Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau


tulang rawan umumnya dikarenakan cidera paksa (Mansjoer, 2008).
Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing-
masing manusia dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak
akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal terutama tulang yang
menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk rangka
penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya
otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh,. namun dari ulah manusia
itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur.
Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap (Mansjoer, 2008).

Fraktur Cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula
yang biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau persendian
pergelangan kaki. Pada beberapa rumah sakit kejadien fraktur cruris
biasanya banyak terjadi oleh karena itu peran perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan trauma musculoskeletal pada fraktur cruris akan
semakin besar sehingga di perlukan pengetahuan mengenai anatomi,
fisiologi, dan patofisiologi tulang normal dan kelainan yang terjadi pada
pasien dengan fraktur cruris (Depkes RI, 2011).

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih


dari 5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar
1.3 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan

1
yang memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas
bawah sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi.

Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi diintegritas pada tulang.


Penyebab terbanyaknya adalah insiden kecelakaan, tetapi factor lain
seperti proses degeneratif dan osteoporosis juga dapat berpengaruh
terhadap terjadinya fraktur (Depkes RI, 2011).

Kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja merupakan suatu keadaan


yang tidak di inginkan yang terjadi pada semua usia dan secara mendadak.
Angka kejadian kecelakaan lalu lintas di kota Semarang sepanjang tahun
2011 mencapai 217 kasus, dengan korban meninggal 28 orang, luka berat
40 orang, dan luka ringan sejumlah 480 orang ( Polda Jateng, 2011).

Berbagai penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, faktor


patologik,dan yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur akan
bertambah dengan adanya komplikasi yang berlanjut diantaranya syok,
sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi,

dan avaskuler nekrosis. Komplikasi lain dalam waktu yang lama akan
terjadi mal union, delayed union, non union atau bahkan perdarahan.
(Price, 2005) Berbagai tindakan bisa dilakukan di antaranya rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Meskipun demikian masalah pasien
fraktur tidak bisa berhenti sampai itu saja dan akan berlanjut sampai
tindakan setelah atau post operasi.

Berdasarkan data dari catatan medik Ruang Umar Rumah Sakit


Roemani Semarang, jumlah penderita fraktur selama 1 tahun terakhir ini
yaitu dari bulan Mei 2011 sampai April 2012 sebanyak 32 pasien, dari
jumlah pasien yang mengalami fraktur cruris ada 10 pasien (Catatan medik
Ruang Umar Rumah Sakit Roemani Semarang). Fenomena yang ada di
rumah sakit menunjukan bahwa pasien di rumah sakit mengalami berbagai
masalah keperawatan diantaranya nyeri, kerusakan mobilitas, resiko
infeksi, cemas, bahkan gangguan dalam beribadah. Masalah tersebut harus di

2
antisipasi dan di atasi agar tidak terjadi komplikasi. Peran perawat
sangat penting dalam perawatan pasien pre dan post operasi terutama
dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien.

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui asuhan
keperawatan pada pasien fraktur cruris (tibia dan fibula).

2. Tujuan Khusus

a. Untuk Mengetahui Definsi Fraktur Cruris (Tibia dan Fibula).

b. Untuk Mengetahui Anatomi Dan Fisiologi Fraktur Cruris (Tibia dan


Fibula).

c. Untuk Mengetahui Etiologi Fraktur Cruris (Tibia dan Fibula).

d. Untuk Mengetahui Klasifikasi Fraktur Cruris (Tibia dan Fibula).

e. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis Fraktur Cruris (Tibia dan Fibula).

f. Untuk Mengetahui Patofisiologi Fraktur Cruris (Tibia dan Fibula).

g. Untuk Mengetahui Komplikasi Fraktur Cruris (Tibia dan Fibula).

h. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Fraktur Cruris (Tibia dan


Fibula).

i. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Fraktur Cruris (Tibia dan Fibula).

j. Untuk Mengetahui Pengkajian Fraktur Cruris (Tibia dan Fibula).

k. Untuk Mengetahui Diagnosa Fraktur Cruris (Tibia dan Fibula).

l. Untuk Mengetahui Rencana Asuhan Keperawatan Fraktur Cruris (Tibia


dan Fibula).

3
C. MANFAAT

1. Bagi Masyarakat atau Klien

Diharapkan penulisan makalah ini dapat menjadi tambahan ilmu


pengetahuan yang berhubungan dengan konsep asuhan keperawatan pada
pasien fraktur cruris (tibia dan fibula).

2. Bagi Penulis

Hasil analisis kasus ini diharapkan dapat memberi informasi tentang


konsep asuhan keperawatan klien dngan fraktur cruris (tibia dan fibula).
Penulis dapat menambah pengetahuan serta dapat menerapkan ilmu
pengetahuan dan menjadi acuan untuk penulisan selanjutnya.

3. Bagi STIKES Mahardika

Keperawatan sebagai profesi yang didukung oleh pengetahuan yang baik,


perlu terus melakukan berbagai tulisan-tulisan terkait praktik keperawatan
yang akan memperkaya ilmu pengetahuan keperawatan. Penulisan ini
diharapkan dapat memperkaya literatur dalam bidang keperawatan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma,
tekanan maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 2009). Sedangkan menurut
Smeltzer (2008), fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres
yang lebih besar dari yang diabsorpsinya.
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi
jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya
(Brunner & Suddart, 2009).
Ada beberapa pengertian fraktur menurut para ahli adalah :
1) Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Price dan Wilson, 2006).
2) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis
dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2009).
3) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat
dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti
osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer,
2002).
4) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa
nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan
krepitasi (Doenges, 2009).
5) Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan
fibulayang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis,
atau persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008).
Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa fraktur

5
cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan
luasnya, yang di sebabkan karena trauma atau tenaga fisik yang terjadi pada
tulang tibia dan fibula.

B. Anatomi dan Fisiologis


1. Anatomi
Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk
pada tubuh. Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang
mendukung dan melindungi organ lunak, terutama dalam tengkorak dan
panggul. Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh
dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka
tubuh. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan
mengatur kalsiumdan fosfat (Price dan Wilson, 2009). Berikut adalah
gambar anatomi tulang manusia :

Gambar 1. Anatomi tulang manusia

6
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh
dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka
tubuh. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan
mengatur kalsium dan fhosfat. Tulang rangka orang dewasa terdiri atas
206 tulang. Tulang adalah jaringan hidup yang akan suplai syaraf dan
darah. Tulang banyak mengandung bahan kristalin anorganik (terutama
garam- garam kalsium) yang membuat tulang keras dan kaku, tetapi
sepertiga dari bahan tersebut adalah fibrosa yang membuatnya kuat dan
elastis (Price dan Wilson, 2006).
Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada
batang tubuh dengan perantara gelang panggul terdiri dari 31 pasang
antra lain: tulang koksa, tulang femur, tibia, fibula, patella, tarsalia, meta
tarsalia, dan falang (Price dan Wilson, 2006).
a. Tulang Koksa (tulang pangkal paha), OS koksa turut membentuk
gelang panggul, letaknya disetiap sisi dan di depan bersatu dengan
simfisis pubis dan membentuk sebagian besar tulang pelvis.
b. Tulang Femur (tulang paha), merupakan tulang pipa dan terbesar di
dalam tulang kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan
dengan asetabulum membentuk kepala sendi yang disebut kaput
femoris, disebelah atas dan bawah dari kolumna femoris terdapat taju
yang disebut trokanter mayor dan trokanter minor. Dibagian ujung
membentuk persendian lutut, terdapat dua buah tonjolan yang disebut
kondilus lateralis dan medialis. Diantara dua kondilus ini terdapat
lakukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang di
sebut dengan fosa kondilus.
c. Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang betis),
merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang
membentuk persendian lutut dengan OS femur, pada bagian ujungnya
terdapat tonjolan yang disebut OS maleolus lateralis atau mata kaki
luar. OS tibia bentuknya lebih kecil dari pada bagian pangkal melekat
pada OS fibula pada bagian ujung membentuk persendian dengan

7
tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut OS maleolus
medialis. Agar lebih jelas berikut gambar anatomi os tibia dan fibula.

