PENDAHULUAN
1
I.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik pasien infeksi ulkus kaki diabetik yang mengkonsumsi
antibiotik?
2. Faktor resiko apa saja yang dapat mempengaruhi pasien infeksi ulkus kaki diabetik?
3. Parameter apa saja yang dapat dilihat pada pasien yang positif menderita infeksi ulkus
kaki diabetik?
4. Bagaimana evaluasi efektifitas antibiotik dilakukan untuk mengatasi masalah
penggunaan antibiotik pada pasien infeksi ulkus kaki diabetik?
2
I.5 Keaslian Penelitian
Penelitain yang dilakukan oleh peneliti tercantum dalam tabel 1. berikut ini :
Tabel 1. Keaslian Penelitian
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
II.3 Etiologi
Menurut Suriadi (2007) dalam Purbianto (2007); Robert (2000) penyebab dari luka
diabetes antara lain :
1. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering ditemukan pada
pasien diabetes melitus. Neuropati diabetik adalah gangguan metabolisme syaraf
sebagai akibat dari hiperglikemia kronis. Angka kejadian neuropati ini meningkat
bersamaan dengan lamanya menderita penyakit diabetes melitus dan bertambahnya
usia penderita. Tipe neuropati terbagi atas 3 (tiga) yaitu :
a. Neuropati sensorik
Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf sensoris
pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang menyebabkan
distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf tipe A akan
menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan,
vibrasi dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul gejala seperti
kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan dalam analisis
sensari nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini akan menyebabkan kehilangan
sensasi protektif. Ambang nyeri akan meningkat dan menyebabkan trauma
berulang pada kaki.
b. Neuropati motorik
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan kerusakan motor
end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling sering terkena dan
menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot intraosseus
menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint kehilangan
stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan distribusi tekanan kaki
saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada bagian-bagian kaki dengan
tekanan terbesar. Jaringan di bawah kalus akan mengalami iskemia dan nekrosis
yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus. Neuropati motorik menyebabkan
kelainan anatomi kaki berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada nervus
peroneus lateral yang menyebabkan foot drop. Neuropati motorik ini dapat
diukur dengan menggunakan pressure mat atau platform untuk mengukur tekanan
pada plantar kaki.
5
c. Neuropati otonom
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki menjadi
kering. Kaki yang kering sangat berisiko untuk pecah dan terbentuk fisura pada
kalus. Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-saraf yang
mengontrol distribusi arteri-vena sehingga menimbulkan arteriolar-venular
shunting. Hal ini menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi
iskemi pada kaki, keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi vena
pada kaki.
3. Trauma
Penurunan sensasi nyeri pada kaki dapat menyebabkan tidak disadarinya trauma
akibat pemakaian alas kaki. Trauma yang kecil atau trauma yang berulang, seperti
pemakaian sepatu yang sempit menyebabkan tekanan yang berkepanjangan dapat
menyebabkan ulserasi pada kaki.
4. Infeksi
Infeksi adalah keluhan yang sering terjadi pada pasien diabetes melitus, infeksi
biasanya terdiri dari polimikroba. Hiperglikemia merusak respon immunologi, hal ini
menyebabkan leukosit gagal melawan patogen yang masuk, selain itu iskemia
menyebabkan penurunanan suplai darah yang menyebabkan antibiotik juga efektif
sampai pada luka.
6
II.4 Patofisiologi
Dalam Robert (2000); Soeparman (2004) neuropati sensori perifer dan trauma
merupakan penyebab utama terjadinya ulkus. Neuropati lain yang dapat
menyebabkan ulkus adalah neuropati motorik dan otonom. Neuropati adalah
sindroma yang menyatakan beberapa gangguan pada saraf. Pada pasien dengan
diabetes beberapa kemungkinan kondisi dapat menyebabkan neuropati :
a. Pada kondisi hiperglikemia aldose reduktase mengubah glikosa menjadi sorbitol,
sorbitol banyak terkumulasi pada endotel yang dapat menganggu suplai darah pada
saraf sehingga axon menjadi atropi dan memperlambat konduksi implus saraf.
b. Pengendapan advanced glycosylation edn-product (AGE-P) menyebabkan
penurunan aktivitas mycelin (demielinasi). Neuropati sensori menyebabkan
terjadinya penurunan sensitifitas terhadap tekanan atau trauma, neuropati motorik
menyebabkan terjadinya kelainan bentuk pada sendi dan tulang. Neuropati
menyebabkan menurunnya fungsi kelenjar keringat pada perifer yang menyebabkan
kulit menjadi kering dan bentuknya fisura. Penyakit vaskuler yang terdiri dari
makroangiopati dan mikroangiopati menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah
pada organ. Adanya neuropati, penyakit vaskuler dan trauma menyebabkan
terjadinya ulkus pada ekstremitas.
