Anda di halaman 1dari 24

Fiqh Muzakki

Bab 1
Pendahuluan
Zakat merupakan kewajiban yang harus dipungut dari orang yang mampu
(aghniya), yang dilakukan berdasarkan tata cara yang sesuai syariat Islam yaitu
pada kadar dan hitungan yang ditetapkan. Orang yang wajib mengeluarkan zakat
disebut dengan muzakki. Setiap orang Islam yang telah memiliki kemampuan
harta benda untuk berzakat, maka wajib baginya menunaikan rukun Islam yang
ketiga ini.

Dalam pembahasan fikih, para ulama bersepakat bahwa zakat merupakan


harta yang harus dikeluarkan oleh seorang muzakki yaitu seseorang yang
beragama Islam (muslim) setelah harta tersebut telah mencapai nisab (kadar) dan
haul (masanya). Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan pendapat dari para
ulama mengenai kondisi-kondisi tertentu dari muzakki. Sehingga terjadi
perbedaan dalam menghukumi apakah seseorang dengan kondisi tertentu berkewajiban
menunaikan zakat atas harta yang dikuasainya atau tidak .

Sebenarnya ada banyak kondisi dari muzakki yang di kaji oleh para ulama
dalam menghukumi kewajiban zakat ini. Namun dalam makalah ini penulis
membatasi untuk membahas kondisi-kondisi umum yang banyak dibahas ulama
dan menjadi persoalan umum ummat. Yaitu, zakat atas harta anak-anak, zakat atas
harta orang gila, dan zakat atas harta budak . Sehingga yang akan dibahas dalam
penelitian ini antara lain;

1. Bagaimanakah konsep muzzaki yang disepakati para ulama berdasarkan


syarat-syarat muzzaki?

2. Bagaimanakah kedudukan harta anak-anak dan orang gila dalam


kewajiban zakat?

3. Bagaimanakah kedudukan harta budak dalam kewajiban zakat?

4. Bagaimanakah konsep muzakki dalam kewajiban zakat badan/fitrah.

5. Bagaimanakah adab-adab seorang muzakki dalam menunaikan zakat?


BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Muzzaki dalam Al Quran dan hadits dan Syarat-syarat Muzzaki

2.1. Orang-orang yang disepakati wajib mengeluarkan zakat

1. Beragama Islam

Zakat merupakan salah satu bentuk ibadah. Oleh karena itu, beragama Islam
merupakan salah satu syarat seseorang diwajibkan menunaikan zakat [ CITATION
ElM13 \l 1057 ]. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Ra.
Tentang diutusnya Mu’adz Ra ke Yaman. Rasulullah SAW bersabda;

“Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan
aku adalah utusan-Nya. Jika mereka menaatimu, maka beritahukan kepada
mereka bahwasanya Allah SWT. mewajibkan zakat kepada mereka yang diambil
dari orang-orang kaya diantara mereka untuk diberikan kepada orang-orang
yang fakir diantara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW. memberikan instruksi kepada Mu’adz Ra. untuk mengajak


warga yaman memeluk agama Islam terlebih dahulu dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat, setelah itu dilanjutkan menyampaikan ajaran Islam yang lain,
termasuk menunaikan zakat.

Selain itu Abas bin Malik Ra. meriwayatkan bahwasanya Abu Bakar As
Shiddik Ra. Pernah menulis surat kepada penduduk Bahrain sebagaimana berikut;

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang. Zakat adalah kewajiban yang telah diwajibkan oleh Rasulullah SAW.
kepada kaum muslim, dan telah Allah SWT. perintahkan kepada rasuk-Nya.”
(HR. Bukhari dan Abu Dawud).

Ungkapan “kepada kaum muslimin” dalam surat tersebut menegaskan


bhawa selain orang Islam tidak dituntut untuk menunaikan zakat. Akan tetapi, di
akhirat kelak, orang-orang nonmuslim akan mendapat siksa dan azab karena tidak
menunaikan zaka. Allah Swt. berfirman;

     


     

“...dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang


mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak
menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan)
akhirat.” (QS. Fushilat[41]: 6-7)

Adapun orang yang murtad, jika kewajiban zakat ada pada diriya
ketika ia masih beragama Islam sebelum menunaikan zakat, maka
kewajiban zakatnya tidak gugur dan tetap diambil dari hartanya.

