Anda di halaman 1dari 27

Referat

Gangguan Dismorfik Tubuh

Oleh :
Raend Karmel Demukato Sembiring Maha
17014101253
Masa KKM : 10 Desember 2018 – 06 Januari 2019

Pembimbing :
dr. Anita E. Dundu, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul

“Gangguan Dismorfik Tubuh”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada Desember 2018

Oleh:

Raend Karmel Demukato Sembiring Maha


17014101253
Masa KKM : 10 Desember 2018 – 06 Januari 2019

Pembimbing :

dr. Anita E. Dundu, Sp.KJ


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3

A. Definisi ............................................................................................... 3

B. Epidemiologi ...................................................................................... 5

C. Etiologi ............................................................................................... 6

D. Faktor Resiko ...................................................................................... 6

E. Patofisiologi ........................................................................................ 7

F. Ciri-Ciri Body Dismorphic Disorder .................................................. 8

G. Diagnosis ............................................................................................ 10

H. Gambaran Klinis ................................................................................. 12

I. Diagnosis Banding.............................................................................. 13

J. Perjalanan Penyakit dan Prognosis ..................................................... 13

K. Penatalaksanaan .................................................................................. 14

L. Prognosis ............................................................................................ 20

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 22

i
BAB I

PENDAHULUAN

Perempuan dan kecantikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam

diri perempuan meyakini bahwa kecantikan itu penting, sehingga banyak timbul

permasalahan bagi perempuan ketika mereka berusaha untuk menjadi cantik yang

menyebabkan perempuan banyak mengalami ketidakpuasan terhadap tubuhnya. Para

perempuan dalam permasalahan fisiknya bukan lagi masalah baru, bahkan bisa

dikatakan problem klasik perempuan.1,2

Salah satu yang dinilai makin banyak terjadi, permasalahan psikologis pada

perempuan adalah sindrom kelainan dismorphic tubuh (body dysmorphic disorder).

Gangguan tersebut semakin sering terjadi, terutama di kalangan remaja putri. Penelitian

menunjukkan bahwa sekitar 50-88 % dari remaja putri merasa negatif tentang bentuk

tubuh mereka atau ukuran bentuk tubuhnya. 1,2

Selama beberapa tahun terakhir, bedah kosmetik telah menjadi semakin populer.

Orang dengan masalah seperti gangguan dismorphic (Body Dismorphic Disorder), tidak

puas dengan penampilan fisik mereka, dan sejumlah besar mencoba untuk menerima

perawatan medis kosmetik untuk keluhan mereka. Tampaknya relatif mudah bagi

mereka untuk menerima jenis operasi, meskipun fakta bahwa ia tidak memiliki atau

bahkan efek samping pada gejala. 1,2

Individu yang merasa tidak puas akan bentuk tubuhnya selalu mengalami

beberapa gejala seperti benci dengan diri sendiri, selalu merasa jelek atau sering iri

dengan kesempurnaan fisik orang lain yang membuat individu melakukan hal yang

mengkhawatirkan, walau berkali-kali memperbaiki atau merawat diri mereka individu

1
selalu merasa diri mereka buruk. Sehingga individu harus menyadari bahwa peilakunya

mengarah kepada hal yang negatif yang dapat merugikan diri individu tersebut. 1,2

Pasien dengan body dysmorphic disorder yang memilih untuk menjalani operasi

plastik umumnya tidak puas dengan hasil operasi, dan kemudian seringkali menjadi

cemas dengan bagian tubuh lainnya. Mereka seringkali terobsesi oleh berbagai situs

pemberi informasi mengenai hasil pasca operasi. 2,3

Remaja putri lebih terpengaruh oleh bayangan atau citra tubuh ideal yang

diajarkan oleh kebudayaan atau lingkungan mereka. Remaja putri banyak menunjukkan

ketidakpuasan mereka terhadap tubuh, khususnya remaja putri yang lebih banyak

mengembangkan citra tubuh negatif. Oleh karena itu penampilan fisik mempunyai

pengaruh yang cukup besar bagi remaja putri terhadap bagaimana mereka dalam

menilai dirinya. Perhatian terhadap gambaran tubuh seseorang sangat kuat terjadi pada