Selain neuropati penyakit peripheral vascular desease ( penyakit vaskular perifer)
juga menjadi penyebab terjadinya ulkus. Penyakit vaskular perifer terjadi dari dua,
yaitu :
1) Mikroangiopati, yang merupakan kondisi dimana terjadi penebalan membran basalis
kapiler dan peningkatan aliran darah sehingga menyebabkan edema neuropati.
2) Makroangiopati, yaitu terjadinya arteriosklerosis yang menyebabkan penurunan
aliran darah (iskemia). Trauma dan kerusakan respon terhadap proses infeksi
menjadi penyebab terjadinya luka diabetes selain neuropati dan penyakit vaskuler
perifer.
7
a. Penilaian Neuropati
Riwayat tentang gejala-gejala neuropati, pemeriksaan sensasi tekanan dengan
Semmes-Weinstein monofilament 10 g, pemeriksaan sensasi vibrasi dengan garpu
tala 128 Hz.
b. Penilaian Struktur
Identifikasi kelainan-kelainan struktur atau deformitas seperti penonjolan tulang di
plantar pedis : claw toes, flat toe, hammer toe, callus, hallusx rigidus, charcot foot.
c. Penilaian Vaskuler
Riwayat klaudikasio intermiten, perubahan tropi kulit dan otot, pemeriksaan pulsari
arteri, ABI, Doppler arteri, dilakukan secara sistematis. Iskemia berat atau kritis,
apabila ditemukan tanda infeksi, kaki terasa dingin pucat, tidak ada pulsari, adanya
nekrosis, tekanan darah ankle < 50 mmHg ( Ankle Brachial Index < 0,5), TcPO2 <
30 mmHg, tekanan darah jari < 30 mmHg.
d. Penilaian Ulkus
Pemeriksaan ulkus harus dilakukan secara cermat, teliti, dan sistematis. Inspeksi
harus bisa menjawab pertanyaan, apakah ulkusnya superfisial atau dalam, apakah
mengenai tulang, sehingga bisa ditetapkan derajat ulkus secara akurat.
8
Klasifikasi Wagner :
a. Grade / Derajat 0
Derajat 0 ditandai antara lain kulit tanpa ulserasi dengan satu atau lebih faktor
risiko berupa neuropati sensorik yang merupakan komponen primer penyebab
ulkus; peripheral vascular disease; kondisi kulit yaitu kulit kering dan terdapat
callous (yaitu daerah yang kulitnya menjadi hipertropik dan anastesi); terjadi
deformitas berupa claw toes yaitu suatu kelainan bentuk jari kaki yang melibatkan
metatarsal phalangeal joint, proximal interphalangeal joint dan distal
interphalangeal joint. Deformitas lainnya adalah depresi caput metatarsal, depresi
caput longitudinalis dan penonjolan tulang karena arthropati charcot.
b. Grade / Derajat I
Derajat I terdapat tanda-tanda seperti pada grade 0 dan menunjukkan terjadinya
neuropati sensori perifer dan paling tidak satu faktor risiko seperti deformitas
tulang dan mobilitas sendi yang terbatas dengan ditandai adanya lesi kulit terbuka,
yang hanya terdapat pada kulit, dasar kulit dapat bersih atau purulen (ulkus dengan
infeksi yang superfisial terbatas pada kulit).
c. Grade / Derajat II
Pasien dikategorikan masuk grade II apabila terdapat tanda-tanda pada grade I dan
ditambah dengan adanya lesi kulit yang membentuk ulkus. Dasar ulkus meluas ke
tendon, tulang atau sendi. Dasar ulkus dapat bersih atau purulen, ulkus yang lebih
dalam sampai menembus tendon dan tulang tetapi tidak terdapat infeksi yang
minimal.
d. Grade / Derajat III
Apabila ditemui tanda-tanda pada grade II ditambah dengan adanya abses yang
dalam dengan atau tanpa terbentuknya drainase dan terdapat osteomyelitis. Hal ini
pada umumnya disebabkan oleh bakteri yang agresif yang mengakibatkan jaringan
menjadi nekrosis dan luka tembus sampai ke dasar tulang, oleh karena itu
diperlukan hospitalisasi/ perawatan di rumah sakit karena ulkus yang lebih dalam
sampai ke tendon dan tulang serta terdapat abses dengan atau tanpa osteomielitis.
e. Grade / Derajat IV
Derajat IV ditandai dengan adanya gangren pada satu jari atau lebih, gangren dapat
pula terjadi pada sebagian ujung kaki. Perubahan gangren pada ekstremitas bawah
biasanya terjadi dengan salah satu dari dua cara, yaitu gangren menyebabkan
insufisiensi arteri. Hal ini menyebabkan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat. Pada
9
awalnya mungkin terdapat suatu area focal dari nekrosis yang apabila tidak
dikoreksi akan menimbulkan peningkatan kerusakan jaringan yang kedua yaitu
adanya infeksi atau peradangan yang terus-menerus. Dalam hal ini terjadi oklusi
pada arteri digitalis sebagai dampak dari adanya edema jaringan lokal.