2. Memiliki Harta Mencukupi Nisab

Nisab adalah jumlah minimal yang telah ditetatapkan oleh syariat sebagai
batas wajibnya zakat harta. Memiliki senisab berarti, memiliki lebih dari
keperluan hidup sehari-hari. Termasuk dalam keperluan sehari-hari adalah
makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan alat-alat bekerja.

3. Memiliki Harta yang Berlalu Satu Haul atau Satu Tahun

Disyaratkan untuk kewajiban zakat berlalunya waktu satu tahun dengan


menggunakan penangggalan hijriyan untuk kepemilikan harta yang sudah
mencapai nisab. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah SAW. berikut;

“Tidak ada kewajiban berzakat pada harta hingga berlalu satu tahun.” (HR.
Abu Dawud).

Persyaratan satu tahun tidak berlaku pada zakat biji-bijian, buah-buahan,


dan barang tambang. Zakat pada jenis harta ini diwajibkan ketika barang-barang
tersebut diperoleh, yaitu ketika barang tambang dikeluarkan, dan biji-bijian dan
buah-buahan dipanen. Dasar terkait masalah ini adalah firman Allah SWT.
sebagai berikut;

   


“...dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan
kepada fakir miskin)...” (QS. Al An-aam [6]: 141).

Imam Nawawi mengatakan, “Harta-harta zakat ada dua macam: Pertama


yang berwatak subur, seper tibiji-bijian dan buah-buahan. Maka bagian ini wajib
dikenakan zakat apabila dia telah berwujud. Kedua yang diharapkan atau yang
ditunggu-tunggu kesuburannya, seperti dirham, dan barang dagangan. Harta
bagian ini diharuskan cukup setahun kita miliki.” demikian pendapat seluruh
ulama fiqh.

2.2 Orang-orang yang diperselisihkan wajib mengeluarkan zakat

Ulama bersepakat, bahwa orang yang merdeka, telah sampai umur, berakal
dan nisab yang sempurna berkewajiban mengeluarkan zakat [ CITATION ElM13 \l
1057 ]. Namum para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban zakat bagi,

1. Anak-anak dan anak yatim dan orang gila

Dalam menentukan hukum zakat, seluruh ulama telah bersepakat bahwa


zakat diwajibkan atas seluruh kaum muslim. Namun terdapat perbedaan mengenai
kondisi hal harta yang dikuasai anak-anak dan orang gila. Perbedaan tersebut
terbagi atas tiga garis besar.

1. Secara penuh tidak mewajibkan zakat pada harta anak kecil dan orang
gila

2. Mewajibkan zakat pada tanaman dan buah-buahan saja, tidak terhadap


harta-harta yang lain.

3. Mewajibkan zakat atas segala harta-harta anak kecil dan orang gila.

Beberapa ulama yang menyatakan bahwa zakat itu adalah ibadah mahdhah
mempersyaratkan balig dan berakal, sedangkan mereka yang berpendapat zakat
adalah hak fakir dan bukan merupakan ibadah mahdhah mewajibkan semua harta
kekayaan anak-anak dan orang gila tanpa terkecuali.
An-Nakha’i, Al Hasan, Syuraih dan Sa’id ibn Musayyab Abu Hanifah dan
ashab-nya mengatakan bahwa, “tidak wajib zakat pada anak kecil dan orang gila.”

Abu hanifah mewajibkan zakat pada tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan


dari anak kecil dan orang gila, sebgaimana wajib fitrah atas keduanya.

Ibnu Syubrumah mengatakan, “tidak dikenakan zakat pada emas dan perak
dari harta anak kecil dan orang gila dan dikenakan zakat pada tumbuh-tumbuhan
an binatang dari harta mereka.”

Al-Auza’i dan Ats-Tsauri mengatakan, “wajib zakat pada harta anak kecil
dan orang gila, tetapi tidak dikeluarkan sebelum anak kecil tersebut sampai
berumur san sebelum orang gila tersebut sembuh dari sakitnya.”

Ibnu Mas’ud berpendapat, “hitung zakat yang wajib pada harta anak yatim
adalah apabila ia telah sampai umur, dan hal itu diberitahukan kepadanya. Jika ia
suka, ia keluarkan, jika tidak, dia tinggalkan.” Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad
mengatakan, “zakat wajib pada harta anak kecil dan orang gila.”

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa zakat dipungut dari harta orang gila dan
anak kecil, walaupun anaktersebut belum mumayyiz. Adapun zakat yang tidak
dikeluarkan menjadi hutang dan haruslah dibayar oleh orang yang belum
membayarnya dan zakat itu berpautan dengan harta yang wajib dizakati.”