Gambar 2. Anatomi tulang tibia dan fibula


d. Tulang tarsalia (tulang pangkal kaki), dihubungkan dengan tungkai
bawah oleh sendi pergelangan kaki, terdiri dari tulang-tulang kecil
yang banyaknya 5 yaitu sendi talus, kalkaneus, navikular, osteum
kuboideum, kunaiformi.
e. Meta tarsalia (tulang telapak kaki) Terdiri dari tulang-tulang pendek
yang banyaknya 5 buah, yang masing-masing berhubungan dengan
tarsus dan falangus dengan perantara sendi.
f. Falangus (ruas jari kaki) Merupakan tulang-tulang pipa yang pendek
yang masing-masing terdiri dari 3 ruas kecuali ibu jari banyaknya 2
ruas, pada metatarsalia bagian ibu jari terdapat dua buah tulang kecil
bentuknya bundar yang disebut tulang bijian (osteum sesarnoid).
2. Fisiolois
Sistem musculoskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran
dalam pergerakan. Sistem terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon,
ligament, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan
struktur tersebut (Price dan Wilson, 2006).
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis
sel antara lain: osteoblast, osteosit dan osteoklas. Osteoblas membangun

8
tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan proteoglikan sebagai
matriks tulang dan jaringan osteoid melalui suatu proses yang di sebut
osifikasi. Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas
mengsekresikan sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang peran
penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang,
sebagian fosfatase alkali memasuki aliran darah dengan demikian maka
kadar fosfatase alkali di dalam darah dapat menjadi indikator yang baik
tentang tingkat pembentukan tulang setelah mengalami patah tulang atau
pada kasus metastasis kanker ke tulang. Ostesit adalah sel- sel tulang
dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi
melalui tulang yang padat. Osteklas adalah sel-sel besar berinti banyak
yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat di absorbsi. Tidak
seperti osteblas dan osteosit, osteklas mengikis tulang. Sel-sel ini
menghsilkan enzim-enzim proteolotik yang memecahkan matriks dan
beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan
fosfat terlepas ke dalam aliran darah.
Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara
lain :
a. Sebagai kerangka tubuh
Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan memberi bentuk
tubuh.
b. Proteksi
Sistem musculoskeletal melindungi organ-organ penting, misalnya
otak dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru
terdapat pada rongga dada (cavum thorax) yang di bentuk oleh tulang-
tulang kostae (iga).
c. Ambulasi dan Mobilisasi
Adanya tulang dan otot memungkinkan terjadinya pergerakan tubuh
dan perpindahan tempat, tulang memberikan suatu system pengungkit
yang di gerakan oleh otot- otot yang melekat pada tulang tersebut ;

9
sebagai suatu system pengungkit yang digerakan oleh kerja otot- otot
yang melekat padanya.
d. Deposit Mineral
Sebagai reservoir kalsium, fosfor,natrium,dan elemen- elemen lain.
Tulang mengandung 99% kalsium dan 90% fosfor tubuh.
e. Hemopoesis
Berperan dalam bentuk sel darah pada red marrow. Untuk
menghasilkan sel-sel darah merah dan putih dan trombosit dalam
sumsum merah tulang tertentu.

C. Etiologi
Menurut Reksoprodjo (2010), penyebab fraktur meliputi :
1. Trauma
Trauma langsung : benturan pada tulang secara langsung dan
mengakibatkan terjadi fraktur di tempat itu. Trauma tidak langsung : titik
tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
2. Fraktur patalogis disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis,
kanker tulang dll.
3. Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri/usia lanjut.
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
D. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2008) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain :
1. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

10
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
2. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari
luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat
patah tulang terbuka :
a. Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
b. Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
c. Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2
yaitu:
1. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
2. Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fraktur)
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah
satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut
green stick. Menurut Price dan Wilson (2006), kekuatan dan sudut dari
tenaga fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan

11
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada
fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.
Menurut Mansjoer (2007), bentuk garis patah dan hubungannya
dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
1. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

Gambar 3. Fraktur transversal


2. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi
juga.

Gambar 4. Fraktur Oblik


3. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan
oleh trauma rotasi.

Gambar 5. Fraktur Spiral

12
4. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kearah permukaan lain.

5. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau


traksi otot pada insersinya pada tulang.

Gambar 6. Fraktur avulsi

Menurut Smeltzer dan Bare (2009), jumlah garis patahan ada 3 antara
lain:
1. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3. Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna
(Smelzter dan Bare, 2009).
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.

13
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

F. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup
bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2009).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang
dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsi dan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut
syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan
syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan

14
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2009).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidakseimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti
tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2009).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen-fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama
tindakan operasi (Price dan Wilson, 2009).

15
G. Patwhay

Kecelakaan

Trauma internal lebih dari kekuatan tulang

Tulang tidak mampu menahan trauma

Fraktur

Fiksasi Interna Pergeseran Trauma Jaringan


fragmen tulang

Luka terbuka
Perubahan Anastesi ORIF
penampilan Penurunan
dan penurunan pertahanan
fungsi tubuh Peristaltik utama tubuh
menurun Trauma Luka insisi
jaringan
HDR
Nafsu makan Jalan masuk
menurun organisme

Risiko
infeksi

Ketidaksei Nyeri Kekuatan Kerusakan


mbangan akut otot dan integritas
nutrisi < kemampuan kulit
dari gerak kurang
kebutuhan
tubuh

Defisit Hambatan
perawatan diri mobilitas fisik

16
H. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2009) dan Price (2009)
antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak,
sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra
sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas,
thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjasinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena
fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau
balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot
karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah
(misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada
nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.

17
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bias juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti
pin dan plat.

f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang
dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan non union.
a. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau

18
pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang (Price dan Wilson, 2006).

I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (2009) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada
pasien fraktur antara lain :
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh
pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress
normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple, atau cedera hati.

J. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2007) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang
harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1) Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat
fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk
yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2) Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali

19
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan.

Gambar 7. ORIF

3) Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang
brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi
eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan
fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur

20
dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan
eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk
fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis.
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment
berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak.
4) Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus
segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan
kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.

K. Pengkajian
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur
merujuk pada teori menurut Doenges (2007) dan Muttaqin (2008) ada
berbagai macam meliputi:
1. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang
kruris, pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun
patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainnya.
Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia proksimal. Adanya
trauma angulasi akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik
pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral.
Penyebab utama fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.

21
2. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti
kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
3. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris
adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
4. Pola kesehatan fungsional
a. Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri)
1) Sirkulasi
a) Hipertensi (kadang – kadang terlihat sebagai respon nyeri
atau ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
b) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
c) Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang
cedera,pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang
terkena.
d) Pembangkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi
cedera.
2) Neurosensori
a) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
b) Kebas/ kesemutan (parestesia)

22
c) Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/
hilang fungsi.
d) Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)

b. Nyeri / kenyamanan
1) Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi), tidak
ada nyeri akibat kerusakan syaraf .
2) Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
c. Keamanan
1) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
2) Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-
tiba).
d. Pola hubungan dan peran Klien akan kehilangan peran dalam
keluarga dan dalam masyarakat karena klien harus menjalani rawat
inap.
e. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan
dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa
ketidak mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal dan
pandangan terhadap dirinya yang salah.
f. Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
g. Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama
frekuensi dan konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel nyeri
dan keterbatasan gerak yang di alami klien.

23
L. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cidera fisik (prosedur bedah)
2. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan muskuloskeletal
3. Defisit perawatan diri : mandi b.d gangguan muskuloskeletal
4. Risiko kerusakan integritas kulit b.d trauma mekanik
5. Risiko infeksi b.d prosedur invasif
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang
asupan makanan
7. Harga diri rendah situasional b.d gangguan peran fungsi

M. Rencana Asuhan Keperawatan


Perencanaan
No Dx Kep Tujuan dan Kriteria
Intervensi Rasional
Hasil
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Pain Management Pain Management
b.d agen asuhan keperawatan 1. Kaji secara 1. Untuk
cidera fisik selama 3x24 jam, komperhensif mengetahui
(prosedur diharapkan nyeri nyeri termasuk tingkat nyeri
bedah) berkurang atau hilang, lokasi, durasi, pasien
dengan kriteria hasil : frekuensi, 2. Untuk
1. Level nyeri intensitas dan mengetahui
menurun (klien faktor penyebab) tingkat
menyampaikan 2. Observasi reaksi ketidaknyamana
penurunan level non verbal dari n dirasakan oleh
nyeri, tidak ada ketidakkenyaman pasien
kegelisahan, TTV an 3. Agar nyeri yang
dalam batas normal) 3. Ajarkan tentang dirasakan klien
2. Klien mampu teknik non tidak bertambah
mengontrol nyeri farmakologi : 4. Obat-obatan
(mengenal faktor napas dalam, analgetik akan
penyebab, relaksasi, memblok
menggunakan distraksi, reseptor nyeri,
tindakan kompres sehingga nyeri
pencegahan hangat/dingin tidak dapat
terhadap nyeri, 4. Kolaborasi dipersepsikan
menggunakan analgetik untuk
nonfarmakologi, mengurangi nyeri
menggunakan
analgetik yang
tepat)

