Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun juga
dapat mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi
masalah kesehatan penting di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia
termasuk dalam 5 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia. Pengendalian
TB pada anak bersifat penting karena 40-50% dari total populasi adalah anak berusia
kurang dari 15 tahun dan 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahunnya. 1

Pada tahun 2014 WHO melaporkan diperkirakan terdapat 340.000 insiden TB


diseluruh negara di Eropa. 3,9% diantaranya merupakan anak berusia dibawah 15 tahun
dan 1,6% anak berusia dibawah 5 tahun.2 Proporsi kasus TB anak di Indonesia pada
tahun 2012 adalah 8,2%, yang kemudian menurun menjadi 7,9% pada tahun 2013;
7,16% pada tahun 2014 dan kembali meningkat menjadi 9% pada tahun 2015.
Tuberculosis merupakan infeksi penyebab kematian utama didunia.2 WHO
memperkirakan 136000 anak meninggal karena tuberkulosis pada tahun 2014.

Diagnosis dini dan terapi dini bersifat krusial untuk kontrol TB yang efektif.
Diagnosis yang terlambat meningkatkan risiko kematian dan penularan TB dalam
masyarakat. Penegakan diagnosis TB melalui identifikasi agen infeksi sulit dilakukan.
Pengambilan sampel sulit dilakukan, meskipun sampel telah didapatkan dapat
ditemukan hasil negatif palsu dikarenakan lesi bersifat paucibasiler pada anak.2

Tuberkulosis dapat mengenai paru maupun organ ekstraparu. Berbagai sekuele


dan komplikasi dapat disebabkan oleh TB paru. Mycobacterium tuberculosis dapat
mengenai hampir semua organ tubuh. TB dapat menyebabkan berbagai komplikasi
seperti efusi pleura, empiema, bronkiektasis, pneumothoraks, fistula bronkopleural dan
lain-lain. Efusi pleura TB merupakan penyebab inflamasi pleura utama pada negara
dengan kejadian TB yang tinggi. Di Amerika dinyatakan bahwa 2% dari seluruh efusi
pleura berhubungan dengan TB. Pada anak, efusi dapat terjadi sebagai bagian dari TB
primer. Efusi pleura pada umumnya terjdi setelah 3-6 bulan infeksi primer TB.3

1.2.Batasan Masalah

Case report session ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,

etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan TB paru.

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui definisi, epidemiologi, etiopatogenesis, manifestasi klinis,

diagnosis, dan penatalaksanaan TB anak.

1.4 Manfaat Penulisan

Menambah pengetahuan penulis tentang TB paaru pada anak serta menjadi

tambahan ilmu bagi rekan-rekan dokter muda yang membaca.

1.5 Metode Penulisan

Penulisan case report session ini merujuk pada berbagai kepustakaan dan

literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI & EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman menyerang paru, dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. TB pada anak terjadi pada usia 0-14 tahun. Pada negara
berkembang, anak-anak berjumlah 40-50% dari total populasi dan terdapat sekitar
500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Proporsi kasus TB anak di Indonesia
pada tahun 2013 7,9%, kemudian menurun pada tahun 2014 menjadi 7,16% dan
menjadi 9% pada tahun 2015. Proporsi tersebut bervariasi antar provinsi yang
diperngaruhi oleh berbagai macam faktor.1

2.3 FAKTOR RISIKO4

Faktor risiko TB pada anak antara lain pajanan dengan orang dewasa yang
menderita TB aktif (kontak TB positif), daerah endemik, kemiskinan, lingkungan tidak
sehat dengan higiene dan sanitasi yang tidak baik, tempat penampungan umum (panti
asuhan, penjara atau panti perawatan lai) yang banyak terdapat pasien TB dewasa dan
anak dengan imunkompromais.

Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap dewasa
infeksius terutama dengan BTA sputum positif. Semakin erat kontak anak dengan
orang tersebut, semakin besar pula kemungkinan bayi terpajan droplet infeksius. Pasien
TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau dewasa sekitarnya. Hal ini
dikarnakan kuman TB jarang ditemukan pada sekret endobrokial anak dikarenakan
jumlahnya yang sedikit (pausibasiler), sakit TB primer pada anak biasanya berlokasi
pada parenkim yang jauh dari bronkus dan sedikit bahkan tidak adanya produksi
sputum anak.
2.4 PATOGENESIS1,5

Gambar 1. Patogenesis TB1,5

*Catatan:

1. penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadic (occult hematogenic


spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari
2. Kompleks prmes terdiri dari fokus primer (1) limfangitis (2) dan limfadenitis
regional (3).

3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.

4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau
reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB tipe
dewasa (adult type TB).