remaja yang berusia 12 hingga 18 tahun, baik pada remaja perempuan maupun laki-

laki.2,3

Citra tubuh merupakan sikap yang dimiliki seseorang terhadap tubuhnya berupa

penilaian positif dan negatif. Citra tubuh terbentuk ketika memasuki perkembangan

remaja. Persepsi negatif remaja terhadap gambaran tubuh akan menghambat

perkembangan kemampuan interpersonal dan kemampuan membangun hubungan yang

positif dengan remaja lain.1,2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Body Dysmorphic Disorder (BDD) awalnya dikategorikan sebagai

dysmorphophobia. Istilah tersebut untuk pertama kalinya dimunculkan oleh seorang

doktor Italia yang bernama Morselli pada tahun 1886. Dysmorphophobia berasal dari

bahasa Yunani, “dysmorph” yang berarti misshapen dalam bahasa Inggris. Kemudian

namanya diresmikan oleh American Psychiatric Classification menjadi Body

Dysmorphic Disorder (BDD). Sebenarnya, sejak Freud praktek sudah disinyalir

mengenai gejala ini yang oleh Freud sendiri dinamakan sebagai ‘wolf man’. Karena

gejala Body Dysmorphic Disorder (BDD) tersebut terjadi pada seorang pria bernama

Sergei Pankejeff yang mempunyai masalah dengan kecemasan terhadap bentuk

hidungnya.1,2

Istilah Body Dysmorphic Disorder (BDD), secara formal juga tercantum dalam

Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (4th Ed), untuk menerangkan

kondisi seseorang yang terus menerus memikirkan kekurangan fisik minor atau bahkan

imagine defect. Akibatnya, individu itu tidak hanya merasa tertekan, bahkan kondisi

tersebut melemahkan taraf berfungsinya individu dalam kehidupan sosial, pekerjaan

atau bidang kehidupan lainnya (misalnya, kehidupan keluarga dan perkawinan).1,2

Media kadang menyebutnya sebagai ”imagined ugliness syndrome”. Body

Dysmorphic Disorder (BDD) dimasukkan ke dalam DSM IV di bawah somatization

disorders. Keduanya merupakan gangguan tubuh (somatoform) yang disebabkan oleh

pengaruh psikologis dan kesulitan emosional yang ditunjukkan dengan bentuk-bentuk

perilaku tubuh tertentu. Kata “soma” berasal dari bahasa Yunani yang memiliki

3
persamaan istilah dengan “body”. Somatoform disorders merupakan lima gangguan

besar yang saling berhubungan.3,4

Secara sederhana, seorang yang terkena gangguan Body Dysmorphic Disorder

(BDD) selalu mencemaskan penampilan karena merasa memiliki kekurangan pada

tubuhnya (body image yang negatif). Body image adalah suatu pandangan internal

seseorang mengenai penampilannya. “Body image is an internal view of one’s own

appearance”. Body image juga mengandung arti sebagai persepsi dan penilaian tubuh,

fungsi fisik, dan penampilan seseorang terhadap dirinya sendiri. Body image adalah

gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya; bagaimana

seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan

rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana ‘kira-kira penilaian

orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu

benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil

penilaian diri yang subyektif. 3,4

Gangguan dismorfik tubuh adalah gangguan yang memiliki perasaan subjektif

yang pervasif mengenai keburukan beberapa aspek penampilan, walaupun penampilan

mereka hampir normal atau normal. Inti gangguan ini adalah keyakinan atau ketakutan

seseorang yang kuat bahwa dia tidak menarik atau menjijikan. Rasa takut ini jarang bisa

dikurangi dengan pujian atau penentraman, meskipun pasien yang khas dengan

gangguan ini cukup normal penampilannya. 3,4

Definisi Body Dysmorphic Disorder (BDD) dapat diindikasikan dengan gejala

ketidak-puasan tingkat tinggi terhadap tubuh, pemikiran negatif atau hubungan kognisi

terhadap bagian-bagian tubuh tertentu atau bahkan tingkatan yang tinggi dari

penghindaran situasi sosial yang disebabkan perasaan-perasaan negatif mengenai tubuh.

