Anda di halaman 1dari 2

KEBAIKAN 1..

bersambung
Segala sesuatu dimulai dari hati. Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam salah satu hadits beliau. Bahwa panglima setiap diri adalah hati. Jika hati
baik, maka akan baiklah kondisi tubuh berikut amal yang dihasilkannya. Akan tetapi jika hatinya
tidak baik, busuk, atau jahat, maka amal-amal yang dilahirkan oleh anggota tubuh yang lainnya
akan menjadi rusak. Menjadi amal yang jahat dan buruk.
Karena demikian keadaannya, maka menata hati adalah langkah penting bagi kita untuk bisa
menata amal-amal jasmani kita. Memperbaiki langkah kaki dan kerja tangan kita, mestilah dimulai
dengan menata hati kita.
Hati tempat amal membisikkan niatnya. Amal apa pun. Yang kecil maupun besar. Banyak maupun
sedikit. Yang dikerjakan sendirian ataupun beramai-ramai. Dari amal-amal itu, Allah ‘Azza wa
Jalla akan menilai dan membalasi kita sesuai dengan apa yang menjadi niat di dalam hati.
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda, “Setiap amal bergantung pada niat, dan setiap orang akan memperoleh apa
yang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena
dunia yang diusahakannya atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sebatas
apa yang diniatkannya itu.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Hati tempat bersemayamnya niat dan motivasi. Baik atau buruk nilai dari amal yang kita lakukan,
sangat ditentukan oleh apa yang terbetik di dalam hati kita. Boleh jadi di antara kita memiliki jenis
amal yang sama, bahkan kuantitasnya juga sama. Bahkan mungkin kualitasnya, secara lahir, juga
sama. Tetapi siapa di antara kita yang amalnya benar-benar sampai kepada Allah, tergantung apa
yang kita niatkan dengan amal-amal itu.
Niat lahir di dalam hati. Bukan sebatas apa yang kita ucapkan kepada orang lain. Karena boleh
jadi, apa yang kita ucapkan di hadapan orang berbeda dengan apa yang ada dalam hati kita. Bisa
jadi ucapan itu kita maksudkan agar orang lain tahu motivasi tulus kita dengan amal-amal yang
kita lakukan. Bisa saja, mungkin, awalnya memang hati kita tulus. Tetapi, dengan menyebut-
nyebut ketulusan itu di depan orang lain, apakah itu tidak berarti kita menginginkan pujian orang
atas ketulusan itu? Padahal bukankah keikhlasan itu adalah terbebasnya amal dari keinginan untuk
dipuji?
Mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing hati kita sehingga mampu beramal dengan tulus
dan ikhlas, semata karena mengharap kebaikan-Nya, semata mengharap pahala dan keridhaan-
Nya. “Maka, barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan
amal-amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah
kepada Tuhannya.”(Q.s. al-Kahfi: 110).
Amal shalih dalam arti kebaikan yang dilandasi keikhlasan, berawal dari kebaikan hati. Kebaikan
hati akan melahirkan banyak kebaikan yang bisa dilahirkan oleh jasmani dan anggota tubuh kita.
Ia mewujud dalam sikap, bahasa tubuh, dan tindak-tanduk kita. Ia muncul dalam ucapan, kerja
tangan dan kaki kita. Ia muncul dalam ungkapan suka dan tidak suka kita. Ia muncul dalam
persetujuan dan ketidaksetujuan kita.

Anda mungkin juga menyukai