Anda di halaman 1dari 43

i

BAB I

PENDAHULUAN

Akut abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga


perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaaan
ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya
pada obstruksi, perforasi atau perdarahan massif di rongga perut maupun saluran
cerna. Infeksi obstruksi atau strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan perforasi
yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga
terjadilah peritonitis.

Penyebaran infeksi merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi


akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya appendicitis, perforasi
dan lain-lain), rupture dari saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi atau
dari luka tembus abdomen.

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara


inokulasi kecil-kecilan), akan tetapi kontaminasi yang terus-menerus, bakteri yang
virulen, risistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna yang
aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.

Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita


bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa penilliti mendapatkan angka ini
mencapai 60% bahkan lebih dari 60%. Keputusan unutk melakukan tindakan bedah
harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang
berakibat meningkatnya mordibitas dan mortilitas.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

STATUS ILMU ANESTESI RUMAH SAKIT UMUM DR.SOESELO SLAWI

2.1. Identitas
Nama : Suinah
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Gunung Jati
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal masuk : 9 Agustus 2016
NO RM : 468536

2.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien tanggal 11 agustus
2016 pukul 06.00 di ruang Kemuning RSUD DR. Soeselo Slawi.
 Keluhan utama :
 nyeri perut sejak 9 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

 Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri pada seluruh perut yang sudah dirasakan
sejak 1 hari SMRS yang disertai dengan mual dan muntah. Pasien mengaku
muntah sebanyak 8 kali. Awalnya muntah berupa makanan yang dikonsumsi
kemudian muntah berubah menjadi cair. Pasien kemudian pergi ke klinik
untuk berobat, namun keadaan pasien tidak membaik. 9 jam SMRS pasien
merasakan nyeri yang bertambah berat sehingga pasien dilarikan ke
puskesmas terdekat dan kemudian dirujuk ke RSUD Dr. Soeselo Slawi. Pasien
juga mengaku sudah tidak kentut sejak 1 hari SMRS. Pasien sebelumnya tidak
pernah mengalami hal seperti ini.

2
 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat sakit maag (+). Riwayat hipertensi (-), Riwayat penyakit jantung
bawaan, riwayat penyakit asma, riwayat penyakit paru, alergi dan riwayat
anastesi sebelumnya disangkal. Riwayat DM dan riwayat penyakit ginjal
disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.

 Riwayat penyakit keluarga


Ayah dari pasien memilik riwayat hipertensi. Riwayat asma, penyakit jantung
dan paru, dan alergi dalam keluarga disangkal.

 Riwayat kebiasaan
Pasien sering meminum obat penghilang rasa sakit seperti Waisan serta makan
makanan yang pedas. Pasien tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol
maupun obat-obatan terlarang.

Pemeriksaan fisik
Laporan pemeriksaan fisik dilakukan pada 12 Agustus 2016 pukul 06.30 WIB
di ruang Kemuning RSUD DR. Soeselo Slawi
a. Keadaan umum
Kesan sakit : Tampak Sakit Serat
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan gizi : Overweight
BB : 65 Kg
TB : 155 cm

b. Tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 98x/menit
Suhu : 38.4 C
Pernafasan : 21/menit

3
c. Status generalis
Kepala Normocephali, deformitas (-), rambut hitam
tersebar merata, tidak mudah dicabut

Mata Conjungtiva anemis -/-


oedem palpebra -/-
Sklera ikterik -/-
Pupil isokor
Reflex cahaya langsung +/+
Reflex cahaya tidak langsung +/+
Telinga Normotia
liang telinga lapang +/+
Hidung Deformitas (-)
Deviasi septum (-)
Discharge (-)
konka hiperemis dan hipertrofi -/-
Mulut OH baik
Tonsil T1/T1
trismus (-)
Faring hiperemis (-)
Leher KGB dan tiroid tidak teraba membesar
Thoraks  Inspeksi
bentuk simetris, pergerakan napas simetris,
retraksi dinding dada -/-, iktus cordis tidak
terlihat
 Palpasi
Vocal fremitus kanan = kiri
 Perkusi
Perkusi pada lapang paru terdengar sonor
 Auskultasi
Jantung : BJ I&II regular, gallop (-), murmur(-)
Paru : vesikuler +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-

4
Abdomen Preoperasi :
 Inspeksi : buncit, efloresensi bermakna (-),
distended (+)
 Auskultasi : BU 1x/menit,
 Palpasi : defense muskular (+), nyeri tekan (+),
hepar dan lien tidak teraba.
 Perkusi : nyeri ketok (+)
Postoperasi
 Inspeksi : buncit, efloresensi bermakna (-),
terpasang drain, jumlah cairan ± 100 cc
berwarna hijau
 Auskultasi : BU 2x/menit
 Palpasi : Supel, Nyeri tekan(+) dan, Hepar
dan Lien dalam batas normal, defense
muscular (-)
 Perkusi : Timpani 4 kuadran, shifting
dullness (-)
Ekstremitas Superior Inferior
 Akral dingin -/- -/-
 Sianosis -/- -/-
 Edema -/- -/-

