Anda di halaman 1dari 20

POLITIK HUKUM

PENANGANAN TINDAK PIDANA TERORISME


(STUDY KASUS DI KABUPATEN KUDUS)

JURNAL HUKUM

Oleh :
SUBKHAN

N.I.M : MH 20.30.170.0046
Program Studi : Magister Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2018
ABSTRAK

POLITIK HUKUM PENANGANAN TINDAK PIDANA TERORISME


STUDY KASUS DI KABUPTEN KUDUS

Terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa yang
menjadi perhatian dunia sekarang ini terutama di Indonesia. Terorisme
yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memiliki keterkaitan ideologis, sejarah
dan politis serta merupakan bagian dari dinamika lingkungan strategis pada
tataran regional dan global. Terorisme pada kenyataannya merupakan tindakan
yang melanggar kemanusiaan dan hak asasi manusia serta menjadi bukti nyata
bahwa teror adalah aksi yang sangat keji dan tidak memperhitungkan, tidak
memperdulikan dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana dimaksud
dalam sila kedua dari Pancasila yang menjadi Ideologi Bangsa Indonesia yaitu
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Secara umum politik hukum penanganan tindak pidana terorisme di
Indonesia diambil sebagai langkah strategis melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2002
Pasca Peristiwa Bom Bali 1 untuk menghadapi keadaan genting yaitu mengisi
kekosongan hukum. Bahwa kemudian Perpu tersebut ditetapkan menjadi UU
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak
mengurangi nilainya sebagai payung hukum, namun dalam perkembangannya
substansi dari undang-undang tersebut dinilai cenderung bersifat represif dan
masih ditemukan pasal-pasal yang belum dapat mengcover dinamika
perkembangan penyebaran faham radikal yang menjadi ibu dari aksi terorisme,
maupun mencegah aksi terorisme itu sendiri, sehingga kemudian dilakukan revisi
lagi melalui UU Nomor 5 Tahun 2018 guna perbaikan dan memberikan kejelasan
langkah-langkah yang diambil dan dapat meningkatkan fungsi serta kinerja
instansi yang ada.
Regulasi saja tidaklah tepat kiranya dalam memberantas tindak pidana
terorisme, oleh karena itu diperlukan upaya lain secara komperhensif, integral,
terencana dan berkesinambungan dalam bentuk kebijakan hukum guna menutup
kekurangan hukum normatif tersebut, dengan meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan tentang kebangsaan dan ajaran agama dengan baik dan benar,
sehingga masyarakat selalu dapat bersifat responsif dan waspada terhadap
pergerakan kelompok-kelompok radikal yang berkembang di daerah sekitar.

Kata Kunci: Politik Hukum, Penanganan Tindak Pidana Terorisme.


I. Pendahuluan

Terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa

yang menjadi perhatian dunia sekarang ini terutama di Indonesia.

Terorisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memiliki keterkaitan

ideologis, sejarah dan politis serta merupakan bagian dari dinamika

lingkungan strategis pada tataran global dan regional. Kendatipun aksi

terorisme yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa tahun terakhir ini

kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia dan hanya sedikit aktor-aktor

dari luar. Namun tidak dapat dibantah bahwa aksi terorisme saat ini

merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik dengan mereka yang

memiliki jejaring trans-nasional.1

Dalam rangka melindungi nilai kemanusiaan dan hak asasi warga

dari tindak kejahatan terorisme maka Pemerintah Indonesia telah

membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,

yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan

menjadi Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.2 Pembuatan Perpu Nomor 1

Tahun 2002 merupakan langkah politik hukum yang diambil untuk mengisi

kekosongan hukum yang terjadi pada saat itu. Jauh sebelum maraknya

1
Muhammad A.S. Hikam, 2016, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia
Membendung Radikalisme, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Hal. 33-34.
2
Romli Atmasasmita dan Tim, 2012, Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-
Undangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Hal. 73.
kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk terorisme terjadi di

dunia, masyarakat internasional maupun regional serta berbagai negara

telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy)

disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap

perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme. 3

Berbagai aksi teror tersebut jelas telah melecehkan nilai

kemanusiaan martabat bangsa, dan norma-norma agama. Teror telah

menunjukkan nyatanya sebagai tragedi atas HAM. Eskalasi dampak

desdruktif yang ditimbulkan telah atau lebih banyak menyentuh

multidimensi kehidupan manusia. Jati diri manusia, harkat sebagai bangsa

yang beradab, dan cita-cita dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain

dalam misi mulia “kedamaian universal” masih dikalahkan oleh teror.