Menurut Ibnu Rusyd, “pokok perselisihan para ulama dalam masalah ini
adalah tentang mafhum zakat. apakah ibadah sebagaimana puasa dan sholat,
ataukah hak yang diwajibkan untuk fakir miskan atas orang kaya?. Dengan
demikian pihak yang menetapkan zakat merupakan ibadah, mensyaratkan sampai
umur dan berakal. Sedangkan pihak yang menetapkan zakat sebagai kewajiban
atas sebagian harta orang kaya untuk fakir miskin, tisak mengiktibarkan sampai
umur dan berakal.

Dari berbagai pendapat ulama, penulis menyimpulkan bahwa baligh dan


berakal merupakan salah satu syarat seseorang berkewajiban mengeluarkan zakat
sebagaimana yang dinyatakan sebagian ulama. Namun tidak menjadi syarat
mutlak, karena zakat juga difahami sebagai kewajiban sikaya atas sebagian
hartanya untuk fakir miskin. Apabila anak kecil dan orang gila memiliki harta
yang mencukupi maka kewajiban menunaikan zakat mereka adalah oleh wali
mereka yang diambil dari harta mereka. Para wali disini hanya sebagai pelaksana
selaku orang yang bertanggungjawab atas anak kecil dan orang gila.

Apabila wali tersebut tidak mengeluarkan zakat mereka, maka anak kecil
tersebut wajib mengeluarkan zakatnya setelah ia baligh dan orang gila wajib
mengeluarkan zakatnya setelah ia sembuh dari penyakitnya.

Dalam hal ini dalil yang medukung adalah firman Allah SWT,

       


 

“ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan....” (at-Taubah [9]: 103).

      


 

dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta) (Qs. Al-Ma-aarij [70]: 24:25).

Kedua ayat tersebuut berlaku untuk seluruh orang muslim. Penyebutan


kata “sebagian dari harta mereka” mencakup keseluruhan orang. Sebab, Allah
SWT telah memberikan rizeki/ harta kepada seluruh hamba-Nya. termasik anak
kecil dan orang gila. Hanya saja, terkaitdengan zakat, kemumuman kata ini
dibatasi dengan syarat “orang muslim”, bukan semua orang, mengingat zakat
hanya diwajibkan bagi orang-orang muslim. Sehingga dapat dikatakan, “ambillah
zakat dari sebagian harta mereka (orang-orang muslim).

2. Budak

Bu Hanifah dan Asy-syafi’i mengatakan, “tidak wajib zakat atas budak


belian hanya wajib atas tuannya.” Malik dan Ahmad juga mengatakan. “tidak
wajib zakat atas budak belian dan dikeluarkan oleh tuannya.” Sementara Abu
Tsaur dan Daud mengatatakan, “wajib zakat harta atas diri budak.”

Para ahli ijtihad juga berselisih faham tentang zakat dari harta si mukhtab
(budak yang telah diberikan hal oleh tuannya hak menebus diri dan dilepaskan
dari perbudakan apabila si budak telah membayar sejumlah yang telah
ditetapkan).

Abu hanifah mengatakan, “Tidak wajib zakat pada harta si mukatab.”


Malik, Asy-Syafi’i dan ahmad mengatakan, “tidak ada zakat pada harta si
mukatab, tidak atas dirinya dan tidak atas tuannya. Abu Tsur mengatakan. “wajib
zakat pada harta si muktab.” Dalam masalah ini dimaklumi apabila difahami
bahwa zakat adalah kewajiban atas harta orang kaya untuk fakir miskin. Dengan
demikian wajib bagi budak yang kaya untuk mengeluarkan kewajiban zakatnya.

2.3. Muzakki Badan (Zakat Fitrah)

Zakat badan atau zakat fitrah merupakan bentuk dari zakat nafs (jiwa).
Dalam ilmu fikih zakat ini disebut dengan “zakatul fitrah”, yaitu zakat yang
berkenaan dengan selesainya mengerjakan shiyam (puasa) yang difardukan.