f. Grade / Derajat V
Derajat V ditandai dengan adanya lesi/ulkus dengan gangren-gangren diseluruh
kaki atau sebagian tungkai bawah
Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengelolaan kaki diabetik ini, sesuai
indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti :
1. Insisi : abses atau selulitis yang luas
2. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II
3. Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III, IV dan V
4. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
5. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V
10
BAB III
METODE PENELITIAN
11
III.5 Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek, atau
kegiatan yang memepunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007). Variabel penelitian dalam
penelitian ini adalah antibiotik yang digunakan sebagai terapi pada pasien infeksi
ulkus kaki diabetik.
12
tubuh), kadar gula darah, jumlah leukosit, hemoglobin, hematokrit, tanda-tanda
inflamasi (kalor, tumor, dolor, rubor, fungsio laesa) dan pus.. Katagori pengamatan
efektifitas meliputi perbaikan jumlah leukosit, penurunan suhu tubuh, dan perbaikan
tanda inflamasi setelah penggunaan antibiotik. Rekam medik yang masuk dalam
kriteria inklusi kemudian dilakukan pencatatan berupa nomor rekam medik, nama
pasien, umur pasien, jenis kelamin, diagnosa pasien dan terapi antibiotik yang
diterima pasien.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Brand, P. (2000). The foot in diabetic. Diabetes Mellitus. ADA. Premtice hal
International. Maryland.
2. Hatanta, A. (2013). Kajian Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Ulkus Kaki
Diabetik IRNA PD RSUP Dr. M. Djamil Padang. (Tesis). Universitas Andalas.
Padang.
3. Ahmad, J. (2016). The Diabetic Food. Diabetes & Metabolic Syndrome: Clinical
research & reviews, 10(1), 48–60.
4. Decroli, E., Jazil, K., Asman, M., & Syafril, S. (2008). Profil Ulkus Diabetik Pada
Penderita Rawat Inap Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang. Majalah
Kedokteran Indonesia, 58(1), 1–7.
5. Permenkes. (2011). Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Kementrian Kesehatan
RI. Jakarta.
6. Frieri, M., Kumar, K., Boutin, A. (2017). Antibiotic Resistance. Jurnal of Infection
and Public Health, 10(4), 369–378.
7. Frykberb, R. (2002). Risk Factor, Pathogenesis and Management of Diabetic Foot
Ulcers. Des Moines University. Lowa.
8. Wells, B., Dipiro, J., & Terry, L. (2009). Pharmacotherapy Handbook, Seventh
Edition. The McGraw-Hill Companies. Inc. New York.
9. Rochman, W. (2009). Diabetes Millitus pada Usia Lanjut. Jilid III. Edisi kelima.
Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
10. Hastuti, Rini, T. (2007). Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika pada Penderita
Diabetes Millitus (Studi kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta). (Tesis).
Universitas Diponegoro. Semarang.
11. Misnadiarly. (2006). Diabetes Mellitus Gangren, Ulcer, Infeksi. Penerbit Populer
Obor. Jakarta.
12. Guyton, A., & Hall, J. (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Alih bahasa
Irawati dkk. EGC. Jakarta.
13. Dipiro, J., Robert, L., Gary, C., & Barbara, G. (2006). Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. Sixth Edition. The McGraw-Hill Companies. Inc.
14. Goldman, D., & Huskins, W. (2000). Control of Nosocomial Antimicrobial Resistant
Bacteria: Strategy Priority, Clinical Infectious Disease. New York.
14
15. Noor, S., Rizwan, U. K. & Jamal, A. (2017). Understanding Diabetic Foot Infection
and its Management. Diabetes & Metabolic Sindrome: Clinical Research & Reviews,
11(2), 149–156.
16. Mary, T., Alicia, T. & Adolf, W. K. (2012). Diabetic Foot Infection. Hospital
Medicine Clinics, 1(2), e185–e198.
17. Katzung, B., Susan, B., Masters., & Anthony, J. (2010). Basic Clinical
Pharmacologiy 10th ed. McGraw-Hill Companies. USA.
18. Frykberg, R., Zgonis, T., & David, G. (2006). Diabetic Foot Disorders a Clinical
Practice Guideline, An official publication of the American College of Foot and Ankle
Surgeons. USA.
19. Brunton, L., Keith., & Donald, L. (2010). Goodman & Gillman’s Manual of
Pharmacology and Therapeutics. Diterjemahkan oleh July Manurung. ECG. Jakarta.
20. Kahuripan, A., Retnosari, A. (2009). Analisis pemberian antibiotik berdasarkan hasil
uji sensitifitas terhadap pencapaian clinical outcome pasien infeksi ulkus diabetik di
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Lampung. Majalah Ilmu Kefarmasian, 6(2), 75–87.
15