Karena demikian akrabnya aksi teror ini, akhirnya teror bergeser dengan

sendirinya sebagai “terorisme”. Artinya, terorisme ikut ambil bagian dalam

kehidupan berbangsa ini untuk menunjukkan potensi lain dari berbagai

jenis dan ragam kejahatan khususnya kejahatan kekerasan, kejahatan

terorganisasi, dan kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary

crime).4

Adanya kebijakan internal dari Polri sendiri yang memberikan

kewenangan penuh atas penindakan tindak pidana terorisme secara terpusat

melalui Densus 88 Anti Teror, dengan pertimbangan bahwa kejahatan ini

3 Muladi, 2002, “Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam


Kriminalisasi,” tulisan dalam Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol II No. 03
Desember 2002, Hal. 1
4 Mardenis, 2011, “Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional
Indonesia”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Hal. 120.
merupakan kejahatan lintas wilayah, menjadikan satuan kewilayahan

cenderung hanya menjadi fungsi pendukung. Namun keberadaan fungsi

pendukung ini justru menjadi bagian penting karena lingkup

kewenangannya pada tindakan preventif (kontra radikal) maupun pasca

penindakan (deradikal). Salah satu tugas satuan wilayah adalah bertugas

untuk membentengi masyarakat dari pengaruh faham radikal dan menjadi

tuan rumah atas kembalinya para pelaku terorisme pasca menjalani masa

hukumannya, artinya bila tidak dilakukan deradikalisasi maka potensi

untuk kembali bergabung dengan kelompoknya masih sangat besar sekali.

Dalam berbagai peristiwa terorisme di Indonesia, dapat diketahui

bahwa Kabupaten Kudus sedikitnya telah menyumbang tiga warganya

masuk daftar teroris yang tewas dalam baku tembak dengan Densus 88

Anti Teror Mabes Polri di Surakarta dan Kebumen, menyumbang tiga

warganya yang berfaham radikal menjadi pelaku pembunuhan pendeta di

Jepara, selain itu juga pernah menjadi pilihan untuk tempat persembunyian

beberapa pelaku terorisme baik dari dalam maupun luar negeri serta

menjadi pilihan tempat domisili lima exs napi teroris dalam berbagai kasus

pasca menjalani masa hukumannya. 5

Berdasar uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk

menulis makalah dengan judul “Politik Hukum Penanganan Tindak Pidana

Terorisme, Study Kasus di Kabupaten Kudus”

5
Data Polres Kudus.
II. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis

merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci, antara lain :

1. Bagaimana efektifitas peraturan perundang-undangan tindak pidana

terorisme dalam menekan penyebaran faham radikal dan atau

mencegah aksi terorisme?

2. Bagaimana solusi kebijakan hukum dalam rangka meminimalisir

penyebaran paham radikalisme dan atau mencegah aksi terorisme?

III. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis,

yaitu penelitian hukum yang menekankan pada langkah-langkah observasi

dan analisis yang bersifat empiris-kualitatif, maka sering disebut pula

dengan “socio-legal research”.6 Maksud penggunaan metode pendekatan

yuridis sosiologis dalam penelitian ini adalah dalam pelaksanaan penelitian,

Penulis lebih menitikberatkan pada data primer yang diperoleh dari hasil

interview dan observasi, untuk selanjutnya dikaji dengan data sekunder

yang diperoleh dari penelitian pustaka yang berkaitan dengan pencegahan

tindak pidana terorisme. Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah

deskriptif analistis, yaitu memberikan gambaran tentang pencegahan tindak

pidana terorisme dengan berdasarkan pada data lapangan atau empiris dan

data sekunder yang dinyatakan oleh responden serta juga tingkah laku nyata,

yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

6
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta,
1982, hlm 17.
IV. Pembahasan

1. Efektifitas peraturan perundang-undangan tindak pidana

terorisme dalam menekan penyebaran faham radikal dan atau

mencegah aksi terorisme.