 Gerak +/+ +/+

 Kekuatan 5/5 5/5

2.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
Hasil pemeriksaan tanggal 9 Agustus 2016
- Darah Lengkap

Leukosit 12.5 10^3/ul 3.6 - 11.0

Eritrosit 4.8 10^3/uL 3.80 - 5.20

5
Hemoglobin 13.2 g/dL 11.7 - 15.5

Hematokrit 38 % 35 – 47

MCV 79 fL 80 – 100

MCH 27 Pg 26 – 34

MCHC 35 g/dL 32 – 36

Trombosit 328 10^3/uL 150 – 400

Diff Count

Eosinofil 0 % 2.0 – 4.00

Basofil 0.1 % 0–1

Netrofil 89.30 % 50 – 70

Limfosit 7.50 % 25 – 40

Monosit 3.10 % 2–8

Gula Darah 73 mg/dL 75 - 140


Sewaktu

Ureum 34.0 mg/dL 17.1 - 42.8

Creatinin 0.68 mg/dL 0.4 - 1.00

SGOT 18 U/L 13 - 33

SGPT 12 U/L 6.0 - 30.0

b. Rontgen

BNO 3 posisi, tampak step ladder pattern dengan free air sickle.

2.5 Tatalaksana

Saat pasien datang ke IGD RSUD dr. Soeselo Slawi, pasien diberikan

 IVFDRL 20 tpm
 Inj Ceftriaxon 2 x 1g

6
 Inj Omeprazole 1 x 40mg
 Inj Ondansentron 3 x 4 mg
 Inj Ketorolac 3 x 30mg

Diagnosis preoperasi : peritonitis et causa perforasi gaster

Diagnosis postoperasi : peritonitis et causa perforasi ileum

Post-operasi :

 Inj Ceftriaxone 1gr/ 12 jam


 Inj Metronidazole 500mg/ 8 jam
 Puasa 3 hari
 Pertahankan NGT
 Inj Ketorolak 30mg/ 8jam
 Inj Ondansentron 4mg
 IVFD fentanyl 100mcg + Ketorolac 60 mg dalam 500 cc RL, 20 tpm

2.6 Resume
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka diagnosis preoperative:
peritonitis et causa perforasi gaster. Pasien datang dengan keluhan nyeri hebat pada
seluruh perut. Nyeri dirasa semakin bertambah hebat. Pasien awalnya pergi ke klinik
namun tidak ada perbaikan. Nyeri kemudian dirasa semakin berat, sehingga pasien
yang awalnya pergi ke Puskemas akibat nyeri yang diderita, dibawa ke RSUD dr.
Soeselo Slawi. Nyeri yang dirasakan disertai dengan mual dan muntah sebanyak 8
kali yang berikan makanan yang dikonsumsi oleh pasien.. pasien juga mengatakan
bahwa pasien tidak bisa kentut. Pasien sudah diberikan obat untuk anti mual dana
muntah serta penghilang rasa sakit. Pasien Tekanan darah: 110/80 mmHg, Nadi:
98x/menit, Suhu: 38.4C, Pernafasan: 21/menit, SpO2: 99%. Pada pemeriksaan fisik
pada abdomen preoperaasi : ditemukan buncit, distended, nyeri tekan dan nyeri ketok
(+), BU menuru, dan disertai defense muskular (+). Pada postoperasi, ditemukan
buncit, efloresensi bermakna (-), terpasang drain, jumlah cairan ± 100 cc berwarna
hijau, BU 2x/menit, Nyeri tekan(+) Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang
dilakukan tanggal 9 Agustus 2016 dengan hasil: Leukosit 12.800/uL Hb 13,2 g/dl;
Eritrosit 4.800/uL; Ht 30%; Trombosit 328.000/uL; GDS 73mg/uL.

