Anda di halaman 1dari 15

MELIBATKAN METAKOGNISI DALAM MEMECAHKAN

MASALAH MATEMATIKA

Diajukan sebagai Salah Satu Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Karya Tulis Ilmiah
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Hamzah Upu, M.Ed.
Syahrullah Asyari, S.Pd., M.Pd.

Oleh:
Ida Muslimah
1511041009
Kelas A1

Jurusan Matematika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA)
Universitas Negeri Makassar
2018
Melibatkan Metakognisi dalam Memecahkan Masalah Matematika
Ida Muslimah
Email : Idamuslimah93@gmail.com
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Matematika
FMIPA
Universitas Negeri Makassar

ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya pelibatan metakognisi, kaitan
antara pemecahan masalah dengan metakognisi, serta bagaimana melibatkan
metakognisi dalam pembelajaran di sekolah. Jenis studi adalah studi kepustakaan.
Pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun, kemudian mengkaji referensi
yang terkait. Hasil studi ini menunjukkan bahwa metakognisi tidak dapat
dipisahkan dari proses pemecahan masalah. Melibatkan metakognisi dapat
memudahkan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Salah satu cara
melibatkan metakognisi pada siswa yaitu dengan menerapkan metode penemuan
terbimbing pada pembelajaran di sekolah.
Kata Kunci : Metakognisi, Pemecahan Masalah, Metode Penemuan Terbimbing

PENDAHULUAN

Tujuan pembelajaran matematika manurut Kurikulum 2013 (Fuadi dkk,


2016) “menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan pendekatan scientific (ilmiah). Dalam pembelajaran matematika
kegiatan yang dilakukan agar pembelajaran bermakna yaitu mengamati, menanya,
mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”. Kegiatan pembelajaran tesebut
tentunya menginginkan agar siswa mempunyai kemampuan atau keterampilan
dalam memecahkan masalah atau soal-soal matematika, sebagai sarana baginya
untuk mengasah penalaran yang cermat, logis, kritis, dan kreatif. Oleh karena itu,
kemampuan pemecahan masalah menjadi fokus pembelajaran matematika di
semua jenjang.
Widjajanti (2009) berpendapat bahwa “suatu soal atau pertanyaan
merupakan suatu masalah apabila soal atau pertanyaan tersebut menantang untuk
diselesaikan atau dijawab, dan prosedur untuk menyelesaikannya atau
menjawabnya tidak dapat dilakukan secara rutin”. Namun, pada kenyataannya

1
kebanyakan siswa justru merasa malas untuk mengerjakan atau menyelesaikan
masalah matematika yang mereka anggap sulit. Para siswa lebih memilih
menyelesaikan soal yang serupa dengan contoh yang telah diberikan oleh guru
atau di buku dibandingkan soal yang merupakan masalah bagi mereka. Hal ini
membuktikan bahwa kemampuan bernalar yang logis dan kritis siswa dalam
pemecahan masalah masih sangat rendah.
Ada berbagai sebab sehingga kemampuan menyelesaikan masalah
matematika siswa di Indonesia masih rendah. Misalnya karena pola pikir siswa
yang masih menganggap matematika itu merupakan pelajaran yang sulit. Atau
pun karena saat belajar matematika siswa hanya diberikan contoh soal dalam
konteks teori bukan pemahaman, dan masih banyak lagi alasan lainnya. Namun
secara garis besar, “mata pelajaran matematika bagi siswa belum menjadi
‘sekolah berpikir’. Siswa masih cenderung ‘menerima’ informasi kemudian
melupakannya” (Murod, 2015).
Sehubungan dengan masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa
kebanyakan siswa belum terbiasa dengan proses metakognitif. O’Neil & Brown
(1997) mengemukakan pengertian metakognisi sebagai proses seseorang berpikir
tentang berpikir mereka sendiri dalam rangka membangun strategi untuk
memecahkan masalah. Inti dari metakognitif adalah mengambil langkah mundur
dan mengamati pemikiran kita, yang terkadang disebut proses reflektif.
Pertanyaan yang mungkin ditanyakan selama proses ini misalnya “Apa masalah
yang harus dipecahkan?”, “Apa yang harus saya lakukan?”, “Bagaimana saya
melakukannya?”, “Seberapa baik saya telah melakukannya”, “Apa yang bisa saya
ubah untuk menjadi lebih baik lain kali?” (Wilson & Conyers, 2016). Artinya,
dalam proses metakognisi siswa diharapkan dapat berpikir tentang proses berpikir
itu sendiri atau yang biasa juga disebut thinking about thinking serta belajar
bagaimana belajar (learn how to learn).
Proses belajar bagaimana belajar inilah yang akan membawa siswa untuk
mengetahui pemahaman mereka sendiri, memilih strategi yang tepat untuk
menyelesaikan suatu permasalahan, serta memperkirakan waktu yang dibutuhkan
untuk memahami suatu materi. Berdasarkan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa

2
pada dasarnya proses metakognisi menekankan pada bagaimana seseorang untuk
memperbaiki diri sendiri.
O’Neil dan Brown (1997) melakukan penelitian terhadap 1.480 siswa
kelas delapan dengan memberikan dua tipe soal, yaitu soal pilihan ganda dan soal
open-ended. Berdasarkan penelitian tersebut, O’Neil dan Brown mendapatkan
bahwa metakognitif dapat memudahkan siswa untuk memecahkan masalah
matematika. Hal tersebut juga ditemukan dalam hasil penelitian yang dilakukan
oleh Keiichi (Arsyad, 2016) bahwa siswa lebih terampil memecahkan masalah
jika mereka memliki pengetahuan metakognisi. Berdasarkan fakta di atas,
melibatkan metakognisi dalam pembelajaran diharapakan dapat membantu siswa
dalam memecahkan masalah matematika.

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Metakognisi
Konsep metakognisi pertama kali dikemukakan oleh John Flavell.
Flavell (1979) mendefinisikan metakognisi sebagai pengetahuan tentang
objek-objek kognitif, yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
kognisi. Kemudian Costa (Hutauruk, 2016) mengemukakan “metakognisi
adalah kemampuan untuk merencanakan suatu stategi untuk menghasilkan
informasi yang dibutuhkan dalam mencari solusi suatu masalah, menetapkan
langkah-langkah strategi yang akan dilaksanakan, serta merefleksi dan
mengevaluasi produktivitas kemampuan berpikirnya”. Dengan kata lain,
metakognisi adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang kita ketahui dan
apa yang tidak kita ketahui.
O’Neil & Brown (1997) mengemukakan pengertian metakognisi
sebagai proses seseorang berpikir tentang berpikir mereka sendiri dalam
rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Hal itu juga serupa
dengan pendapat Arsyad (2016) yang mengatakan bahwa “metakognisi
merupakan proses seseorang belajar bagaimana belajar dan berpikir tentang
berpikir mereka sendiri dalam rangka membangun strategi kognitif dan
menyadari penggunaannya dalam proses belajar”.

3
Pengertian metakognisi yang dikemukakan di atas sangat beragam.
Akan tetapi, pada dasarnya metakognisi menekankan tentang bagaimana
seseorang sadar akan aktivitas kognitifnya. Artinya, bagaimana seseorang
belajar untuk belajar serta pengetahuan seseorang tentang proses belajarnya
sendiri merupakan pengetahuan metakognisi.
Flavell sendiri membagi komponen metakognisi menjadi: (1)
pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (2) pengalaman
metakognitif (metacognitive experience). Dimana, pengetahuan metakognitif
merupakan bagian dari pengetahuan umum yang disimpan oleh diri kita yang
berkaitan dengan orang sebagai makhluk kognitif dan dengan beragam tugas,
tujuan, tindakan, dan pengalaman kognitifnya. Sedangkan pengalaman
metakognitif merupakan setiap pengalaman kognitif atau afektif yang
dilakukan secara sadar yang menyertai dan berhubungan dengan setiap bagian
intelektual.