Peraturan perundang-undangan tindak pidana terorisme yang

sudah diberlakukan di Indonesia belum mampu menekan penyebaran

faham radikal yang menjadi ibu dari aksi teror dan atau mencegah aksi

terorisme secara maksimal. Beberapa aksi terorisme dalam beberapa

waktu terakhir masih saja terjadi walaupun intensitasnya sudah

berkurang, baik dilakukan oleh pelaku baru dan atau pelaku lama yang

kembali lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberlakukan

kebijakan hukum melalui perundang-undangan yang ada belum secara

maksimal mampu mencegah aksi terorisme dan mencegah mantan

pelaku kembali ke komunitasnya.

Serangan Teror Represive / Penegakan Hukum

Radikal Deradikal

Simpatisan Kontra Radikal

Hal itu terjadi karena aturan perundang-undangan yang ada

yaitu UU No. 15 Tahun 20013 masih cenderung bersifat represive

yang hanya menitik beratkan penegakan hukum tindak pidana

terorisme, sedangkan penyebaran faham radikalisme dan cipta opini

yang membentuk simpatisan radikal belum tertangani secara

maksimal. Selain itu aparat penegak hukum seringkali dihadapkan


pada permasalahan di lapangan, dimana aturan yang ada terkadang

tidak cukup untuk menjangkau perbuatan melawan hukum, hal itu

terjadi seiring dengan dinamika bentuk terorisme yang semakin

canggih. Bisa dikarenakan aturan tersebut belum mengakomodir

perbuatan terkait kejahatan terorisme yang ada saat ini ataupun

aturan tersebut kurang menjamin dapat atau tidaknya diterapkan bagi

pelaku. Lambannya gerak dari hukum sendiri menjadikan ia sulit

untuk mengikuti perubahan sosial di tengah masyarakat. Dengan

demikian hal tersebut secara tidak langsung memberikan kesempatan

kepada orang untuk melakukan tindak pidana terorisme, karena tiada

perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana

yang telah ada.

Revisi peraturan perundang-undangan yang dilakukan

Pemerintah bersama DPR telah menghasilkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2018 yang secara umum diharapkan dapat menutup

kekurangan pada peraturan perundang-undangan sebelumnya,

diantaranya yaitu muncul bab pencegahan yang didalamnya terdapat

pasal-pasal kontra radikal dan deradikal, namun pasal-pasal tersebut

berada pada tataran konsep dan belum mengatur hal-hal yang bersifat

aplikatif terlebih karena peraturan pemerintahnya tidak langsung

diterbitkan. Pasal-pasal yang ada dalam undang-undang tersebut

hampir seluruhnya mengatur tentang aksi atau perbuatan terorisme,

tanpa mau tau latar belakang atau penyebab aksi atau perbuatan
itu terjadi, bahkan dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2018 tidak pernah didefinisikan tentang istilah radikalisme itu

sendiri.

Disinilah dibutuhkan peran politik hukum dalam bentuk

kebijakan hukum. Kebijakan pidana dan politik kriminal pertama kali

dikemukakan Prof. Soedarto pada Simposium Pembaharuan Hukum

Pidana Nasional, 28-30 Agustus 1980 di Semarang. Politik kriminal

dalam arti seluas-luasnya meliputi segala usaha yang dilakukan

melalui pembuatan undang-undang dan tindakan dari badan resmi

yang bertujuan menegakan norma-norma pokok yang dianut oleh

masyarakat.

Bahwa aksi terorisme selalu diawali dengan paham radikal yang

diyakini oleh pelakunya. Kedangkalan pemahaman agama, konflik

sosial dan politik serta faktor ekonomi menjadi potensi seseorang

lebih mudah untuk menerima propaganda dan tergiring menjadi

simpatisan radikal, dan untuk selanjutnya dapat berubah menjadi

seorang yang berpaham radikal. Dari berfaham radikal inilah

kemudian muncul aksi terorisme.