7
BAB III
LAPORAN ANESTESI

3.1. Preoperatif
 Informed consent pelaksanaan anestesi dan tindakan laparatomi (+)
 Pasien puasa sejak jam 3 pagi
 Oksigenasi 3L/menit
 Keadaan umum tampak sakit berat
 Kesadaran kompos mentis
 Tanda vital:

o TD : 127/86mmHg
o RR : 22 x/menit
o Nadi : 78 x/menit
o Suhu : 37.8oC
 IV Line terpasang dengan infus RL 500 cc
 Terpasang kateter urin
 Premedikasai : ondansentron 4 mg, ketorolac 30mg
 Diagnosa pre-operatif : Perforasi Gaster
 Status operatif : ASA III E

3.2.Jenis anestesi : Anestesi umum dengan endotrakheal tube


 Teknik anestesi : Semi closed inhalasi dengan ET 7.0 dengan kedalaman
20cm
 Premedikasi : Ondansentron 4mg iv
 Induksi : Propofol 10cc (jam 11.35)
 Relaksasi : di berikan Tramus, setelah terjadi relaksasi kemudian
dilakukan intubasi melalui oral dengan ET no. 7. Setelah di cek
pengembangan paru dan suara nafas paru kanan dan kiri sama, ET di fiksasi
dan dihubungkan dengan sistem apparatus anestesi. Pernafasan pasien dibantu
sampai terjadi nafas spontan.
 Maintenance : Untuk mempertahankan status anestesi digunakan
kombinasi O2 3 L/ menit, N2O 3 L/ menit, Sevoflurance 100 cc. Tekanan darah

8
sistolik berkisar antara 94-159 mmHg, dan 52-101 mmHg untuk diastolik,
nadi berkisar antara 74-132 x/ menit. Infus RL, Futrolit dan Fimahes diberikan
pada penderita sebagai cairan rumatan.
 Monitoring : TTV termasuk saturasi O2 selama proses operasi ,
cairan serta perdarahan. setiap 5 menit. Selain itu juga
diberikan dexamethasone 10mg

3.3. Pemantauan selama operasi :


Pasien bernama Ny. Suinah, 29 tahun, datang dengan keluhan nyeri hebat
pada seluruh perut. Nyeri dirasa semakin bertambah hebat. Pasien awalnya
pergi ke klinik namun tidak ada perbaikan. Nyeri kemudian dirasa semakin
berat, sehingga pasien yang awalnya pergi ke Puskemas akibat nyeri yang
diderita, dibawa ke RSUD dr. Soeselo Slawi. Nyeri yang dirasakan disertai
dengan mual dan muntah sebanyak 8 kali yang berikan makanan yang
dikonsumsi oleh pasien.. pasien juga mengatakan bahwa pasien tidak bisa
kentut. Pasien sudah diberikan obat untuk anti mual dana muntah serta
penghilang rasa sakit. Pasien Tekanan darah: 110/80 mmHg, Nadi: 98x/menit,
Suhu: 38.4C, Pernafasan: 21/menit, SpO2 : 99%. Pada pemeriksaan fisik pada
abdomen preoperaasi : ditemukan buncit, distended, nyeri tekan dan nyeri
ketok (+), BU menuru, dan disertai defense muskular (+). Pada postoperasi,
ditemukan buncit, efloresensi bermakna (-), terpasang drain, jumlah cairan ±
100 cc berwarna hijau, BU 2x/menit, Nyeri tekan(+) Dari pemeriksaan
laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 9 Agustus 2016 dengan hasil:
Leukosit 12.800/uL Hb 13,2 g/dl; Eritrosit 4.800/uL; Ht 30%; Trombosit
328.000/uL; GDS 73mg/uL. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk ASA III.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu
2cc/kgBB/jam, sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 130 cc/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Tujuan puasa
untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari
obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami
penurunan selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam

9
terapi cairan ini yaitu 8 x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus
dipenuhi selama 8 jam ini adalah 1040 cc/8jam.
Pasien kemudian di injeksi midazolam 2mg, fentanyl 20mg, propofol 100mg,
dan atracurium 30mg. Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah
terpasang pada mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan
ukuran 3vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil
melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan
pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga
mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan
sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih
dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun lebih
harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif
stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube,
maka dialirkan sevofluran 3 vol% sebagai anestesi rumatan. N2O serta oksigen
dengan perbandingan 70% : 30%, juga diberikan Ventilasi dilakukan dengan
bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan
untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan
nafas spontan menjelang operasi hampir selesai.
Dilakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi
berupa fungsi kardiovaskular, respirasi, dan cairan terhadap tindakan anestesi
yang telah dilakukan. Terhadap fungsi kardiovaskular dilakukan pemantauan
terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi setiap 5 menit. Fungsi respirasi
dengan inspeksi pernapasan kontrol kepada pasien dan saturasi oksigen.
Jumlah cairan dihitung melalui monitoring input cairan infus dan
output urin dan perdarahan
 Pre-operatif : RL 1000cc
 Perdarahan : ± 750cc
 Output urine : ± 200cc
 Durante operasi : RL 1000cc, Futrolit 1500cc, FimaHes 500cc

