Anda di halaman 1dari 18

Peran Notaris Terhadap Pembuatan Akte Notariil Surat Kuasa Istimewa Untuk

Mengucapkan Ikrar Talak Dalam Pengajuan Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan


Agama

Dwi Indah Wahyuningsih

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah : 1) untuk mengetahui dan menganalisis peran notaris
terhadap pembuatan akta notariil surat kuasa istimewa untuk mengucapkan ikrar talak
dalam pengajuan permohonan cerai talak di Pengadilan Agama. 2) Untuk mengetahui
dan menganalisis kendala-kendala notaris dalam pembuatan akta notariil surat kuasa
istimewa untuk mengucapkan ikrar talak dalam pengajuan permohonan cerai talak di
Pengadilan Agama. Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer, data sekunder, dan data tersier yang dapat menunjang pengkajian yang
kemudian diananlisis dengan metode yuridis normatif.
Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan bahwa : 1) Dalam pelaksanaan
penandatanganan akta notariil kuasa istimewa untuk mengucapkan ikrar talak dalam
pengajuan permohonan cerai talak di Pengadilan Agama para pihak baik pemberi
surat kuasa istimewa maupun penerima surat kuasa istimewa harus hadir dan
menghadap notaris selaku pembuat akta notariil surat kuasa istimewa tersebut, karena
pemberi kuasa berhalangan hadir dalam mengucapkan ikrar talak di Pengadilan
Agama; 2) Ketentuan syarat-syarat untuk membuat akta notariil harus dilengkapi dari
pihak pemohon baik pemberi surat kuasa istimewa maupun penerima surat kuasa
istimewa dan ditunjukkan langsung kepada notaris yang akan membuat akta notariil
tersebut supaya akta bisa dibuat sesuai dengan prosedur yang ada.
Kata Kunci : Notaris, Surat Kuasa Istimewa, Akta Notariil

1. Pendahuluan

Dalam kehidupan ini Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan,

sebagaimana manusia diciptakan ada laki-laki dan perempuan tentunya ada tujuan

untuk dipertemukan berpasangan yaitu dengan mengikatkan diri dalam perkawinan.

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah : Melakukan suat

aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan

untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar

sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan

hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara

yang diridhoi oleh Allah.

Mengenai pengertian perkawinan ini banyak beberapa pendapat yang satu dan

lainnya berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk


memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu

dengan yang lain. Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk

memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian

perkawinan di satu pihak dan pembatasan banyaknya unsur di dalam perumusan

pengertian perkawinan di pihak yang lain. Mereka membatasi banyaknya unsur yang

masuk dalam rumusan pengertian perkawinan, akan menjelaskan unsur-unsur yang

lain dalam tujuan perkawinan.1

Undang-Undang Perkawinan, dalam pasal 1 merumuskan pengertian

perkawinan sebagai berikut :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin anatar seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.\

Kalau kita bandingkan rumusan menurut hukum Islam di atas dengan rumusan

dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan mengenai pengertian dari perkawinan

tidak ada perbedaan yang prinsipiil.

Dilihat dari aspek hukum perkawinan adalah merupakan suat perjanjian.

Firman Allah S.W.T. :

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, pada hal sebagian kamu telah
bercampur dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu janji yang kuat” (Qur’an, S. An.Nisaa’ : 21).

Perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai/mengandung tiga karakter yang

khusus, yaitu :

1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.

1
Ny. Soemiyati, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta,
Liberty, hal. 11-13.
2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan

perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut

berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.

3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan

kewajiban masing-masing pihak.

Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk

melakukan perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada

peraturan-peraturan Hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak masing-

masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai

kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya. Juga dalam

menghentikan perkawinan, suami dan isteri tidak leluasa penuh untuk menentukan

sendiri syarat-syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat juga pada peraturan

hukum perihal itu.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

memberikan definisi bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga yang bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

merumuskan, bahwa ikatan suami-isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,

perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari

agama yang dianut suami-isteri. Hidup bersama suami-isteri dalam perkawinan tidak

semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami-isteri tetapi

dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman dan
harmonis antara suami-isteri. Perkawinan salah satu perjanjian suci antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.2

Jika dilihat dari hukum Islam, Pengertian (ta’rif) perkawinan menurut Pasal 1

Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu : aqad yang sangat kuat atau

mitsaaqaan ghaaliizhan untuk menaati perintah Allah SWT, dan melaksanakannya

merupakan ibadah.

