PENDAHULUAN
1|Page
mendapatkan hasil dimana frekuensi gagal berpisah meningkat pada usia
betina yang lebih tua dan suhu yang rendah.
Menurut Abidin (1997) umur cenderung meningkatkan kejadian
penyimpangan meiosis yang disebut non-disjunction pada tingkat kehidupan
yang rendah. Semakin tua usia D. melanogaster maka aktivitas metabolisme
yang terjadi di dalam tubuhnya akan semakin rendah. Rendahnya aktivitas
metabolisme tersebut menyebabkan produksi ATP yang di dalam tubuhnya
akan menurun.
Pada penelitian ini digunakan D. melanogasterstrain N dan w. Strain
N (normal) pada D. melanogaster ditandai dengan ukuran sayap yang
panjangnya lebih dari panjang tubuhnya dan memiliki mata bewarna merah.
Sedangkan strain w (white) ditandai dengan mata yang berwarna putih.
Percobaan persilangan yang kami lakukan adalah D. melanogaster ♂N>< ♀
wbeserta resiproknya.
2|Page
1.3.2. Untuk pengaruh macam strain terhadap rasio gagal berpisah terhadap
frekuensi terjadinya Nondisjunction pada persilangan Drosophila
melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta resiproknya
1.3.3. Untuk mengetahui adanya interaksi antara umur betina dan macam
strain terhadap frekuensi terjadinya Nondisjunction pada persilangan
D. melanogaster Strain ♀N>< ♂w beserta resproknya
1.4. Kegunaan penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagi berikut.
1.4.1. Bagi Peneliti
1. Memberikan informasi dan bukti serta pemahaman konsep tentang
fenomena gagal berpisah (Nondisjunction) yang dipengaruhi usia
betina terutama pada persilangan ♀N>< ♂w beserta resiproknya.
2. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis, dan ilmiah
untuk dapat menganalisis fenomena pewarisan sifat terutama pada
penelitian yang dilakukan.
1.4.2. Bagi Pembaca
1. Memberikan informasi dan meningkatkan pemahaman fenomena
gagal berpisah (Nondisjunction) yang dipengaruhi oleh usia betina
pada persilangan ♀N>< ♂w beserta resiproknya.
2. Menambah referensi bagi pembaca yang akan melakukan
penelitian lebih lanjut.
1.4.3. Bagi Masyarakat
1. Memberi informasi dan menambah referensi yang akan melakukan
penelitian lebih lanjut
3|Page
Adapun batasan masalah untuk memberikan gambaran terhadap penelitian ini
yaitu sebagai berikut:
1.6.1. Penelitan menggunakan Drosophila melanogaster strain N dan w.
1.6.2. Penelitian ini dibatasi pada persilangan Drosophila melanogaster strain
♀N>< ♂w beserta resiproknya.
1.6.3. Data yang diambil pada jumlah fenotipnya sampai F 1 pada setiap
persilangan yang di amati selama 7 hari.
1.6.4. Ciri fenotip yang diamati yaitu ciri morfologi yang meliputi warna
mata, warna tubuh, kondisi sayap, dan jenis kelamin.
1.6.5. Data yang diambil pada jumlah fenotipnya hanya sampai F1 pada setiap
persilangan.
1.6.6. Jumlah ulangan pada penelitian ini yaitu sebanyak 6 ulangan.
1.6.7. Pada setiap ulangan setelah dari botol A jantan dilepaskan dan
betinanya dipindahkan sampai dengan botol D.
1.6.8. Pada penelitian ini umur betina yang digunakan masing-masing
berjarak 3 hari yaitu umur 3,6,9, dan 12.
1.7. Definisi Istilah
Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.7.1. Fenotip adalah kenampakan yang mencakup fermokologi, fisiologi, dan
tingkah laku (Aloysius, 2013). Fenotip yang diamati dalam penelitian
ini adalah warna mata, warna tubuh, dan kondisi sayap.
1.7.2. Genotip: menurut Ayala dalam Corebima (2013) adalah keseluruhan
jumlah informasi genetik dari suatu makhluk hidup dalam hubungannya
dengan satu atau beberapa lokus gen yang sedang menjadi perhatian.
1.7.3. Strain adalah suatu kelompok intraspesifik yang memilliki hanya satu
atau sejumlah kecil ciri yang berbeda (King R. C. 1985). Dalam
penelitian ini, strain yang digunakan adalah strain N dan w.
1.7.4. Perkawinan resiprok merupakan perkawinan kebalikan dari perkawinan
yang dilakukan. Dalam penelitian ini, perkawinan resiprok adalah
perkawinan antara ♀N>< ♂w dengan resiproknya yaitu ♀w>< ♂N.
1.7.5. Gagal berpisah adalah suatu peristiwa dimana bagian-bagian dari
sepasang kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri
sebagaimana mestinya pada meiosis I, atau dimana kromatid saudara
gagal berpisah selama meosis II.
1.7.6. Mitosis merupakan pembelahan inti yang berhubungan dengan
pembelahan sel somatik dan terdiri dari beberapa fase, yaitu profase,
metafase, anafase, dan telofase.