4
“These measure may indicate high levels of body dissatisfaction, negative thoughts, or

cognitions associated with certain body parts, or even high levels of social avoidance

due to negative feelings about the body”. 3,5

Dengan demikian, Body Dysmorphic Disorder (BDD) adalah gangguan pada

seseorang yang mengalami ketidak-puasan terhadap beberapa bagian tubuh dengan

tingkat yang tinggi, kecemasan yang ditunjukkan dengan perilaku obsesif-kompulsif,

pikiran dan perasaan yang negatif mengenai tubuh, serta menghindari hubungan dan

situasi sosial. 4,5

B. Epidemiologi

Gangguan dismorfik tubuh merupakan keadaan yang sedikit dipelajari,

dikarenakan sebagian pasien lebih cenderung pergi ke dermatologis, internis, atau ahli

bedah plastik dari pada ke psikiater.5,6

Satu Studi pada satu kelompok mahasiswa perguruan tinggi menemukan bahwa

lebih dari 50% mahasiswa sedikitnya memiliki beberapa preokupasi terhadap aspek

tertentu penampilan mereka dan pada 25% mahasiswa memiliki kekhawatiran tersebut,

sedikitnya memiliki beberapa efek yang signifikan terhadap perasaan dan fungsi

mereka. 5,6

Awitan usia yang paling lazim ditemukan adalah antara usia 15 -30 tahun (masa

remaja dan dewasa muda). Perempuan lebih sering terkena dari pada laki-laki. Pasien

yang mengalami gangguan ini cenderung tidak menikah. Biasanya gangguan ini dapat

timbul bersamaan dengan gangguan jiwa lain. 5,6

Satu studi menemukan bahwa lebih dari 90% pasien dengan gangguan ini pernah

mengalami episode depresif berat didalam hidup mereka, kira-kira 70% pernah

mengalami gangguan ansietas, dan kira-kira 30 % pernah mengalami gangguan

5
psikotik. Studi lain menemukan bahwa rata-rata pasien memiliki kekhawatiran

mengenai 4 daerah tubuh selama perjalanan gangguan ini. 5,6

Sebanyak sepertiga pasien dapat mendekap dirumah karena khawatir diejek untuk

deformitas yang diduga dan seperlima pasien mencoba bunuh diri. Seperti yang telah

didiskusikan sebelumnya, diagnosis komorbid, gangguan depresif dan gangguan

ansietas lazim ada dan pasien juga memiliki ciri obsesif kompulsif, skizoid, dan

gangguan kepribadian narsisistik. 5,6

C. Etiologi

Penyebab gangguan ini tidak diketahui. Komorbiditas yang tinggi dengan

gangguan yang depresif, riwayat keluarga dengan gangguan mood dan gangguan

obsesif kompulsif yang lebih tinggi dari yang diperkirakan, serta responsifitas keadaan

tersebut terhadap obat yang spesifik serotonin menunjukan bahwa sedikitnya pada

beberapa pasien patofisiologi gangguan ini melibatkan serotonin dan dapat terkait

dengan gangguan jiwa lain.7,8

Konsep stereotipik mengenai kecantikan ditekankan pada keluarga tertentu dan

didalam budaya dapat mempengaruhi pasien dengan gangguan dismorfik tubuh secara

signifikan. Pada model psikodinamik, gangguan dismorfik tubuh dilihat sebagai

tindakan mementingkan konflik seksual atau emosional ke bagian tubuh yang tidak

berkaitan. Hubungan tersebut terjadi melalui mekanisme pertahanan represi, disosiasi,

distorsi, simbolisasi, proyeksi. 7,8

D. Faktor Resiko

Sampai saat ini, belum ada penelitian yang memastikan penyebab Body

Dysmorphic Disorder (BDD) dengan jelas. Riwayat dilecehkan tubuhnya pada masa

kanak-kanak, tidak dicintai orang tua, dan mempunyai penyakit yang mempengaruhi

6
penampilan, jerawat misalnya, bisa dikategorikan menjadi penyebab gejala Body

Dysmorphic Disorder (BDD). 7,8

Jika diklasifikasikan, ada dua aspek yang masih menjadi dugaan penyebab Body

Dysmorphic Disorder (BDD). Pertama, adanya ketidakseimbangan cairan kimia

(hormon serotonin) di dalam otak, yang berpengaruh terhadap kapasitas obsesi. Kedua,

kemungkinan faktor-faktor sifat, psikologis, maupun budaya.9,10

Beberapa Faktor Resiko yang sangat berpengaruh untuk terjadinya BDD adalah :

 Lingkungan.

