Anda di halaman 1dari 5

GENERASI CERDAS BIJAK MENGGUNAKAN ANTIBIOTIK

Oleh : 20.08.06.02

Sejak penemuan antibiotik penggunaan antibiotik meluas pada kesehatan


medis manusia, hewan dan tumbuhan. Antibiotika, yang pertama kali ditemukan oleh
Paul Ehrlich pada 1910, yang disebut “magic bullet”, yang dirancang untuk
menangani infeksi mikroba. Pada tahun 1910, Ehrlich menemukan antibiotika
Salvarsan, yang digunakan untuk melawan syphilis. Selanjutnya Alexander Fleming
yang menemukan penicillin pada tahun 1928. kemudian, Gerhard Domagk
menemukan sulfa, yang membuka jalan penemuan obat anti TB, isoniazid. Pada
1943, anti TB pertama, streptomycin, ditemukan oleh Selkman Wakzman dan Albert
Schatz. Wakzman pula orang pertama yang memperkenalkan terminologi antibiotik.
Sejak saat itu antibiotika ramai digunakan klinisi untuk menangani berbagai penyakit
infeksi (Zhang, 2007).
Antibiotik merupakan bahan kimiawi yang dihasilkan oleh organisme seperti
bakteri dan jamur, yang dapat mengganggu mikroorganisme lain. Biasanya bahan ini
dapat membunuh bakteri (bakterisidal) atau menghambat pertumbuhan bakteri
(bakteriostatik) atau mikroorganisme lain. Beberapa antibiotik bersifat aktif terhadap
beberapa spesies bakteri (berspektrum luas) sedangkan antibiotik lain bersifat lebih
spesifik terhadap spesies bakteri tertentu (berspektrum sempit) (Bezoen dkk, 2001).
Antibiotik tidak saja digunakan untuk keperluan pengobatan dan terapi
manusia, tetapi juga digunakan dalam bidang peternakan dan pertanian. Dampak
dari pengunaan antibiotik yang berlebih terjadinya seleksi bakteri yang resistan
terhadap antibiotik dan terjadinya transfer dari satu jenis bakteri ke bakteri lain
(Parker, 1982).
Fakta di masyarakat Indoneisa sebelum tahun 2000-an yang penulis dapat
dari seorang nara sumber, terjadi di klinik umum dan puskesmas yang meresepkan
antibiotik pada penyakit flu yang sebenarnya disebabkan virus sebagai sesuatu yang
menyedihkan, karena pasien tidak dibekali dengan anjuran penggunaan yang tepat.
Sekitar tahun 2002, mulai ada kesadaran ditandai dengan poster di Puskesmas
berisi tentang bahaya resistansi akibat kesalahan penggunaan antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang sebelumnya terkesan royal mulai saat itu menjadi
dibatasi dan tenaga medis pun memberi saran anjuran penggunaan resep antibiotik.
Sejak tahun 2011, WHO mengkampanyekan tema “Antimicrobacterial
Resistance and it’s Global Spread”, hingga saat ini terus digalakkan kampanye dan
sosialisasi pengobatan secara rasional yang meliputi pengobatan tepat, dosis tepat,
lama penggunaan yang tepat serta biaya yang tepat. No action today, no cure
tomorrow.

Faktor Penyebab Meningkatnya Resistansi terhadap Antibiotik


Resistansi bakteri terhadap antibiotik muncul karena banyak mekanisme dan
cenderung semakin rumit pendeteksiannya. Berbagai mekanisme genetik ikut
terlibat termasuk di antaranya mutasi kromosom, ekspresi gen – gen resisten
kromosom laten, didapatkan resistansi genetik baru melalui pertukaran DNA
langsung, atau melalui mekanisme yang disebut transformasi , transduksi dan
konjugasi

Gambar 1. Bakteri
memperoleh gen resisten
antibiotik dikutip dari
Levy (1998)