10
3.4. Keadaan Operasi
Operasi selesai dalam waktu 3 jam 20 menit, tetapi pemberian agent anestesi
masih dipertahankan dengan tujuan agar tindakan ekstubasi dalam dilakukan
pada keadaan tidak sadar penuh sehingga tidak menimbulkan batuk dan
mencegah kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia dan
sianosis.
3.5. Ruang Rumatan
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan diobsevasi mengenai pernafasan,
tekanan darah, nadi. Bila pasien tenang dan Aldrette Score ≥ 8 tanpa nilai nol,
dapat dipindah ke bangsal
3.6.Program Post Operasi
 Kontrol tekanan darah, nadi dan pernafasan tiap 30 menit.
 Bila pasien kesakitan beri ketorolac 30 mg IV, boleh diulang tiap 8 jam.
 Bila pasien mual-muntah diberi timodol 4 mg IV.
 Cairan infus RL atau Futrolit 1800cc/24 jam
 Fentanyl 100 mcg + ketorolac 60mg dalam 500 RL 20tpm
 Puasa selama 3 hari

11
Aldrete Score
No. Kriteria Score Tiba di RR 15 Menit 30 Menit
1 Nilai Warna
Merah Muda 2 ✔ ✔ ✔
Pucat 1
Sianosis 0
2 Pernafasan
Dapat bernafas dalam 2 ✔ ✔ ✔
batuk
Dangkal namum 1
pertukaran udara adekuat
Apneu atau obstruksi 0
3 Tekanan Darah
TD menyimpang <20% 2 ✔
dari normal
TD menyimpang 20-50% 1 ✔ ✔
dari normal
TD mentipang >50% dari 0
normal
4 Kesadaran
Sadar, Siaga, dan 2 ✔
Orientasi Baik
Bangun namun cepat 1 ✔ ✔
kembali tidur
Tidak Respon 0
5 Aktivitas
Seluruh ekstermitas dapat 2 ✔
digerakkan
2 ekstermitas dapat 1 ✔ ✔
digerakkan
Tidak bergerak 0
TOTAL 7 7 10

12
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien wanita usia 29 tahun datang dengan dengan keluhan nyeri perut dan
dibawa ke IGD RSUD Soesilo Slawi pada tanggal 9 Agustus 2016. Sebelum datang
ke RSUD dr. Soeselo Slawi pasien dibawa ke klinik Pasien datang dengan keluhan
nyeri hebat pada seluruh perut. Nyeri dirasa semakin bertambah hebat. Pasien
awalnya pergi ke klinik namun tidak ada perbaikan. Nyeri kemudian dirasa semakin
berat, sehingga pasien yang awalnya pergi ke Puskemas akibat nyeri yang diderita,
dibawa ke RSUD dr. Soeselo Slawi. Nyeri yang dirasakan disertai dengan mual dan
muntah sebanyak 8 kali yang berikan makanan yang dikonsumsi oleh pasien.. pasien
juga mengatakan bahwa pasien tidak bisa kentut. Pasien sudah diberikan obat untuk
anti mual dana muntah serta penghilang rasa sakit. Pasien Tekanan darah: 110/80
mmHg, Nadi: 98x/menit, Suhu: 38.4C, Pernafasan: 21/menit, SpO2 : 99%. Pada
pemeriksaan fisik pada abdomen preoperaasi : ditemukan buncit, distended, nyeri
tekan dan nyeri ketok (+), BU menuru, dan disertai defense muskular (+). Pada
postoperasi, ditemukan buncit, efloresensi bermakna (-), terpasang drain, jumlah
cairan ± 100 cc berwarna hijau, BU 2x/menit, Nyeri tekan(+) Dari pemeriksaan
laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 9 Agustus 2016 dengan hasil:
Leukosit 12.800/uL Hb 13,2 g/dl; Eritrosit 4.800/uL; Ht 30%; Trombosit 328.000/uL;
GDS 73mg/uL
A. Estimasi Cairan
 Estimed Blood Volume ( EBV)
EBV : BB X 65 = 65 X 65 = 4225 cc
 Allowed Blood Volume ( ABL )
20% x EBV = 20% x 4225 = 845 cc
 Kebutuhan cairan rumatan (BB= 65 kg)
2 x BB = 2 x 65 = 130 ml
 Kebutuhan cairan intraoperasi (Laparatomi: operasi besar = 8ml/kgBB)
8 x 65 kg = 520 ml/jam
 Kebutuhan cairan saat puasa
- Lama puasa x maintenance = 8 jam x 130 ml/jam = 1040 ml/jam