Melakukan perbuatan ibadah berarti melaksanakan ajaran agama. Perkawinan salah

satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat.

Barangsiapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh lagi, hendaklah

ia takwa kepada Allah SWT. Demikian sunnahqauliyah (sunnah dalam bentuk

perkataan) Rasullullah Saw.

Walaupun pada dasarnya melakukan perkawinan itu adalah bertujuan untuk

selama-lamanya, tetapi adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan

perkawinan tidak dapat diteruskan jadi harus diputuskan di tengah jalan atau terpaksa

putus dengan sendirinya, atau dengan kata lain terjadi perceraian antaran suami-isteri.

Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”. Adapun arti

daripada talak ialah : membuka ikatan membatalkan perjanjian. Sedangkan “Furqah”

artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata itu dipakai oleh

para ahli figh sebagai satu istilah, yang berarti : perceraian antara suami-isteri.

Perkataan talak dalam istilah figh mempunyai dua arti, yaitu arti yang umum dan arti

yang khusus.

Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk perceraian baik

yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang

jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari

2
Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M..Hum., Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan
suami atau isteri. Talak dalam artinya yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan

oleh pihak suami. Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada

yang disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak di sini

dimaksudkan sebagai talak dalam arti yang khusus.3

Di atas telah diterangkan bahwa tujuan daripada perkawinan yang

diperintahkan oleh agama Islam ialah perkawinan yang dimaksudkan untuk selama-

lamanya atas dasar saling cinta-mencintai antara suami-isteri. Perkawinan yang

dilaksanakan yang menyimpang dari tujuan yang disyariatkan, hukumnya adalah

haram. Misalnya nikah yang tujuannya hanya untuk sementara waktu atau hanya

untuk melepaskan hawa nafsu saja (nikah mut’ah), nikah muhallil dan lain

sebagainya.

Dalam melaksanakan kehidupan suami-isteri tentu saja tidak selamanya berada

dalam situasi yang damai dan tenteram tetapi kadang-kadang terjadi juga salah paham

antara suami-isteri atau salah satu pihak melalaikan kewajibannya, tidak percaya-

mempercayai satu sama lain dan lain sebagainya.

Dalam keadaan timbul ketegangan ini, kadang-kadang dapat diatasi sehingga

antara kedua belah menjadi baik kembali, tetapi adakalanya kesalahan faham itu

menjadi berlarut, tidak dapat didamaikan dan terus-menerus terjadi pertengkaran

antara suami-isteri itu. Apabila suat perkawinan yang demikian itu dilanjutkan maka

pembentukan rumah tangga yang damai dan tenteram seperti yang disyariatkan oleh

agama tidak tercapai. Dan ditakutkan pula perpecahan antara suami-isteri ini akan

mengakibatkan perpecahan antara keluarga kedua belah pihak. Maka dari itu untuk

menghindari perpecahan keluarga yang makin meluas, maka agama Islam

3
Ny. Soemiyati, S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
mensyaratkan perceraian sebagai jalan ke luar yang terakhir bagi suami-isteri yang

sudah gagal dalam membina rumah tangganya.

Meskipun Islam mensyariatkan perceraian tetapi bukan berarti agama Islam

menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak

boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki.

Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang

bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam.

Hal ini bisa dilihat dalam Hadist Nabi :

Rasulullah s.a.w. mengatakan :

“Yang halal yang paling dibenci Allah ialah Perceraian”.

(H.R. Abu Daud dan dinyatakan Shaheh oleh Al-Hakim)

Bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Rasulullah s.a.w. berkata:

“Ápakah yang menyebabkan salah seorang kamu mempermainkan hukum

Allah, ia mengatakan : Aku sesungguhnya telah mentalak (isteriku) dan

sungguh aku telah merujuk (nya)”. (H.R. an-Nasaai dan Ibnu Hubban).