4|Page
1.7.7. Meisosis merupakan proses pembelahan sel yang terjadi pada sel-sel
kelamin dari organisme yang mengadakan reproduksi secara generatif
atau seksual yang terdiri dari dua tahapan yaitu meiosis I dan meiosis II.
1.7.8. Frekuensi non-disjunction adalah banyaknya jumlah individu yang
muncul pada F1 yang mengalami penyimpangan dibandingkan dengan
jumlah keseluruhan individu yang dihasilkan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL
2.1 Drosophila melanogaster
Drosophila melanogaster atau lalat buah merupakan jenis serangga yang
bersayap dan termasuk ke dalam ordo Diptera. Drosophila melanogaster
mempunyai empat stadium metamorfosis, yaitu telur, larva, pupa, dan imago.
Telur lalat buah berbentuk bulat panjang, berwarna putih. Telur tersebut akan
mengalami perkembangan selama kurang lebih 24 jam dan menetas menjadi
larva.
5|Page
5. 3 Pergantian kulit III / Instar III
6. 5 Pembentukan pupa
7. 5 Pergantian kulit pre-pupa / Instar IV
8. 5-6 Pupa, penampakan kepala, sayap dan
kaki
9. 7 Pigmentasi mata
10. 9 Imago, keluar dari pupa dengan sayap
terlipat
11. 9 Sayap merentang - Dewasa
6|Page
Gambar 2.1.2 D.melanogaster strain N bagian dorsal
(Sumber: dokumentasi pribadi)
7|Page
Pola ekspresi kelamin pada makhluk hidup sangat beragam, salah satunya
adalah ekspresi kelamin kromosomal yang ditentukan oleh gen. Kromosom
kelamin yang dimiliki oleh Drosophila melanogaster adalah kromosom
kelamin X dan Y. Dalam keadaan diploid normal, D. melanogaster memiliki
kromosom kelamin XX atau AXX dan XY atau AAXY. Drosophila
melanogaster memmiliki mekanisme perimbangan antara X (gonosom) dan A
(autosom) yang kemudian menentukan ekspresi kelamin D. melanogaster
(Corebima, 2013). Indeks kelamin Drosophila melanogaster menurut
Corebima (2013) tertera pada tabel 2.1.3.1.
3 4 0,75 Intersex
2 3 0,67 Intersex
8|Page
Gagal berpisah adalah suatu peristiwa dimana bagian-bagian dari sepasang
kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana
mestinya pada meiosis I, atau dimana kromatid saudara gagal berpisah selama
meosis II. Pada kasus ini, satu gamet menerima dua jenis kromosom yang
sama dan satu gamet lainnya tidak mendapat salinan sama sekali (Campbell
dkk. 2002).
Kasus gagal berpisah terjadi ketika dalam pembelahan sel (baik mitosis
maupun meiosis) tepatnya pada tahap anaphase, kromosom gagal terpisah
secara sempurna, sehingga satu sel menerima dua kromosom yang sejenis
sementara sel lainnya tidak mendapat kromosom sama sekali. Peristiwa gagal
berpisah selama mitosis terjadi di awal perkembangan embrio, peristiwa ini
dapat menyebabkan terjadinya mosaikisme. Mosaikisme adalah adanya dua
atau lebih garis keturunan pada suatu individu namun berasal dari satu zigot
atau berasal dari gen yang sama (Nawawi, 2009). Pada meiosis I, kegagalan
berpisah disebabkan karena kromosom homolog tidak mampu bergerak
memisahkan diri pada tahap anaphase I, sementara pada meiosis II (anaphase
II), peristiwa gagal berpisah terjadi karena kromatid saudaranya gagal
berpisah (sister kromatid) (Kadi, 2007).
9|Page
Gambar 2.3.1 Peristiwa gagal berpisah selama tahap meiosis
(Sumber: Campbell, et all.2000.)
Peristiwa gagal berpisah dapat terjadi baik pada autosom atau gonosom,
dalam fase mitosis maupun meiosis, serta dapat terjadi pada individu jantan
maupun betina (Herskowitz, 1977). Gagal berpisah pada Drosophila
melanogasterdapat dibedakan menjadi gagal berpisah primer dan gagal
berpisah sekunder. Gagal berpisah terjadi pada induk lalat yang normal,
sedangkan gagal berpisah sekunder terjadi pada keturunan hasil gagal
10 | P a g e
berpisah primer. Peluang terjadinya gagal berpisah sekunder 100 kali lebih
tinggi dibanding kegagalan berpisah primer (Corebima, 2013).
11 | P a g e
inti, dimana dua intinya tidak mengandung kromosom X dan dua inti lainnya
mengandung 2 kromosom X, 2) Pada Anafase II, sepasang kromosom
kelamin X berhasil memisah dan memuju ke masing-masing kutub.
Nondisjunction dapat terjadi pada meiosis I dan II atau selama mitosis, terjadi
baik pada autosom ataupun kromosom kelamin, dan pada individu baik jantan
maupun betina (Herkowitz, 1997).