13
 Pemberian cairan pada jam pertama operasi

(Rumatan) + (kebutuhan cairan intraoperative) + (50 % kebutuhan


cairan puasa) =

130 + 520 + 520 = 1170 ml

 Pemberian cairan pada jam kedua operasi

(Rumatan) + (kebutuhan cairan intraoperative) + ( 25% kebutuhan


cairan puasa) =

130 + 520 + 260 = 910 ml

 Pemberian cairan pada jam ketiga operasi

(Rumatan) + (kebutuhan cairan intraoperative) + ( 25% kebutuhan


cairan puasa) =

130 + 520 + 260 = 910 ml

B. Pemberian Cairan
Pada saat pre operasi pasien sudah diberikan cairan RL sebanyak 1000 cc.
Durante operasi, pasien kehilangan darah sebanyak ±750cc dan keluar urine
sebanyak ±200cc, durante di berikan Futrolit sebanyak 1500cc, RL sebanyak
100cc dan Fimahes sebanyak 500cc.

 Pre-operatif : RL 1000cc
 Perdarahan : ± 750cc (17,75%)
 Output urine : ± 200cc
 Kebutuhan cairan selama operasi : 2990 cc
 Durante operasi : RL 1000cc, Futrolit 1500cc, FimaHes 500cc

14
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA

5.1. ANESTESI UMUM

Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral


disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang
ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.

Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran


2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian


menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan
kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang,
hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu
mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan
mencegah terjadinya kelebihan dosis
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi,
menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek
yang tidak diinginkan
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis
yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian
mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang
merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai
batas keamanan yang luas.

15
1. Macam-macam Teknik Anestesi
 Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang
menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik
diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga
kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat
anestetik menguap ke udara terbuka.
 Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida
yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia.
Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal
3x dari minimal volume udara semenit.
 Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni
yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga
kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan
dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan
memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari
dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.
 Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga
udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi
maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,
maintenance, dan lain-lain.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum:

 Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial
tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus.
Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan
parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi.
Hal - hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:

16
 Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam
alveolus.
 Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.

 Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus
dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap
jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika
dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam
keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
tingkat anesthesia yang adekuat2.

 Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.

17
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon.
 Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-
beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC
(minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu
konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara alveolus yang mampu
mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit.
Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut.

3. Tindakan Anestesi Umum

I. Penilaian dan persiapan pra anesthesia

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik


seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko
anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa


kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan


sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas


harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam


jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.

18
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil


(didonorkan)

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya


kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah
pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

I.1 Penilaian pra bedah

Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya


sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan
obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan
digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu
tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga
jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat


penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi.

19
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
system organ tubuh pasien.

Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan


dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.

Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi


lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.

I.2 Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah


dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia
diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesi diantaranya:

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien


a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi

20
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6. Mengurangi rasa sakit

Waktu dan cara pemberian premedikasi:

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat
dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum
induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua
obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan
sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi
dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:

1. Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol

21
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis
0,1mg/kgBB
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
5. Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis
0,001 mg/kgBB
b. DBP
c. Narfoz, rantin, primperan.

II. INDUKSI ANASTESI

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi


tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan
pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S : Scope : Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tube : Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

22
A : Airway : Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.

T : Tape :Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I : Introducer : Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)


yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.

C : Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S : Suction : Penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

 Induksi intravena
Induksi intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut
dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-
60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan
darah harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien
yang kooperatif.
 Obat-obat induksi intravena:
 Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5%
( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7
mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.

Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan


pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas.
Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis
rendah bersifat anti-analgesi.

 Propofol (diprivan, recofol)


Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). Propofol memiliki kecepatan
onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya

23
lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum.
Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi
karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan
merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga
efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam
keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang
sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan
terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea. Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira
30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat
daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin
sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi
dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada
aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun.
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Efek samping
propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan, apnea,
bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf
pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif

24
0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak
dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.

 Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya
diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan
dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas
atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50
mg), 10% ( 1ml = 100 mg).

 Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)


Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

 Induksi inhalasi
o N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.
o Halotan (fluotan)

25
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain
4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor,
depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan
kadar gula darah.
o Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih
iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding
halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot
lurik lebih baik disbanding halotan.
o Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik
anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah
otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner.
o Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya
seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesi.
o Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari
untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

 Induksi per rectal


Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.

26
 Induksi mencuri

Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi
biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi
kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru
sungkup muka kita tempelkan.