Dengan melihat isi kedua Hadist Nabi tersebut di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa talak itu walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi

pelaksanaannya harus berdasarkan suat alasan yang kuat dan merupakan jalan yang

terakhir yang ditempuh oleh suami-isteri, apabila cara-cara lain yang telah diusahakan

sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga

suami-isteri tersebut karena perceraian adalah perbuatan yang halal tetapi dimurkai

oleh Tuhan..

Metode Penelittian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif yaitu menggunakan data sekunder sebagai sumber utama dan
kalaupun ada data lapangan , data tersebut tidak lebih hanya sekedar merupakan data

penunjang bagi data sekunder. Sedangkan dilihat dari penelitiannya sendiri bersifat

deskriptif analisis.

Melalui penelitian yang demikian diharapkan diperoleh gambaran yang

komprehensif, perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam pembuatan akta

Notaris khusunya akta notariil surat kuasa istimewa untuk mengucapkan ikrar talak

dalam pengajuan permohonan cerai talak di pengadilan agama.

2. Hasil Penelitian dan Pembahasan

2.1.Peran Notaris Terhadap Pembuatan Akte Notariil Surat Kuasa Istimewa


Untuk Mengucapkan Ikrar Talak Dalam Pengajuan Cerai Talak di
Pengadilan Agama

a. Prosedur Penandatanganan Akte Notariil Surat Kuasa Istimewa


Untuk Mengucapkan Ikrar Talak Dalam Pengajuan Cerai Talak di
Pengadilan Agama

Prosedur penandatanganan surat kuasa istimewa yang sifatnya

khusus dikarenakan ada kepentingan pemberi kuasa yang sangat pengint

dalam mengucakan sumpah dan atau ikrar yang akan dilakukan oleh

penerima kuasa dan harus berbentuk akta otentik yang dibuat dihadapan

pejabat yang berwenang, yakni notaris.

Munculnya surat kuasa istimewa didahului adanya permohonan

cerai talak yang diajukan suami dan telah diputus oleh Pengadilan

Agama dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudia

Pengadilan Agama memanggil mantan suami untuk datang di sidang

Pengadilan Agama untuk mengucapkan ikrar talak terhadap mantan

istrinya. Dikarenankan berhalangan maka dapat memberi kuasa kepada

orang lain, dimana kuasa tersebut harus merupakan surat kuasa istimewa
dikarenakan penerima kuasa istimewa akan mengucapkan ikrar talak

kepada mantan isteri pemberi kuasa.4

Pada Pasal 16 ayat (1) huruf 1 dapat diketahui bahwa sebelum

ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan notaris harus

dibacakan terlebih dahulu. Pembacaan ini dilakukan baik terhadap akta

para pihak (partij acte) ataupun akta pejabat (amtelijke acte).

Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang Jabatan Notaris

menyebutkan "Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban

membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling

sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh

penghadap, saksi dan Notaris.-

Kalimat pertama pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Jabatan

Notaris menunjukkan secara tegas siapa yang membacakan akta bagi

para pihak dan saksi-saksi. Notaris mempunyai kewajiban untuk

membacakan akta. Pembacaan akta itu sendiri merupakan salah sate

kewajiban bagi notaris yang harus dijalankannya dalam membuat akta

autentik. Tanpa dilakukannya pembacaan akta di hadapan para pihak dan

saksi-saksi maka akta itu akan kehilangan keautentikannya. Pembacaan

merupakan bagian dari verlijden. Pembacaan akta oleh notaris

memberikan jaminan bagi para penghadap bahwa akta yang mereka

tanda tangani adalah akta yang sama-sama mereka dengar. Dengan

demikian notaris dan para penghadap keyakinan bahwa isi akta tersebut

betul-betul sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para pihak.

Pembacaan itu sebagai bentuk pemenuhan formalitas yang ditentukan

4
Achmad Sulchan,”kemahiran litigasi hukum pidana” Sultan Agung Press, Semrang,2016, hal. 21.
undang-undang, tidak boleh ditiadakan, sedang pembacaan itu sendiri

masih tetap mempunyai arti terhadap para penghadap.5

Selama pembacaan akta dilangsungkan oleh notaris kepada para

penghadap dan saksi-saksi, para penghadap di beri kesempatan untuk

melakukan perubahan ataupun penambahan isi akta itu. Keinginan atau

kehendak dari para penghadap itu dapat langsung disampaikan kepada

notaris.