24
2 Hambatan Setelah dilakukan Exercise therapy Exercise therapy
mobilitas asuhan keperawatan 1. Kaji kemampuan 1. Membantu
fisik b.d selama 3x24 jam, pasien dalam dalam
gangguan diharapkan hambatan mobilisasi menentukan
muskulosk mobilitas fisik teratasi, 2. Monitor vital sign intervensi
eletal dengan kriteria hasil : sebelum/sesudah selanjutnya
1. Klien meningkat latihan dan lihat 2. Memonitor
dalam aktivitas fisik respon pasien perubahan TTV
2. Mengerti tujuan dari saat latihan sebelum dan
peningkatan Exercise therapy : setelah aktivitas
mobilitas joint mobility Exercise therapy :
3. Memverbalkan 3. Bantu dan joint mobility
perasaan dalam berikan pasien 3. Dapat
meningkatkan untuk melakukan meningkatkan
kekuatan dan latihan rentang kemampuan
kemampuan gerak (ROM) pasien untuk
mobilisasi Environmental mempertahankan
management kekuatan dan
4. Anjurkan ketahanan otot
keluarga untuk Environmental
menemani pasien management
5. Sediakan 4. Mencegah
lingkungan yang pasien jatuh,
aman : menyediakan
pencahayaan, bantuan selama
mendekatkan perawatan
alat-alat yang 5. Mempermudah
dibutuhkan aktivitas dan
menjamin
keselamatan
pasien
3 Defisit Setelah dilakukan Self Care Self Care
perawatan asuhan keperawatan Assistance : ADLs Assistance : ADLs
diri : selama 3x24 jam, 1. Monitor 1. Untuk
mandi b.d diharapkan defisit kemampuan mengetahui
gangguan perawatan diri teratasi, klien untuk batasan
muskulosk dengan kriteria hasil : perawatan diri kemandirian
eletal 1. Klien terbebas dari yang mandiri klien dalam
bau badan 2. Bantu klien perawatan diri
2. Dapat melakukan untuk kebersihan 2. Guna memenuhi
ADLs dengan diri, mandi pola kebutuhan
bantuan 3. Sediakan personal
3. Menyatakan bantuan sampai hiegiene klien
kenyamanan klien mampu 3. Untuk
terhadap secara utuh mempermudah
kemampuan untuk melakukan klien klien

25
melakukan ADLs self-care dalam
4. Dorong untuk memenuhi
melakukan kebutuhan
secara mandiri, personal
tapi beri bantuan hiegiene
ketika klien tidak 4. Agar klien
mampu mampu mandiri
melakukannya dalam dalam
pemenuhan
kebutuhan
personal
hiegiene
4 Risiko Setelah dilakukan Pressure Pressure
kerusakan asuhan keperawatan Management Management
integritas selama 3x24 jam, 1. Monitor kulit 1. Untuk
kulit b.d diharapkan gangguan akan adanya mengetahui
trauma integritas kulit tidak kemerahan adanya tanda-
mekanik terjadi, dengan kriteria 2. Jaga kebersihan tanda infeksi
hasil : kulit agar tetap 2. Guna
1. Integritas kulit ynag bersih menghindari
baik bisa 3. Hindari kerutan terjadinya resiko
dipertahankan pada tempat tidur infeksi
2. Melaporkan adanya 4. Anjurkan pasien 3. Untuk
gangguan sensasi menggunakan menghindari
atau nyeri pada pakaian yang iritasi
daerah kulit yang longgar 4. Agar sirkulasi
mengalami 5. Kolaborasi darah ke
gangguan dengan ahli gizi jaringan berjalan
3. Menunjukkan untuk pemberian normal
pemahaman dalam tinggi protein, 5. Untuk
proses perbaikan mineral dan memenuhi
kulit dan mencegah vitamin kebutuhan
terjadinya cedera nutrisi yg
berulang dibutuhkan klien
4. Sensasi dan warna
kulit normal
5 Risiko Setelah dilakukan Infection Control Infection Control
infeksi b.d asuhan keperawatan 1. Monitor tanda 1. Mencegah
prosedur selama 3x24 jam, dan gejala infeksi infeksi sekunder
invasif diharapkan pasien tidak sistemik dan 2. Membatasi
mengalami infeksi, lokal sumbet infeksi,
dengan kriteria hasil : 2. Pertahankan dimana, dimana
1. Klien bebas dari teknik aseptif dapat
tanda dan gejala 3. Batasi menghalangidan
infeksi pengunjung bila penuh kasih
2. Menunjukkan perlu sayang

26
kemampuan untuk 4. Cuci tangan 3. Membatasi
mencegah setiap sebelum datangnya
timbulnya infeksi dan sesudah sumber infeksi
3. Jumlah leukosit tindakan dari lingkungn
dalam batas normal keperawatan 4. Mencegah cross
5. Lakukan infection antara
perawatan luka perawat dengan
6. Kolaborasi pasien
pemberian 5. Mencegah
antibiotik infeksi
7. Ajarkan pasien 6. Obat-obatan
dan keluarga antibiotik dapat
mengenal tanda mencegah dan
dan gejala infeksi mengobati
infeksi
7. Mencegah
kejadian infeksi
6 Ketidaksei Setelah dilakukan Nutrition Nutriotion
mbangan asuhan keperawatan Management Management
nutrisi selama 3x24 jam, 1. Kaji adanya 1. Menghindari
kurang diharapkan status alergi makanan rasa mual
dari nutrisi adekuat, dengan 2. Kolaborasi muntah dan rasa
kebutuhan kriteria hasil : dengan ahli gizi tidak enak
tubuh b.d 1. Mengerti faktor untuk 2. Mengetahui
kurang meningkatkan berat menentukan makanan apa
asupan badan jumlah kalori dan saja yang
makanan 2. Memodifikasi diet nutrisi yang dianjurkan dan
dalam waktu yang dibutuhkan tidak dianjurkan
lama untuk 3. Berikan makanan 3. Untuk
mengontrol berat yang terpilih membantu
badan (sudah proses dalam
3. Menggunakan dikonsultaskan pemenuhan
energi untuk dengan ahli gizi) nutrisi
aktivitas sehari-hari 4. Anjurkan pasien 4. Untuk
untuk memenuhi
meningkatkan kebutuhan
intake protein dan nutrisi
vitamin C
7 Harga diri Setelah dilakukan Self Esteem Self Esteem
rendah asuhan keperawatan Enhancement Enhancement
situasional selama 3x24 jam, 1. Kaji alasan- 1. Mengetahui
b.d diharapkan harga diri alasan untuk penyebab harga
gangguan klien meningkat, mengkritik atau diri rendah
peran dengan kriteria hasil : menyalahkan pasien
fungsi 1. Mengungkapan diri sendiri 2. Agar pasien
penerimaan diri 2. Buat statment tidak merasa

27
2. Komunikasi terbuka positif terhadap terkucilkan
3. Menggunakan pasien 3. Meningkatkan
strategi koping 3. Dukung pasien kepercayaan diri
efektif untuk menerima pasien
tantangan baru 4. Meningkatkan
4. Kolaborasi kepercayaan diri
dengan sumber- pasien di dalam
sumber lain lingkungan
(petugas dinas
social, perawat
spesialis klini,
dan layanan
keagamaan)

28
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Klien
Nama : Sdr. I
Umur : 19 th
Jenis Kelamin :L
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Bengkel
Status Marital : Belum menikah
Tanggal Masuk : 16 oktober 2017
Tanggal Pengkajian :4 november 2017
Diagnosa Medis : fraktur cruris
No. Rekmed : 986988
b. Identitas Penaggung Jawab
Nama : Tn. H
Umur : 50 th
Jenis Kelamin :L
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Hub. Dengan Klien : Orang tua
Alamat : Astana Japura
2. Status Kesehatan
a. Status Sesehatan Saat Ini :
1) Keluhan utama : nyeri
2) Faktor pencetus : kecelakaan
3) Lamanya keluhan : 2-4 jam
4) Timbulnya keluhan (bertahap atau mendadak) : bertahap
5) Faktor yang memperberat : kepala sakit/pusing