Pada prinsipnya potensi itu bukan menjadi penyebab, namun

menempatkan posisi paling rentan untuk lebih mudah dipengaruhi dan

atau menerima paham radikal melalui tema-tema yang ada, untuk

kemudian dipengaruhi dan diarahkan untuk melakukan aksi teror.

Bahwa potensi-potensi tersebut diatas tidak akan terwujud


menjadi penganut paham radikal dan atau pelaku teroris bilamana

tidak bertemu dengan beberapa faktor penyebabnya yaitu ;

Pertama, Faktor keturunan. Berdasar data dan fakta banyak yang

menjadi radikal dan atau teroris adalah anak-anak dari tokoh radikal

dan atau pelaku terorisme ataupun memiliki hubungan keluarga.

Kedua, Faktor dibangkitkannya semangat persaudaraan melalui

dalil-dalil agama yang dipahami dan diaplikasikan secara salah.

Melalui semangat persaudaraan ini maka seseorang akan berusaha

untuk membantu sesama yang tertindas dengan aksi nyata dalam

bentuk perbuatan pembalasan baik langsung atau tidak langsung.

Ketiga, Korban propaganda. Propaganda perekrutan melalui tabligh

akbar, diskusi publik, kajian ilmiah dan halaqoh yang disertai

pemutaran video, maupun melalui media cetak, media elektronik,

media online, media sosial, artikel dan buku yang sengaja dibuat

untuk mempengaruhi opini. Keempat, Korban perekrutan melalui

tahap-tahap penanaman doktrin dan pembai’atan kemudian diarahkan

melakukan amaliyah dalam bentuk mengajak temannya, penggalangan

dana, pelatihan (idad), teror (irhabiyah), membunuh (ightiyalat) dan

bom bunuh diri (istimata). Bahwa semua kegiatan tersebut dilakukan

atas dasar dalil agama sehingga akan dengan cepat mempengaruhi

pemikiran dan berusaha mengaktualisasikannya dalam bentuk aksi

terorisme.
Melihat faktor penyebab tersebut di atas, maka keberadaan

undang – undang yang ada saat ini belum dapat face to face atau

berhadap–hadapan langsung untuk membendung kegiatan-kegiatan

yang menjadi faktor penyebab seseorang menjadi simpatisan dan

berfaham radikal, karena undang–undang itu sendiri secara substansi

pasal-pasalnya fokus pada perbuatan atau tindak pidana yang muncul

bukan pada pencegahan.

2. Meminimalisir penyebaran paham radikalisme dan atau

mencegah aksi terorisme.

Mengenai upaya penanggulangan tindak pidana, GP Hoefnagels

sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arif mengatakan

upaya penanggulangan tindak pidana dapat ditempuh dengan:7

a. Penerapan hukum pidana (Criminal Law Aplication)


b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society and
punishment mass media).

Penggunaan sarana non penal lebih menitik beratkan pada sifat

preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum tindak

pidana terjadi. Titik berat sarana non penal adalah mengenai

faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya tindak pidana, dilihat dari

sudut politik kriminal secara makro dan global, upaya-upaya non

penal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi

sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan tindak pidana.

7
Barda Nawawi Arif, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan kejahatan, Alumni,
Bandung, 1992, Hal 2.
Usaha-usaha non penal ini misalnya kontra radikal dalam bentuk

kegitan kontra narasi, kontra propaganda dan kontra idiologi dan

deradikal dalam bentuk kegiatan pembinaan wawasan kebangsaan,

keagamaan dan kewirausahaan.

Merespon masih besarnya potensi terjadinya peristiwa serangan

teror maka Presiden Joko Widodo memutuskan memperkuat upaya

pencegahan aksi terorisme dengan merevisi UU No. 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pro dan kontra

