Anda di halaman 1dari 8

I.

LAPORAN KASUS

A. Identitas
1. Nama : Nn. M
2. Umur : 19 tahun
3. Tanggal Lahir : 10 Juli 1997
4. Alamat : Jambusari RT 02/07 Jeruklegi
5. Diagnosis : G1P0A0 usia 19 tahun hamil 31+5 minggu
Janin tunggal hidup intrauterin presentasi kepala
punggung kanan dengan eklamsia
6. Pro : SCTP cito
7. DPJP Anestesi : dr. Iwan Dwi Cahyono, Sp.An
8. Tanggal Operasi : 26 Februari 2017 pukul 21.50

B. Anamnesis
1. RPS (autoanamnesis dan alloanamnesis)
Pasien mengeluh kenceng-kenceng, pusing, mual dan pandangan kabur.
Pasien menyangkal adanya muntah dan nyeri ulu hati. Pasien mengaku
sempat kejang sebelum dibawa ke RSMS. Kronologinya, pasien datang ke
VK IGD RSMS pada tanggal 26 Februari 2017 pukul 20.30 rujukan dari
RSUD Cilacap dengan tekanan darah tinggi mencapai 190/140 dan
mengalami kejang sekitar 6 jam SMRS. Pasien sudah dirawat inap selama
5 hari di RSID Cilacap dan rencana terminasi, namun perinatologi RSUD
Cilacap penuh sehingga pasien dirujuk ke RSMS. Pasien sudah
mendapatkan injeksi pematangan paru sebanyak 4x.
2. RPD
Riwayat Obstetri : G1P0A0 (I/hamil ini)
Riw asma (-), maag (+), DM (-), sesak nafas (-), jantung (-) pingsan (-),
HT (-), hepatitis (-), GGK (-), anemia (-), stroke (-), alergi makanan (-),
alergi obat (-), riw op (-), mengorok (-).

3. RPK
Asma (-), diabetes (-), jantung (-), hipertensi (+) ibu, gangguan
pembekuan darah (-)
4. RPSOS
Pasien bekerja sebagai buruh pabrik di Tangerang sejak 10 bulan yang
lalu. Pasien belum menikah dan tinggal bersama teman-temannya di
sebuah rumah kontrakan. Pendidikan terakhir pasien adalah SMK. Pasien
menggunakan jaminan kesehatan BPJS. Tidak ada kebiasan merokok,
menggunakan narkoba dan alkohol.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum/Kesadaran: Lemah / E4M6V2
2. Tanda Vital
TD : 140/88 mmHg
HR : 105x/menit
RR : 24x/menit
S : 36.6o C
3. Airway : Clear (+) terpasang nasal kanul, gigi palsu (-), gigi tanggal (-),
gigi goyang (-), buka mulut 3 jari, Mallampati III, TMD 6 cm
4. Kepala/Leher: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), massa di wajah
(-), masa di leher (-), luka bakar (-), deviasi trakea (-)
5. Thoraks:
Paru : SD vesikuler +/+, wheezing -/-, RBK -/-, RBH -/-
Jantung : S1>S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
6. Abdomen : cembung gravida, bising usus (+) normal, perkusi pekak janin.
7. Ekstremitas: Akral (hangat), edema superior (-/-) edema inferior (+/+),
jejas superior (-/-), jejas inferior (-/-), parese (-/-) terpasang infus
RL+MgS04 pada ekstremitas superior
8. Status Obstetri :
Leopold I : Teraba bulat lunak (bokong)
Leopold II : Teraba tahanan keras seperti papan pada sisi kanan
Leopold III : Bagian terbawah janin tidak dapat dapat digerakkan
Leopold IV : -
DJJ : 133X/menit
TFU : 23 cm
Pemeriksaan dalam dilatasi serviks 1 cm, KK (+), kepala turun Hodge 1
C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium 26/02/2017
Darah Lengkap
Hb : 10.8 (L)
Leukosit : 20790 (H)
Hematokrit : 35
Eritrosit : 5.1 x 10^6
Trombosit : 344.000
PT : 8.1 (L)
aPTT : 29.6
Ureum : 31.6
Kreatinin : 0.73
GDS : 98
Urin Lengkap
Protein urin : 100
Eritrosit : 250
Leukosit : 25
D. Diagnosis
G1P0A0 usia 19 tahun hamil 31+5 minggu Janin tunggal hidup intrauterin
presentasi kepala punggung kanan dengan eklamsia
Assessment : ASA III E
Rencana Operasi : SCTP Cito
Rencana Anestesi: General Anestesi
E. Laporan Anestesi Durante Operasi
1. Tanggal operasi : 26 Februari 2017
2. Jam mulai anestesi : 21.50 WIB
3. Jam selesai anestesi : 22.45 WIB

4. Kondisi pra-induksi
KU : lemah
GCS : E4 V2 M6
Tekanan darah : 140/80
HR : 105 x/menit, reguler
RR : 22 x/menit, pola napas thoracoabdominal
Suhu : 36.6 C
5. Teknik anestesi
Anestesi : Intubasi Endotracheal Tube (ET)
Pre-medikasi :-
Preemptive analgesia : Fentanyl 100 μg
IV : Propofol 100 mg
Recuronium 40 mg
Inhalasi : Isofluran
6. Monitoring durante operasi
a. Tekanan darah, SpO2 dan HR
Jam TD (mmHg) SpO2 HR