Gangguan dismorfik tubuh berkaitan dengan tingginya tingkat pengabaian pada

anak dan pelecehan anak.

 Genetik dan psikologikal.

Prevalensi gangguan dismorfik tubuh meningkat pada individu dengan keluarga

yang mempunyai gangguan obsesif kompulsif.

E. Patofisiologi

Meskipun pemahaman tentang patofisiologi gangguan dismorfik tubuh masih

terbatas, hal ini tetap merupakan subjek dalam berbagai penelitian. Beberapa studi telah

meneliti peran kausal dari gangguan transmisi serotonergik. Hal ini didasarkan dari

bukti yang menggambarkan efektivitas SSRI dalam pengobatan gangguan dismorfik

tubuh. Secara keseluruhan, peran transmisi serotonergik sebagai penyebab gangguan

dismorfik tubuh tetap menjadi subyek penelitian yang tetap diselidiki.10,11

Selain penyebab neurotransmitter dalam gangguan dismorfik tubuh, beberapa

model perilaku kognitif telah dikembangkan untuk menjelaskan gangguan ini.

Meskipun diakui bahwa kebanyakan orang menemukan setidaknya 1 aspek dari

penampilan mereka di mana mereka tidak puas, orang dengan gangguan dismorfik

7
tubuh lebih dirasakan terobsesi pada cacatnya. Orang-orang ini dipercaya menggunakan

proses maladaptif kognitif yang menyebabkan penekanan berlebihan tentang pentingnya

daya tarik yang dirasakan. Berdasarkan logika ini, individu dengan gangguan dismorfik

tubuh, menempatkan penekanan yang tidak proporsional pada daya tarik fisik,

memandang dirinya secara negatif, juga mengalami rasa rendah diri, gelisah, malu, dan

kesedihan. Orang-orang ini menggunakan metode koping yang maladaptif seperti

menatap cermin atau penghindaran. 10,11

F. Ciri-ciri Body Dismorphic Disorder

Tidak semua orang yang memperhatikan atau mengkhawatirkan penampilan,

dapat langsung dikategorikan sebagai BDD. Ada beberapa karakteristik dari penderita

BDD: 10,11

1. Rendahnya self-esteem dan konsep diri negative

Penderita BDD, biasanya memiliki self esteem yang rendah dan konsep diri yang

negatif. Perasaan takut untuk dilecehkan, diabaikan, disingkirkan dan dijauhi –

membuat mereka sering merasa tidak nyaman berada di tengah-tengah komunitas.

Mereka pun dikatakan memiliki perasaan tidak berguna, serta memiliki perasaan yang

terlalu sensitif. Penderita merasa takut jika orang lain memperhatikan kekurangan dan

“cacat” tersebut, sehingga mereka melakukan ritual-ritual untuk menutupi

“kekurangan”. Ritual seperti:12,13

a. Menghabiskan waktu lama untuk berkali-kali bercermin, memeriksa

penampilan diri atau bahkan tidak pernah mau berkaca – menghindari

cermin

b. Selalu memfokuskan kekurangan diri untuk dibandingkan dengan orang lain

8
c. Selalu membutuhkan konfirmasi dari orang lain, bahwa kekurangan itu

tidaklah seberapa atau dia tidak lah terlalu buruk

d. Berdandan secara berlebihan, untuk menutupi “kekurangan”, misalnya

dengan terus menerus menyisir dan menata rambut, menggunakan make up

berulang kali (dihapus dan dipoles kembali), menggunakan topi atau kaca

mata gelap untuk menutupi mata, berulang kali bercukur, sampai sengaja

menggunakan pakaian / kostum tertentu (yang kurang proporsional) untuk

menyebunyikan kekurangannya

e. Sering sekali berkonsultasi dan meminta treatment dari Dermatologist, ahli

kosmetik, atau pun berkali-kali operasi plastik (dan tidak pernah merasa

puas akan hasilnya)

f. Berlatih amat keras atau pun diet super ketat untuk membentuk tubuh untuk

mencapai bentuk ideal yang didambakan

g. Bering sekali dan berulang-ulang menyentuh bagian yang dinilai sebagai

kekurangan

h. Selalu mencari referensi bacaan yang membicarakan masalah bagian tubuh

yang dirasa kurang

2. Menghabiskan 1 - 3 jam setiap hari untuk mengurusi penampilan

Penderita BDD, umumnya larut dalam pemikiran dan perilaku berkaitan dengan

perceived defect paling tidak minimal 1 jam atau lebih setiap harinya. Namun, hasil

penelitian terhadap pasien remaja, mereka bahkan menghabiskan waktu selama 3 jam.