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam droplet yang berukuran sangat kecil (< 5mikrom) akan terhirup dan mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imun nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imun spesifik. Namun pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruh kuman dapat dihancurkan sehingga makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB sehingga sebagaian besar kuman TB
dihancurkan. Namun sebagian kecil kuman TB yang tidak dihancurka berkembang
biak dalam makrofag hingga menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB
membentuk lesi pada lokasi tersebut yang dinamakan sebagai fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB kemudian menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yakni kelenjar limfe yang memiliki saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan inflamasi pada saluran limfe
(limangitis) dan pada kelenjar limfe (limfadenitis). Kelenjar limfe yang terlibat
dipengaruhi oleh lokasi fokus primer, apabila fokus primer terletak pada lobus bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar limfe perihiler, namun jika
fokus primer berada pada lobus atas, maka kelenjar limfe yang terkena adalah kelenjar
limfe paratrakeal. Gabungan fokus primer, limfangitis dan limfadenitis dikenal sebagai
kompleks primer.

Waktu yang dibutuhkan mulai masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi 2-12
minggu, namun pada umumnya 4-8 minggu. Selama masa inkubasi kuman bereplikasi
hingga mencapai jumlah yang cukup untuk merangsang respon imun seluler yakni 103
-10 4.

Saat kompleks primer telah terbentuk, TB dinyatakan telah terjadi dan telah
terbentuk respon imun seluler terhadap TB. Hal ini dibuktikan dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloproteion yakni hasil uji tuberculin positif. Selama
masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Apabila imunitas baik, proliferasi kuman
TB akan terhenti. Namun sejumlah kecil kuman TB dapat tetap bertahan hidup dalam
granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik.

Setelah imunitas seluler terbentu, fokus primer di jaringan paru akan


mengalami resolusi sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, naun penyembuhannya tidak
sesempurna fokus primer di paru. Kuman TB dapat bertahan hidup dalam kelenjar ini
selama bertahun-tahun tanpa menimbulkan gejala sakit TB.

Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Adanya penyebaran secara hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang
paling sering bersifat tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini kuman
menyebar ke berbagai organ tubuh secara sporadic dan tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB bersarang pada organ dan tetap hidup, namu tidak aktif (tenang).
Sarang pada apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang dapat mengalami reaktivasi
pada masa dewasa.

Bentuk penyebaran lainnya adalah penyebaran hematogenik generalisata akut


acute hematogenic spread. Pada bentuk ini kuman TB masuk dan beredar dalam darah
menuju ke seluruh tubuh dan menimbulkan manifestasi klinis TB secara akut yang
disebut TB diseminata. TB diseminata timbul dalam 2-6 bulan setelah infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada virulensi kuman serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberculosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun host
dalam mengatasi infeksi TB. Bentuk penyebaran lainnya adalah protracted
hematogenic spread. Penyebaran ini terjadi apabila fokus perkijuan yang terletak
berdekatan dengan pembuluh darah pecah sehingga kuman TB masuk ke aliran darah
dan menyebar ke seluruh tubuh. Secara klinis sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak
adapt dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.

2.5 GEJALA KLINIS1,6

Gejala TB pada anak dpat berupa gejala sistemik atau gejala sesuai organ
terkait. Gejala TB bersifat khas yakni menetap lebih dari 2 minggu walaupun sudah
diberikan terapi yang adekuat.