Penyebab utama resistansi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas


dan irasional. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk kepentingan manusia
dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus.
Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya resistansi,antara lain :
1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlalu singkat, dalam dosis
yang terlalu rendah, diagnosa awal yang salah
2. Pengetahuan pasien yang kurang tentang penggunaan antibiotika
Kecenderungan pasien dengan kemampuan financial yang baik akan
meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun
tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan
dari dokter (self medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan financial
yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.
3. Jumlah resep yang diberikan klinisi meningkat ketika diagnose awal belum
pasti.
4. Perilaku hidup sehat : terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci
tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai
untuk memeriksa pasien.
5. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak : antibiotik juga dipakai
sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan
hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan
terjadinya resistansi.
6. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi
serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan jumlah antibiotika yang
beredar mudah diakses masyarakat luas
7. Kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotika
baru (Bisht et al, 2009)
8. Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan
pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan
antibiotika . Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik
untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi
(Kemenkes RI, 2011).

Gambar 2. Penyebab penyebaran


bakteri resistan dari ternak ke
manusia
dikutip dari: www.cdv.gov/foodsafety
Berdasarkan gambar di atas bakteri resistan yang berasal dari ternak bisa
menyebar ke berbagai produk pangan manusia, terpapar pada tubuh manusia
sehingga manusia pun menjadi kebal terhadap bakteri tersebut saat terjadi infeksi.
Upaya untuk menekan laju antibiotik perlu dilakukan sebab membuat
antibiotik saja butuh waktu puluhan tahun, jika antibiotik tidak segera dikendalikan
maka diprediksi akan menjadi pembunuh terbesar di tahun 2050.
Upaya cara mencegah terjadinya resistansi bakteri terhadap antibiotik :
1. Mendorong penggunaan antibiotik secara rasional ( antibiotik hanya diberikan
untuk indikasi yang jelas)
2. Mengurangi penggunaan yang tidak perlu, baik untuk profilaksis, maupun
terapi, terakhir, proses seleksi antibiotik termasuk dosis, frekuensi, dan lama
pemberian harus dilakukan secara lebih seksama untuk meningkatkan
efektivitas antibiotik dalam menanggulangi inveksi
3. Edukasi dan training pasien juga merupakan hal penting untuk dilakukan.
Pesan akan diterima dengan baik apabila disampaikan oleh pemimpin lokal
atau orang yang dianggap berpengaruh (Bisht et al, 2009). Pesan dapat
disampaikan melalui berbagai media misalnya melalui iklan di televisi, radio,
koran. Perlu disebarluaskan bahwa tidak semua jenis penyakit dapat
disembuhkan dengan pemberian antibiotik. Kalaupun perlu, pemakaian
antibiotik harus sesuai dengan instruksi dokter baik dosis maupun rentang
terapinya.
4. Perlunya sosialisasi generasi muda sejak dini terhadap bahaya resistansi
antibiotik melalui pembelajaran di kelas, kegiatan PMR, KIR, sosial media
yang sering di akses oleh kalangan muda.
DAFTAR PUSTAKA

1. APUA (Alliance for prudent use of antibiotics). 2011. What is antibiotic


resistance and why is it problem?. www.apua.org on 16-09-2011.

2. Bisht, et al, 2009. Antibiotic resistance- A global issue of concern. Asian jurnal
of pharmaceutical Vol. 2

3. Eka Rahayu Utami, Antibiotika, Resistansi, Dan Rasionalitas Terapi, Jurnal


Sainstis. Volume 1, Nomor 1, April – September 2012 Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. 2015.

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2015


Tentang Program Pengendalian Resisten

5. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology, 21st ed, Prentice Hall
International Inc, 145 – 176

6. WHO Chronicle ,Antibiotic Resistance in Pathogenic Bacteria., 36 (5) : 191 –


196.

7. Zhang, Y. 2007. Mechanisms of antibiotic resistance in the microbial world.


Baltimore, USA

Anda mungkin juga menyukai