 Pelumpuh otot nondepolarisasi Tracurium 20 mg


(Antracurium)
o Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
o Mula kerja dan lamanya tergantung pada dosis yang
diberikan. Pada dosis untuk intubai endotrakea, mula
kerjanya 2-3 menit setelah suntikan tunggal intravena,
sedangkan lama kerjanya berkisar 20-45 menit.
o Mengalami metabolism didalam darah atau plasma melalui
reaksi kimia yang unik yang disebut dengan reksi Hoffman
yang tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal, sehingga
penggunaannya pada penyakit ginjal atau hati tidak
memerlukan perhatian khusus. Tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang, sehingga masa
kerjanya singkat. Tidak mempengaruhi fungsi
kardiovaskular, sehingga merupakan pilihan pada pasien
yang menderita kelainan fungsi kardiovaskular.
o Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan
sesudah masa kerjanya berakhir, atau apabila diperlukan
dapat diberikan obat antikholinesterase
o Dosis intubasi dan realksasi otot 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis
rumatan 0,1 – 0,2 mg/kgBB
o Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
 Cegukan (hiccup)
 Dinding perut kaku
 Ada tahanan pada inflasi paru

27
III. RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau


dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.

Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan


(hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.

Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,


Fentanyl 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh
otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi
pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2.. N2O diperoleh dengan memanaskan amonium nitrat sampai 250C
(NH4 NO3→2H2O + N2O). N2O dalam ruangan berbentuk gas tak
berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat
udara. Berdasarkan saturasinya di dalam darah, absorpsi N2O dalam darah
bertahap; Pada 5 menit pertama absorpsinya mencapai saturasi 100%
dicapai stelah 5 jam. Pada tingkat saturasi 100% tidak ada lagi absorpsi
dari alveoli dan dalam darah. Pada keadaan ini konsentrasi N2O dalam
darah sebanyak 47 ml N2O dalam 100 ml darah.

Berkhasiat analgesia dan tidak mempunyai efek hipnotik. Khasiat


analgesianya relatif lemah akibat kombinasinya dengan oksigen. Efeknya
terhadap tekanan intracranial sangat kecil bila dibandingkan dengan obat
anesthesia yang lain. Terhadap susunan saraf otonom, N2O merangsang
reseptor alfa saraf simpatis, tetapi tahanan perifer pembuluh darah tidak
mengalami perubahan.

Di dalam darah, N2O tidak terikat dengan hemoglobin tetapilarut


dalam plasma dengan kelarutan 15 kali lebih besar dari kelarutan oksigen.
N2O mampu berdifusi ke dalam semua rongga-rongga dalam tubuh,

28
sehingga bisa menimbulkan hipoksia-difusi apabila diberikan tanpa
kombinasi dengan oksigen, oleh karena itu setiap mempergunakan N2O
harus selalu dikombinasikan dengan oksigen.

Pada pemakaian yang lazim dalam praktek anesthesia, N2O tidak


mempunyai pengaruh negatif terhadap sistem kardiovaskular, hanya
sedikit menimbulkan dilatasi pada jantung. Terhadap system respirasi,
ginjal, system reproduksi, endokrin dan metabolism serta system otot
rangka tidak mengalami perubahan, tonus otot tetap tidak berubah
sehingga dalam penggunaannya mutlak memerlukan obat pelumpuh otot.

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2


dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%
atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

IV. TATALAKSANA JALAN NAPAS


Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung
Menuju nasofaring
2. Mulut
Menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum


durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring.
Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis
menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid,
epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.

A. Manuver tripel jalan napas


Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka

29
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas,
sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.

B. Jalan napas faring


Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat
hidung (naso-pharyngeal airway).
C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi
ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor
dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat
berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga
supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui
mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara
garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa

30
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi.

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle


1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

Indikasi intubasi trakea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea


melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan
trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan
umumnya digolongkan sebagai berikut:

1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret


jalan napas, dan lain-lainnya.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi


Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan intubasi

1. Leher pendek berotot


2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas

31
Komplikasi intubasi

1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea

Ekstubasi

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:


a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan
catatan tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya.

4. Kriteria Ekstubasi
Kriteria ekstubasi yang berhasil bila :

a. Vital capacity 10 – 15 ml/kg BB


b. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O
c. PaO2 diatas 80 mm Hg
d. Kardiovaskuler dan metabolic stabil
e. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot

32
reflek jalan napas sudah kembali (batuk, gag) dan penderita sudah sadar
penuh.