Perubahan atau penambahan isi akta (renvooi) dilakukan atas

kehendak dari para penghadap. Setiap renvooi yang ada dalam akta

harus diberi parap, oleh para penghadap yang menandatangani akta

tersebut. Pemberian parap ini dimaksudkan sebagai pengesahan dari

adanya perubahan atau penambahan yang dikehendaki oleh para

penghadap. Renvooi berarti penunjukan kepada catatan di sisi akta

tentang tambahan, coretan dan penggantian yang disahkan.6

Pembacaan akta dilakukan dengan menggunakan bahasa yang

dapat dimengerti oleh para penghadap. Apabila penghadap tidak dapat

mengerti bahasa yang digunakan oleh notaris maka pembacaan akta

dapat dilaksanakan pada bagian penutupan akta.

Setelah. pembacaan akta dilakukan oleh notaris di hadapan para

penghadap, saksi-saksi dan notaris. Yang dimaksud dengan saksi adalah

saksi instumenter bukan saksi yang seperti disebutkan dalam pasal 40

ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu saksi pengenal. Saksi

pengenal tidak harus tanda tangan namun apabila saksi pengenal turut

memberikan tanda tangan dalam akta, maka untuk itu pun tidak terdapat
5
G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit, hlm. 202.
6
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
1993), hlm. 55-56
keberatan oleh undang-undang. Pemberian tanda tangan oleh saksi

pengenal tidak mempengaruhi keautentikan dari akta tersebut.

Pelaksanaan penandatanganan akta harus didahului pembacaan

akta. Hal ini berarti penandatanganan akta dilaksanakan setelah

pembacaan akta oleh notaris. Apabila penghadap menandatangani akta

tanda kepadanya dilakukan pembacaan maka akta itu menjadi

kehilangan sifat keautentikannya.

Penandatanganan akta merupakan bukti bahwa akta itu mengikat

bagi para pihak sehingga penandatanganan merupakan syarat mutlak

bagi mengikatnya akta tersebut. Pembubuhan tanda tangan merupakan

salah satu rangkaian dari peresmian akta (verlijden). Pemberian tanda

tangan dilakukan pada bagian bawah akta, pada bagian kertas yang

masih kosong. Pembubuhan tanda tangan pada akta harus dinyatakan

secara tegas pada bagian akta, pernyataan ini diberikan pada bagian

akhir akta sebagaimana ditentukan oleh 44 ayat (1) Undang-Undang

Jabatan Notaris.

Pembubuhan tanda tangan dalam akta mengandung arti

memberikan keterangan dan pernyataan secara tertulis, yakni apa yang

tertulis di atas tanda tangan itu.7 Hal ini juga menegaskan bahwa akta

tersebut betul-betul ditandatangani sendiri oleh para penghadap, saksi-

saksi dan notaris itu sendiri. Dengan demikian para saksi yang ikut

menandatangani akta itu dapat memberikan kesaksian, bahwa segala

formalitas yang ditentukan oleh undang-undang baik tentang pembacaan

dan penandatanganan telah dipenuhi. Urutan penandatanganan dilakukan

7
R. Soegondo Notodisoerjo, Op. Cit., hlm. 210.
mulai dan para penghadap, kemudian disusul oleh saksi dan yang paling

akhir adalah notaris.

Dalam hal terjadi penghadap tidak dapat atau berhalangan

membubuhkan tanda tangannya di atas akta, maka keterangan tentang

alasan tidak dapat atau berhalangannya tersebut dinyatakan secara tegas

oleh notaris dalam akta. Apabila penghadap tidak dapat membubuhkan

tanda tangannya karena tidak dapat membaca atau menulis maka

penghadap yang bersangkutan dapat memberikan cap jempolnya. Cap

jempol bukan merupakan tanda tangan melainkan suatu tanda.

Pemberian tanda jempol itu harus dinyatakan pula dalam akta.