1. Gejala Sistemik
a. Penurunan berat badan atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau
terjadi gagal tumbuh meskipun telah diberikan perbaikan gizi yang baik
dalam 1-2 bulan
b. Demam lama (≥2 minggu) 7ubercul berulang tanpa sebab yang jelas.
Keringat malam apabila tidak disertai gejala sistemik lainnya tidak bersifat
spesifik untuk TB
c. Batuk lama (≥2 minggu), bersifat non remitting (tidak pernah sembuh,
makin lama makin parah) dan penyebab lain batuk dapat disingkirkan.
Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika atau obat asma (apabila
ada indikasi)
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif.
2. Gejala spesifik
Pada TB ekstraparu dapat dijumpai gejala dan tanda klinis khas sesuai dengan
organ yang terkena.
a. Tuberkulosis kelenjar
Biasanya ditemukan pada regio colli berupa pembesaran kelenjar getah
bening yang tidak nyeri, kenyal, multiple dan tidak bersepon terhadap
pemberian antibiotik, juga dapat terbentuk rongga dan discharge.
b. Tuberkulosis sistem saraf pusat
Dapat berupa meningitis TB maupun tuberkuloma otak.
c. Tuberkulosis sistem skeletal
Dapat berupa spondylitis TB, tulang panggul (coxitis), lutut (gonitis) dan
tulang kaki tangan.
d. Tuberkulosis mata
Dapat berubah konjungtivitis fliktenularis dan tuberkel koroid
e. Tuberkulosis kulit
Berupa skrofuloderma yang ditandai dengan adanya skin bridge
f. Tuberkulosis pada organ lain, dicurigai apabila ditemukan gejala pada
organ tanpa sebab yang jelas serta adanya kecurigaan infeksi TB.
2.6 PEMERIKSAAN1,6
1. Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis merupakan pemeriksaan penting untuk
menegakan diagnosis TB pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan
sputum pada anak terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5
tahun, HIV positif dan gambaran kelainan paru luas. Namun karena
pengambilan sputum pada anak sulit, pemeriksaan ini jarang dilakukan.
Cara mendapatkan sputum pada anak dapat melalui beberapa cara yakni
berdahak, bilas lambung dan induksi sputum.
a. Pemeriksaan BTA sputum atau spesiem lain
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan bersifat cepat yakni kurang lebih 2 jam. Dapat
digunakan untuk mendeteksi resistensi kuman terhadap rifampisin.
Hasil negatif pada pemeriksaan ini tidak menyingkirkan diagnosis
TB
c. Pemeriksaan biakan
Merupakan gold standard dalam diagnosis TB dengan
ditemukannya kuman mycobacterium tuberculosis pada biakan.
2. Pemeriksaan Penunjag
a. Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakan diagnosis
TB anak khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak
jelas. Uji tuberculin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan
0,1ml PPD RT-23 2TU atau PPD S5TY secara intrakutan dibagian
volar lengan bawah, hasil dibaca setelah 24-72 jam penyuntikan.
Pengukuran dilakukan terhadap indurasinya. Uji tubrkulin
dinyatakan positif apabila indurasi diameter ≥10mm. 4Uji tuberkulin
tidak dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB sehingga
hasil positif pada uji ini tidak dapat menentukan apakah seseorang
sakit TB atau tidak. Sebaliknya, hasil uji tuberkulin belum tentu
menyingkirkan diagnosis TB. Pemeriksaan untuk mengetahui
infeksi TB lainnya adalah immunoglobulin release assay (IGRA). 1
b. Foto Thorax
Merupakan pemeriksaan penunjang pada TB anak, namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB
milier. Gambaran radiologis yang menunjang TB adalah:
- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa
infiltrate
- Konsolidasi segmental/lobar
- Efusi pleura
- Milier
- Atelectasis
- Kavitas
- Kalsifikasi dengan infiltrate
- Tuberkuloma
c. Pemeriksaan histopatologi
Pada pemeriksaan ini akan tampak gambaran granuloma dengan
nekrosis perkejuan ditengahnya dan dapat juga ditemukan
gambaran sel datia Langerhans dana tau kuman TB.
2.7 ALUR DIAGNOSIS1
Secara umum penegakan diagnosis TB anak didasarkan pada 4 hal,
yaitu:
1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis khas TB
3. Adanya bukti infeksi TB (tuberculin positif atau kontak erat
dengan pasien TB)
4. Gambaran foto toraks sugestif

Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk membantu dalam


menegakan diagnosis. Diharapkan dengan danya sitem skoring ini tidak
terjadi over maupun underdiagnosis TB. Sistem skoring ini diharapkan
dapat diterapkan di layanan primer, namun karena tidak semua layanan
primer memiliki fasilitas tes tuberkulin dan foto toraks maka bagi
layanan primer yang tidak memiliki fasilitas dapat menggunakan alur
diagnosis TB anak tanpa sistem skoring.
Tabel 1 Sistem Skoring
Gambar 2 Alur Diagnosis TB Anak1

Keterangan:

*) dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum

**) kontak TB paru dewasa dan kontak TB paru anak terkonfirmasi bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak ada respon dengan pengobatan adekuat,
evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas atau rujuk.

2.8 DEFINISI DAN KLASIFIKASI1


1. Definisi
a. Terduga TB anak adalah anak yang mempunyai keluhan atau gejala
klinis mendukung TB.
b. Pasien TB anak
o Terkonfirmasi bakteriologis apabila terdiagnosis dengan hasil
peeriksaan bakteriologis positif
o Terdiagnosis klinis apabila tidak memenuhi kriteria diagnosis
bakteriologis namun didiagnosis sebagai pasien TB oleh dokter dan
diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.
2. Klasifikasi
a. Lokasi
o TB Paru
o TB ekstra Paru
b. Riwayat Pengobatan Sebelumnya
o Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapat
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT
namun kurang dari 1 bulan (<28 dosis).
o Pernah diobati TB adalah pasien yang pernah menelan OAT lebih
atau selama 1 bulan
 Pasien kambuh  yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksan bakteriologis atau klinis.
 Pasien gagal  pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan
gagal pada pengobatan terakhir
 Lost to follow up pasien yang kembali diobati setelah putus
berobat
 Lain-lain  misalnya pasien TB yang pernah diobati namun
tidak diketahui hasil akhir pengobatan sebelumnya.
o Riwayat pengobatan tidak diketahui

c. Hasil pemeriksaan uji sensitivitas


o Mono resistan (TB MR) : resisten terhadap salah satu OAT lini
pertama
o Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain Isoniazid dan Rifampisin secara bersaman
o Multidrug ressistant (TB MDR) : resisten terhadap isoniazid dan
rifampisin secara bersamaan
o Extensive drug ressistant (TB XDR) : MDR TB yang juga resisten
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu
OAT lini kedua jenis suntikan
o Resisten Rifampisin (TB RR): resisten terhadap rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang tereteksi melalui tes
cepat.
2.9 TATALAKSANA
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 3. Dosis dan efek samping OAT1