atas revisi tersebut dikaitkan dengan beberapa masalah krusial dalam

UU Terorisme itu sendiri, antara lain; terkait penangkapan,

penahanan, pencegahan, posisi anak sebagai pelaku terorisme,

prosedur penyadapan, ancaman pidana mati, pencabutan

kewarganegaraan, batas keterlibatan TNI dan penguatan hak korban.8

Pada acara buka puasa bersama pimpinan lembaga tinggi negara

di Istana Negara, Jakarta, 18 Mei 2018, Presiden Joko Widodo

mengatakan bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa, karena itu,

perlu aksi yang luar biasa juga untuk memeranginya. Selama ini

Indonesia fokus memerangi terorisme dengan cara represif (hard

power) berupa penegakan hukum, hingga memburu dan membongkar

jaringan teroris sampai ke akar-akarnya. Ditegaskan oleh

Presiden bahwa pendekatan hard power jelas sangat diperlukan tapi

8 ICJR (Institut for Criminal Justice Reform) Catatan Kritis Atas RUU Pemberantasan Terorisme
Tahun 2016.
belum cukup, saatnya seimbangkan dengan soft power.9

Soft power yang dimaksud Jokowi adalah mengedepankan langkah

preventif. Upaya pencegahan ini tidak cukup dengan proses

deradikalisasi bagi narapidana terorisme saja, tetapi perlu ditambah

dengan membersihkan lembaga pendidikan di Indonesia dari

pemahaman-pemahaman radikal. Presiden juga menjelaskan bahwa

berkaca kepada aksi bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo

yang melibatkan anak-anak dan perempuan, maka upaya preventif

menjadi penting. Peristiwa itu menandakan ideologi radikal telah

masuk ke sekolah dan lingkungan keluarga.10

Mempertimbangkan kekurangan politik hukum yang sudah

diambil dalam bentuk UU No. 15 Tahun 2003 tersebut maupun dalam

UU No. 5 Tahun 2018 yang belum diterbitkan Peraturan

Pelaksanaannya, maka penanganan Tindak Pidana Terorisme di

tingkat wilayah (kabupaten) telah diambil kebijakan hukum yang

bersifat lokal, namun dilihat dari hasilnya kebijakan hukum yang

diambil sudah dapat terlihat hasilnya, diantaranya tidak adanya kasus

terorisme (khususnya di Kab. Kudus), dan adanya beberapa Exs Napi

Terorisme yang telah berhasil kembali ke pangkuan NKRI dengan

Pancasilanya.

9
Transkrip Pidato Presiden pada acara buka puasa bersama pimpinan lembaga tinggi negara di
Istana Negara, Jakarta, 18 Mei 2018. Pidato ini juga dimuat pada media Tempo yang dapat
diunduh pada https://nasional.tempo.co/read/1091407/jokowi-minta-diterapkan-cara-luar-
biasa-melawan-terorisme, penulis mengunduh pada 2 Agustus 2018 pukul 20:00
10
Ibid.
Beberapa kebijakan hukum yang diambil di tingkat wilayah

secara umum dapat digolongkan menjadi dua hal penting yaitu ;

a. Pencegahan;

Langkah pencegahan atau preventif ini dilakukan guna

menutup kekurangan perundangan-undangan yang ada terkait

penanganan tindak pidana terorisme. Hal tersebut dilakukan

dengan harapan, bila hal ini dilakukan terus menerus maka

penyebaran faham radikal dan terorisme akan dapat ditangkal.

Adapun bentuk-bentuk kegiatan pencegahan (preventif)

yang dilakukan antara lain; Pertama, Melakukan pembentukan

opini masyarakat untuk mengingatkan bahwa bahaya

radikalisme dan aksi terorisme masih ada. Bentuk kegiatan ini

dilakukan dengan memasang spanduk, menyebarkan pamplet,

membuat artikel di media online serta memberitakan setiap

kegiatan kontra radikal melalui media cetak dan online; Kedua,

Menyusun regulasi lokal penanganan penyebaran faham radikal

dan pencegahan aksi terorisme dalam bentuk Surat Edaran dan

Surat Himbauan dari Bupati Kudus dan Kapolres Kudus yang

ditujukan kepada semua elemen masyarakat terkait penanganan

penyebaran faham radikalisme dan pencegahan terorisme;