Pada bagian penutup akta diberikan keterangan oleh notaris

mengenai waktu dan tempat akta dibuat, selanjutnya disusul keterangan

saksi-saksi dan di hadapan siapa akta dibuat dan terakhir tentang

pembacaan dan penandatanganan akta itu.

Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yaitu Undang-

Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 70 ayat 4 yang

berbunyi : (4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa

khusus dalam suat akta autentik untuk mengucapkan ikrar talak yang

dihadiri oleh istri atau kuasanya. Berdasarkan penelitian di lapangan,

diperoleh gambaran yang jelas tentang keadaan responden. Selanjutnya

akan diuraikan mengenai tindakan yang diambil oleh notaris bila ada

pihak penerima surat kuasa istimewa yang tidak dapat hadir pada waktu

penandatanganan akta. Pernyataan dari responden, untuk pertama

kalinya semuanya menyatakan apabila para pihak tidak dapat datang

pada saat penandatanganan, maka penandatanganan akta ditunda


pelaksanaannya. Penundaan ini dilakukan sampai para pihak telah

mendapat kesepakatan tentang waktu untuk dilakukannya

penandatanganan. Dalam hal ini para responden tidak membatasi sampai

berapa lama jangka waktu penundaan penandatanganan yang akan

dilakukan oleh para pihak atau dengan secara disusulkan oleh salah sate

pihak dalam perjanjian. Hal ini dikarenakan jenis akta yang dibuat

adalah akta para pihak (partij acta), maka segala hal yang berkaitan

dengan kesepakatan yang ada diserahkan kepada para pihak yang

membuat perjanjian.

Kata penundaan berasal dari kata tunda yang menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia berarti menghentikan dan akan melangsungkan

lain kali (lain waktu), menangguhkan, mengundurkan. Dari makna yang

diberikan tersebut maka penundaan penandatanganan akta artinya

menangguhkan pelaksanaan penandatanganan akta oleh para pihak

dengan inisiatif penundaan dari notaris.

Disusulkan berasal dari kata susul yang berarti datang kemudian,

mengikuti atau mengejar sesuatu di depan, dengan demikian arti

diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penyusulan tanda tangan

dalam akta oleh para pihak diartikan salah satu pihak menandatangani

akta di waktu kemudian setelah pihak yang lain menandatangani terlebih

dahulu.

Kesepakatan yang ada antara para pihak dalam suatu perjanjian

merupakan salah satu dari syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur

dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang, Hukum Perdata. Kesepakatan

dianggap telah tercapai apabila para pihak saling menerima apa yang
mereka kehendaki. Pernyataan kehendak yang dituangkan dalam akta

merupakan bentuk pernyataan secara tertulis telah terjadinya

kesepakatan. Pelaksanaan penandatanganan merupakan bukti telah

dicapainya kesepakatan antara para pihak.

Sampai saat ini belum ada pengaturan yang tegas berapa selisih

waktu bagi para pihak untuk menandatangani akta di hadapan notaris.

Penandatanganan akta menentukan mengikat tidaknya isi dari perjanjian

tersebut. Apabila dalam akta hanya salah satu pihak saja yang

menandatangani maka tidak dapat dikatakan telah ada kesepakatan

antara para pihak. Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan perjanjian yang muncul mengikat mereka sebagai undang-

undang. Dengan ditandatanganinya akta yang dibuat oleh para pihak di

hadapan notaris maka akta tersebut menjadi mengikat para pihak dalam

perjanjian. Suatu akta yang dibuat di hadapan notaris akan memberikan

bukti yang sempurna bagi para pihak apabila prosedur peresmian akta itu

sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang. Berdasarkan

Pasal 165 HIR suatu akta autentik merupakan alat bukti yang sempurna

bagi para pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari

padanya. Sempurna dalam arti bahwa dengan adanya akta autentik maka

tidak diperlukan lagi alat bukti yang lain. Bilamana prosedur peresmian

akta itu tidak dilakukan sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-

undang maka akta itu menjadi akta di bawah tangan.