Sebagaimana keumuman hukum zakat, kewajiban zakat fitrah juga adalah


atas orang-orang muslim (beragama Islam). Namun zakat fitrah memilliki
kekhususan dalam hal waktu pelaksanaanya. Diwajibkan menunaikan zakat fitrah
sejak matahari tenggelam pada akhir bulan ramadhan atau waktu masuknya
malam idul fitri. Sehingga barang siapa yang hidup pada sebagian bulan ramadhan
dan malam idul fitri, maka ia wajib menunaikan zakat fitrah. Adapun zakat fitrah
itu diwajibkan atau ditanggung kepada orang yang berkewajiban menafkahi,
apabila persyaratannya terpenuhi.
Seorang mukallaf yang diwajibkan menunaikan zakat fitrah disyaratkan
memiliki kemampuan untuk menunaikan ketika kewajiban itu tiba. Adapun yang
dimaksud mampu disini adalah yang memiliki kelebihan harta, berupa makanan,
minuman, dan kebutuhan pokok lainnya untuk dirinya dan orang yang
dinafkahinya.

Oleh karena itu sekalipun status orang tersebut fakir, jika ia memiliki
kemampuan untuk menunaikan zakat fitrah, ia tetap berkewajiban
menunaikannya. namun yang demikian jika apa yang dimiliki hanya cukup untuk
kebutuhannya, maka kebutuhannya itu yang didahulukan.

Zakat fitrah diwajibkan sesuai dengan makanan pokok penduduk setempat.


dengan kualitas baik sama maupun lebih tinggi--tidak mengapa. Zakat fitrah harus
dibayarkan kepada delapan asnaf zakat dengan satu jenis barang pokok, tidak
boleh dua.

Adapun zakat fitrah ini harus dikeluarkan dengan sepengetahuan mukallaf.


Artinya tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah untuk orang lain tanpa
sepengetahuan oarang tersebut. Hal itu membuat pemberian zakat bernilai tidak
sah.

2.4. Adab-adab Muzakki dalam menunaikan Zakat

1. Tidak menyebut-nyebut pemberian yang telah diberikan dan tidak


menyakiti pemberi

       


        
        

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,


kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti
(perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. Al Baqarah 262
Dalam tafsirnya as-sa’di menyebutkan bahwa ayat ini mengajak orang yang
beriman untuk tidak mengrangi pahala dari infak yang ia lakukan di jalan Allah
yaitu dengan menyebut-nyebut pemberian yang ia berikan dihadapan penerimanya
agar si penerima mereasa berhutang budi. Dan jangan pula mengharap balas budi
dari si penerima. Jangan pula ia menyakiti hati si penerima dengan perkataan dan
perbuatnnya.1

2. Harta yang dizakatkan adalah harta yang halal dan yang paling baik, bukan
harta yang buruk.
     
        
     
        
 

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah)


sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. Al Baqarah 267

Berkenaan dengan ayat ini Ibnu Katsir mengutip perkataan Ibnu Abbas ra.
Ibnu abbas merenrangkan baahwa ayat ini memerintahkan untuk bersedekah
dengan harta yang paling baik. Selain perintah tadi Ayat ini juga melarang untuk
besedekah dengan harta yang buruk karena Allah tidak menerima kecuali yang
baik. Oleh karena itu janganlah bersedekah dengan harta yang buruk, yang jika
harta itu diberikan pada kalian, kalian enggan untuk menerimanya bahkan
memalingkan wajah dari hal itu (melihat barang itupun enggan). Ingatlah
sesungguhnya Allah lebih kaya dari kalian, bagaimana mungkin kalian
menyedekahkan hal yang kalian benci kepada Nya.2 Dari ayat ini bisa kita

1
As Sa’di. Al Karim Al Rohman Fi Tafsiri Kalami Al Mannan. ayat
2
Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur’an Al Azhim. ayat
simpulkan bahwa mereka yang melakukan hal semacam ini maka Allah tidak
menerima pemberinnya tersebut. Tiada pahala baginya.

3. Tidak kikir dan tidak pula berlebihan dalam berzakat

        


  

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka


tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian. Al Furqan 67

Berkenaan dengan ayat ini As Sa’di menerangkan bahwa dalam berinfak baik
yang wajib maupun yang sunnah seseorang hendaknya tidak berlebih-lebihan dan
melampaui batas yang ditentukan sehingga jangan sampai infak yang
dikeluarkannya menjadi mubazzir. Dan jangan pula terlalu sedikit sehingga ia
masuk kategori kebakhilan.

4. Bersegera berzakat jika telah memungkinkan

         
        
  

dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan


kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu;
lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan
(kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat
bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" Al Munafiqun 10

5. Zakat yang dilakukan harus ikhlas bukan riya’

      


        
       
         
       

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan


(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Al Baqarah 264

6. Tidak menampakkan sedekah lebih baik.

       


        
      

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali.


Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-
orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah
akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Al Baqarah 271.
ZAKAT KONTEMPORER
1. Zakat Penghasilan/profesi

Zakat penghasilan adalah masalah baru, tidak pernah ada dalam sepanjang
sejarah Islam sejak masa Rasulullah SAW. Penggagas zakat penghasilan adalah
Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah, yang diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia oleh Dr. KH. Didin Hafidhuddin.

Bentuk-bentuk penghasilan dengan bentuknya yang modern, volumenya


yang besar, dan sumbernya yang luas, merupakan sesuatu yang belum dikenal
oleh para ulama fikih pada masa silam. Sehingga wajibkah berbagai bentuk
penghasilan yang berkembang sekarang itu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak?
Bila wajib, berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana tinjauan fikih
Islam tentang masalah itu?

Zakat penghasilan dikenal juga dengan zakat profesi. Zakat profesi


didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian
profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga
lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab. Misal
profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya.

1.1. Hakikat Pendapatan/Profesi

Pendapatan pada hakikatnya merupakan uang yang dihasilkan dari usaha


atau pekerjaan seseorang. Menurut Al Qardhawi pekerjaan yang menghasilkan
uang ada dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa
tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan
yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti
penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang kayu
dan lain-lainnya. Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat
pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh
upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan
dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.

1.2. Dasar Hukum Zakat Penghasilan/Profesi


1. Ayat-ayat al-Quran yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan
zakatnya.
Firman Allah SWT:
dan pada harta-harta mereka ada hak untuk oramng miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian
(QS. Adz Dzariyat:19)
Firman Allah SWT:
Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik.
(QS Al Baqarah 267)
Hadist Nabi SAW:
Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak
harta itu
(HR. Al Bazar dan Baehaqi)

2. Berbagai pendapat ulama terdahulu, maupun sekarang. Sebagian


menggunakan istilah yang bersifat umum, yaitu al-amwaal. Sementara
sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah al-Maal al-
Mustafaad. 
3. Dari sudut keadilan, penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang
dimiliki akan terasa sangat jelas. Para petani harus berzakat, apabila hasil
panen pertaniannya mencukupi nishab. Dan sangat adil, jika zakat ini pun
bersifat wajib pada penghasilan yang diperoleh para pekerja profesional
semacam dokter, dosen, konsultan hukum dan lain sebagainya. 
4. Sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial manusia, kususnya bidang
ekonomi. Kegiatan ekonomi masyarakat dalam bentuk keahlian dan
profesi semakin berkembang dan bahkan menjadi ladang penghasilan
utama sebagian besar masyarakat. Karenanya, zakat profesi menjadi
penting dan harus diterapkan.

1.3. Waktu Pengeluaran Dari Zakat Penghasilan/Profesi


Berikut adalah beberapa perbedaan pendapat ulama mengenai waktu
pengeluaran dari zakat profesi:

1. Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun)


terhitung dari kekayaan itu didapat.

2. Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah
dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan
akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta
dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan
zakat.

3. Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama
modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat
dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka
mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu
panen. (haul:lama pengendapan harta).

1.3 Penghitungan zakat Penghasilan/Profesi

Secara prinsip yang menjadi objek zakat ini adalah upah kerja atau
pendapatan yang secara rutin diterima setiap bulan atau setiap selesainya suatu
pekerjaan.[CITATION Kha10 \l 1057 ]. Adapun dalam menentukan nishab, waktu,
kadar dan cara mengeluarkan zakat profesi, terdapat beberapa kemungkinan
kesimpulan dalam menentukan nisab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat
profesi. Hal ini tergantung pada qiyas (analogi) yang dilakukan.

Pertama, jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nisahb, kadar dan
waktu mengeluarkannya mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula
dengan zakat emas dan pera. Nisabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5
persendan waktu mengeluarkanya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan
pokok. Kedua, jika dianalogikan pada zakat pertanian. maka nishabnya senilai
653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 persen dan dikeluarkan pada
setiap pendapatan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Ketiga, jika
dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar 20 persen tanpa ada nisbah,
dan dikeluarkan pada saat menerimanya.
Berdasarkan pendapat yang penulis nukilkan dari buku Dr. KH. Didin
Hafidhuddin, M.Sc. maka sangat memungkinkan zakat profesi ini waktunya
disesuaikan dengan zakat pertanian: setiap musim panen atau dalam hal ini ketika
seseorang mendapat honor (gaji). Dan kadarnya disesuaikan dengan zakat
perdagangan atau sama dengan zakat emas dan perak, yaitu kadar zakatnya 2,5
persen.