29
b. Status Kesehatan Masa Lalu :
1) Penyakit yang pernah dialami :-
2) Kecelakaan : iya
c. Pernah Dirawat : baru dirawat
1) Penyakit yang diderita :-
2) Waktu :-
3) Riwayat operasi : operasi ORIF tgl 1/11/2017
d. Status Kesehatan Keluarga : dari keluarga tidak ada yang
mengalami sakit seperti klien
3. Pengkajian Pola Fungsi
a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
1) Upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan
- Kemana pasien berobat bila sakit : puskesmas/dokter
- Kebiasaan hidup (konsumsi jamu/kopi/kebiasaan
olahraga/merokok) : Suka minum kopi
b. Faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan kesehatan :
1) Penghasilan : Rp.70.000 – Rp.80.000
2) Asuransi/jaminan kesehatan : BPJS
3) Keadaan lingkungan tempat tinngal : Bersih
c. Pola nilai kepercayaan dan spiritual :
1) Sumber kekuatan bagi pasien : Orang tua dan kakak
2) Perasaan menyalahkan tuhan : Tidak pernah
3) Bagaimana klien menjalankan kegiatan agama atau
kepercayaan
- Macam kegiatan : Berdoa
- Frekuensi : Setiap mau tidur
4) Masalah berkaitan dengan aktivitasnya tersebut selama dirawat
: Saya tidak bisa berjalan seperti
biasanya
5) Pemecahan oleh pasien : Saya hanya berbaring di tempat
tidur saja

30
4. Kebutuhan Dasar :
a) Rasa nyaman dan kebersihan
- Adanya nyeri : Nyeri pada bagian operasi skala
nyeri 5
- Kebersihan tempat tidur : kotor
- Kebersihan pakaian : kotor
- Kebersihan badan : kotor
b) Oksigenasi
- Dispnea : Tidak ada
c) Cairan dan nutrisi
Cairan Rl nutrisi bubur, tempe, tahu dan minum air putih
d) Eliminasi
- Pola BAB : frekuensi : 1x konsistensi : cair
- Kesulitan BAB : Tidak ada
- Riwayat perdarahan : Tidak pernah
- Haemoroid : Tidak ada
- Penggunaan alat (kateter) : Tidak terpasang
- Kesulitan BAK : Tidak ada kesulitan saat BAK
e) Istirahat dan tidur
- Kebiasaan tidur : Tidak ada
- Lama tidur : 4-5 jam
- Masalah berhubungan dengan tidur : Kurang puas
f) Kemampuan perawatan diri
Kemampuan perawatan diri Score

0 1 2 3 4
Makan/minum √
Toiletting √
Berpakaian √
Mobilitas tempat tidur √

31
Ambulasi/ROM √
Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Dengan dibantu alat
2 : Dibantu orang
3 : Dibantu orang lain dan dengan alat
4 : Tergantung total
g) Keselamatan dan keamanan
- Alergi (catatan alergi dan reaksi spesifik)
- Obat-obatan : Tidak ada
- Makanan : Tidak ada
- Adakah kerusakan pendengaran/penglihatan, sebutkan
- Riwayat kejang : Tidak ada
h) Peran seksual
- Permasalahan dalam aktivitas seksual :-
- Pemahaman tantang fungsi seksual :-
i) Psikososial
- Orang terdekat dan lebih berpengaruh : orang tua
5. Pemeriksaan Fisik
a. Penampilan umum
b. Kesadaran : CM E : 5,V : 5,M : 6
c. Tanda-tanda vital
tekanan darah : 130/60 mmHg
nadi : 100x/menit
respirasi : 25x/menit
suhu : 38,2 ° C
d. kepala dan wajah : rambut berwarna hitam, terlihat kotor, nyeri
tekan (+) , terdapat lessi, di wajah nyeri tekan (-), tidak terdapat
lessi.
e. mata : kedua mata simetris, replek cahaya positif,

32
f. telinga : kedua telinga simretis, lesi (-), masa (-), serumen (-), tidak
ada nyeri tekan
g. hidung : lubang hidung simretris, lesi (-), masa (-), tidak ada
penumpukan sekret
h. mulut : mukosa mulut kotor, terdapat karang gigi, bau mulu (+),
ditenggorokan tongsil normal.
i. leher : terdapat reflek menelan,lesi (-), masaa (-), distensi vena
jugularis (-).
j. dada : dada simetris lesi (-), masa (-), tidak terdapat nyeri tekan,
suara paru vesikuler, suara jantung lub-dub,
k. abdomen : lesi (-), massa (-), tidak terdapat nyeri tekan
l. ekstremitas : ekstremitas atas dextra : terpasang cairan infus
dengan jenis Rl, ekstremitas bawah terdapat fraktur tibia,fibula,
terpasang orif, ada luka sanyatan post op, dengan total hectimg 19
jahitan dengan tehnik satu-satu. turgor kulit elastis, warna kulit
sawo busuk.
B. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1. Ds: klien Kecelakaan Nyeri akut
mengatakan “ nyeri
di kaki bekas Trauma internal lebih dari
operasi” kekuatan tulang

Do: - dx medis : Tulang tidak mampu menahan


fraktur cruris trauma
- pasien post
orif Fraktur
- pasien
terlihat Fiksasi interna
meringis
kesakitan ORIF
- skala nyeri 5
(0-10) Trauma jaringan
- TTV :
Td : 130/60 Nyeri
mmhg
N :

33
100x/menitt
S: 38,2 ° C
RR : 25x/
menit
- terpasang
orif
- luka post up
dengan
panjang
sayaten 20
cm

2. Ds : klien Kecelakaan Defisit


mengatakan “ – perawatan diri
Do : - klien tidak Trauma nternal lebih dari
mampu untuk mandi kekuatan tulang
- klien tidak
mampu Tulang tidak mampu menahan
berpakaian trauma
- klien
keadaan Fraktur
umum kotor
- rambut Fikasasi interna
terlihat kotor
- klien tercium
bau badan Orif
- klien terlihat
tidak Trauma jaringan
nyaman
Kekuatan otot dan kemampuan
gerak kurang

Defisit perawatan diri

3. Ds : - Kecelakaan Hambatan
Do : - dx medis : mobilitas fisik
hambatan mobilitas Trauna internal lebih dari
fisik kekuatan tulang
- terpasang
orif pada Tulang tidak mampu trauma
bagian
ekstremitas Fraktur
bagian
bawah Fikasasi interna
sinitras
- kekuatan Orif

34
otot bagian
ekstrimas Trauma jaringan
bagian
bawah Kekuatan otot dan kemampuan
sinistra gerak kurang
dengan skala
2 dari 0-5 ( Hambatan mobilitas fisik
buruk ) ket
: tidak
mampu
melawan
gaya
gravitasi
- terpasang
fiksasi pada
ekstremitas
bawah
sinistra.
4. DS:Pasien Kecelakaan Resiko infeksi
mengatakan, “iya”, Trauma internal lebih dari
setelah ditanyakan kekuatan tulang
oleh perawat apakah Tulang tidak mampu menahan
area ini terasa nyeri? trauma
(sambil menyentuh Fraktur
bagian post orif) Fikasi internal
DO : Orif
- Kalor : suhu Luka insisi
tubuh 38,20C Resiko infeksi
- Dolor : terdapat
reaksi non verbal
nyeri
- Rubor : tedapat
kemerahan
diarea post orif
- Tumor : tidak
ada.
- Lekosit :
22830/Ul

C. Diagnosa keperawatan

1. Nyeri akut b.d agen cidera fisik (prosedur bedah)


2. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan muskuloskeletal
3. Defisit perawatan diri : mandi b.d gangguan muskuloskeletal