12 | P a g e
aktivitas metabolisme tersebut menyebabkan produksi ATP yang di
dalam tubuhnya akan menurun. Hal ini akan menghambat pembentukan
kinetokor spindel yang memisahkan kromatid sister maupun kromosom
homolog yang akan berpisah. Dengan demikian, maka frekuensi
nondisjunction akan meningkat ketika D. melanogaster memasuki usia
tua. Siklus hidup D. melanogaster pada umur 1-6 hari digolongkan pada
rentangan usia muda, umur 7-14 digolongkan pada rentangan usia
dewasa dan umur 15-20 digolongkan pada rentang usia tua. Umur
cenderung meningkatkan kejadian penyimpangan meiosis yang disebut
nondisjungsi pada bentuk kehidupan yang rendah. Hal ini terkait dengan
efek sperma yang berada dalam spermateka individu betina, yang baru
akan habis setelah kurang lebih 2 hari.
Menurut Parson (1961) seiring meningkatnya umur betina maka
enzim yang terlibat dalam proses metabolisme DNA akan berkurang.
Adanya gen Polo yang merupakan gen pengkode protein atau enzim
polokinase yang berperan untuk memisahkan kromatid bersaudara pada
saat anafase meiosis II. Jika gen Polo mengalami mutasi maka gen polo
tidak dapat menjalankan fungsinya sehingga kromatid bersaudara gagal
berpisah. Gen HayNC2 berperan dalam pembentukan struktural benang-
benang spindel sehingga satu sentromer akan berorientasi ke salah satu
kutub, sedangkan sentromer lain akan berorientasi ke salah satu kutub
yang berlawanan. Ketika gen HayNC2 termutasi maka struktur benang-
benang spindel akan rusak dan menyebabkan benang spindel lemah
dalam menarik kromatid ke arah kutub yang berlawanan pada bidang
ekuator sehingga kromatid tidak bisa memisah dan mengalami
nondisjunction (Herkowitz.dkk, 1977).
Dipengaruhi
Faktor Internal :
Faktor Eksternal : suhu, energi
Umur : 3,6,9, dan 12 Hari
tinggi, karbondioksida
Macam strain : ♂ N >< ♀ w beserta
resiproknya
14 | P a g e
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen karena adanya perlakuan
terhadap objek penelitian yaiti usia betina 3,6,9, dan 12 hari pada persilangan
♀N>< ♂w beserta resiproknya yang dilakukan sebanyak 6 kali ulangan pada
masing-masing perlakuan. Pengambilan data dilakukan secara langsung
dengan menghitung dan mencatat semua fenotip dan jenis kelamin yang
muncul pada keturunan F1.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium genetika jurusan Biologi FMIPA
Universitas Negeri Malang tepatnya di ruang 310. Adapun waktu penelitian
dilaksanakan mulai bulan Agustus 2018 sampai bulan November 2018.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah lalat buah D.
melanogaster di Laboratorium Genetika FMIPA Universitas Negeri Malang.
Sampel yang digunakan ialah D. melanogaster strain N dan w. Sampel yang
digunakan didapatkan dari stok strain w dan N yang ada pada laboratorium.
3.4. Variabel Penelitian
Variable penelitian pada percobaan ini yaitu:
Variable bebas : Usia betina, strain yang digunakan
Variable terikat : Frekuensi NDJ
Variable kontrol : Medium yang digunakan, suhu
3.5. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini meliputi alat dan bahan yang digunakan serta
prosedur kerja meliputi pembuatan medium, peremajaan stok, pengamatan
strain, pengampulan dan persilangan P1. Selengkapnya disajikan sebagai
berikut.
1. Alat
Alat yang digunakan pada penelitan ini yaitu botol selai, kertas pupasi, kertas
label, selang plastik berdiameter sedang dan kecil, kuas, cotton bud, kain
kasa, spons, spidol, plastik, timbangan, blender, pisau, panci, kuas, baskom,
pengaduk, kompor gas dan mikroskop stereo.
2. Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu D. melanogaster strain N
dan w, pisang rajamala, tape singkong, gula merah, ragi (yeast), tisu,air,
15 | P a g e
kertas pupasi, kertas label, selang plastik berdiameter sedang dan kecil, cotton
bud, kain kasa, spons, spidol, plastic dan kardus.
Pembuatan medium
1. Ditimbang bahan medium yaitu pisang rajamala, tape singkong,
dan gula merah dengan perbandingan 7 : 2 : 1 untuk satu resep, yaitu
700 gram pisang rajamala, 200 gram tape singkong, dan 100 gram
gula merah
↓
2. Diblender pisang rajamala, tape singkong dan air secukupnya serta
dipanaskan gula merah dalam panci hingga mencair
↓
3. Dimasukkan pisang dan tape yang sudah halus beserta gula merah
yang telah cair kedalam panci dan Dipanaskan diatas kompor dengan
api sedang
↓
4. Dimasak adonan medium tersebut selama 45 menit
↓
5. Dimatikan kompor dan dimasukkan adonan ke dalam botol selai
yang sudah disterilkan dalam keadaan panas dan langsung ditutup
dengan spons yang telah dipotong dan ukurannya sesuai untuk tutup
botol
↓
6. Setelah medium dingin, dimasukkan ±3-4 butir yeast ke dalam
medium dan dibersihkan dari uap air serta diberi kertas pupasi.