Ketiga, Membangun system kontra radikal dengan membangun

sinergi dengan Kantor Kesbangpol Pemda Kudus untuk

dapatnya memanfaatkan kegiatan-kegiatan yang


diselenggarakan atas nama pembinaan FORKOPIMDA,

KOMINDA, FKDM, FKUB, BAKOR PAKEM, Ormas dan

LSM; Keempat, Membangun system kontra radikal dengan

membangun sinergi dengan Kantor Dinas Pendidikan, Pemuda

dan Olah Raga Pemda Kudus untuk dapatnya memanfaatkan

kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan atas nama pembinaan

Komunitas Pelajar, Komunitas Pemuda dan Komunitas Karang

Taruna; Keenam, Membangun system kontra radikal dengan

membangun sinergi dengan Kantor Kementrian Agama Pemda

Kudus untuk dapatnya memanfaatkan kegiatan-kegiatan yang

diselenggarakan atas nama pembinaan Pondok Pesantren,

Komunitas Keagamaan dan Komunitas Madrasah serta Materi

Khotbah Jum’at yang sifatnya membenteni masyarakat dari

pengaruh faham radikalisme dan terorisme; Ketujuh,

Membangun system kontra radikal dengan membangun sinergi

dengan Perguruan Tinggi untuk dapatnya memanfaatkan

kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan atas nama pembinaan

mahasiswa.

b. Pasca Penindakan;

Langkah kebijakan hukum yang dilakukan satuan

kewilayahan (tingkat kabupaten) pasca penindakan ini menjadi

penting sebagai bentuk deradikalisasi baik terhadap Exs Napi

Teroris maupun terhadap keluarganya agar tidak bergabung lagi


dengan jaringan radikal dan atau teroris yang sebelumnya

diikuti atau jaringan baru yang ada. Bentuk dari kegiatan yang

telah dilakukan antara lain; Pertama, Membangun ikatan emosi

dengan Exs Napi Teroris dan keluarganya dengan komunikasi

intensif serta membantu keperluan yang sifatnya berkaitan

dengan hak sebagai warga negara, misalnya dalam pembuatan

KTP, KK atau SIM serta memfasilitasi kegiatan lain yang

berdampak pada terbangunnya sikap untuk mengakui NKRI

dengan Pancasilanya. Kedua, melakukan diskusi intensif secara

langsung guna mendiskusikan ajaran atau faham yang telah

mempengaruhinya melalui keilmuan yang sama dengan

pemahaman yang benar sehingga pada akhirnya dapat

menyadarkan diri, diantaranya dengan menunjukkan bahwa

Pancasila sudah sesuai Syariat Islam dan NKRI sudah

merupakan bentuk Negara Islam berdasarkan dalil agama dan

sejarah maupun dengan tema lain sebagainya.

Dari dua hal tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa

menyusun materi kontra radikal dan deradikal yang bersifat aplikatif

dan bukan konsep berdasarkan dalil agama guna mengimbangi upaya

penyebaran paham radikal dan perekrutan pelaku terorisme yang

didasarkan pada dalil agama menjadi sesuatu yang penting.

Menjelaskan bahwa Pancasila sudah sesuai syariat, NKRI sudah

merupakan Negara Islam dan system demokrasi tidak bertentangan


dengan Ajaran Agama Islam dilakukan melalui tema-tema yang

dikuatkan dengan dalil-dalil agama. Pemahaman atas beberapa ayat

Al Qur’an khususnya Surat Al Maidah 44, 45 dan 47 serta ayat

lainnya sebagai bahan diskusi sedikit banyak akan lebih berpengaruh

dan dapat membentengi masyarakat dari pengaruh paham radikal dan

perekrutan pelaku terorisme pada saat dilakukannya kegiatan

pencegahan (kontra radikal) maupun pasca penindakan (deradikal)

menjadi hal yang sangat penting. Dengan memahami dalil agama

dengan baik dan benar maka akan dapat menangkal penyebaran faham

radikal dan atau mencegah untuk melakukan aksi terorisme yang

didasarkan pada pemahaman dalil agama yang dimaknai secara

tekstural, salah dan sesat.

V. PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Politik hukum penanganan tindak pidana terorisme baik melalui

Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian ditetapkan menjadi

UU Nomor 15 Tahun 2003 dan direvisi atau diubah menjadi UU

Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme cenderung masih bersifat represive atau penegakan

hukum, dan belum dapat mengcover secara maksimal

penyebabnya yaitu timbulnya simpatisan dan individu /

kelompok radikal.
b. Mencegah terorisme dapat dilakukan pada level mencegah

timbulnya simpatisan dan individu / kelompok radikal.