35
4. Risiko infeksi b.d prosedur invasif

D. Nursing Care Plan

Perencanaan
No Dx Kep Tujuan dan Kriteria
Intervensi Rasional
Hasil
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Pain Management Pain Management
b.d agen asuhan keperawatan 5. Kaji secara 5. Untuk
cidera fisik selama 2x24 jam, komperhensif mengetahui
(prosedur diharapkan nyeri nyeri termasuk tingkat nyeri
bedah) berkurang atau hilang, lokasi, durasi, pasien
dengan kriteria hasil : frekuensi, 6. Untuk
3. Level nyeri intensitas dan mengetahui
menurun (klien faktor penyebab) tingkat
menyampaikan 6. Observasi reaksi ketidaknyamana
penurunan level non verbal dari n dirasakan oleh
nyeri, tidak ada ketidakkenyaman pasien
kegelisahan, TTV an 7. Agar nyeri yang
dalam batas normal) 7. Ajarkan tentang dirasakan klien
4. Klien mampu teknik non tidak bertambah
mengontrol nyeri farmakologi : 8. Obat-obatan
(mengenal faktor napas dalam, analgetik akan
penyebab, relaksasi, memblok
menggunakan distraksi, reseptor nyeri,
tindakan kompres sehingga nyeri
pencegahan hangat/dingin tidak dapat
terhadap nyeri, 8. Kolaborasi dipersepsikan
menggunakan analgetik untuk
nonfarmakologi, mengurangi nyeri
menggunakan
analgetik yang
tepat)
2 Hambatan Setelah dilakukan Exercise therapy Exercise therapy
mobilitas asuhan keperawatan 6. Kaji kemampuan 6. Membantu
fisik b.d selama 2x24 jam, pasien dalam dalam
gangguan diharapkan hambatan mobilisasi menentukan
muskulosk mobilitas fisik teratasi, 7. Monitor vital sign intervensi
eletal dengan kriteria hasil : sebelum/sesudah selanjutnya
4. Klien meningkat latihan dan lihat 7. Memonitor
dalam aktivitas fisik respon pasien perubahan TTV

36
5. Memverbalkan saat latihan sebelum dan
perasaan dalam Exercise therapy : setelah aktivitas
meningkatkan joint mobility Exercise therapy :
kekuatan dan 8. Bantu dan joint mobility
kemampuan berikan pasien 8. Dapat
mobilisasi untuk melakukan meningkatkan
latihan rentang kemampuan
gerak (ROM) pasien untuk
Environmental mempertahankan
management kekuatan dan
9. Anjurkan ketahanan otot
keluarga untuk Environmental
menemani pasien management
10. Sediakan 9. Mencegah
lingkungan yang pasien jatuh,
aman : menyediakan
pencahayaan, bantuan selama
mendekatkan perawatan
alat-alat yang 10. Mempermudah
dibutuhkan aktivitas dan
menjamin
keselamatan
pasien
3 Defisit Setelah dilakukan Self Care Self Care
perawatan asuhan keperawatan Assistance : ADLs Assistance : ADLs
diri : selama 2x24 jam, 5. Monitor 5. Untuk
mandi b.d diharapkan defisit kemampuan mengetahui
gangguan perawatan diri teratasi, klien untuk batasan
muskulosk dengan kriteria hasil : perawatan diri kemandirian
eletal 4. Klien terbebas dari yang mandiri klien dalam
bau badan 6. Bantu klien perawatan diri
5. Dapat melakukan untuk kebersihan 6. Guna memenuhi
ADLs dengan diri, mandi pola kebutuhan
bantuan 7. Sediakan personal
6. Menyatakan bantuan sampai hiegiene klien
kenyamanan klien mampu 7. Untuk
terhadap secara utuh mempermudah
kemampuan untuk melakukan klien klien
melakukan ADLs self-care dalam
8. Dorong untuk memenuhi
melakukan kebutuhan
secara mandiri, personal
tapi beri bantuan hiegiene
ketika klien tidak 8. Agar klien
mampu mampu mandiri
melakukannya dalam dalam

37
pemenuhan
kebutuhan
personal
hiegiene
4 Risiko Setelah dilakukan Infection Control Infection Control
infeksi b.d asuhan keperawatan 8. Monitor tanda 8. Mencegah
prosedur selama 3x24 jam, dan gejala infeksi infeksi sekunder
invasif diharapkan pasien tidak sistemik dan 9. Membatasi
mengalami infeksi, lokal sumbet infeksi,
dengan kriteria hasil : 9. Pertahankan dimana, dimana
4. Klien bebas dari teknik aseptif dapat
tanda dan gejala 10. Batasi menghalangidan
infeksi pengunjung bila penuh kasih
5. Menunjukkan perlu sayang
kemampuan untuk 11. Cuci tangan 10. Membatasi
mencegah setiap sebelum datangnya
timbulnya infeksi dan sesudah sumber infeksi
6. Jumlah leukosit tindakan dari lingkungn
dalam batas normal keperawatan 11. Mencegah
12. Lakukan cross infection
perawatan luka antara perawat
13. Kolaborasi dengan pasien
pemberian 12. Mencegah
antibiotik infeksi
14. Ajarkan pasien 13. Obat-obatan
dan keluarga antibiotik dapat
mengenal tanda mencegah dan
dan gejala infeksi mengobati
infeksi
14. Mencegah
kejadian infeksi

E. Implementasi

No Tanggal, Jam Dx Kep Implementasi Paraf


1 4-11-2017, pkl Nyeri akut 1. Mengkaji secara komperhensif
08.00 WIB b.d agen nyeri termasuk lokasi, durasi,
cidera fisik frekuensi, intensitas dan faktor
(prosedur penyebab)
bedah) 2. Mengobservasi reaksi non verbal
dari ketidakkenyamanan
3. Mengajarkan tentang teknik non
farmakologi : napas dalam,
relaksasi, distraksi, kompres

38
hangat/dingin
4. Berkolaborasi pemberian analgetik
untuk mengurangi nyeri
2 4-11-2017, pkl Hambatan 1. Mengkaji kemampuan pasien
08.00 WIB mobilitas dalam mobilisasi
fisik b.d 2. Memonitor vital sign
gangguan sebelum/sesudah latihan dan lihat
muskuloske respon pasien saat latihan
letal 3. Membantu dan berikan pasien
untuk melakukan latihan rentang
gerak (ROM)
4. Menganjurkan keluarga untuk
menemani pasien
5. Menyediakan lingkungan yang
aman : pencahayaan, mendekatkan
alat-alat yang dibutuhkan
3 4-11-2017, pkl Defisit 1. Memonitor kemampuan klien
08.00 WIB perawatan untuk perawatan diri yang mandiri
diri : mandi 2. Membantu klien untuk kebersihan
b.d diri, mandi
gangguan 3. Menyediakan bantuan sampai klien
muskuloske mampu secara utuh untuk
letal melakukan self-care
4. Mendorong untuk melakukan
secara mandiri, tapi beri bantuan
ketika klien tidak mampu
melakukannya
4 4-11-2017, pkl Risiko 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
08.00 WIB infeksi b.d sistemik dan lokal
prosedur 2. Pertahankan teknik aseptif
invasif 3. Batasi pengunjung bila perlu
4. Cuci tangan setiap sebelum dan
sesudah tindakan keperawatan
5. Lakukan perawatan luka
6. Kolaborasi pemberian antibiotik
7. Ajarkan pasien dan keluarga
mengenal tanda dan gejala infeksi

F. Catatan Perkembangan

Nama Pasien : Tn. I


Diagnosa Medis : Fraktur Cruris
Ruangan : Prabu Siliwangi 4

39
No Tanggal, Tindakan Respon Pasien/Hasil
Paraf
Dx Jam Keperawatan (S, O)
1 4-11-2017, pkl Mengkaji secara S : Pasien mengatakan,
08.00 WIB komperhensif nyeri “iya”, setelah
termasuk lokasi, durasi, ditanyakan oleh
frekuensi, intensitas dan perawat apakah area ini
faktor penyebab) terasa nyeri? (sambil
menyentuh bagian post
orif)
O:
- Nyeri mulai
dirasakan setelah
mengalami
kecelakaan
- Penyebab nyeri ada
luka post orif
- Kualitas nyeri
cekot-cekot
- Lokasi di kaki kiri
bagian bawah
- Skala nyeri 5
- Durasi nyeri hilang
timbul
2 4-11-2017, pkl Mengobservasi reaksi non S:-
08.00 WIB verbal dari O:
ketidakkenyamanan Pasien terlihat meringis
kesakitan, tidak nyaman
3 4-11-2017, pkl Mengajarkan tentang S:-
08.00 WIB teknik non farmakologi : O:
napas dalam, relaksasi, - Mengajarkan teknik
distraksi, kompres relaksasi
hangat/dingin - Pasien mengikuti
instruksi dari
perawat
4 4-11-2017, pkl Berkolaborasi pemberian S:-
08.00 WIB analgetik untuk O:
mengurangi nyeri - Analgetik yang
diberikan adlah
keterolac 3x1
ampul
- Pasien tampak
tenang
5 4-11-2017, pkl Mengkaji kemampuan S:-
08.00 WIB pasien dalam mobilisasi O:
- Pasien mampu
menggerakkan