21.50 140/80 100% 100

22.00 140/80 100% 96


22.15 136/80 100% 88

22.30 140/82 100% 96

22.45 140/80 100% 96

b. Obat yang masuk


1) Fentanyl 100 μg
2) Propofol 100 mg
3) Oxytosin 2x10 IU
4) Recuronium 40 mg
c. Cairan yang masuk
Ringer laktat : 500 ml (2 flabot)
d. Perdarahan : ± 300 ml
e. Urine : 50 ml

F. Follow-up Post Operasi


No Tanggal S O A P
1 01-03- - KU : Sedang P1A0 Inf RL
GCS :E4 V5 M6 usia 19 Cefazolin 2x1
2017
TD : 152/108 tahun gr
HCU
HR :86 x/menit post Asam
Maternal RR : 18x/menit SCTP a.i tranexamat
Suhu : 36 C eklamsia 3x500 mg
H+3 Lasik 3x20 mg
OMZ 1x40 mg
Dexamethasone
2x10 mg
Amlodipine
1x10 mg
Asam
mefenamat
3x500 mg
Ambroxol 3x1
tab
Paracetamol
3x500 mg

2 02-03- KU : Sedang P1A0 Inf RL


GCS : E4 V5 M6 usia 19 Inf D5%
2017
TD : 145/107 tahun Clindamycin
HCU
HR : 98 x/menit post 2x300 mg
Maternal RR : 22 SCTP a.i Amlodipin
x/menit eklamsia 1x10 mg
Suhu : 36.4 C H+4 Asam
mefenamat
3x500 mg
Ambroksol 3x1
cth
Paracetamol
3x500 mg
Dopamet 3x500
mg
3 03-03- KU : Sedang P1A0 Inf D5%
GCS : E4 V5 M6 usia 19 Clindamycin
2017
TD : 137/95 tahun 2x300 mg
HCU
HR : 94 x/menit post Amlodipin
Maternal RR : 18 x/menit SCTP a.i 1x10 mg
Suhu : 37 C eklamsia Asam
H+5 mefenamat
3x500 mg
Ambroksol 3x1
cth
Paracetamol
3x500 mg
Dopamet 3x500
mg

II. ANALISIS KASUS


A. Tindakan Preoperative pada Pasien Eklamsia
Tujuan bagian anestesi terhadap penanganan eklamsia adalah untuk
mencegah dan mengontrol kejang, mengontrol tekanan darah, menstabilkan
airway dalam keadaan clear, mencegah terjadinya komplikasi mayor,
penatalaksanaan dalam analgetik, dan pelaksanaan anestesi selama proses
persalinan caesar. Konsep dasar untuk mengontrol terjadinya kejang adalah
dengan mencegah maternal injury, oksigenasi, menyediakan cardio
respiratory support, dan mencegah terjadinya aspirasi. Pemberian obat
antikonvulsan yang dianjurkan adalah MgSO4 dengan dosis 4 gram IV bolus
diikuti dengan 2 gram/jam drip infuse dan dilanjutkan 24 jam setelah
pemberian terakhir disertai pengawasan terhadap refleks patella, respiratory
rate, dan urin output selama pemberian MgSO4. Apabila kejang masih
berlanjut, berikan MgSO4 bolus 2 gram, bila masih berlanjut kejang berikan
phenytoin 15mg/KgBB atau diazepam 10 mg atau thiopentone 50 mg IV.
Sementara untuk mengontrol tekanan darah, berdasarkan NICE guidelines
dilakukan pemberian antihipertensi dimulai ketika tekanan darah lebih dari
160/110 mmHg dengan pilihan obat seperti hidralazin, labetolol (tidak boleh
untuk wanita dengan asma), dan nifedipin (peroral) (Parthasarathy et al,
2013).
Persiapan operasi pada pasien preeklamsi dan eklamsi harus dipersiapkan
dengan benar karena risiko yang dapat terjadi pada pasien lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien dengan kehamilan normal yang akan persalinan
perabdominal. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dilakukan secara lengkap terutama untuk beberapa hal yang menjadi garis
besar pengawasan untuk melakukan anestesi pada kasus eklamsia, yaitu
hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik, albuminuria, trombositopenia,
penyakit sistemik pemberat seperti diabetes, pemeriksaan untuk persiapan
pemasangan intubasi, deplesi vascular sentral, gangguan fungsi hepar,
gangguan fungsi ginjal, gangguan sistem pernapasan, kejang dan interaksi
obat dengan magnesium sulfat (Parthasarathy et al, 2013).
Pemeriksaan laboratorium meliputi platelet, fibrinogen, PT/APTT, ureum,
kreatinin, fungsi liver dan konsentrasi magnesium, dilakukan setiap 6-8 jam
sampai dengan paska bedah. Monitoring dilakukan terhadap fetus dan fungsi
vital ibu, yaitu tekanan darah, input dan output, refleks tendon, pelebaran
serviks, dan frekuensi kontraksi uterus. Tekanan darah dan pulsasi nadi diukur
setiap 15 menit selama minimum 4 jam sampai stabil dan seterusnya setiap 30
menit. Pemasangan kateter urin dilakukan untuk mengukur urin output setiap
jam disesuaikan dengan input cairan (Rudra et al, 2011).