B. Pemecahan Masalah Matematika


Setiap manusia pasti sering berhadapan dengan masalah, karena
masalah dan pemecahan masalah merupakan bagian dari proses pendewasaan
yang harus dilalui, dan merupakan sarana pematangan untuk menjamin
eksistensi diri baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari
lingkungannya. Dengan demikian, kemampuan memecahkan masalah
merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki seseorang agar dapat
menempuh kehidupannya secara lebih baik. Berkaitan dengan itu, Halmos
(Schoenfeld, 1992) berpendapat bahwa “jantung dari matematika adalah
masalah. Alasan utama hadirnya matematikawan adalah untuk menyelesaikan
masalah, dan karena itu, matematika sendiri terdiri atas masalah dan
solusinya”.
Stanic & Kilpatrick (Schoenfeld, 1992) mengungkapkan bahwa
menyelesaikan masalah sering dipandang sebagai satu dari sejumlah
keterampilan yang diajarkan dalam kurikulum sekolah. Pendapat itu
kemudian ditambahkan oleh Halmos (Schoenfeld, 1992) yang menyatakan

4
bahwa siswa seharusnya terlibat di dalam menyelesaikan masalah nyata.
Lebih lanjut Halmos (Schoenfeld, 1992) menyatakan bahwa ia percaya
masalah adalah jantung matematika, dan ia berharap bahwa sebagai seorang
guru, di dalam kelas, di dalam seminar dan di dalam buku atau artikel yang
kita tulis, kita akan menekankan hal tersebut lebih dan lebih, dan bahwa kita
melatih siswa kita untuk menjadi seorang yang rnempunyai sikap terhadap
masalah yang lebih baik dan menjadi pemecah masalah yang lebih baik
daripada kita.
Pendapat-pendapat tersebut menekankan betapa pentingnya
kemampuan pemecahan masalah pada pelajaran matematika. Sekaitan dengan
itu, Polya (1973) mengemukakan empat tahapan penting yang perlu
dilakukan untuk memecahkan masalah matematika, yaitu:
1. Memahami masalah, kita harus melihat dengan jelas apa yang
dibutuhkan
2. Memikirkan rencana, kita harus melihat bagaimana berbagai hal
terhubung, bagaimana suatu variabel terhubung dengan data yang
diberikan, untuk mendapatkan ide menyelesaikan masalah.
3. Melaksanakan rencana.
4. Melihat kembali, kita melihat kembali solusi yang telah dituliskan
kemudian review apakah jawaban tersebut telah benar atau tidak.

C. Metakognisi dalam Memecahkan Masalah Matematika


Berangkat dari gagasan Polya tentang langkah-langkah pemecahan
masalah, dapat dikatakan bahwa semua langkah yang dikemukakan
mengarahkan kepada kesadaran dan pengaturan siswa terhadap proses yang
dilaksanakan untuk memperoleh solusi yang tepat. Polya (1973) sendiri
menyebutkan pemikirannya tersebut sebagai “berpikir tentang proses”
(thinking about the process) dalam kaitannya dengan kesuksesan pemecahan
masalah.
Bila dicermati langkah-langkah yang dikembangkan oleh Polya,
tampak bahwa pemecahan masalah dilaksanakan berdasarkan pada adanya