Tabel 4 Durasi terapi OAT1

2. Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC)


Tabel Dosis OAT KDT pada TB anak1

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada kondisi:
a. TB meningitis
b. Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar
c. Perikarditis TB
d. TB milier dengan gangguan napas berat
e. Efusi pleura TB
f. TB abdomen dengan asites

Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari


hingga 4 mg/kgBB/hari pada kasus berat. Dosis maksimal 60 mg/hari
selama 4 minggu. Tappering off dilakukan secara bertahap setelah 2 minggu
pemberian kecuali pada TB meningitis diberikan selama 4 minggu sebelum
tappering off.
4. Piridoksin
Isoniazid menyebabkan defisiensi piridoksin simtomatik. Sehingga
direkomendasikan suplementasi piridoksin 5-10 mg/hari.
2.10 PEMANTAUAN DAN EVALUASI
a. Pemantauan pengobatan
Pasien harus dipastikan minum obat setiap ahri secara teratur oleh
pengawas minum obat (PMO). orang tua merupakan PMO terbaik untuk
anak. Pasien TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama fase
intensif dan sekali sebulan selama fase lanjutan. Setiap kunjungan evaluasi
respon pengobatan, kepatuhan, toleransi da efek samping obat. Dosis OAT
disesuaikan dengan penambahan berat badan. Pengobatan dihentikan
setelah pengobatan lengkap dengan melakukan evaluasi klinis.
b. Hasil akhir pengobatan
2.11 KOMPLIKASI

Gambar 3 Komplikasi TB1


a. EFUSI PLEURA7
Pleuritis dengan efusi merupakan komplikasi dini TB dan merupakan salah
satu komplikasi yang sering terjadi pada anak. Efusi pleura biasanya terjadi 6 bulan
pertama setelah TB primer. Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam
rongga pleura. Efusi pleura TB dapat ditemukan dalam dua bentuk yakni cairan serosa
dan empiema. Cairan serosa merupakan bentuk yang paling sering ditemukan.
Efusi pleura terbentuk sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen TB
dalam rongga pleura. Antigen ini masuk kedalam rongga pleura akibat pecahnya fokus
subpleura. Sehingga terjadi rangsangan pembentukan cairan oleh pleura akibat adanya
infeksi kuman TB pada rongga pleura. Manifestasi yang dapat ditemui berupa demam
akut disertai batuk nonproduktif dan nyeri dada tanpa peningkatan leukosit sel darah
tepi. Penurunan berat badan dan malaise juga dijumpai. Sekitar 95% efusi pleura
bersifat unilateral dan terjadi pada sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya.
Spesimen diagnostik utama efusi pleura TB adalah cairan pleura TB dan
jaringan pleura yang didapat dari pungsi pleura. Cairan pleura pada pleuritis TB
biasanya berwarna kuning, dengan protein tinggi dan cepat membeku. Pada fase akut
terutama terdiri dari sel PMN, namun pada sbagian kasus ditemukan limfosit.
Terapi pleuritis TB sama dengan terapi TB paru. Bila respon terapi baik maka
suhu akan turun dalam 2 minggu terapi dan cairan pleura akan diserap dalam 6 minggu.
Akan tetapi pada beberapa pasien demam dapat berlangsung hingga 2 bulan dan
penyerapan cairan membutuhkan waktu hingga 4 bulan. Steroid dapat memperpendek
fase demam dan mempercepat penyerapan cairan serta mencegah perlekatan.
Kortikosteroid diberikan selama 2-6 minggu dengan dosis penuh dan dilanjutkan
dengan tappering off selama 2-6 minggu sesuai dengan durasi pemberian dosis penuh.
Drainase cairan pleura rutin tidak perlu dilakukan.
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : NO

Tanggal Lahir / Umur : 16-10-2006/ 11 tahun 4 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Nama Ibu : Ny. EY

Alamat : Pesisir Selatan

Suku : Minang

Agama : Islam

Masuk RS : 17 Februari 2018

3.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesis dan alloanamnesis dengan orang

tua pasien.