2. Zakat Perusahaan

Secara fiqh yang berkewajiban menunaikan zakat adalah seseorang yang


memenuhi syarat-syarat yaitu, Islam, telah cukup nasab dan haulnya. Dalam
konteks perniagaan kondisinya tidak selalu dilakukan orang-perorang, namun juga
banyak dilakukan oleh korporasi atau badan usaha. Maka secara syariah,
diberlakukan juga zakat badan usaha yang merupakan peng-qiyas-an dari zakat
perniagaan. Zakat perusahaan kadarnya dihitung berdasarkan neraca perusahaan
yang besarnya 2,5%.

Dalil berlaku dalam masalah ini adalah firman Allah SWT,;

      


      

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)


sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS. Al Baqarah [2]: 267) .

Namun harus diakui bahwa kewajiban zakat bagi perusahaan masih


memiliki dua pandangan yang berbeda di kalangan ulama kontemporer.
Perbedaan pendapat ini disebabkan karena memang lembaga badan hukum seperti
perusahaan itu memang belum ada teks yang mewajibkannya sehingga ulama fiqh
generasi pertama tidak mewajibkan zakat. Tetapi umumnya ulama kontemporer
yang mendalami masalah zakat, mengkategorikan perusahaan sebagai wajib zakat.
Al Qaradhawi menghimpun jenis ini dengan sebutan  harta yang
diusahakan, yaitu harta yang diusahakan oleh para pemiliknya untuk berusaha
dengan cara menyewakannya atau menjual hasilnya. Perbedaanya dengan harta
perniagaan adalah bahwa keuntungan yang diperoleh dalam perdagangan adalah
lewat penjualan atau pemindahan benda-benda itu ke tangan orang lain.
Sedangkan harta perusahaan masih berada di tangan pemilik, dan keuntungan
diperoleh dari penyewaan atau penjualan produknya.

2.1. Penghitungan Zakat Perusahaan

Para Ulama peserta mukhtamar Internasional pertama menganalogikan


zakat perusahaan ini kepada zakat perdagangan. Karena dipandangdari aspek legal
dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya berpijak pada kegiatan trading
atau perdagangan. Demikian pula nishabnya adalah senilai 85 gram emas dengan
nisab zakt perdagangan san sama dengan nisab emas dan perak .

3. Zakat atas investasi saham dan surat-surat berharga lainnya.

Saham dan surat-surat berharga (obligasi) merupakan salah satu


objek zakat yang tercantum dalam literatur fiqih zakat kontemporer. Saham dan
surat-surat berharga adalah harta yang berkaitan dengan perusahaan dan
kepemilikan saham. Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan dua pendapat berkaitan
dengan kewajiban zakat atas saham perusahaan:

Pertama, jika perusahaan itu merupakan perusahaan industri murni,


artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan, maka sahamnya tidaklah wajib
dizakati. Contohnya perusahaan hotel, biro perjalanan, dan angkutan (darat, laut,
udara). Alasannya adalah saham-saham itu terletak pada alat-alat, perlengkapan,
gedung-gedung , sarana dan prasarana lainnya. Akan tetapi keuntungan yang ada
dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya
dikeluarkan bersama harta lainnya.

Kedua, jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan dagang murni


yang membeli dan menjual barang-barang, tanpa melakukan kegiatan pengolahan,
seperti perusahaan yang menjual hasil-hasil industri, perusahaan dagang
internasional, perusahaan ekspor-impor, maka saham-saham atas perusahaan itu
wajib dikeluarkan zakatnya. Hal yang sama berlaku pada perusahaan industri dan
dagang, seperti perusahaan yang mengimpor bahan-bahan mentah, kemudian
mengolah dan menjualnya, contohnya perusahaan minyak, perusahaan pemintalan
kapas dan sutera, perusahaan besi  dan baja, dan perusahaan kimia.

Beberapa ulama lain berpendapat bahwa saham dan juga obligasi adalah
harta yang dapat diperjualbelikan, karena itu pemiliknya mendapatkan keuntungan
dari hasil penjualannya, sama seperti barang dagangan lainnya. Karenanya saham
dan obligasi termasuk ke dalam kategori barang dagangan dan sekaligus
merupakan objek zakat.

