu, mekanisme
ini menyebabkan terjadinya neuropati defisiensi.26
Pasien dinyatakan sembuh apabila tidak ditemukan BTA pada pewarnaan tahan
asam dibandingkan dengan sebelum pengobatan. Terapi dikatakan gagal apabila sudah
menjalani terapi intensif dan lanjutan namun hasil BTA tetap positif pada bulan ke lima
atau bulan berikutnya. Pasien default adalah pasien dengan terapi yang terinterupsi
selama minimal dua bulan berturut-turut.18

PENANGANAN MDR-TB

Prinsip penanganan MDR TB yakni.18


1. Obat yang digunakan setidaknya terdiri dari 4 jenis dengan pertimbangan bahwa obat
yang digunakan belum berpotensi untuk resisten atau obat tersebut tidak pernah
digunakan didaerha tersebut.Pada rencana pengobatan berdasarkan regimen individual,
obat yang akan digunakan sebaiknya berdasarkan pada hasil tes sensitivitas obat.
2. Jangan menggunakan obat yang memiliki potensi untuk menimbulkan resistensi
silang. Resistesi silang adalah mutasi pada gen M.tuberculosis yang dapat memberikan
resistensi pada obat lain dengan golongan yang sama atau golongan yang berbeda

18
3. Eliminasi obat yang tergolong tidak aman untuk diberikan pada pasien misalnya obat
yang menimbulkan alergi atau efek samping yang tidak dapat ditolerir pasien.
4. Pemilihan lini pengobatan dilakukan berdasarkan tingkat potensi obat. Bila obat lini
pertama masih dapat digunakan untuk mengobati MDR maka regimen tersebut dapat
digunakan. Bila tidak memungkinkan maka pilihlah tingkat regimen yang lebih tinggi.
Bila obat di regimen lini pertama tidak cukup 4 jenis, maka obat lainnya bisa diambil
dari regimen yang lebih tinggi tingkatannya. Hindari penggunaan streptomisin bila
terjadi resistensi, selain itu efek ototoksiknya juga tinggi. Berikut adalah kelompok
golongan obat-obat anti tuberculosis

Kelompok 1

Obat kelompok 1 merupakan obat yang sangat poten dan efek sampingnya dapat
ditolerir yakni rifampicin, Ethambutol dan Pyrazinamide. Bila hasil laboratorium dan
pengalaman klinis mendukung efektifitas obat ini maka obat-obatan golongan ini masih
dapat dipakai untuk pengobatan walaupun insidensi resistensi silang akan mungkin
terjadi misalnya resistensi terhadap rifabutin akibat penggunaan rifampicin.
Kelompok 2
Bila hasil tes sensitivitas menunjukkan hasil yang baik pada obat-obatan golongan ini
maka obat ini perlu digunakan. Obat golongan ini adalah aminoglikosida dan yang
sering direkomendasikan adalah kanamycin dan amikacin karena efek samping
ototoksitas yang lebih rendah dibanding streptomycin. Bila terjadi resistensi amikacin
dan kanamycin, capreomycin dapat digunakan.
Kelompok 3.
Floroquinolon dapat diberikan pada pasien dengan infeksi tuberculosis yang sensitif
dengan golongan ini seperti levofloxacin dan moxifloxacin, Ciprofloxacin tidak lagi
direkomendasikan untuk pengobatan TB resisten.
Kelompok 4
Ethionamide atau protionamide sering ditambahkan dalam regimen pengobatan. P-
aminosalicylic acid (PAS) juga dapat diberikan terlebih dulu. Kombinasi PAS dan
Ethionamid terkadang sering memberikan efek gastrointestinal dan hypothyroidisme
Cycloserine juga dapat ditambahkan kedalam regimen pengobatan. Tiga agen ini sering
dipakai secara bersamaan. Terizidone dapat pula digunakan untuk menggantikan
cycloserin

19
Kelompok 5.
Kelompok 5 tidak direkomendasikan oleh WHO dalam penggunaan rutin untuk
mengatasi TB resisten karena efektifitasnya yang masih tidak jelas. Regimen ini
membutuhkan pendapat para ahli terutama dalam penanganan XDR TB

Tabel 3. Kelompok obat-obat anti tuberculosis


(dikutip dari kepustakaan nomor 18)

Pada penanganan MDR-TB, fase intensif didefinisikan sebagai fase terapi


dengan obat injeksi selama minimum 6 bulan hingga sedikitnya 4 bulan sejak apusan
BTA menjadi negatif. Pemberian obat juga perlu mempertimbangkan hasil apusan, X
ray dan gejala klinik dan dapat diperpanjang bila perlu. Hasil kultur menentukan waktu
terapi MDR. Terapi harus dilanjutkan 18 bulan setelah konversi kultur. Konversi kultur
didefinisikan sebagai hasil kultur negatif selama 2 kali berturut-turut dengan rentang
pemeriksaan 30 hari. Bila terjadi kasus kronik, pengobatan dapat dilanjutkan hingga 24
bulan.