5
pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition), serta pengaturan
kognisi (regulation of cognition). Seperti telah dibahas pada bagian
sebelumnya, kedua unsur tersebut merupakan komponen dari metakognisi.
Langkah-langkah pemecahan masalah yang dikemukakan Polya telah
menjadi dasar bagi pengembangan strategi metakognitif, dan telah banyak
dirujuk oleh para peneliti pendidikan, khususnya pendidikan matematika.
Pada pelaksanaannya, aktivitas dan keterampilan tersebut dapat dicirikan oleh
karakteristik metakognisi sebagaimana dikemukakan Buron (Chrobak, 1999),
bahwa metakognisi memiliki empat karakteristik, yaitu: (1) mengetahui
tujuan yang ingin dicapai melalui proses berpikir secara sungguh-sungguh,
(2) memilih strategi untuk mencapai tujuan, (3) mengamati proses
pengembangan pengetahuan diri sendiri, untuk melihat apakah strategi yang
dipilih sudah tepat, (4) mengevaluasi hasil untuk mengetahui apakah tujuan
sudah tercapai.
Cohors-Fresenborg & Kaune (Anggo, 2007) mengelompokkan
aktivitas metakognisi dalam memecahkan masalah matematika terdiri atas (1)
perencanaan (planning), (2) pemantauan (monitoring), dan (3) refleksi
(reflection). Keterlaksanaan ketiga aktivitas metakognisi ini sangat ditentukan
oleh kesadaran siswa terhadap pengetahuan yang dimilikinya berkaitan
dengan masalah yang dipecahkan serta bagaimana mengatur kesadaran
tersebut dalam memecahkan masalah.
Kemudian Blakey & Spence (Arsyad, 2016) mengemukakan strategi
atau langkah-langkah untuk meningkatkan keterampilan metakognisi yaitu:
(a) mengidentifikasi apa yang kamu ketahui dan yang tidak ketahui (what you
know and what you don’t know), (b) berbicara tentang berpikir (talking about
thinking), (c) membuat jurnal berpikir (keeping thinking journal), (d)
membuat perencanaan dan regulasi-diri (planning and self-regulation), (e)
melaporkan kembali proses berpikir (debriefing thinking process), (f)
evaluasi-diri (self-evaluation).

6
Mulbar (2008) menyimpulkan kaitan antara fase menyelesaikan
masalah matematika dan aspek metakognisi yang dilibatkan untuk setiap fase
yaitu sebagai berikut.
Fase I : Memfokuskan perhatian terhadap masalah
Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase ini yaitu
pengetahuan deklaratif dan keterampilan perencanaan.
Fase II : Membuat suatu keputusan tentang bagaimana menyelesaikan
masalah
Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase ini yaitu
keterampilan perencanaan dan keterampilan prediksi.
Fase III : Melaksanakan keputusan untuk menyelesaikan masalah
Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase ini, pengetahuan
prosedural, pengetahuan kondisional, dan keterampilan
monitoring.
Fase IV :Menginterprestasikan hasil dan merumuskan jawaban terhadap
masalah
Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase ini yaitu
pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, pengetahuan
kondisional, dan keterampilan monitoring.
Fase V : Melakukan evaluasi terhadap penyelesaian masalah
Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase ini yaitu
keterampilan monitoring dan keterampilan evaluasi.
Kelima fase di atas dapat diterapkan dalam seluruh materi pada
pelajaran matematika, utamanya materi yang menuntut siswa untuk berpikir
kritis. Misal, untuk menyelesaikan soal bangun ruang sisi datar maka pertama
siswa tentunya harus mengerti apa yang ditanyakan soal dan dapat
membayangkan gambaran bangun yang ditanyakan di kepalanya (fase I).
Setelah itu siswa merencanakan langkah apa saja yang dia perlukan untuk
menyelesaikan soal itu (fase II). Selanjutnya, siswa melaksanakan pengerjaan
soal yang telah dirancang satu per satu sesuai dengan teori bangun ruang sisi
datar yang telah dipelajari (fase III). Kemudian menggabungkan jawaban-

7
jawaban yang didapatkan dari fase III sehingga didapatkan jawaban yang
utuh (fase IV). Terakhir siswa mengecek kembali jawaban yang telah
dikerjakan apakah sudah benar sesuai pertanyaan yang diminta, apakah rumus
yang digunakan telah tepat, ataupun apakah perhitungan yang dia lakukan
telah benar atau tidak (fase V).