40
secara bebas tangan
kanan, kiri, dan
kaki kanan.
- Kaki kiri terdapat
luka post orif
- Mobilitas terbatas
(kaki kiri)
6 4-11-2017, pkl Memonitor vital sign S:-
08.00 WIB sebelum/sesudah latihan O:
dan lihat respon pasien - tekanan darah :
saat latihan 130/60 mmHg
- nadi : 100x/menit
- respirasi : 25x/menit
- suhu : 38,2 ° C
7 4-11-2017, pkl Membantu dan berikan S:-
08.00 WIB pasien untuk melakukan O:
latihan rentang gerak - ROM aktif dan pasif
(ROM) telah dilakukan
- Pasien mengikuti
instruksi perawat
8 4-11-2017, pkl Menganjurkan keluarga S : Bapak pasien
08.00 WIB untuk menemani pasien mengatakan, “iya kami
akan selalu menemani
anak kami”
O:
Keluarga tampak
menyetujui anjuran dari
perawat
9 4-11-2017, pkl Menyediakan lingkungan S:-
08.00 WIB yang aman : pencahayaan, O:
mendekatkan alat-alat - Bed pasien telah
yang dibutuhkan terpasang pembatas
kanan kiri
- Telah terpasang
tanda risiko jatuh di
bed
- Pencahayaan cukup
- Suhu ruangan ber
AC
10 4-11-2017, pkl Memonitor kemampuan S:-
08.00 WIB klien untuk perawatan diri O:
yang mandiri (mandi) Pasien tampak tidak
mampu melakukan
perawatan diri (mandi)
secara mandiri

41
11 4-11-2017, pkl Mendorong untuk S : Bapak pasien
08.00 WIB melakukan secara mandiri, mengatakan, “iya kita
tapi beri bantuan ketika siap membantu pasien
klien tidak mampu dalam beraktivitas”
melakukannya O:
Perawat
menginstruksikan
keluarga pasien untuk
membantu pasien
dalam beraktivitas, dan
melatih pasien untuk
melakukan secara
mandiri
12 4-11-2017, pkl Monitor tanda dan gejala S : Pasien mengatakan,
08.00 WIB infeksi sistemik dan lokal “iya”, setelah
ditanyakan oleh
perawat apakah area ini
terasa nyeri? (sambil
menyentuh bagian post
orif)
O:
- Kalor : suhu tubuh
38,20C
- Dolor : terdapat
reaksi non verbal
nyeri
- Rubor : tedapat
kemerahan diarea
post orif
- Tumor : tidak ada
13 4-11-2017, pkl Pertahankan teknik aseptik S:-
08.00 WIB O:
- Perawatan luka
dilakukan dengan
prinsip steril
14 4-11-2017, pkl Batasi pengunjung bila S : Bapak pasien
08.00 WIB perlu mengatakan, “Iya, biar
anak saya tidak
terganggu”
O:
Pengunjung pasien
telah dibatasi pada saat
masuk ke ruangan
pasien
15 4-11-2017, pkl Cuci tangan setiap S:-
08.00 WIB sebelum dan sesudah O:

42
tindakan keperawatan Perawat telah
melakukan cuci tangan
setiap sebelum dan
sesudah tindakan
keperawatan
16 4-11-2017, pkl Lakukan perawatan luka S:-
08.00 WIB O:
- Pembersihan luka
dengan
menggunakan kasa
steril ber-NaCl,
dilanjutkan dengan
penutupan luka
dengan kasa betadin
dan kasa kering
- Prinsip perawatan
luka : steril
17 4-11-2017, pkl Kolaborasi pemberian S:-
08.00 WIB antibiotik O:
- Obat antibiotik yang
diberikan adalah
ceftriaxon 3x1gr
- Pasien tampak diam
saat diberikan injek
obat tersebut
18 4-11-2017, pkl Ajarkan pasien dan S : Bapak pasien
08.00 WIB keluarga mengenal dan mengatakan, “iya saya
melaporakan bila tampak paham”
gejala infeksi O:
Pasien dan keluarga
pasien tampak
mengangguk tanda
memahami

G. Catatan Perkembangan (Evaluasi)

Respon
No Tanggal, Tindakan
Perkembangan Paraf
Dx Jam Keperawatan
(S,O,A,P)
1 5-11-2017, pkl Mengkaji secara S : Pasien mengatakan,
14.00 WIB komperhensif nyeri “iya”, setelah
termasuk lokasi, durasi, ditanyakan oleh
frekuensi, intensitas dan perawat apakah nyeri
faktor penyebab) berkurang daripada hari

43
Mengobservasi reaksi non kemarin.
verbal dari O:
ketidakkenyamanan - Nyeri mulai
Mengajarkan tentang dirasakan setelah
teknik non farmakologi : mengalami
napas dalam, relaksasi, kecelakaan
distraksi, kompres - Penyebab nyeri ada
hangat/dingin luka post orif
Berkolaborasi pemberian - Kualitas nyeri
analgetik untuk cekot-cekot
mengurangi nyeri - Lokasi di kaki kiri
bagian bawah
- Skala nyeri 4
- Durasi nyeri hilang
timbul
- TTV :
TD : 120/80 mmHg
R : 20x/menit
N :82x/menit
S : 36,2 °C
- Pasien tampak
tenang dan
tersenyum
- Pasien
mempraktikan
teknik
nonfarmakologi
relaksasi
- Analgetik yang
diberikan adalah
keterolac 3x1
ampul
A : masalah teratasi
sebagian
P : intevensi
dilanjutkan
2 5-11-2017, pkl Mengkaji kemampuan S:-
14.00 WIB pasien dalam mobilisasi O:
Memonitor vital sign - Pasien mampu
sebelum/sesudah latihan menggerakkan
dan lihat respon pasien secara bebas tangan
saat latihan kanan, kiri, dan
Membantu dan berikan kaki kanan.
pasien untuk melakukan - Kaki kiri terdapat
latihan rentang gerak luka post orif
(ROM) - Mobilitas kaki kiri

44
Menganjurkan keluarga masih terbatas
untuk menemani pasien - TTV:
Menyediakan lingkungan TD : 120/80 mmHg
yang aman : pencahayaan, R : 20x/menit
mendekatkan alat-alat N :82x/menit
yang dibutuhkan S : 36,2 °C
A : Masalah belum
teratasi
P : Intervensi
dilanjutkan
3 5-11-2017, pkl Memonitor kemampuan S:-
14.00 WIB klien untuk perawatan diri O:
yang mandiri - Kondisi badan
Membantu klien untuk pasien masih kotor
kebersihan diri, mandi - Pasien melakukan
Menyediakan bantuan ADLs dengan
sampai klien mampu bantuan
secara utuh untuk - Pasien tampak
melakukan self-care kurang nyaman
Mendorong untuk A : Masalah belum
melakukan secara mandiri, teratasi
tapi beri bantuan ketika P : Intervensi
klien tidak mampu dilanjutkan
melakukannya
4 5-11-2017, pkl Pertahankan teknik aseptik S:-
14.00 WIB O:
Batasi pengunjung bila
- Kalor : suhu tubuh :
perlu
380C
Cuci tangan setiap
- Dolor : terdapat
sebelum dan sesudah
reaksi non verbal
tindakan keperawatan
nyeri
Lakukan perawatan luka
- Rubor : tidak ada
Kolaborasi pemberian kemerahan diarea
antibiotik sekitar luka post
Ajarkan pasien dan orif
keluarga mengenal dan - Tumor : tidak ada
melaporakan bila tampak A : Masalah belum
gejala infeksi teratasi
P : Intervensi
dilanjutkan

45
BAB IV
PEMBAHASAN
A. ANALISA KASUS
Seorang laki-laki berusia 17 tahun dibawa ke IGD RSD Gunung Jati
Kota Cirebon setelah mengalami kecelakaan sepeda motor di jalan pantura.
Menurut keterangan anggota keluarga pasien, saat sedang mengendarai sepeda
motornya, pasien tersebut ditabrak oleh mobil yang melaju dari arah kiri lalu
pasien terlempar dari sepeda motornya, dan sempat teguling beberapa meter.
Pada pemeriksaan awal rontgen tampak luka tertutup pada region cruris sinistra
1/3 medial dengan ukuran ± 20x1cm, tidak tampak adanya perdarahan aktif.
Ekstremitas bawah sebelah kanan terlihat adanya deformitas dan lebih
memendek. Pasien dilakukan perawatan diruang ICU selama 4 hari, kemudian
saat kondisi mulai membaik pasien dipindahkan dan mendapatkan perawatan
selama 3 hari di ruang HCU. Kondisi mulai stabil, pasienpun ditransfer ke
ruang Prabu Siliwangi Lt. 4. Sepuluh hari kemudian pasien dijadwalkan
tindakan ORIF pada ekstremitas yang mengalami fraktur. Tiga hari post op,
dilakukan pengkajian oleh kelompok 2.