Peremajaan stok
1. Disiapkan beberapa botol selai yang berisi medium baru dan telah
diberi yeast serta kertas pupasi. kemudian diberi label pada setiap
botol/
16 | P a g e
↓
2. Dipindahkan minimal 3 pasang lalat (jantan dan betina) dari setiap
strain pada botol stok ke botol selai yang berisi medium baru
↓
3. Diamati perkembangbiakan lalat, jika muncul pupa warna hitam
maka dilakukan pengampulan untuk melakukan persilangan
Pengamatan fenotipe
1. Diambil D. melanogaster dari botol stok tiap strain.
↓
2. Dimasukkan D. melanogaster ke dalam plastik.
↓
3. Diamati ciri-ciri fenotip dari tiap strain D. melanogaster dibawah
mikroskop stereo.
↓
4. Mencocokkan ciri-ciri fenotip yang telah diperoleh dengan
berbagai sumber literatur.
Pengampulan
1. Disiapkan selang bediameter sedang sepanjang ± 6 cm dan diberi
irisan pisang kecil pada bagian tengah selang
↓
2. Diambil pupa dari masing-masing strain yang sudah menghitam
menggunakan kuas atau cotton bud.
↓
3. Dimasukkan pupa tersebut ke dalam selang yang telah disiapkan
dan ditutupdengan gabus
↓
17 | P a g e
4. Diberi label nama strain dan tanggal mengampul pada tiap selang
↓
5. Ditunggu ampulan sampai menetas dan lalat siap untuk
disilangkan. Umur lalat dalam ampulan maksimal 3 hari setelah pupa
menetas untuk digunakan dalam persilangan
Persilangan P1
1. Disiapkan botol selai yang berisi medium baru, ragi (yeast), dan
kertas pupasi
↓
2. Disiapkan D. melanogaster dari masing-masing strain yang
menetas dari ampulan dengan usia lalat jantan 1 hari, sedangkan lalat
betina berusia 3,6,9,dan 12 hari.
↓
3. Disilangkan D. melanogaster dari masing-masing strain yang
menetas ke dalam botol selai (botol A) sebagai perlakuan usia betina
3 hari. Strain lalat yang disilangkan adalah ♀N>< ♂w beserta
resiproknya
↓
4. Diberi label pada masing-masing persilangan dan memberi tanggal
↓
5. Dilepas induk jantan dari persilangan setelah adanya larva dan
Dipindahkan induk betina pada botol selanjutnya (botol B).
↓
6. Dipindahkan induk betina pada botol selanjutnya (botol C)
↓
7. Dipindahkan induk betina pada botol selanjutnya (botol D)
↓
8. Ditunggu hingga larva menetas, kemudian mengamati fenotip lalat
dan menghitung jumlah anakan F1 berdasarkan jumlah, strain, dan
jenis kelamin.
18 | P a g e
↓
9. Dilakukan langkah 2-8 yang sama pada perlakuan betina umur 6,9,
dan 12. dilakukan persilangan sebanyak 6 kali ulangan.
19 | P a g e
Frekuensi NDJ pada
Persilangan Fenotip Sex Ulangan ke ∑
1 2 3 4 5
♂
N
♀
♂w>< ♀N
♂
w
♀
b. Tabel hasil persilangan perlakuan usia betina 6 hari
Frekuensi NDJ pada
Persilangan Fenotip Sex Ulangan ke ∑
1 2 3 4 5
♂
N
♀
♂w>< ♀N
♂
w
♀
c. Tabel hasil persilangan perlakuan usia betina 9 hari
Frekuensi NDJ pada
Persilangan Fenotip Sex Ulangan ke ∑
1 2 3 4 5
♂
N
♀
♂w>< ♀N
♂
w
♀
d. Tabel hasil persilangan perlakuan usia betina 12 hari
Frekuensi NDJ pada
Persilangan Fenotip Sex Ulangan ke ∑
1 2 3 4 5
♂
N
♀
♂w>< ♀N
♂
w
♀
20 | P a g e
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS DATA
4.1 Data Pengamatan
4.1.1 Fenotip Drosophila melanogaster
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, ciri setiap strain
D.melanogaster yang digunakan dalam penelitian, sebagai berikut:
21 | P a g e