Kedua pendapat tersebut, hemat penulis, tidaklah bertentangan, karena


kedua-duanya menyatakan bahwa saham itu, meskipun dengan pendekatan yang
berbeda, termasuk ke dalam sumber zakat. Pendapat pertama, mengharuskan
menggabungkannya dengan harta lain yang dimiliki pemegang saham, lalu
dikeluarkan zakatnya, jika sudah mencapai nishab dan berlalu waktu satu tahun.
Sedangkan pendapat kedua, secara langsung menyatakan bahwa saham termasuk
sumber zakat, yaitu termasuk ke dalam zakat perdagangan.

Dalam kaitan ini Muktamar Internasional ke-1  tentang Zakat di Kuwait


pada tahun 1404 menetapkan kewajiban zakat terhadap saham. Karena itu, dari
sudut hukum, saham termasuk ke dalam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Kewajiban zakat ini akan lebih jelas dan gamblang, apabila dikaitkan dengan
nash-nash yang bersifat umum, seperti surah at-Taubah: 103 dan al-Baqarah: 267
yang mewajibkan semua harta yang dimiliki untuk dikeluarkan zakatnya. Adapun
diputuskan juga bahwa jika perusahaan telah mengeluarkan zakatnya sebelum
deviden dibagikan kepada para pemegang saham, maka para pemegang saham
tidak perlu lagi mengeluarkan zakatnya. Jika belum mengeluarkan, maka tentu
para pemegang sahamlah yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya. Dan hal ini
harus dituangkan dalam peraturan perusahaan.

Berdasarkan keterangan di atas, zakat saham dianalogikan pada zakat


perdagangan, baik nishab maupun kadarnya, yaitu nishabnya senilai 85 gram
emas dan kadarnya 2,5 persen. Yusuf al-Qaradhawi memberikan contoh, jika
seseorang memiliki saham senilai 1.000 dinar, kemudian di akhir tahun
mendapatkan deviden atau keuntungan sebesar 200 dinar, maka ia harus
mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen dari 1.200 dinar atau 30 dinar.

4. Zakat Obligasi

Yusuf al-Qaradhawi menyatakan bahwa obligasi adalah perjanjian tertulis


dari bank, perusahaan, atau pemerintah kepada pemegangnya untuk melunasi
sejumlah pinjaman dalam masa tertentu dengan bunga tertentu pula.  Qaradhawi
menjelaskan perbedaan antara saham dan obligasi, sebagai berikut: Pertama,
saham merupakan bagian dari harta bank atau perusahaan, sedangkan obligasi
merupakan pinjaman kepada perusahaan, bank atau pemerintah. Kedua, saham
memberikan keuntungan sesuai dengan keuntungan perusahaan atau bank, yang
besarnya tergantung pada keberhasilan perusahaan atau bank itu, tetapi juga
menanggung kerugiannya. Sedangkan obligasi memberikan keuntungan tertentu
(bunga) atas pinjaman tanpa bertambah atau berkurang.

Ketiga, pemilik saham berarti pemilik sebagian perusahaan dan bank itu
sebesar nilai sahamnya. Sedangkan pemilik obligasi berarti pemberi utang atau
pinjaman kepada perusahaan, bank atau pemerintah. Keempat, deviden saham
hanya dibayar dari keuntungan bersih perusahaan, sedangkan bunga obligasi
dibayar setelah waktu tertentu yang ditetapkan.

Perusahaan yang tidak memproduksi barang-barang atau komoditas-


komoditas yang dilarang, maka sahamnya menjadi salah satu objek atau sumber
zakat. Adapun obligasi sangat tergantung kepada bunga yang termasuk kategori
riba yang dilarang secara tegas oleh ajaran Islam. Meskipun demikian, yang
menarik adalah bahwa sebagian ulama, walaupun sepakat akan haramnya bunga,
tetapi mereka tetap menyatakan bahwa obligasi adalah salah satu obyek atau
sumber zakat dalam perekonomian modern ini.

Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa  jika obligasi itu dibebaskan


dari zakat, maka akibatnya orang lebih suka memanfaatkan obligasi dari pada
saham. Dengan demikian, orang akan terdorong untuk meninggalkan yang halal
dan melakukan yang haram. Dan juga bila ada harta haram, sedangkan pemiliknya
tidak diketahui, maka ia disalurkan kepada sedekah. Tetapi jika suatu obligasi
hanya tergantung pada bunga, maka obligasi itu bukan merupakan obyek atau
sumber zakat.

