SINUSITIS
Pembimbing :
Disusun Oleh :
Maikhel Y. 112011210
Puji Astuti 1010221024
1
DAFTAR ISI
B. Epidemiologi ........................................................................................................
D. Etiologi .................................................................................................................
E. Patofisiologi .........................................................................................................
G. Diagnosis..............................................................................................................
H. Penatalaksanaan ...................................................................................................
I. Komplikasi ...........................................................................................................
J. Pencegahan ..........................................................................................................
K. Prognosa ...............................................................................................................
REFERENSI ..................................................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid,
sinus maksila, dan sinus sfenoid. Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III
atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa anak-anak.
Pembentukannya dimulai sejak di dalam kandungan, akan tetapi hanya ditemukan dua
sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan etmoid. Sehingga tidak heran jika pada
foto rontgen anak-anak belum terdapat sinus frontalis karena belum terbentuk. Sinus
frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar 8 tahun dan
menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia
25 tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter,
dan tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi
sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau
dua puluhan.
Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum berdiferensiasi.
Pertumbuhan pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang kemudian akan
menjadi konka inferior. Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal, yang akan menjadi
konka media, superior dan supreme dengan cara terbagi menjadi ethmoturbinal
pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan sel-sel ager nasi, prosesus
uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus kemudian mulai berkembang.
3
alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa canine sebagai batas anterior.
Sinus maksilaris erbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus
maksilaris arcus I. Bentuknya pyramid; dasar piramid berada pada dinding lateral
hidung, sedangkan apeksnya berada pada pars zygomaticus maxillae. Sinus maksilaris
merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa.
Sinus maksilaris berhubungan dengan cavum orbita (dibatasi oleh dinding tipis yang
berisi n. infra orbitalis sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata),
gigi (dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Molar) dan ductus
nasolakrimalis (terdapat di dinding cavum nasi).
Sinus ethmoidalis terbentuk pada usia fetus bulan IV. Saat lahir, sinus
ethmoidalis berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), sedangkan saat dewasa terdiri
dari 7-15 cellulae yang berdinding tipis. Bentuknya berupa rongga tulang yang
menyerupai sarang tawon, yang terletak antara hidung dan mata Sinus ethmoidalis
berhubungan dengan fossa cranii anterior (dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina
cribrosa, sehingga jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah
kranial), orbita (dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea, sehingga jika
melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke
daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma), nervus optikus dan nervus, arteri dan
vena ethmoidalis anterior dan posterior.
Sinus sfenoidalis rerbentuk pada fetus usia bulan III Sinus sfenoidalis terletak
pada corpus, alas dan processus os sfenoidalis. Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
Sinus sfenoidalis berhubungan dengan sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
glandula pituitari, chiasma n.opticum, ranctus olfactorius dan arteri basillaris brain
stem (batang otak).
4
Gambar 1. Anatomi sinus
B. Epidemiologi
5
Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis. Virus adalah
penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial
adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima
milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60
milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis
sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi
yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.
6
- Berat= VAS >7-10
D. Etiologi
Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus. Partikel virus
sangat mudah menempel pada mukosa hidung yang menggangu sistem mukosiliar
rongga hidung dan virus melakukan penetrasi ke palut lendir dan masuk ke sel tubuh
dan menginfeksi secara cepat. Bentuk dismorphic dari silia tampak lebih sering pada
tahap awal dari sakit dan terjadi pada lokal. Virus penyebab sinusitis antara lain
rinovirus, para influenza tipe 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus.
Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti
oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus dapat terjadi edema dan
hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal untuk
perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu
bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut yang sering ditemukan ialah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob, Branhamella
kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes.
Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang
menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronis biasanya berkaitan
7
dengan drainase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka
agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri
anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain Staphylococcus aureus,
Streptococcus viridans, Haemophilis influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus
epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk
Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi campuran
antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.
Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan
kimia. Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan kavitas sinus yang menghasilkan edema
dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan blokade
dalam pembukaan kavitas sinus dan membuat daerah yang ideal untuk perkembangan
jamur, bakteri, atau virus. Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi
infeksi disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang oedem yang
dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drainase sehingga menyebabkan
timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus
seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis. Pada keadaan kronis
terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada rinitis alergi, memenuhi
rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. Selain faktor alergi, faktor predisposisi
lain dapat juga berupa lingkungan. Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan
aktivitas silia mukosa hidung dan sinus berkurang, sedangkan udara yang kering
dapat menyebabkan terjadinya perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis.
Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan
juga penyakit granulomatus (Wegener’s granulomatosis atau rhinoskleroma) juga
dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan
perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis
dengan mengganggu pengeluaran mukus.
Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk
infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan
berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan
adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering
menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
dan moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai
8
penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan
jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan
sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang
menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor,
Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.
Anamnesis
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik
ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang
kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung
tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus,
sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga.
Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan.
Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila
peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.2,13,14
9
sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).1,5,6
Pemeriksaan fisik
Rhinoskopi anterior dengan atau tanpa dekongestan. Untuk menilai status dari
mukosa hidung dan ada tidaknya,warna cairan yang keluar. Kelainan anatomis juga
dapat dinilai dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan transiluminasi pada sinus maksila
dan frontal dapat menunjukkan adanya gambaran gelap total, apabila hanya sebagian
dinyatakan tidak spesifik.1
Pemeriksaan penunjang
10
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak
lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal.2,13,14
2. Sinusitis Kronis
Anamnesis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya
adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan malaise,
11
nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip) ,
gangguan penciuman dan pengecapan.51315
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.1
Pemeriksaan penunjang
Transluminasi1
Radiologi15
CT scan15
12
CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi anatomi dan patologi sinus.
2.5 Penatalaksanaan
Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum
diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90
mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau dicurigai adanya komplikasi
diberikan antibiotik secara intravena. Sefotaksim atau seftriakson dengan klindamisin
dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten.1,2
13
Terapi tambahan: Terapi tambahan meliputi pemberian antihistamin,
dekongestan, dan steroid.
i. Terapi awal:
- Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- TMP-SMX 160mg-800mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir
- Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
14
- Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari,atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
iii.Pasien dengan gagal pengobatan
- Amoxicillin 1500mg dengan klavulanat 125 mg per oral 2 kali sehari selama
10 hari, atau
- Amoxicillin 1500mg per oral 2 kali sehari dengan Clindamycin 300 mg per
oral 4 kali sehari selama 10 hari, atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
2.6 Komplikasi
Komplikasi Orbita2
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita
15
yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan
terjadinya komplikasi orbita ini.2
Komplikasi Intrakranial2
Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses
otak.
16
Gambar 7. Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial
Kelainan Paru2
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis.
Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial.
2.7 Pencegahan
Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut atau kronis.
Tetapi di sini ada beberapa hal yang dapat membantu:
17
-
Hindari terpapar yang dapat menyebabkan iritasi, seperti asap rokok atau aroma
bahan kimia yang keras.3
2.8 Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara
spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps
setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari
penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan
dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess, atau komplikasi extra
sinus lainnya.
Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan
yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik.
18
REFERENSI
1. Mackay DN. Antibiotic therapy of the rhinitis & sinusitis. Dalam : Settipane GA,
penyunting. Rhinitis. Edisi ke-2. Rhode Island: Ocean Side Publication;1991. p.
253-5.
4. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
19
9. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract.
In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
editors.Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed.New York,NY:
McGraw Hill; 2005. p. 185-93
10. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
13. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak
S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-91
16. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan Jilid 1 Edisi 13, halaman 232-245, Binarupa Aksara, Jakarta
Indonesia 1994
20