Bagian dorsal
Bagian lateral
22 | P a g e
Bagian dorsal
Bagian lateral
23 | P a g e
N ♀ 24 14 10 0 48
♂ 29 10 4 0 43
∑ 91
6 hari w ♀
♂
N ♀ 54 23 5 82
♂ 28 12 1 41
∑ 123
9 hari w ♀
♂
N ♀ 52 57 109
♂ 45 33 78
∑ 187
12 hari w ♀ 0 0 0 0
♂ 0 0 0 0
N ♀ 48 85 0 0 133
♂ 40 53 0 0 93
∑ 226
24 | P a g e
6 hari w ♀ 8 8 0 16
♂ 10 14 0 24
N ♀ 20 10 0 30
♂ 2 4 0 6
∑ 76
9 hari w ♀ 14 10 8 32
♂ 20 10 2 32
N ♀ 30 10 6 46
♂ 18 4 1 23
∑ 133
12 hari w ♀ 30 10 5 0 45
♂ 18 10 1 0 29
N ♀ 22 14 10 0 46
♂ 40 20 2 0 62
∑ 182
6 hari w ♀ 0 0 0 0 0
♂ 0 0 0 0 0
N ♀ 33 34 0 0 67
♂ 27 4 0 0 31
∑ 98
9 hari w ♀ 0 0 0 0 0
25 | P a g e
♂ 0 0 0 0
N ♀ 38 25 3 0 66
♂ 30 26 2 0 58
∑ 124
12 hari w ♀ 0 0 0 0 0
♂ 0 0 0 0 0
N ♀ 56 51 0 0 107
♂ 38 32 0 0 70
∑ 177
6 hari w ♀ 2 0 0 2
♂ 12 15 0 27
N ♀ 13 25 2 40
♂ 5 0 1 6
∑ 75
9 hari w ♀ 5 0 0 5
♂ 20 9 0 29
26 | P a g e
N ♀ 18 31 0 49
♂ 6 0 0 6
∑ 89
12 hari w ♀ 8 5 0 0 13
♂ 29 3 0 0 32
N ♀ 48 28 0 0 76
♂ 8 6 0 0 14
∑ 135
Tabel 4.1.2.5. Tabel data jumlah keturunan pertama (F1) dari persilangan
Drosophila melanogaster strain ♀N><♂w dan ♀w><♂N semua ulangan
Persilangan Usia Jumlah Anakan Pada Ulangan ∑
betina 1 2 3 4 5 6
♀N><♂w 3 91 65 156
6 123 76 199
9 187 133 320
12 226 182 408
♀w><♂N 3 87 47 134
6 98 75 173
9 124 89 213
12 177 135 312
Genotip :
27 | P a g e
Gamet : ¬
F1
♂ ¬
♀
w (♀N) (♂w)
Genotip :
Gamet :
F1
♂ ¬
♀
w (♀N) (♂w)
Genotip :
Gamet : ,0
F1
0
♂ ¬
♀
w
(♀N) (♂w) (♀N (♂w steril)
28 | P a g e
steril )
Genotip :
Gamet : ¬
F1
♂ ¬
♀
(♀N) (♂w)
Fenotip yang muncul adalah ♀N dan ♂w
b) Rekontruksi persilangan ♀N>< ♂w yang dianggap mengalami
nondisjungtion pada individu ♀N
P1 : ♀N>< ♂w
Genotip :
Gamet :
F1
♂ ¬
♀
(♀N) (♂N)
29 | P a g e
P1 : ♀N>< ♂w
Genotip :
Gamet : , ,0
F1
0
♂ ¬
♀
30 | P a g e
0% 0% 0% 0%
Selanjutnya, data frekuensi disajikan dalam sebuah grafik ada tidaknya
pengaruh peningkatan umur betina terhadap frekuensi Nondisjunction
sebagai berikut:
Grafik 4.2.3.1 Frekuensi NDJ hasil anakan F1 ♀w >< ♂N
31 | P a g e
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa frekuensi terjadinya
nondisjunction pada persilangan ♀N>< ♂w pada semua perlakuan yaitu
sebesar 0%.Sehingga hal ini menunjukkan bahwa peningkatan umur betina
tidak berpengaruh terhadap peristiwa nondisjunction.
BAB IV
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
peningkatan umur betina terhadap frekuensi terjadinya nondisjunction pada
persilangan D.melanogaster ♂w><♀N beserta resiproknya, pengaruh macam
strain terhadap frekuensi NDJ pada persilangan ♂w><♀N beserta resiproknya,
serta interaksi antara umur betina dan macam strain terhadap frekuensi NDJ pada
persilangan ♂w><♀N beserta resiproknya. Penelitian proyek dilakukan
menggunakan D. Melanogaster strain N dan strain w. Karena kejadian gagal
berpisah pada kromosom X mengarah pada penyimpangan sifat turunan terkait
seks (Hawley and Genetzky, 1997) maka alasan penggunaan induk betina w
(white) adalah adanya mutasi pada kromosom X sebagai penilaian gagal berpisah
pada meiosis. Selain itu, penggunaan strain w memudahkan peneliti untuk
menemukan bukti gagal berpisah dengan memonitoring jenis kelamin dan fenotip
dari progeni pertama atau F1 yang muncul sesuai dengan sifat induk yang
termutasi.