5.2. PERITONEUM

Peritoneum adalah selaput dinding dalam rongga abdomen dan membungkus sebagian
organ tertentu, mulai diafragma, dinding perut, rongga pelvis, dan membentuk rongga
peritoneum. Bagian yang melekat pada dinding perut disebut peritoneum parietale,
dan yang membungkus organ disebut viscerale. Peritoneum berasal dari sel-sel
mesotelial dengan membran basal yang ditunjang jaringan ikat longgar dan kaya
pembuluh darah. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam,
lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial
( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna,
m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis
preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan
peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis
dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.Dinding perut
membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan
muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia
bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada
pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan
tekanan intra abdominal. Luas peritoneum kira-kira 1,8 meter kuadrat, sama dengan
luas permukaan kulit orang dewasa. Selain itu, setengah bagiannya memiliki
membran basal semi permiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit,
makro,maupun mikro sel. Oleh karena itu peritoneum punya kemampuan untuk
digunakan sebagai media cuci darah yaitu peritoneal dialisis dan menyerap cairan
otak pada operasi ventrikulo peritoneal shunting dalam kasus hidrochepalus.

33
a. Definisi

Peritonitis merupakan keradangan akut maupun kronis pada peritoneum


parietale, dapat terjadi secara lokal (localized peritonitis) ataupun
menyeluruh(general peritonitis). Peritoneum sebenarnya tahan terhadap infeksi,
bila kedalam rongga peritoneum disuntikkan kuman maka dalam waktu yang
cepat akan dicernakan oleh fagosit dan akan segera dibuang. Juga bila disuntikkan
sejumlah bakteri subkutan atau retroperitoneal maka akan terjadi pembentukan
abses ataupun selulitis.Suatu peritonitis dapat terjadi oleh karena kontaminasi
yang terus menerus oleh kuman, kontaminasi dari kuman dengan strain yang
ganas, adanya bendaa sing ataupun cairan bebas seperti cairan ascites akan
mengurangi daya tahan peritoneum terhadap bakteri. Omentum juga merupakan
jaringan yang penting dalam pengontrolan infeksi dalam rongga perut.

b. Pathogenesis

34
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul
peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa

35
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

c. Etiologi dan Klasifikasi

Peritonitis dapat digolongkan menjadi 2 kelompok berdasarkan dari penyebabnya:

 Peritonitis Primer (Spontaneus)

Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Banyak terjadi pada penderita :

1. sirosis hepatis dengan asites


2. nefrosis
3. SLE
4. bronkopnemonia dan TBC paru
5. pyelonefritis
6. benda asing dari luar

 Peritonitis Sekunder

Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti :

1. Iritasi kimiawi: Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar, lien,


kehamilan extra tuba yang pecah
2. Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah,
ruptur bulidan ginjal.
3. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
 Peritonitis Tersier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat
tindakan operasi sebelumnya

36
d. Gejala

Pada gejala akan didapatkan berupa nyeri perut hebat (nyeri akan menyeluruh
pada seluruh lapangan abdomen bila terjadi peritonitis generalisata),mual muntah,
dan demam. Namun gejala yang timbul pada setiap orang dapat sangat
bervariasi.P ada gejala lanjutan, maka perut menjadi kembung, terdapat tanda-
tanda ileus sampai dengan syok. Disertai hipotensi.

e. Pemeriksaan Fisik
Secara sistematis maka pemeriksaan fisik abdomen akan menampakkan :
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,
pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan
pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi
atau sepsis juga perlu diperhatikan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik.
Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat
akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya
mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual
dan muntah, demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga abdomen.
Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi
semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan
dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsi

Inspeksi :Pernapasan perut tertinggal atau tak bergerak karena rasa nyeri, buncit,
dan distended

Palpasi :Defense muskuler untuk melindungi bagian yang meradang dan


menghindari gerakan atau tekanan setempat. nyeri tekan seluruh otot perut

Perkusi : Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara
bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui
pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis,
pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya
udara bebas tadi

Auskultasi : Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus.
Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama

37
sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan
usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal
bising usus dapat terdengar normal

f. Laboratorium
1. Darah lengkap, biasanya akan didapatkan leukositosis, peningkatan
hemokonsentrasi,
2. BGA metabolik asidosis dimana terdapat kadar karbondioksida yang
disebabkan oleh hiperventilasi., alkalosis respiratorik.
3. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein
(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat
g. Radiologi

Pada pemeriksaan BNO 3 posisi akan menunjukkan distensi usus besar dan usus
halus dengan permukaan cairan. Pada diafragma foto akan ditemukan air sickle
cell dibawah diafragma kanan (30% false negatif).

h. Penatalaksanaan

Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan :


- Memuasakan pasien
- Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal
- Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
- Pemberian antibiotik yang sesuai
- Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya
1. Pemberian oksigen
Adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor oleh
pulse oximetri atau BGA.
2. resusitasi cairan
Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan
dehidrasi. Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan.
Pasien harus dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring
tekanan vena sentral dan penggunaan inotropik sebaiknya digunakan pada