Prinsip pencegahan terorisme menjadi bagian dari

pemberantasan tindak pidana terorisme, karena pelaku teror

hanya terlahir dari individu yang radikal, sehingga pencegahan

akan efektif jika dilakukan dari hulu ke hilir dengan melibatkan

semua pemangku kepentingan sesuai dengan peran masing-

masing. Kabupaten Kudus menjadi salah satu satuan

kewilayahan yang telah mengambil langkah-langkah yang

bersifat lokal sebagai bagian dari kebijakan hukum yang

hasilnya cukup dapat meminimalisir penyebaran faham radikal

maupun mencegah aksi terorisme itu sendiri.

2. Saran

a. Mempertimbangkan keberadaan Undang-Undangan Nomor 5

Tahun 2018 yang ada masih cenderung bersifat represive,

walaupun didalamnya sudah terdapat bab yang mengatur

pencegahan yang bersifat konsep, maka perlulah kiranya dalam

aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah yang belum

dibuat atau disyahkan dimasukkan pedoman tekhnis yang

bersifat aplikatif sehingga keberadaan aturan perundang-

undangan tersebut akan benar-benar sesuai dengan apa yang

diharapkan yaitu mampu mencegah timbulkan tindak pidana

terorisme.
b. Menyusun materi kontra radikal dan deradikal yang bersifat

aplikatif dan dapat dijadikan bahan atau materi face to face

terhadap tema-tema penyebaran faham radikal, sehingga akan

mampu membentengi masyarakat dari pengaruh faham radikal

yang mendorong ke arah aksi terorisme tanpa meninggalkan

upaya penegakan hukumnya dalam bentuk kerjasama antar

lembaga dan pihak terkait dalam bentuk collaborative

govermance sebagaimana yang telah dilakukan di Kabupaten

Kudus.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad A.S. Hikam, 2016, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil


Indonesia Membendung Radikalisme, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Hal.
33-34.
Romli Atmasasmita dan Tim, 2012, Analisis dan Evaluasi Peraturan
Perundang- Undangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
(Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hal. 73.
Muladi, 2002, “Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip
Pengaturan dalam Kriminalisasi,” tulisan dalam Jurnal Kriminologi Indonesia
FISIP UI, Vol II No. 03 Desember 2002, Hal. 1
Mardenis, 2011, Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan
Politik Hukum Nasional Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Hal. 120.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1982, Hal. 17.
Supriyadi Widodo, Erasmus A.T. Napitupulu, Ajeng Gandhini Kamliah, 2016,
Catatan Kritis Atas RUU Pemberantasan Terorisme, Jakarta: Institute for
Criminal Justice Reform.
Barda Nawawi Arif, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Alumni, Bandung, 1992, Hal. 2.
Institute for Criminal Justice Reform, Kamis 14 April 2016, ICJR Serahkan
Usulan DIM terhadap RUU Perubahan UU Pemberantasan Terorisme 2016 ke
DPR RI, dalam http://icjr.or.id/icjr-serahkan-usulan-dim-terhadap-ruu-perubahan-
uu-pemberantasan-terorisme-2016-ke-dpr-ri/, diunduh Minggu 23 Oktober 2016
pukul 17.10 WIB.
Transkrip Pidato Presiden pada acara buka puasa bersama pimpinan lembaga
tinggi negara di Istana Negara, Jakarta, 18 Mei 2018. Pidato ini juga dimuat pada
media Tempo yang dapat diunduh pada
https://nasional.tempo.co/read/1091407/jokowi-minta-diterapkan-cara-luar-biasa-
melawan-terorisme, penulis mengunduh pada 2 Agustus 2018 pukul 20:00
Jenderal Polisi Dr. H. Tito Karnavian, Pernyataan di Mabes Polri 18 Juli 2017.
Ir. Joko Widodo, Apa Kelemahan UU Terorisme Sehingga gagal Mencegah
Aksi Bom?, merdeka.com 27 Mei 2017.
Data Polres Kudus.

Anda mungkin juga menyukai