32 | P a g e
Gagal berpisah yaitu suatu peristiwa pada bagian-bagian dari sepasang
kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana mestinya
pada meiosis I, atau pada kromatid saudara gagal berpisah selama meosis II. Pada
kasus ini, satu gamet menerima dua jenis kromosom yang sama dan satu gamet
lainnya tidak mendapat salinan sama sekali (Campbell, et.al., 2002). Menurut
Russel (2000) nondisjunction adalah kegagalan sepasang kromatid atau
kromosom homolog untuk memisah selama pembelahan meiosis, sehingga
keduanya menuju ke kutub yang sama. Idealnya benang-benang gelendong
meitotik mendistribusikan kromosom pada sel-sel anak tanpa kesalahan.
Faktor yang mempengaruhi frekuensi gagal berpisah adalah faktor internal
dan eksternal, faktor internal berupa umur dan induk. Menurut Abidin (1997)
umur cenderung meningkatkan kejadian penyimpangan meiosis yang disebut non-
disjunction pada tingkat kehidupan yang rendah. Pada penelitian ini, yang menjadi
variabel bebas adalah faktor usia dari betina. Berdasarkan data hasil penelitian
membuktikan bahwa umur cenderung meningkatkan frekuensi non-disjunction.
Semakin tua usia D. melanogaster maka aktivitas metabolisme yang terjadi di
dalam tubuhnya akan semakin rendah. Rendahnya aktivitas metabolisme tersebut
menyebabkan produksi ATP yang di dalam tubuhnya akan menurun. Hal ini akan
menghambat pembentukan kinetokor spindel yang memisahkan kromatid sister
maupun kromosom homolog yang akan berpisah. Dengan demikian, maka
frekuensi nondisjunction akan meningkat ketika D. melanogaster memasuki usia
tua. Siklus hidup D. melanogaster pada umur 1-6 hari digolongkan pada
rentangan usia muda, umur 7-14 digolongkan pada rentangan usia dewasa dan
umur 15-20 digolongkan pada rentang usia tua. Pada data dengan analisis
deskriptif menunjukkan bahwa umur 12 hari frekuensinya paling tinggi, kemudian
menurun pada usia 9,6, dan 3 hari. Umur cenderung meningkatkan kejadian
penyimpangan meiosis yang disebut nondisjungsi pada bentuk kehidupan yang
rendah. Hal ini terkait dengan efek sperma yang berada dalam spermateka
individu betina, yang baru akan habis setelah kurang lebih 2 hari.
Seiring meningkatnya umur betina maka enzim yang terlibat dalam proses
metabolisme DNA akan berkurang. Adanya gen polo yang merupakan gen
pengkode protein atau enzim polokinase yang berperan untuk memisahkan
33 | P a g e
kromatid bersaudara pada saat anafase meiosis II. Jika gen Polo mengalami
mutasi maka gen polo tidak dapat menjalankan fungsinya sehingga kromatid
bersaudara gagal berpisah. Gen HayNC2 berperan dalam pembentukan struktural
benang-benang spindel sehingga satu sentromer akan berorientasi ke salah satu
kutub, sedangkan sentromer lain akan berorientasi ke salah satu kutub yang
berlawanan. Ketika gen HayNC2 termutasi maka struktur benang-benang spindel
akan rusak dan menyebabkan benang spindel lemah dalam menarik kromatid ke
arah kutub yang berlawanan pada bidang ekuator sehingga kromatid tidak bisa
memisah dan mengalami nondisjunction (Herkowitz.dkk, 1977).
Dari hasil analisis data yang diperoleh terdapat perbedaan frekuensi antara
persilangan ♀w >< ♂N dengan persilangan ♀N >< ♂w. pada persilangan ♀w ><
♂N, semakin tua usia betina nya maka frekuensi Nondisjunction juga akan
semakin meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa umur betina berpengaruh
terhadap peristiwa Nondisjunction. sedangkan pada persilangan ♀N >< ♂w tidak
ditemukan adanya peristiwa Nondisjunction. hal tersebut menunjukkan bahwa
umur betina tidak mempengaruhi peristiwa Nondisjunction. Hal ini dapat
disebabkan karena, berdasarkan hasil rekontruksi kromosom yang dilakukan tidak
semua individu yang mengalami nondisjunction akan bertahan hidup. Individu
yang tidak muncul biasanya disebabkan karena lethal atau mati.