1. Keluhan Utama

Sesak semakin meningkat sejak 1 minggu yang lalu

2. Riwayat Penyakit Sekarang

 Demam sejak ± 2 minggu yang lalu. Demam tidak tinggi, hilang timbul, tidak

menggigil, tidak berkeringat banyak.

 Batuk sejak ± 2 minggu yang lalu, tidak berdahak, tidak disertai pilek.
 Sesak napas sejak ± 2 minggu yang lalu. Sesak tidak menciut, tidak dipengaruhi

cuaca dan makanan. Sesak semakin meningkat sejak 1 minggu ini, anak lebih

senang tidur dengan 2 bantal.

 Nyeri dada sejak ± 2 minggu yang lalu. Nyeri dada dirasakan terutama saat

batuk, nyeri dirasakan diseluruh lapangan dada.

 Keringat malam ada sejak ± 2 minggu yang lalu.

 Penurunan nafsu makan sejak ± 2 minggu yang lalu. Anak biasanya makan 3

kali sehari, 1 porsi. Semenjak 2 minggu yang lalu, anak hanya memakan

setengah dari porsi biasanya.

 Riwayat penurunan berat badan ada sebanyak 4,5 kg dalam 1 minggu terakhir.

Berat badan sebelumnya 34 kg dan berat badan saat ini 29,5 kg.

 Riwayat kontak dengan penderita batuk lama ada. Ibu dan ayah pasien

menderita batuk lama dan berbadan kurus.

 Buang air kecil warna dan jumlah biasa

 Buang air besar warna dan konsistensi biasa

 Pasien rujukan dari RSUD M.Zein Painan dan telah dirawat selama 3 hari.

Telah dilakukan rontgen thorax dengan kesan perselubungan homogeny di

hemithorax dextra dan sudah mendapat terapi O2 3L/I, IVFD KAEN 1B 22tpm,

cefotaxime 2x1 gr, dexamethasone 3x5 mg.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien tidak pernah mengalami sesak napas seperti ini sebelumnya

4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Ayah dan ibu pasien menderita batuk lama dan berbadan kurus namun belum

pernah melakukan pemeriksaan.

5. Riwayat Persalinan

Ibu hamil cukup bulan. Persalinan dengan vacum atas indikasi pre-eklampsi

ditolong oleh dokter. Berat badan lahir anak 3700 gram, anak langsung menangis

kuat saat lahir.

6. Riwayat Makan

Bayi : ASI : 0-24 bulan

Susu formula : 0, frekuensi 2-3x / hari.

Anak : Makanan utama 3x/hari, makan bubur susu menghabiskan 1 porsi.

Daging :1x/minggu

Ikan : 5x/minggu

Telur : 2 x/minggu

Sayur : 7 x/minggu

Buah : 3x/minggu

Kesan : Kualitas dan kuantitas cukup.

7. Riwayat Imunisasi

Hepatitis B : 0 bulan, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan

Polio : 0 bulan, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan

BCG : 0 bulan
DPT : 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, Booster: 6 tahun

Campak : 9 bulan, Booster: 6 tahun

Kesan : Imunisasi dasar dan booster lengkap.

8. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

Tengkurap : 6 bulan

Duduk : 8 bulan

Berdiri : 12 bulan

Bicara : 9 bulan

Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia

9. Riwayat Perumahan dan Lingkungan

Rumah tempat tinggal : permanen

Sumber air minum : sumur

Buang air besar : kamar mandi di dalam rumah

Perkarangan : sempit

Sampah : dibakar

Kesan : Higiene dan sanitasi kurang baik

10. Identitas orang tua

Ibu Ayah
Nama Efra Yunita Desmal
Umur 35 37
Pendidikan terakhir SMA SMA
Pekerjaan IRT Petani
Penghasilan - ±1-3 juta
Perkawinan pertama pertama
Penyakit - -
11. Saudara Kandung

Nama Umur Keadaan sekarang


Nesa 11 th Pasien
Gilang 6 th Sehat

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status generalis

- Keadaan umum : Sakit sedang

- Kesadaran : Composmentis Cooperative

- Tekanan darah : 110/70 mmHg

- Laju Denyut Nadi : 98 x/menit

- Laju Nafas : 46 x/menit

- Suhu : 370 C

- Berat badan : 29,5 kg

- Tinggi badan : 148 cm

- Status gizi

BB menurut U : 75,64 %

TB menurut U : 100,6 %

BB menurut U : 73,75 %

Kesan : gizi kurang

- Anemia : ada

- Sianosis : tidak ada


- Edema : tidak ada

- Ikterus : tidak ada

Kulit Teraba hangat

Kepala Bulat, simetris, normocephal

Kelenjer Getah Bening Tidak teraba pembesaran getah bening koli, aksila,

inguinal

Rambut Hitam, tidak mudah dicabut.