b. Keautentikan Akta Notariil Surat Kuasa Istimewa

Nilai autentik suatu akta notaris tidak terlepas dari dipenuhi atau

tidaknya suatu prosedur yang. telah ditentukan dalam peraturan yang


mengaturnya yang dalam hal ini adalah Peraturan Jabatan Notaris. Suatu

akta dapat dikatakan autentik apabila memenuhi:

a. Akta notaris adalah akta yang dibuat oleh di hadapan yang

berwenang untuk itu;

b. Ada kepastian tanggalnya;

c. Ada kepastian siapa yang menandatangani. ditandatangani oleh yang

bersangkutan sendiri;

d. Notaris telah menasihatkan sebelum akta dibuat, mana yang dilarang

dan mana yang tidak:

e. Kalau ada yang menyangkal kebenaran akta itu, maka yang

menyangkal tersebut yang harus membuktikan. yang disangkal tidak

usah membuktikan apa-apa;

f. Akta notaris harus dirahasiakan oleh notaris.8

Dari Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris dapat

diketahui dengan jelas bahwa setiap akta notaris sebelum dilakukannya

penandatanganan harus terlebih dahulu dibacakan keseluruhan kepada

para penghadap dan para saksi, baik itu akta pihak (partij acte) maupun

akta pejabat (ambtelijke acte). Pembacaan ini merupakan bagian yang

dinamakan verlijden (pembacaan dan penandatanganan) dari akta.9

Pembacaan akta tetap dilakukan oleh notaris kepada para

penghadap pada waktu yang sama. Pembacaan ini dimaksudkan agar

penghadap mengetahui isi akta dan mendapatkan penjelasan tentang akta

yang akan ditandatanganinya. Apabila akan dilakukan perubahan

8
A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 31.
9
A. Kohar, Op. Cit., hlm. 31.
dan/atau penambahan oleh para penghadap dapat segera disampaikan

pada saat pembacaan. Manfaat pembacaan akta adalah:

a. Pada saat-saat terakhir dalam proses meresmikan (verlijden) akta,

notaris masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan-

kesalahannya sendiri yang sebelumnya tidak terlihat;

b. Para penghadap diberi kesempatan untuk bertanya apa yang kurang

jelas bagi mereka;

c. Untuk memberikan kesempatan kepada notaris dan para penghadap

pada detik-detik terakhir, sebelum akta itu selesai diresmikan dengan

tanda tangan mereka, para saksi-saksi dan notaris, mengadakan

pemikiran ulang, bertanya dan jika perlu mengubah bunyi akta.10

2.2.Kendala-Kendala Notaris Dalam Pembuatan Surat Kuasa Istimewa


Untuk Mengucapkan Ikrar Talak Dalam Pengajuan Cerai Talak di
Pengadilan Agama

Setelah melakukan penelitian di kantor notaris Sri Wahyuningsih SH,

MKn yang berkantor di Jl. Raya Sayung-Demak Km 8,5 maka penulis

menemukan kendala-kendala tersebut berasal dari para pihak pemohon

pembuatan akta notariil itu sendiri. Berikut kendala-kendala yang penulis

temukan selama penelitian di lapangan :

a. Pemberi kuasa istimewa sebagai penghadap tidak bisa hadir.

Kendala pihak pemberi kuasa tidak bisa hadir dalam pelaksanaan proses

penandatanganan akta notariil surat kuasa istimewa untuk mengucapkan

ikrar talak dalam pengajuan permohonan cerai talak di Pengadilan

10
Tan Thong Kie, Studi Notarist & Serba-Serbi praktek Notaris (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000),
hlm. 224.
Agama karena pihak pemberi surat kuasa istimewa berada di luar daerah

kaitannya dengan pekerjaan yang sedang dijalankan sehingga tidak

menghadap ke notaris yang akan membuat akta notariil.

b. Penerima kuasa istimewa sebagai penghadap tidak bisa hadir.