D. Metode Penemuan Terbimbing dalam Pembelajaran Matematika


Henningsen dan Stein (Effendi, 2012) mengutarakan bahwa untuk
mengembangkan kemampuan matematis siswa maka pembelajaran harus
menjadi lingkungan dimana siswa mampu terlibat secara aktif dalam banyak
kegiatan matematika yang bermanfaat. Karena itu, diperlukan suatu metode
pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif di kelas. Salah satu
metode pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif yaitu metode
penemuan terbimbing.
Borthick dan Jones (Effendi, 2012) mengemukakan bahwa “metode
penemuan menjelaskan tentang siswa belajar untuk mengenal suatu masalah,
karakteristik dari solusi, mencari informasi yang relevan, membangun stategi
untuk mencari solusi, dan melaksanakan strategi yang dipilih”. Sedangkan
menurut Sutrisno (Purwatiningsih, 2013) metode penemuan terbimbing
adalah suatu metode pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa
untuk menyusun, memproses, mengorganisir suatu data yang diberikan guru.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode
penemuan juga membiasakan siswa dalam memecahkan masalahnya sendiri.

METODE PENULISAN
A. Jenis Penelitian
Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari
berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang
diperoleh. Penulisan diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan sesuai
dengan topik yang dibahas.

8
B. Objek Tulisan
Objek tulisan yaitu pelibatan metakognisi. Pelibatan metakognisi
dianggap dapat menigngkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Sehingga
dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah matematika.

C. Teknik Pengumpulan Data


Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal
dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas. Literatur ini berupa buku, artikel dan hasil penelitian berupa skripsi
dan jurnal yang berkaitan dengan matakognisi serta pemecahan masalah.
Selanjutnya informasi dan literatur tersebut dikaji, dianalisis, dan ditelaah
relevansinya dengan topik masalah yang dibahas.

D. Prosedur Penulisan
Prosedur penulisan yang digunakan pada karya tulis ilmiah ini dimulai
dengan mengumpulkan literatur yang relevan. Kemudian menyeleksi tinjauan
pustaka tentang kerelevanannya dengan masalah yang dikaji. Data yang
terkumpul dianalisis secara deskriptif dengan membahas melibatkan
metakognisi dalam memecahkan masalah matematika. Beberapa referensi
yang sesuai kemudian disintesis untuk mendapatkan solusi praktis atas
masalah yang ada.

PEMBAHASAN

A. Analisis
Pembelajaran di sekolah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif dan berpikir kritis siswa. Namun, permasalahan yang terjadi
pada pembelajaran metematika di sekolah adalah kurangnya pelibatan proses
berpikir siswa oleh guru. Siswa cenderung menyelesaikan masalah yang
diberikan dengan cara mencontoh jawaban soal yang telah diberikan
sebelumnya. Sehingga, saat diberikan masalah yang mengharuskan siswa
untuk bernalar dan berpikir kreatif, siswa tidak dapat menyelasaikan masalah

9
tersebut. Untuk memudahkan memecahkan masalah tersebut, seharusnya
siswa dibimbing untuk berpikir tentang berpikir (thinking about thinking).
Dengan melibatkan metakognitif, dapat muncul pertanyaan-pertanyaan yang
akan mengarahkan siswa untuk mengetahui bagaimana cara dia belajar
ataupun strategi apa yang cocok untuk dirinya.