B. DATA KESENJANGAN
Setelah memahami konsep teori teori tentang fraktur, terdapat
beberapa kesenjangan teori dengan kasus. Diantaranya yaitu, Setelah
terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya. Sedangkan pada kasus
klien tidak bisa sama sekali menggerakannya.

Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita


komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di

46
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2007). Sedangkan pada kasus klien mampu untuk melakukan
perawatan diri meskipun dibantu keluarganya. Laserasi kulit, avulse
jaringan, pendarahan, perubahan warna, sedangkan dalam kasus klien
tidak mengalami perdarahan. Dampak yang timbul dari klien fraktur
adalah timbul ketakutan dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya,
rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara
normal dan pandangan terhadap dirinya yang salah. Klien dalam kasus
tidak mengalami kecemasan.

Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama


frekuensi dan konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oleh nyeri
dan keterbatasan gerak yang di alami klien. Sedangkan klien pada kasus
tetap beribadah seperti berdoa.

C. ANALISIS JURNAL
A. Identitas Jurnal
Judul : The effectiveness of cleansing solutions for wound
treatment: a systematic review
Nama jurnal : Journal of Nursing Referencia
Penulis : Eduardo Santos, Paulo Queirós, Daniela Cardoso,
Madalena Cunha, João Apóstolo,
Tahun : 2016

B. Latar Belakang
Ada konsensus bahwa pembersihan luka mengurangi tingkat
infeksi. Ada, bagaimanapun, beberapa perdebatan di kalangan klinis
tentang potensi keuntungan dan kerugian dari luka pembersihan.
C. Tujuan
Mengidentifikasi dan mensintesis bukti terbaik yang ada mengenai
efektivitas solusi pembersihan untuk luka pengobatan.
D. Metode

47
Tinjauan sistematis ini mengikuti metodologi Joanna Briggs
Institute dan termasuk studi itu dianggap pasien dengan luka kronis
dan akut. Penilaian, ekstraksi dan sintesis data kritis dilakukan oleh
dua pengulas independen.

E. Isi
Pengelolaan luka kronis dan akut telah berubah secara signifikan
selama dekade terakhir. Praktek pembersihan luka atau manajemen
antiseptik memiliki sejarah dikotomis yang berlabuh dalam tradisi dan
sains. Ini adalah bagian integral dari pengelolaan luka akut dan kronis
(Atiyeh, Dibo, & Hayek, 2009; Khan & Naqvi, 2006).
Meskipun ada konsensus bahwa pembersihan luka mengurangi
tingkat infeksi (Khan & Naqvi, 2006) ada beberapa perdebatan di
kalangan klinis tentang potensi keuntungan dan kerugian dari luka
pembersihan. Praktek ini mungkin tidak selalu diperlukan karena
eksudat itu sendiri mungkin mengandung faktor pertumbuhan dan
kemokin yang berkontribusi terhadap penyembuhan luka (Atiyeh et
al., 2009). Sampai penelitian lebih lanjut menetapkan kekurangannya,
pembersihan akan tetap menjadi bagian integral dari proses
manajemen luka. Meskipun demikian, ada kekurangan bukti kuat
untuk menunjukkan bahwa luka pembersihan akan meningkatkan
penyembuhan atau mengurangi infeksi (Fernandez, Griffiths, & Ussia,
2008).
Kenyataan ini juga diintensifkan dengan tidak adanya tes
diagnostik yang memungkinkan profesional kesehatan
mengidentifikasi beban bakteri pada luka yang mampu menyebabkan
infeksi luka. Selain itu, situasinya semakin diperumit oleh penelitian
yang menunjukkan bahwa kolonisasi bakteri pada luka tidak selalu
mengindikasikan adanya infeksi dan bahwa tidak perlu mengeluarkan
bakteri tanpa tanda klinis infeksi (Khan & Naqvi, 2006).

48
Namun demikian, beberapa penelitian telah merekomendasikan
berbagai agen pembersih untuk nilai terapeutik mereka. Juga
disarankan agar pembersihan luka membantu mengoptimalkan
lingkungan penyembuhan dan mengurangi potensi infeksi (Moscati,
Mayrose, Fincher, & Jehle, 1998; Moscati, Mayrose, Reardon,
Janicke, & Jehle, 2007). Ini mengendur dan membersihkan sisa-sisa
kotoran seluler seperti bakteri, eksudat, bahan purulen, dan agen
topikal residual dari pembalut sebelumnya (Baranoski & Ayello,
2006). Namun, dalam praktiknya, keputusan tentang solusi
pembersihan yang digunakan didasarkan pada pengalaman, kebijakan
layanan dan preferensi pribadi.
Secara umum, karakteristik larutan pembersih luka yang ideal
adalah: tidak beracun bagi jaringan manusia; tetap efektif dengan
adanya bahan organik; mengurangi jumlah mikroorganisme; penyebab
tidak ada reaksi sensitivitas; tersedia secara luas; adalah biaya-efektif;
dan stabil dengan umur simpan yang panjang (Flanagan, 1997).
Garam normal memenuhi semua kriteria yang diberikan di atas.
Normal saline (0,9%) adalah solusi pembersihan luka yang disukai
karena merupakan larutan isotonik dan tidak mengganggu proses
penyembuhan normal, kerusakan jaringan, menyebabkan sensitisasi
atau alergi atau mengubah flora bakteri normal kulit (yang
memungkinkan pertumbuhan organisme yang lebih ganas) (Fernandez
et al., 2008; Joanna Briggs Institute [JBI] , 2006; Lawrence, 1997).
Air ledeng juga direkomendasikan dan memiliki keunggulan
efisien, hemat biaya dan mudah diakses (Angeras, Brandberg, Falk, &
Seeman, 1991; Fernandez et al., 2008). Sekarang ada peningkatan
pengakuan penggunaan air keran yang aman untuk irigasi luka,
terutama luka kronis, dan ini sangat berharga mengingat itu sebagai
alternatif yang dapat diterima untuk produk lainnya. Memang,
Flanagan (1997) berpendapat bahwa air telah digunakan selama
berabad-abad untuk mengobati luka tanpa efek merugikan yang

49
dilaporkan. Meskipun demikian, dua kekhawatiran yang paling sering
dikutip mengenai air keran adalah kemungkinan risiko infeksi dan
fakta bahwa itu bukanlah solusi isotonik.
Dalam hal ini, beberapa penelitian menemukan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara tingkat infeksi dan penyembuhan
pada luka irigasi dengan air garam atau air keran normal. (Angeras et
al., 1991; Griffiths, Fernandez, & Ussia, 2001; Moscati et al., 1998).
Sebenarnya, Angeras dkk. (1991) menemukan tingkat infeksi yang
lebih tinggi pada luka yang diirigasi dengan garam. Namun, para
dokter telah diperingatkan untuk tidak menggunakan air keran untuk
membersihkan luka yang terkena tulang atau tendon, dimana
disarankan agar salin normal direkomendasikan (Fernandez et al.,
2008; Lindholm, Bergsten, & Berglund, 1999).
Di sisi lain, tidak ada konsensus di antara otoritas perawatan luka
mengenai keuntungan menggunakan solusi steril daripada solusi yang
tidak steril. Penelitian juga menetapkan bahwa penggunaan larutan
antiseptik dapat membahayakan proses penyembuhan (Thomas et al.,
2009) dan, sebagai hasilnya, penggunaan larutan garam normal
sebagai larutan pembersih banyak direkomendasikan (Lawrence,
1997).
Sebenarnya, persiapan dengan sifat antiseptik juga telah digunakan
secara tradisional sejak awal; Namun, penelitian yang dipublikasikan
telah menyarankan bahwa solusi antiseptik dapat menghambat proses
penyembuhan. Untuk alasan ini, beberapa panduan dan berbagai
penelitian Sebenarnya, persiapan dengan sifat antiseptik juga telah
digunakan secara tradisional sejak awal; Namun, penelitian yang telah
terjerat solusi antiseptik. Untuk alasan ini, beberapa panduan dan
berbagai penelitian
Kontroversi seputar penggunaan antiseptik mendorong
pengembangan pedoman penggunaan antiseptik oleh ahli perawatan
luka. Pedoman ini juga menghasilkan perubahan dalam praktek di