Kendala penerima surat kuasa istimewa tidak bisa hadir dalam proses

penandatanganan akta notariil surat kusa istimewa untuk mengucapkan

ikrar talak di Pengadilan Agama karena penerima surat kuasa istimewa

sedang berhalangan sehingga tidak bisa menghadap ke notaris yang akan

membuat akta notariil.

c. Syarat-syarat yang kurang lengkap

Kendala syarat-syarat yang kurang lengkap dalam hal ini para penghadap

baik pemberi surat kuasa istimewa maupun penerima surat kuasa

istimewa terkadang tidak melengkapi dokumen sebagai kelengkapan

syarat dalam pembuatan akta notariil di kantor notaris seperti identitas

atau KTP karena hilang belum mengurus KTP pengganti yang baru

sehingga proses pembuatan akta notariil surat kuasa istimewa tidak bisa

di proses.

d. Cacat fisik sidik jari jempol kanan

e. Terkait dengan sidik jari jempol kanan ini menjadi salah satu syarat untuk

kelengkapan supaya tidak terjadi pemalsuan tanda tangan yang menjadi

kendala apabila penghadap tidak mempunyai jempol kanan karena akibat

peristiwa tertentu (cacat)

f. Kerusakan dokumentasi

g. Terkait dengan dokumentasi ini menjdi salah satu bukti visual siapa-siapa

sja yang menghadap ke notaris yang melakukan proses penandatanganan


kendala yang muncul biasanya tanpa disadari kamera atau cctv tidak bisa

berfungsi karena terjadi kerusakan.

3. Penutup

3.1.Kesimpulan

Berdasarkan dari permasalahan yang telah di kemukakan di atas dan

berdasarkan analisis data yang di peroleh dari hasil penelitian lapangan,

maka dapat di ambil kesimpulan :

1. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, peran notaris dalam pelaksanaan

penandatanganan akta notariil surat kuasa istimewa untuk mengucapkan

ikrar talak dalam pengajuan permohonan cerai talak di Pengadilan

Agama para pihak baik pemberi surat kuasa istimewa maupun penerima

surat kuasa istimewa harus hadir sendiri dan menghadap notaris selaku

pembuat akta notariil surat kuasa istimewa tersebut.

2. Terkait syarat-syarat yang kurang lengkap para penghadap baik pemberi

surat kuasa istimewa maupun penerima surat kuasa istimewa harus

melengkapi terlebih dahulu dan di tunjukan di hadapan notaris supaya

akta notariil tersebut bisa di buat, dan juga di kantor notaris sering

melakukan pengecekan berkala tentang kelengkapan kantor terutama

dokumentasi.

3.2.Saran

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam pembahasan , disangatkan

saran sebagai berikut :

1. Pelaksanaan penandatanganan akta notariil surat kuasa istimewa untuk

mengucapkan ikrar talak dalam pengajuan permohonan cerai talak di

Pengadilan Agama yang dibuat oleh notaris dapat terlaksana dengan


menghadap para pihak baik pemberi kuasa istimewa atau penerima kuasa

istimewa di hadapan notaris.

2. Sebelum proses penandatanganan akta notariil surat kuasa istimewa

untuk mengucapkan ikrar talak dalam pengajuan permohonan cerai talak

di Pengadilan Agama di harapkan terlebih dahulu mengadakan

pemeriksaan atas kelengkapan syarat-syarat yang di perlukan bagi

pemberi dan penerima surat kuasa istimewa untuk membuat akta notariil

tersebut dan juga kantor notaris sering-sering mengadakan pengecekan

berkala terkait dengan kelengkapan kantor terutama dokumentasi (cctv).

DAFTAR PUSTAKA

(1) Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta Benda dalam Perkawinan.Family Law
2016
(2) G.H.S Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris (Erlangga Jakarta 1992)
(3) J.C.T Simorangkir, Rudi T.Erwin. J.T Prasetyo, Kamus Hukum.Sinar Grafika 2005.
(4) Ny.Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-
undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan) Yogyakarta Liberty. 2007.
(5) G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement),
Penerbit Erlangga, Jakarta.
(6) Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Cetakan ke-3, Jakarta, 1990, hlm. 618.
(7) Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 2 Aturan Peralihan
(8) Indonesia, Undang-Undang Jabatan Wakil Notaris Dan Wakil Notaris Sementara,
UU No 33 Tahun 1954, LN No. 101 Tahun 2004. TLN No. 700, Ps.2.

Anda mungkin juga menyukai