Mata Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,

ukuran  3mm / 3mm, reflex cahaya +/+ normal

Telinga Deformitas tidak ada, keluar cairan dari telinga tidak

ada.

Hidung Nafas cuping hidung ada

Tenggorok Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis

Gigi dan mulut Mukosa bibir dan mulut basah, stomatitis ada.

Leher JVP 5-2 cmH2O

Paru

I : pergerakan dada kanan tertinggal

Pa : fremitus kanan melemah

Pe : kiri: sonor; kanan: sonor-redup pada RIC VI kebawah


A : vesikuler, suara napas melemah mulai RIC VI hemithorax dextra

kebawah, rhonki +/+, wheezing -/-

Jantung

I : Iktus cordis terlihat di 1 jari medial LMCS RIC V.

Pa : Iktus cordis teraba LMCS RIC V, kuat angkat.

Pe : Batas jantung kanan di LSD.

Batas jantung kiri di LMCS RIC V.

Batas jantung atas di RIC II.

A : Irama reguler, bising tidak ada

Abdomen

I : Tidak tampak membuncit

P : Supel, hepar dan lien tidak teraba.

Pr : Timpani.

A : Bising usus normal.

Punggung pergerakan kanan tertinggal

Alat Kelamin Tidak terdapat kelainan dan status pubertas A1M2P1

Ekstremitas Akral hangat, perfusi baik, capillary refilling time <2 detik.
3.4 Pemeriksaan Laboratorium

Laboratorium Rutin

Hb : 8,8 g/dl

Leukosit : 14.250/mm3

Hitung leukosit : 0/0/2/77/19/2

Kesan : Anemia, leukositosis

3.5 Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding

- Efusi pleura dextra ec Susp. TB Paru DD/ -infeksi kuman banal; -keganasan

- Anemia ec susp. defisiensi Fe DD/penyakit kronik

3.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium Khusus

Trombosit : 338.000/mm3 PT : 12,5


Ht : 27% APTT : 35,4
Eritrosit : 4,61 juta Albumin : 3,1 gr/dl
MCV : 56 fL Globulin : 4,1 gr/dl
MCH : 19% Total Protein : 7,2 gr/dl
MCHC : 33% Index Mentzer : 12
KESAN : anemia mikrositik hipokrom, Hipoalbumin
2. Rontgen Thorax

-Tampak perselubungan homogen


dengan lateral lebih tinggi dari
medial pada hemithorax dextra
setinggi RIC VI
-Tampak gambaran infiltrate di
perhiler dan parakardial dextra
KESAN: Efusi pleura dextra,
susp. TB paru

3.7 Penatalaksanaan

Tatalaksana kegawatdaruratan

Airway : tidak ada sumbatan jalan nafas

Breathing : 46 x/menit, O2 3L/ menit

Circulation : nadi 98 x/menit

Pleural Tapping : didapatkan cairan 50cc, berwarna kuning jernih

Tatalaksana nutrisi/dietetik

IVFD KAEN 1B 22 tpm makro

MB TKTP

Tatalaksana medikamentosa

Isoniazid 1x300 mg po

Rifampisin 1x450 mg po
Pirazinamid 1x900 mg po

Vit B6 1x10 mg po

Prednison 2-2-2 po

Paracetamol 300 mg p.o. (T≥38,5˚C)

FOLLOW UP
18-02- S/ sesak berkurang
18 Batuk berkurang
Nyeri dada berkurang
O/ tanda vital dalam batas normal
Mata: konjungtiva anemis
Thorax: gerakan kanan tertinggal, vesikuler, suara napas melemah mulai
dari RIC VI dextra, perkusi pekak mulai RIC VI dextra, ronkhi +/+-,
wheezing -/-
A/ efusi pleura dextra ec susp TB paru DD/infeksi kuman banal
Anemia mikrositik hipokrom ec penyakit kronik
P/ terapi lanjut
Gene Xpert
Analisa Cairan Pleura
BTA Sputum
19-02- O/ thorax: vesikuler, suara napas melemah mulai RIC V dextra
18 kebawah, perkusi pekak mulai RIC V kebawah. Ronkhi +/+, Wheezing -
/-
20-02- O/ LED :128
18 Hasil analisis cairan pleura:
Volume : 3cc
Kekeruhan : positif
Warna : kuning
Jumlah sel : 1.075/mm
PMN : 20%
MN : 80%
GeneXpert:
MTB not detected
21-02- P/ Etambutol 1x500 mg
18
24-02- O/Thorax: vesikuler, suara napas melemah mulai RIC IV dextra
18 kebawah. Perkusi pekak mulai RIC IV kebawah. Ronkhi +/+, Wheezing
-/-
BAB IV

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien anak perempuan berusia 11 tahun di Bangsal


Anak RSUP Dr. M Djamil Padang pada 17 Februari 2018. Anak datang dengan keluhan
utama sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 minggu yang lalu. Sesak napas
dapat disebabkan oleh gangguan paru, jantung dan metabolik. Sesak napas dirasakan
sejak dua minggu yang lalu dan meningkat sejak satu minggu terakhir, sesak tidak
menciut, tidak dipengaruhi cuaca maupun makanan dan anak merasa lebih nyaman
tidur dengan bantal ditinggikan. Sehingga sesak akibat gangguan metabolik dapat
disingkirkan.