38
pasien dengan sepsis atau pasien dengan komorbid. Hipovolemi terjadi karena
sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga
peritoneal dan menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler.
3. analgetik
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.
4. Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan
intravena. Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer.
Bagi pasien yang mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena
kebocoran anastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan intensif,
dianjurkan terapi lini kedua diberikan meropenem atau kombinasi dari
piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga harus dipikirkan untuk
melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida.
 Definitif
Pembedahan
1. Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi
yang dikira. Tujuannya untuk :
- menghilangkan kausa peritonitis
- mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang mengalami
inflamasi atau ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi).
- Peritoneal lavage
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-
laparotomi mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien dengan
peritonitis sekunder, dimana setelah laparotomi primer ber-efek memburuk
atau timbul sepsis. Re-operasi dapat dilakukan sesuai kebutuhan.
Relaparotomi yang terencana biasanya dibuat dengan membuka dinding
abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah eviserasi.
Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan bahwa five year survival
rate di RS dan jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu
daripada relaparotomi yang direncanakan. Pemeriksaan ditunjang dengan CT
scan. Perlu diingat bahwa tidak semua pasien sepsis dilakukan laparotomi,
tetapi juga memerlukan ventilasi mekanikal, antimikrobial, dan support organ.
Mengatasi masalah dan kontrol pada sepsis saat operasi adalah sangat penting

39
karena sebagian besar operasi berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas
2. Laparoskopi
Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam
absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami
inflamasi, belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada
penanganan appendicitis akut dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi
dapat digunakan pada kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi ke
laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi pada laparoskopi.
3. Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat
pada dinding sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum.
Ada banyak kejadian yang memungkinkan penggunaan drain sebagai
profilaksis setelah laparotomi.

5.3. PERFORASI ILEUM

Pada perforasi ileum, maka feses cair dan kuman-kuman segera mengkontaminir
peritoneum dan setelah melewati masa inkubasi (rata-rata 6-8 jam) baru
menimbulkan gejala peritonitis. Tetapi ileum sebenarnya memiliki sifat
”protective mechanism” yaitu sifat bila suatu segemen ileum mengalami perforasi
maka akan segera segemen tadi akan berkontraksi sedemikian rupa sehingga
menutup lubang perforasi. Sifat ini berlangsung selama 1-4 jam tergantung
keadaan umum dan juga keadaan usus itu sendiri. Misalkan penderita dengan
keadaan umum jelek (contoh : KP) maka sifat ini berlangsung 1 jam atau kurang
bahakan tak ada sama sekali. Juga pada usus yang sakit misalkan pada tifus
abdominalis maka mekanisme ini juga akan berkurang.Secara ringkas
disimpulkan bila ileum mengalami perforasi maka gejala peritonitis timbul
sesudah 8-12 jam kemudian. Penderita harus diobservasi ketat selama minimal 24
jam pertama pada kasus trauma tumpul abdomen.

40
BAB VI

KESIMPULAN

Pasien merupakan paseien bedah dengan diagnosis peritonitis et causa


perforasi ileum. Dari anamnesia didaptkan pasien mengalami nyeri pada selurh perut
1 hari SMRS, dan dari pemeriksaan fisik abdomen preoperaasi : ditemukan buncit,
distended, nyeri tekan dan nyeri ketok (+), BU menuru, dan disertai defense muskular
(+). Pada postoperasi, ditemukan buncit, efloresensi bermakna (-), terpasang drain,
jumlah cairan ± 100 cc berwarna hijau, BU 2x/menit, Nyeri tekan(+) Dari
pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 9 Agustus 2016 dengan
hasil: Leukosit 12.800/uL Hb 13,2 g/dl; Eritrosit 4.800/uL; Ht 30%; Trombosit
328.000/uL; GDS 73mg/uL.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien masuk ASA III E. Pada pasien dilakukan general anestesi
selama operasi teknik intubasi endotrakeal.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
2. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493
3. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
4. Sulton, David. Gastroenterologi. Dalam: Buku ajar Radiologi untuk
Mahasiswa Kedokteran, Edisi5. Jakarta: Hipokrates; 1995.h.34-8.6.
5. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
6. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI:
Jakarta. Universitas Indonesia. 2007; 2.p:3-45.
7. Saladin KS. Anatomy and Physiology, 6th ed. USA: the McGraw-Hill; 2012.
P. 319-412
8. Widmeir EP, Raff H, Strang KT. Vander’s Human Physiology, 13th ed. USA:
the McGraw-Hill; 2014. P. 345-350
9. C. Devid ,Jr.Sabiston, editors. Sars MG, L John Cameron. Sistem Empedu.
Buku Ajar Ilmu Bedah (Essentials of Surgery), Edisi 2. Jakarta: EGC; 2012.
P.121
10. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta
Kedokteran FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius

42

Anda mungkin juga menyukai