Faktor lain yang menyebabkan tidak adanya pengaruh peningkatan umur
terhadap peristiwa nondisjunction yaitu umur betina yang digunakan dalam
penelitian ini. Pada penelitian ini digunakan betina yang berumur diantara 1-15
hari. Menurut Dimit (2006) jangka waktu hidup betina yaitu sekitar 35-40 hari
atau sekitar 5 hari lebih lama dibandingkan jangka waktu hidup jantan. Sedangkan
umur yang digunakan pada penelitian ini hanya setengah dari siklus hidup
Drosophila melanogaster saja. Menurut Ashburner (1989) bahwa waktu yang
diperlukan untuk menjadi imago ±10 hari sejak telur dikeluarkan sehingga lama
hidup imago sekitar ±20 hari. Lama hidup imago dikelompokkan menjadi tiga
rentangan usia yaitu muda, dewasa dan tua. Umur 1-6 hari digolongkan pada
rentangan usia muda, umur 7-14 hari digolongkan pada rentangan usia dewasa
dan umur 15-20 digolongkan pada rentangan usia tua. Menururt Parson (1961)
seiring meningkatnya umur betina maka enzim yang terlibat dalam proses
34 | P a g e
metabolisme DNA akan berkurang. Pada penelitian kami hanya menggunakan
perlakuan 15 hari yang masih merupakan rentangan usia dewasa. Jadi, proses
metabolisme di dalam tubuh D. melanogaster yang diamati masih bersifat normal
sehingga menyebabkan frekuensi terjadinya peristiwa nondisjunction rendah.
Penggunaan strain w pada penelitian ini dikarenakan strain w mutan pada
kromosom X yaitu kromosom 1. Sesuai dengan data pengamatan Fenomena
Gagal Berpisah (Fauzi dan Corebima, 2016). Pengaruh strain w terhadap frekuensi
NDJ pada persilangan ♂N><♀w karena adanya kemunculan anakan hasil produk
gagal berpisah yang disebabkan oleh terbentuknya gamet abnormal pada parental
betina yaitu ♀w. Gamet abnormal pada parental betina dari strain w yang
dimaksud adalah gamet w/w dan 0 yang memiliki arti gamet w/w yang membawa
dua kromosom x sekaligus sedangkan gamet 0 merupakan gamet yang tidak
membawa kromosom x sama sekali. Terbentuknya dua gamet abnormal
disebabkan oleh kegagalan kromosom berpisah saat pembelahan meiosis ketika
pembentukan gamet tepatnya pada saat tahap anafase. Akibatnya ketika sel telah
benar-benar membelah ada sel yang membawa dua kromosom x dan ada sel yang
tidak membawa kromosom X (Klug, dkk,, 2012; Snustad dan Simmons, 2012:
Corebima, 2013).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap frekuensi nondisjunction adalah
adanya gen mutan pada D.melanogaster yaitu gen yang mengatur pembelahan sel
yang mengalami mutasi. Gen tersebut adalah gen Mei-S332, gen Ord, gen Polo,
NC2
dan gen Hay . Gen Mei-S332 terletak di kromosom II yang berfungsi sebagai
agen kohesi pada kromatid bersaudara. Ketika mengalami mutasi yaitu strain w,
maka pada saat metafase II dua sentromer saudara letaknya akan memisah
sehingga ke dua sentromer tersebut akan berorientasi ke kutub yang sama.
Akibatnya pada anafase II terjadi peristiwa nondisjunction atau gagal berpisah.
Terdapat gen Ord yang bekerja sama dengan gen Mei-S332 sehingga jika
mengalami mutasi maka akan menyebabkan kromatid bersaudara bersegregasi
secara acak pada awal meiosis I (Davis, 1971). Gen Polo merupakan gen yang
mengkode protein atau enzim polokinase yang berperan untuk memisahkan
kromatid bersaudara pada saat anafase meiosis II. Jika gen Polo mengalami
mutasi maka gen polo tidak dapat menjalankan fungsinya sehingga kromatid
35 | P a g e
bersaudara gagal berpisah. Gen HayNC2 berperan dalam pembentukan struktural
benang-benang spindel sehingga satu sentromer akan berorientasi ke salah satu
kutub, sedangkan sentromer lain akan berorientasi ke salah satu kutub yang
berlawanan. Ketika gen HayNC2 termutasi maka struktur benang-benang spindel
akan rusak dan menyebabkan benang spindel lemah dalam menarik kromatid ke
arah kutub yang berlawanan pada bidang ekuator sehingga kromatid tidak bisa
memisah dan mengalami nondisjunction (Herkowitz.dkk, 1977).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peristiwa NDJ hanya
dapat diamati pada persilangan ♀w >< ♂N. Sedangkan pada persilangan ♀N ><
♂w peristiwa NDJ tidak dapat diamati. Hal tersebut di karenakan berdasarkan
hasil rekontruksi anakan ♀N >< ♂w yang tidak mengalami NDJ dengan ♀N ><
♂w yang mengalami NDJ menghasilkan anakan yang sama yaitu ♀N dan ♂N
sehingga tidak dapat dibedakan apakah pada perilangan tersebut mengalami NDJ
atau tidak.
Interaksi antara umur betina dan macam strain terhadap frekuensi NDJ pada strain
♂N><♀w beserta resiprok berpengaruh. Seiring meningkatnya umur betina maka
enzim yang terlibat dalam proses metabolisme DNA akan berkurang. Frekuensi
NDJ pada usia betina semakin tua semakin meningkat. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan (Herkowitz, 1977). Adanya gen pada strain w mutan yaitu gen polo
yang merupakan gen yang mengkode protein atau enzim polokinase yang
berperan untuk memisahkan kromatid bersaudara pada saat anafase meiosis II.