Pasien mengeluhkan demam sejak dua minggu yang lalu, tidak tinggi, hilang
timbul, tidak menggigil dan tidak berkeringat banyak. Batuk berdahak sejak dua
minggu yang lalu tidak berdahak. Adanya demam dan batuk yang berlangsung lebih
dari dua minggu menunjukan adanya infeksi kronik pada paru pada pasien, sehingga
dapat disingkirkan gangguan jantung pada pasien. Pasien juga mengeluhkan adanya
keringat malam sejak dua minggu yang lalu, penurunan nafsu makan dan penurunan
berat badan, serta nyeri dada yang dirasakan terutama saat batuk. Keringat malam
disebabkan oleh produksi tumor necrosis factor (TNF) sebagai respon terhadap
inflamasi, produksi TNF meningkat pada malam hari, peningkatan TNF pada malam
hari menimbulkan manifetasi keringat malam. Penurunan nafsu makan disebabkan
oleh gangguan regulasi hormon yang mempengaruhi nafsu makan pada TB.
Menurunnya asupan makan dan adanya infeksi menyebabkan terjadinya penurunan
berat badan pada pasien.

Dari hasil anamnesis didapatkan pasien belum pernah mengalami keluhan


yang sama sebelumnya dan ibu pasien menderita batuk lama dan berbadan kurus. Hal
ini merupakan faktor risiko kontak lama dan erat bagi pasien.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien sesak dengan laju pernapasan


46x/menit, status gizi kurang, konjungtiva anemis, gerakan dinding dada kanan
tertinggal, suara napas kanan melemah mulai RIC VI kanan kebawah, ronkhi ada,
perkusi thorax redup mulai RIC VI hemitoraks kanan kebawah sedangkan perkusi
hemithorax kiri sonor. Pada pemeriksan darah rutin didapatkan Hb 8.8 dan leukosit
14.250.

Sesak napas merupakan mekanisme kompensasi tubuh untuk memenuhi


kebutuhan oksigen dikarenakan adanya gangguan pada sistem pernapasan. Sesak
disertai batuk berdahak berwarna kehijauan menandakan adanya infeksi pada paru.
Pada tuberkulosis terjadi infeksi pada parenkim paru sehingga terjadi penurunan fungsi
paru, hal ini menyebabkan tubuh berkompensasi untuk tetap dapat memenuhi
kebutuhanya dengan meningkatkan frekuensi pernapasan. Sesak juga akan timbul
apabila tuberkulosis telah menimbulkan komplikasi seperti efusi pleura.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya konjungtiva anemis yang didukung


dengan hasil pemeriksaan laboratorium anemia dengan Hb 8,8. Pada pemeriksaan
toraks ditemukan pergerakan dada kanan tertinggal, suara napas melemah, ronkhi dan
fremitus kanan melemah. Hal ini menunjukan adanya massa ataupun cairan pada paru
kanan. Adanya ronkhi menandakan terdapatnya infiltrat yang dapat disebabkan oleh
proses infeksi.

Pada hasil pemeriksaan labor didapatkan leukosit 14.250 dengan kesan


leukositosis. Hal ini mendukung adanya infeksi pada pasien. Hasil pemeriksaan
GenExpert menyatakan tidak ditemukannya MTB dan hasil pemeriksaan BTA negatif.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, darah rutin dan pemeriksaan lanjutan


ditegakan diagnosis efusi pleura dextra ec susp TB paru DD/ kuman banal, keganasan
dan anemia mikrositik hipokrom ec susp defisiensi Fe DD/ penyakit kronik. Diagnosis
TB pada anak ditegakan pada 4 hal yakni konfirmasi bakteriologis, gejala klinis khas,
bukti infeksi TB dan foto thorax sugestif.1 Pada anak ditemukan adanya gejala klinis
khas yakni demam lebih dari 2 minggu, batuk lebih dari 2 minggu, penurunan berat
badan dan keringat malam. Konfirmasi bakteriologis telah dilakukan pada pasien yakni
pemeriksaan BTA dan GeneXpert, hasil pemeriksaan BTA pada pasien negatif.
Menurut literatur, hasil pemeriksaan bakteriologis pada anak seringkali bersifat negatif
palsu dikarenakan lesi pada anak bersifat pausibasiler.2 Adanya bukti infeksi yakni
melalui pemeriksaan uji tuberkulin tidak dilakukan pada pasien dikarenakan sedang
tidak tersedianya reagen. Gambaran foto toraks pasien adalah efusi pleura yang
merupakan sugestif TB.1

Penegakan diagnosis TB pada anak dapat menggunakan sistem skoring.