B. Penerapan Teknik General Anestesi pada Pasien Eklamsia


Teknik anestesi yang dilakukan pada kasus eklamsia adalah anestesi
regional atau bisa juga dengan anestesi general/umum. Anestesi regional yang
dapat dilakukan adalah epidural dan spinal. Syarat dapat dilakukan anestesi
epidural dan spinal yaitu pasien eklamsia yang tidak mengalami peningkatan
tekanan intrakranial atau koagulopati, terdapat gangguan neurologi, pasien
dalam keadaan sadar, tanda vital stabil, dan kejang dalam keadaan terkontrol.
Sedangkan anestesi general merupakan pilihan anestesi yang dapat digunakan
pada pasien yang tidak sadar dan dapat digunakan pada kasus tekanan
intrakranial yang meningkat (Parthasarathy et al, 2013).
Menurut Pramono et al pemilihan tindakan anestesi pada proses sectio
caesar akan mempengaruhi skor APGAR bayi ketika lahir, yaitu lebih rendah
pada anestesi umum ddibandingkan dengan anestesi regional. Selain itu,
pemilihan anestesi juga akan mempengaruhi tindakan perawatan post operasi,
terutama pada pasien dengan anestesi umum. Skor APGAR yang lebih rendah
pada anestesi umum karena obat-obatan hipnotik akan masuk akan masuk ke
sirkulasi fetal, sehingga memberikan dampak bagi fetus. Selain itu, pada
anestesi umum ibu membutuhkan waktu lebih lama dalam pemulihan
kesadaran dan kemungkinan terjadi apneu yang berkepanjangan akibat
penggunaan pelumpuh otot (Pramono et al, 2008).
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan anestesi
general pada pasien eklamsia, yaitu edema pada jalan napas (airway),
manajemen airway yang tidak memungkinkan, respon yang berlebihan ketika
dipasang intubasi endotrakea, interaksi obat MgSO4 dan muscle relaxants, dan
harus diperhatikan stabilitas pemberian oksigen melalui intubasi pada saat
proses transportasi pasien ke ruang ICU. Menurut penelitian Moodley et al
tidak ditemukan perbedaan yang signifikan terhadap outcome dari maternal
dan neonates pada anestesi epidural dengan anestesi general pada pasien
eklamsia dengan kondisi pasien sadar, tetapi pilihan paling baik adalah dengan
anestesi spinal dengan bupivacain dosis rendah (Parthasarathy et al, 2013).
Selama operasi berlangsung, ada beberapa hal yang harus selalu dipantau
seperti tekanan darah, saturasi oksigen terutama pada pasien anestesi general,
nadi, respiratory rate, input dan output cairan, dan perdarahan selama proses
operasi berlangsung. Pasein eklamsia berisiko tinggi untuk mengalami
penyakit tromboemboli. Sebelum dipindahkan dari ruang operasi, pasien
sudah harus disiapkan antiembolik atau low molecular weight heparin
diberikan 4-6 jam setelah anestesi spinal/epidural, diberikan setiap hari hingga
pasien bisa mobile dengan seutuhnya (Horlocker et al, 2010).

C. Perawatan intensif pada Pasien Eklamsia pasca operasi


Pasien dengan eklamsia post caesar dirawat di ruang ICU untuk
mendapatkan pengawasan lebih lanjut. Transportasi ke ICU dilakukan dengan
hati-hati terutama pada pasien dengan anestesi general disertai intubasi kerena
selama perjalanan akan tetap dipompa oksigen secara manual oleh petugas
hingga sampai ke ICU kemudian dipasang ventilator. Setelah sampai di ICU,
pasien tersebut dipantau tanda vital, input dan output cairan, serta gejala-
gejala yang menyertai pasien sampai 48 jam berikutnya. Ketidakstabilan
regulasi cairan akan terjadi pada pasien dan ditambah kondisi pasien eklamsia
yang mengalami gangguan pada ginjal, sehingga meningkatkan risiko untuk
terjadinya edema pulmo dan hipertensi eksaserbasi (Parthasarathy et al, 2013).
Pemantauan tanda vital terutama tekanan darah, untuk melihat apakah ada
perbaikan dari tekanan darah pasien. Apabila tekanan darah tetap tinggi
(>160/110 mmHg) dapat diberikan MgSO4 24 jam setelah pemberian terakhir.
Selain itu, dapat pula ditambahkan terapi antihipertensi lainnya (Parthasarathy
et al, 2013).
D. Terapi Cairan pada pasien pasca Sectio Caesaria dengan eklamsia
E. Terapi Oksigen pada pasien pasca Sectio Caesaria dengan eklamsia
F. Manajemen nyeri pada pasien pasca Sectio Caesaria

Anda mungkin juga menyukai