B. Sintesis
Dalam menyelesaikan masalah, banyak teori yang dikemukakan oleh
para ahli. Salah satunya pendapat dari Polya (1973) yang mengemukakan
empat tahapan penting yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah
matematika, yaitu (1) Memahami masalah, (2) Memikirkan rencana, (3)
Melaksanakan rencana, dan (4) Melihat kembali (review).
Langkah-langkah yang dikemukakan oleh Polya tersebut sebenarnya
sejalan dengan komponen metakognitif yaitu pengetahuan metakognitif dan
pengalaman atau pengaturan metakognitif. Ada lima fase yang diungkapkan
oleh Mulbar (2008) mengenai menyelesaikan masalah matematika dengan
metakognitif, yaitu:
Fase I : Memfokuskan perhatian terhadap masalah
Fase II : Membuat suatu keputusan tentang bagaimana menyelesaikan
masalah.
Fase III : Melaksanakan keputusan untuk menyelesaikan masalah
Fase IV : Menginterprestasikan hasil dan merumuskan jawaban terhadap
masalah
Fase V : Melakukan evaluasi terhadap penyelesaian masalah
Jika diperhatikan, kelima fase tersebut berpusat pada siswa. Sehingga
dalam penerapannya di sekolah, diharapkan menerapkan kelima fase tersebut
untuk sebagai langkah awal pelibatan metakognisi dalam pembelajrana. Agar
siswa dapat melibatkan metakognisi secara maksimal dalam memecahkan
masalah matematika, maka diperlukan suatu metode yang melibatkan siswa
secara aktif untuk berpikir.

10
Salah satu pembelajaran yang berpusat pada siswa yaitu metode
penemuan. Penemuan yang dimaksud yaitu siswa menemukan konsep
melalui bimbingan dan arahan dari guru karena pada umumnya sebagian
besar siswa masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan
sesuatu. Borthick dan Jones (Effendi, 2012) mengemukakan bahwa “metode
penemuan menjelaskan tentang siswa belajar untuk mengenal suatu masalah,
karakteristik dari solusi, mencari informasi yang relevan, membangun stategi
untuk mencari solusi, dan melaksanakan strategi yang dipilih”.
Metode penemuan terbimbing melibatkan siswa secara aktif untuk
berpikir dalam pembelajaran di kelas. Metode ini menekankan agar siswa
dapat menemukan jawaban dari pertanyaan atau masalah yang diberikan
guru. Dalam proses untuk menemukan jawaban itu siswa akan mulai betanya-
tanya bagaimana cara mendapatkan jawaban dari masalah yang diberikan?,
apakah jawaban yang dia berikan telah benar?, dan pertanyaan-pertanyaan
lain yang mungkin muncul. Dengan kata lain, metode penemuan terbimbing
juga membiasakan siswa dalam berpikir untuk belajar. Membiasakan siswa
untuk berpikir sendiri mengenai menyelesaikan suatu masalah akan membuat
siswa melibatkan kognitifnya secara sadar maupun tidak sadar. Hal ini
tentunya sejalan dengan konsep metakogisi mengenai belajar bagaimana
belajar.

PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa melibatkan
metakognisi dalam memecahkan masalah matematika dapat dilakukan dengan
cara menerapkan metode penemuan terbimbing di kelas. Metode penemuan
terbimbing merupakan salah satu metode yang melibatkan siswa secara aktif
di kelas sehingga siswa dapat membiasakan diri untuk berpikir. Proses
berpikir inilah yang merupakan dasar bagi siswa agar melibatkan
metakognisinya dalam memecahkan masalah matematika.

11
Berkaitan dengan memecahkan masalah dengan melibatkan
metakognisi, maka dapat dilakukan dengan mengikuti lima fase, yaitu: (1)
:Memfokuskan perhatian terhadap masalah. (2) Membuat suatu keputusan
tentang bagaimana menyelesaikan masalah. (3) Melaksanakan keputusan
untuk menyelesaikan masalah. (4) Menginterprestasikan hasil dan
merumuskan jawaban terhadap masalah. (5) Melakukan evaluasi terhadap
penyelesaian masalah.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan setelah menulis karya ilmiah
ini adalah:
a. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan untuk lebih lanjut untuk
mengetahui seberapa efektif pelibatan metakognisi dalam memudahkan
siswa memecahkan masalah.
b. Untuk pendidik, diharapkan dapat membantu siswa dalam melibatkan
metakognisi saat pembelajaran di sekolah dengan menggunakan metode
pembelajaran yang sesuai.