20
VIII. PROGNOSIS

Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan


yang baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya
muncul 1 tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB
yang rendah. Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang
tinggi. Prognosis biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis
dipengaruhi oleh penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru,
immunokompeten. Usia tua serta riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh
yang melambangkan status gizi juga menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.2,17

21
IX. DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene


Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in:
Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008
2. Iseman, Michael D. Chapter 345 Tuberculosis in: Goldman, Lee. Ausiello,
Dennis. Cecil medicine 23rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008.
3. Baliga, Ragavendra. Hough, Rachel. Haq, Iftikhar. Crash course internal
medicine. United Kingdom: Elsevier Mosby. 2007.
4. Fitzpatrick, Lisa K. Braden, Christopher. Chapter 294 Tuberculosis in: Humes,
David. Dupont, Herbert L. Kelley textbook of medicine USA: Lippincott
Williams & Wilkins 2000.
5. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2011. Geneva
World Health Organization. 2011
6. World Health Organization. Multi drug and extensively drug 2010 global report
on surveillance and response. Geneva: World Health Organization 2011
7. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2010. Geneva
World Health Organization. 2010
8. Rao, C. Kosen, S. Bisara, D. Usman, Y. Adair, T. Djaja, S. Suhardi, S. Soemantri,
S. Lopez, AD. Tuberculosis mortality differentials in Indonesia during 2007-
2008: evidence for health policy and monitoring. Int J Tuberc Lung Dis.
2011 Dec;15(12):1608-14.
9. Eastman et all. Getting started in clinical radiology from image to diagnosis.
Germany:Thieme. 2006
10. Waite, Stephen. Jeudy, Jean. White, Charles S. Chapter 12. Acute lung
infections in normal and immunocompromised hosts in : Mirvis, Stuart E.
Shanmuganathan, Kathirkamanathan. Emergency chest imaging. Canada:
Elsevier 2006.
11. Ganguly KC, Hiron MM, Mridha ZU, Biswas M, Hassan MK, Saha SC,
Rahman MM. Comparison of sputum induction with bronchoalveolar lavage in
the diagnosis of smear negative pulmonary tuberculosis. Mymensingh Med J.
2008 Jul;17(2):115-23.

22
12. Mohan A, Sharma SK. Fibreoptic bronchoscopy in the diagnosis of sputum
smear-negative pulmonary tuberculosis: current status. Indian J Chest Dis
Allied Sci. 2008 Jan-Mar;50(1):67-78.
13. Coulter JB. Diagnosis ofpulmonary tuberculosis in young children.Ann Trop
Paediatr. 2008 Mar;28(1):3-12.
14. Dinnes J, Deeks J, Kunst H, Gibson A, Cummins E, Waugh N, Drobniewski F,
Lalvani A. A systematic review of rapid diagnostic tests for the detection of
tuberculosis infection. Health Technol Assess. 2007 Jan;11(3):1-196.
15. Nataraj G. Newer diagnostics for detection of multidrug-resistant tuberculosis. J
postgrad Med 2011;57:267-269
16. Rachow, Andrea. Zumla, Alimuddin. Heinrich, Norbert. Rojas-Ponce,Gabriel.
Mtafya,Bariki. Reither, Klaus et al. Rapid and accurate detection of
mycobacterium mtuberculosis in sputum samples by cepheid xpert mtb/rif
assay—a clinical validation study. PLoS ONE 6(6): e20458.
doi:10.1371/journal.pone.0020458. 2011
17. Herchline, Thomas E. Tuberculosis. [online] updated December 9 2011. Cited at
december 18 2011.Downloaded from
www.emedicine.medscape.com/article/230802- overview
18. World Health Organization. Treatment of tuberculois, guidelines. Geneva:
World Health Organization. 2011
19. Havlir, Diane V. Kendall, Michelle A. Ive, Prudence. Kumwenda, Johnstone.
Swindells, Susan. Qasba, Sarojini S. Luetkemeyer, Anne F. Hogg, Evelyn et al.
Timing of antiretroviral therapy. N Engl J Med 2011;365:1482-91
20. Abdool Karim, Salim S. Naidoo, Kogieleum. Grobler, Anneke. Padayatchi,
Nesri. Baxter, Cheryl. Gray, Andrew L. integration of antiretroviral therapy
with tuberculosis treatment. N Engl J Med 2011;365:1492-501.
21. Blanc, François-Xavier. Sok, Thim. Laureillard, Didier. Borand, Laurence.
Rekacewicz, Claire. Nerrienet, Eric et al. Earlier versus later start of
antiretroviral therapy in hiv-infected adults with tuberculosis. N Engl J Med
2011;365:1471-81.
22. Shakya, Rajani. B.S, Rao. Shrestha, Bhawana. Evaluation of risk factors for
antituberculosis drugs- induced hepatotoxicity in nepalese population.

23
Kathmandu University Journal Of Science, Engineering And Technology Vol.Ii,
No.1, February, 2006.
23. RYC, Chan. AKH Kwok. Ocular toxicity of ethambutol. Hong Kong Med J
2006;12:56-60
24. Heng JE, Vorwerk CK, Lessell E, Zurakowski D, Levin LA, Dreyer EB.
Ethambutol is toxic to retinal ganglion cells via an excitotoxic pathway. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 1999 Jan;40(1):190-6..
25. Chai SJ, Foroozan R. Decreased retinal nerve fibre layer thickness detected
by optical coherence tomography in patients with ethambutol-induced
optic neuropathy. Br J Ophthalmol. 2007 Jul;91(7):895-7. Epub 2007 Jan 10.
26. Hazardous Substances Data Bank. Isoniazid [online] downloaded from
http://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-bin/sis/search/r?dbs+hsdb:@term+@rn+54-85-3

24

Anda mungkin juga menyukai