Adanya kontak TB dengan orang yang tidak diketahui status BTA nya memberikan
poin 2, uji tuberkulin tidak dilakukan sehingga tidak dapat dinilai, status gizi anak
BB/TB 75,64% sehingga memberikan 1 poin, demam lebih dari dua minggu tanpa
penyebab yang jelas memberikan poin 1, batuk lebih dari dua minggu memberikan
poin 1, tidak teraba adanya pembesaran KGB, tidak ditemukan adanya pembengkakan
pada tulang dan sendi, adanya efusi pada foto toraks bersifat sugestif TB memberikan
poin 1. Total skor adalah 6. Skor ≥ 6 dapat ditegakan diagnosis TB dan diberikan terapi
OAT. 1

Hb pasien 8,8 memberikan kesan anemia. MCV MCH dan MCHC dibawah
normal memberikan kesan anemia mikrositik hipokrom. Untuk mengetahui anemia
mikrositik hipokrom pada pasien disebabkan oleh penyakit kronis atau defisiensi Fe
dapat dilakukan penilaian index Mentzer. Index Mentzer adalah index yang digunakan
untuk mengidentifikasi anemia mikrositik hipokrom dengan validitas yang baik. Index
Mentzer didapatkan dari hasil MCV/RBC. anemia disebabkan oleh defisiensi Fe
apabila index Mentzer >14. Pada pasien didapatkan Index Mentzer 12, sehingga
diagnosis anemia karena defisiensi Fe dapat disingkirkan.8

Pada pasien diberikan terapi Oksigen 3L/menit, IVFD KAEN 1B 22tpm makro,

Isoniazid 1x300 mg po, Rifampisin 1x450 mg po, Pirazinamid 1x900 mg po, Vit B6

3x10 mg po, Prednison 2-2-2 po, Paracetamol 300 mg p.o. (T≥38,5˚C). Terapi TB pada

anak dengan BTA negatif menggunakan panduan INH, rifampisin dan pirazinamid

pada fase inisial diikuti rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan. Pemberian OAT
dapat diberikan dalam sediaan terpisah atau kombinasi dosis tetap.1 Pada follow up

didapatkan hasil analisis cairan pleura yang mendukung adanya infeksi bakteri. Efusi

pleura pada pasien dapat disimpulkan disebabkan oleh infeksi kuman TB. Adanya efusi

pleura TB dikategorikan sebagai TB berat dan terapi OAT pada TB berat menggunakan

4 regimen, sehingga ditambahkan etambutol 1x500 mg pada anak.1,4

Prednison diberikan pada pasien dengan tujuan mengurangi efek sekuele

fibrotik dan mempercepat penyerapan cairan efusi. Steroid dapat memperpendek fase

demam dan mempercepat penyerapan cairan serta mencegah perlekatan.7 Parasetamol

diberikan sebagai antipiretik dan hanya diberikan ketika suhu diatas 38,5 C.
DAFTAR PUSTAKA

1. KEMENKES RI. Bukut petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak.

Jakarta; 2016.

2. Ramos S, Gaio R, Ferreira F, Leal JP, Martins S, Santos JV et al.

Tuberculosis in children from diagnosis to treat. Rev Port Pneumol.2017;

23(6): 317-322

3. Devi HJG. Complications of pulmonary tuberculosis. Department of

Respiratory Medicine, India.

4. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis: epidemiologi. Dalam: Buku

Respirologi Anak, editor Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyano DB. Edisi I.

Jakarta: IDAI, 2008. p 164-169

5. Rahajoe NN, Setyanto DB. Tuberkulosis: Patogenesis dan Perjalanan

Alamiah. Dalam: Buku Respirologi Anak, editor Rahajoe NN, Supriyanto B,

Setyano DB. Edisi I. Jakarta: IDAI, 2008. p 169-173

6. Rahajoe NN, Setyanto DB. Tuberkulosis: Diagnosis tuberculosis pada anak.

Dalam: Buku Respirologi Anak, editor Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyano

DB. Edisi I. Jakarta: IDAI, 2008. p 194-200

7. Basir D, Yani FF. Tuberkulosis: Tuberkulosis dengan keadaan khusus.

Dalam: Buku Respirologi Anak, editor Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyano

DB. Edisi I. Jakarta: IDAI, 2008. p 228


8. Alam SLS, Purnamasari R, Bahar E, Rahadiyanto KY. Metnzer index as

screening tool for iron deficiency anemia in 6-12 year old children.

Paediatrica Indonesiana. 2014;54(5): 294-296

Anda mungkin juga menyukai