REFERENSI
Anggo, Mustamin. 2011. Pelibatan Metakognisi dalam Pemecahan Masalah
Matematika. Edumatika, (Online), Vol. 1, No. 1, (https://scholar.google
.co.id/scholar?q=Pelibatan+Metakognisi+dalam+Pemecahan+Masalah+
Matematika&hl=id&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart&sa=X&ved=0ah
UKEwjJrtue9qraAhXDwI8KHdasBVEQgQMIJjAA, diakses 15
Februari 2018).
Arsyad, Nurdin. 2016. Model Pembelajaran Menumbuhkembangkan Kemampuan
Metakognitif. Makassar: Pustaka Refleksi.
Chrobak, Ricardo. 2001. Metacognition and Didactic Tools in Higher Education.
Makalah disajikan dalam Proceeding of 2nd International Conference
on Information Technology Based Higher Education and Training,
Kumamoto, Jepang, 4-6 Juli.

12
Effendi, Leo A. 2012. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan
Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan
Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Jurnal Penelitian
Pendidikan, (Online), Vol. 13, No. 2, (http://jurnal.upi.edu/file/Leo_
Adhar.pdf, diakses 11 April 2018).
Fuadi, R., Johar, R., Munzir, S. 2016. Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan
Penalaran Matematis melalui Pendekatan Kontekstual. Jurnal Didaktika
Matematika, (Online), Vol. 3, No. 1, (http://jurnal.unsyiah.ac.id/DM/
article/view/4305, diakses 14 Februari 2018).
Hutauruk, Agusmanto J.B. 2016. Pendekatan Metakognitif dalam Pembelajaran
Matematika, (Online), https://www.researchgate.net/publication/31583
7363, diakses 14 Februari 2018.
Murod, Rofiq Robithulloh. 2015. Pendekatan Pembelajaran Metacognitive
Scaffolding dengan Memanfaatkan Multimedia Interaktif untuk
Meningkatkan Literasi Matematis Siswa SMA. Makalah disajikan dalam
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika,
Yogyakarta, Hal. 705-712.
Mulbar, Usman. 2008. Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah
Matematika, (Online), https://www.scribd.com/document/214082089/
45848755-Flavell-1979-Metacognition-and-Cognitive-Monitoring,
diakses 8 April 2018.
Polya, G. 1973. How To Solve It, Second Edition. Princeton, New Jersey:
Princeton University Press.
Purwatiningsih, Sri. 2013. Penerapan Metode Penemuan Terbimbing untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Luas Permukaan dan
Volume Balok. Jurnal Elektronik Pendidikan Matematika Tadulako,
(Online), Vol. 1, No. 1, (http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/
JEPMT/article/viewFile/3097/2170, diakses 5 Mei 2018).
Schoenfeld, A. H. (1992). Learning to think mathematically: Problem solving,
metacognition, and sense-making in mathematics. In D. Grouws (Ed.),
Handbook for Research on Mathematics Teaching and Learning (pp.

13
334-370). New York: MacMillan, http://mrbartonmaths.com/resources
new/8.%20Research/Problem%20Solving/Learning%20to%20think%
20mathematically.pdf, diakses pada 11 April 2018.
Widjajanti, Djamilah Bondan. 2009. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Mahasiswa Calon Guru Matematika: Apa dan Bagaimana
Mengembangkannya. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika UNY, Yogyakarta, Hal. 402-
413.
Wilson, Donna & Conyers, Marcus. 2016. Teaching Students to Drive Their
Brains: Metacognitive Strategies, Activities, and Lesson Ideas.
Alexanria, Victoria USA: ASCD.

14

Anda mungkin juga menyukai