Jika gen Polo mengalami mutasi maka gen polo tidak dapat menjalankan
fungsinya dan semakin tua umur betina adanya enzim semakin menurun sehingga
kromatid bersaudara gagal berpisah.
Interaksi antara umur dan macam strain tidak berpengaruh terhadap
peristiwa gagal berpisah pada Drosophila melanogaster karena penelitian ini
merupakan kondisi NDJ sekunder yaitu induk betinanya sudah mengalami NDJ
sehingga pada usia berapapun hasil anakanya tetap muncul produk gagal berpisah.
Hal tersebut sesuai dengan teori yang menjelaskan peristiwa gagal berpisah pada
Drosophila melanogasterd apat dibedakan menjadi gagal berpisah primer dan
36 | P a g e
gagal berpisah sekunder. Gagal berpisah primer terjadi pada induk lalat yang
normal, sedangkan gagal berpisah sekunder terjadi pada keturunan hasil gagal
berpisah primer. Peluang terjadinya gagal berpisah sekunder 100 kali lebih tinggi
dibanding kegagalan berpisah primer (Corebima, 2013).
Hal tersebut juga disebabkan oleh terbentuknya gamet abnormal pada
parental betina. Gamet abnormal pada parental betina dari strain w yang dimaksud
adalah gamet w/w dan 0 yang memiliki arti gamet w/w yang membawa dua
kromosom x sekaligus sedangkan gamet 0 merupakan gamet yang tidak
membawa kromosom x sama sekali. Terbentuknya dua gamet abnormal
disebabkan oleh kegagalan kromosom berpisah saat pembelahan meiosis ketika
pembentukan gamet tepatnya pada saat tahap anafase. Akibatnya ketika sel telah
benar-benar membelah ada sel yang membawa dua kromosom x dan ada sel yang
tidak membawa kromosom X. Oleh karena itu berapapun usia betina tidak
mempengaruhi frekuensi NDJ pada persilangan ♀w >< ♂N dan resiproknya
(Klug,dkk,, 2012; Snustad dan Simmons,2012: Corebima 2013).
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
6.1.1 Terdapat pengaruh umur betina terhadap frekuensi non-disjunction yang
dapat dilihat dari peningkatan frekuensi non-disjunction mulai dari umur
3,6,9, sampai 12 hari. Umur betina tidak berpengaruh terhadap frekuensi
non-disjunction karena umur yang digunakan pada penelitian ini hanya
setengah dari siklus hidup sehingga proses metabolism di dalam tubuh D.
melanogaster yang diamati masih normal yang menyebabkan frekuensi
terjadinya peristiwa non-disjunction rendah.
6.1.2 Terdapat pengaruh macam strain terhadap frekuensi non-disjunction pada
persilangan N ♂ >< w ♀ karena adanya kemunculan anakan hasil produk
gagal berpisah yang disebabkan oleh terbentuknya gamet normal pada
37 | P a g e
parental betina. Macam strain tidak berpengaruh terhadap frekuensi non-
disjunction karena berdasarkan hasil rekontruksi w ♂ >< N ♀ yang tidak
mengalami non-disjunction menghailkan anakan yang tidak dapat
dibedakan dengan hasil anakan yang mengalami non-disjunction N ♀
karena fenotipnya tidak nampak.
6.1.3 Terdapat interaksi antara umur betina dengan macam strain terhadap
frekunsi non-disjunction berhubungan dengan adanya enzim yang terlibat.
Tidak terdapat interaksi antara umur betina dengan macam strain di
karenakan pada penelitian ini merupakan kondisi NDJ sekunder yaitu
induk betinanya sudah mengalami NDJ sehingga pada usia berapapun
hasil anakanya tetap muncul produk gagal berpisah.
6.2 Saran
6.2.1 Pada saat melakukan penelitian diharapkan praktikan lebih rajin, ulet, giat
dan lebih telaten dalam mengerjakan proyek yang diberikan.
6.2.2 Pada saat melakukan persilangan D. melanogaster sebaiknya faktor-faktor
eksternal seperti medium, botol, dan tutup spons harus steril sehingga
tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian dan hasil penelitian lebih
akurat dan lebih valid.
38 | P a g e
DAFTAR RUJUKAN
39 | P a g e
Nawawi, Y.,S. 2009. Karakteristik Dismorfologi pada Pasien dengan Kelainan
Kromosom Seks. skripsi. Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Novitasari, D.1997. Perbedaan Frekuensi dan Kecenderungan Waktu Munculnya
Berpisah Sekunder Kromosom Kelamin X antara D. melanogaster Strain
yellow dan White Apricot. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Parsons, Talcott.1961. An Outline of the Social System. Dalam Theories of
Society. Editor T. Parsons, E. Shils, K. D. Naegele, dan J. R. Pitts. The
Free Press of Glencoe. New York
Snustad DP dan Simmons MJ. 2012, Principles of Genetics, Sixth Edition. New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Strickberger, Monroe, W. 1962. Experiments in Genetics with Drosophila.
London: John Wiley and Sons, inc.
40 | P a g e