50
rumah sakit (Fernandez et al., 2008). Kekhawatiran juga meningkat
terkait dengan penggunaan produk ini, dan pengembangan resistensi
bakteri dan kemungkinan penyerapan antiseptik sistemik. Dalam
kebanyakan kasus, pemilihan produk ini tidak memiliki dasar ilmiah
yang solid.
Meski begitu, solusi pembersihan baru pun muncul. Baru-baru ini,
solusi pembersihan baru berdasarkan polyhexanide dan betaine telah
muncul sebagai kredibel alternatif untuk produk yang tersedia saat ini
(Kaehn & Eberlein, 2008; Santos & Silva, 2011). Solusi khusus ini
efektif untuk mengobati kolonisasi / infeksi luka, memberikan kondisi
optimal untuk penyembuhan luka, mengurangi waktu penyembuhan,
tanda radang dan / atau infeksi / kolonisasi, dan pemberian lebih
banyak kontrol bau Ini memiliki aplikasi tanpa rasa sakit dan terutama
ditunjukkan untuk pengobatan luka kronis dan sulit sembuh (Kaehn &
Eberlein, 2008; Santos & Silva, 2011).
Tinjauan literatur yang ekstensif mengidentifikasi beberapa
tinjauan sistematis dan pedoman praktik terbaik. Namun, terlepas dari
publikasi ini, penelitian yang ketat masih diperlukan untuk
mendukung rekomendasi yang teridentifikasi (Fernandez et al., 2008;
JBI, 2006; Santos & Silva, 2011).
Kemajuan yang luar biasa telah dilakukan dalam perawatan dan
perawatan luka. Meskipun demikian, banyak faktor berdampak pada
sains ini; Dengan demikian, penanganan luka akan terjadi terus
menjadi perhatian kesehatan. Meningkatnya harapan hidup, frekuensi
perkembangan luka di kalangan orang tua, meningkatnya prevalensi
diabetes, dan biaya moneter dan gaya hidup yang cukup banyak
membuat pengelolaan luka secara tepat efektif merupakan keharusan
layanan kesehatan internasional. Keduanya akut perawatan dan
perawat berbasis masyarakat berada dalam posisi unik untuk
memberikan pendidikan berbasis bukti dan intervensi kepada teman
sebaya dan konsumen mereka. Oleh karena itu, tujuan dari

51
pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui keefektifan larutan
pembersih untuk perawatan luka dalam praktek klinis.
Perbedaan Nacl 0,9 % dengan Air keran.

Tabel. 1 Perbedaan Perawatan Luka dengan


NaCl 0,9% dan Air Kran

Perbedaan Nacl 0,9 % Air Keran


Kelebihan Nacl (0,9%) adalah Memiliki keuntungan
pembersih luka yang menjadi efisien, hemat
isotonik dan tidak biaya dan dapat diakses.
menggaggu proses Penggunaan air keran
penyembuhan normal, yang aman untuk luka
kerusakan jaringan. irigasi, terutama luka
kronis
Prosedur Irigasi luka dengan Irigasi luka dengan air
garam steril diambil oleh keran yang dilakukan
jarum 35 ml selama minimal 2 menit.

F. Hasil
1. Presentasi hasil
Pencarian mengidentifikasi 5346 studi yang berpotensi
relevan. Dari jumlah tersebut, 2089 dikeluarkan sebagai duplikat;
dari sisa 3257, 3160 dikeluarkan setelah jabatan dan penilaian
abstrak; 89 dari 97 artikel yang tersisa dikecualikan karena tidak
memenuhi kriteria inklusi setelah membaca teks secara lengkap.
Metodologisnya kualitas delapan studi yang tersisa dinilai.
Akhirnya, total tiga artikel asli, yang mencakup 718 pasien,
termasuk dalam tinjauan ini.
2. Hasil Meta-Analisis Kuantitatif Temuan Penelitian
Hanya dua dari tiga studi (Griffiths et al., 2001; Moscati et
al., 2007) yang termasuk dalam sintesis data yang memenuhi
syarat untuk meta-analisis, sebanyak 683 pasien. Kedua penelitian
tersebut menilai keefektifan air keran versus larutan garam steril

52
dan membandingkan tingkat infeksi luka. Namun, Griffiths dkk.
(2001) juga menyajikan tingkat kesembuhan. Dalam setiap
penelitian, kelompok intervensi dan kontrol dibandingkan pada
awal dan kedua penelitian serupa. Satu-satunya perbedaan yang
relevan antara penelitian adalah etiologi luka. Karena ini
variasi, kami melakukan meta-analisis oleh subkelompok (Gambar
2) dan tes untuk perbedaan subkelompok menunjukkan
heterogenitas rendah (heterogenitas Chikuadrat = 1,45, p = 0,23;
I2 = 31,1%), dimana integrasi meta-analitik studi dapat diterima
(Higgins, Thompson, Deeks, & Altman, 2003).
Untuk luka akut, rasio odds dalam mengembangkan infeksi
saat pembersihan dengan air keran dibandingkan dengan garam
adalah 0,98 (95% CI: 0,43, 2,25). Air ledeng lebih efektif daripada
garam dalam mengurangi tingkat infeksi pada orang dewasa
dengan luka akut dan kronis (OR = 0,14; 95% CI: 0,01, 2,92).
Analisis keseluruhan memperkirakan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan secara statistik (z = 0,59; p = 0,55) antara
pembersihan dengan air keran dan dengan garam steril mengenai
tingkat infeksi luka pada luka akut dan kronis. Namun demikian,
kita masih dapat menunjukkan bahwa ada efek menguntungkan
pada kelompok air keran mengenai pencegahan tingkat infeksi
yang didukung oleh hasil meta-analitik (OR = 0,79; 95% Cl: 0,36,
1,72). Perlu juga dicatat bahwa studi Moscati dkk. (2007)
memiliki bobot lebih tinggi (77,6%) dibanding Griffiths et al.
(2001; 22,4%).
G. Simpulan
Studi yang disertakan memberikan hasil tentang efektivitas solusi
pembersihan untuk luka pengobatan pada orang dewasa. intervensi
termasuk dalam hal ini Tinjauan sistematis adalah air keran versus
larutan garam steril dan kasa povidone-direndam kasa versus
salinesoaked kain kasa. Data dari dua penelitian melaporkan

53
efektivitas air keran versus garam steril, yang membandingkan tingkat
infeksi luka, dikumpulkan dalam meta-analisis Semua penelitian
disertakan dan hasil meta-analisis menunjukkan bahwa tidak ada bukti
bahwa menggunakan air keran untuk membersihkan luka akut dan
kronis pada orang dewasa meningkatkan infeksi atau penyembuhan
dengan beberapa bukti bahwa ia mengurangi infeksi bila dibandingkan
dengan cairan asin. Mungkin ada kecenderungan tingkat infeksi luka
yang lebih rendah saat povidone-iodine digunakan pada luka bedah,
tapi ini tidak signifikan untuk operasi varises varises
Namun, karena banyaknya penelitian oleh intervensi (beberapa
solusi pembersihan), buktinya tidak cukup kuat untuk menghasilkan
praktik terbaik.
D. PROYEK INOVASI
Terlampir

54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma,
tekanan maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 2009). Sedangkan menurut
Smeltzer (2008), fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres
yang lebih besar dari yang diabsorpsinya.
Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada
batang tubuh dengan perantara gelang panggul terdiri dari 31 pasang antra
lain: tulang koksa, tulang femur, tibia, fibula, patella, tarsalia, meta tarsalia,
dan falang (Price dan Wilson, 2009).
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup
bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2009).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang
dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsi dan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut
syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat

55
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan
syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2009).
B. Saran
Laporan ini merupakan makalah fraktur pada stase KMB. Kepada
mahasiswa keperawatan dan pembaca agar terus memperluas pengetahuan
tentang fraktur dengan mencari referensi lain baik dari jurnal penelitian
maupun buku terbaru. Diharapkan dari referensi-referensi tersebut dapat
menjadi bahan perbandingan kebenaran informasi oleh para pembaca,
sehingga perlunya suatu analisa data hingga pengujian ilmu, dan mengambil
kesimpulan, yang kemudian dapat diaplikasikan di ruang lingkup dunia
kesehatan. Kasus di atas merupakan salah satu cerminan kondisi dan penyakit
yang sering terjadi pada masyarakat di Indonesia. Sehingga dari hal tersebut
kita sebagai calon tenaga pelayanan kesehatan perlu mengetahui fraktur dan
macam-macamnya,dan mensosialisasikan kepada masyarakat untuk terus
menjaga kesehatan kepada petugas pelayanan kesehatan, dimulai dari diri
sendiri, keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia.

56

Anda mungkin juga menyukai