4. Zakat atas tabungan dan deposito

Secara fiqh, ketentuan zakat terhadap tabungan dapat diqiyaskan dengan


ketentuan zakat terhadap emas perak dan zakat perdagangan. Dengan demikian,
dari sisi nishab atau jumlah tabungan minimal yang harus dimiliki, nilainya tidak
boleh kurang dari 85 gram emas. Selain itu juga berlaku ketentuan haul, yaitu
waktu kepemilikan tabungan selama satu tahun Hijriyah, atau sekitar 354 hari.

Dari sisi perhitungan terhadap zakat tabungan ini, terdapat tiga metode
yang dapat digunakan. Pertama, dihitung dari saldo akhir. Jika saldo akhir
melebihi batas nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen.
Sebagai contoh, seseorang menabung pada tanggal 1 Januari 2013 sebesar Rp 25
juta. Kemudian selama satu tahun (354 hari) hingga 20 Desember 2013, yang
bersangkutan melakukan aktivitas penyetoran maupun penarikan dana, sehingga
saldo akhirnya pada tanggal tersebut mencapai angka Rp 50 juta. Bila
diasumsikan harga emas sama dengan Rp 500 ribu/gram, maka nishabnya
mencapai angka Rp 42,5 juta. Dengan saldo yang ada, maka total zakat yang
harus dikeluarkannya mencapai angka Rp 1,25 juta. Ini adalah pendapat yang
paling umum dipakai.

Pendekatan kedua, dihitung dari nilai saldo terendah selama satu tahun.
Jika nilai saldo terendahnya melebihi nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya
sebesar 2,5 persen. Sedangkan pendekatan ketiga, dihitung dari nilai saldo rata-
rata setiap bulannya. Ini juga berlaku untuk saving account. Munculnya
pendekatan ini sebagai antisipasi terhadap kemungkinan nasabah menarik dana
tabungannya sebelum mencapai haul karena tidak ingin mengeluarkan zakat dari
dana yang disimpannya. Dalam pendekatan ketiga ini, nasabah bisa meminta bank
untuk membuatkan data saldo rata-rata bulanan. Jika melebihi nishab, maka wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen. Dalam konteks Indonesia, metode
perhitungan yang bisa digunakan menurut hemat penulis adalah metode pertama
atau metode ketiga.

Selanjutnya, hal yang juga sangat penting diketahui adalah terkait dengan
sumber dana tabungan. Jika sumber dana tabungan yang disetor berasal dari gaji
yang telah dikeluarkan zakat penghasilannya, maka pada akhir tahun yang sama,
tidak perlu dikeluarkan lagi zakat tabungannya. Namun, jika dana tersebut
disimpan dalam bentuk deposito syariah atau diinvestasikan kembali dalam
produk-produk investasi syariah lainnya, maka wajib dikeluarkan zakatnya
apabila telah memenuhi syarat.
Daftar Pustaka

Aplikasi Al-Quran ms.World


Aplikasi Ayat Al-Quran Karim.ksu.edu.sa
Al-Musyaiqih, K. b. (2010). Zakarta Kontemporer. Jakarta: Embun Litera.

Al-Qardawi, Y. (translet oleh Monzer Kahf) (t.thn.). FIQH AL ZAKAH: A COMPARATIVE


STUDY OF ZAKAH, REGULATIONS AND PHILOSOPHY IN THE LIGHT OF QUR'AN
AND SUNNAH. Jeddah: Centre King Abdulaziz University.

Ash-Shiddieqy, H. (2009). Pedoman Zakat. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Az-Zabari, A. S. (2011). Tanya JAwab Soal Zaakat. Jakarta: Akbar Media .

Forum Zakat (FOZ). (2006). Zakat dan Peran Negara . Jakarta: Forum Zakat (FOZ).

Hafidhuddin, D. (2002). Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press.

Hafidhuddin, D., Nasar, F., Kustiawan, T., Beik, I. S., & Hakiem, H. (2015). Fiqh Zakat
Indonesia. Jakarta : BAZNAS.

Hasan, A. (2003). Masail Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Pers.

Madani, E. (2013). Fiqh Zakat Lengkap. Yogyakarta: Diva Press.

Salim, A. M.-S. (2010). Ensiklopedia Shaum dan Zakat. Jawa Tengah : Cordova
Mediatama.

Anda mungkin juga menyukai