Mereka juga dikatakan kurang memiliki pemahaman atas masalah yang terjadi (ada

sesuatu yang tidak benar sedang terjadi pada diri saya; atau, apa yang menjadi masalah

saya sesungguhnya).13,14

9
3. Menghindari situasi sosial dan penurunan fungsi sosial

Penderita BDD, seringkali menghindari situasi sosial karena mereka takut jika

orang lain akan memperhatikan dan mengetahui kekurangan mereka. Akibatnya,

beberapa orang sampai tidak masuk sekolah, tidak masuk kerja, bahkan tidak mau

bertemu siapa-siapa. Mereka pun mengalami kesulitan dalam membina hubungan

dengan teman-teman, keluarga dan bahkan pasangan. Menurut hasil penelitian,

penderita BDD mengalami penurunan dalam performance mereka, baik di sekolah

maupun di tempat kerja atau dalam bidang kehidupan lainnya, karena pikiran mereka

dipenuhi obsesi terhadap perceived defect sehingga sulit memfokuskan perhatian dan

konsentrasi pada hal lain. 13,14

4. Disertai simptom depresi

Kondisi lain yang menyertai symptom BDD, adalah adanya major depression.

BDD telah memunculkan kondisi depresi yang cukup berat, dan bukan karena

sebaliknya (bukan depresi menyebabkan BDD, tapi BDD menyebabkan depresi).

Probablitias resiko bagi penderita BDD untuk bunuh diri.14,15

G. Diagnosis

1) DSM IV-TR

A. Preokupasi mengenai defek khayalan terhadap penampilan jika terdapat

sedikit anomali fisik, kepedulian orang tersbut sangat berlebihan

B. Preokupasi ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau

hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan area fungsi penting lain

10
C. Preokupasi ini tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan jiwa lain

(cnth., ketidakpuasan akan bentuk tubuh dan ukuran pada anoreksia

nervosa)

2) DSM V

1. Preokupasi pada satu atau lebih bagian tubuh yang mengalami kekurangan

atau kecacatan yang tidak terlihat atau terlihat normal bagi orang lain

2. Dalam suatu waktu pada saat terjadinya penyakit, seseorang berperilaku

berulang (berkaca, berdandan berlebihan, mengorek kulit) atau perilaku

mental (membandingkan penampilan dengan orang lain) sebagai tanggapan

terhadap kekhawatiran terhadap penampilan.

3. Preokupasi ini menyebabkan gangguan yang secara klinis bermakna dan

hendaya dalam fungsi sosial, perkerjaan dan area fungsi penting lain.

4. Preokupasi ini tidak diakibatkan oleh kekhawatiran akan lemak tubuh atau

berat badan pada individu dengan gangguan makan

Spesifik jika : Dengan dismorfia otot : seseorang dengan preokupasi bahwa

badannya sangat kecil atau kekurangan otot. Spesifik ini digunakan bahkan jika

seseorang preokupasi dengan area badan yang lain, yang sering

Spesifik jika : Tingkatan tilikan berdasarkan kepercayaan gangguan dismorfik

tubuh (saya terlihat jelek atau saya cacat)

Dengan tilikan yang baik : Sesorang menyadari bahwa kepercayaan gangguan

dismorfik tubuh adalah salah atau kemungkinan salah

Dengan tilikan buruk : seseorang berpikir bahwa kepercayaan tentang gangguan

dismorifk tubuh adalah kemungkinan benar

11
Dengan tilikan absen / waham kepercayaan : seseorang sangat percaya bahwa

gangguna dismorfik tubuh adalah benar

H. Gambaran Klinis

Kekhawatiran yang paling lazim mencakup ketidaksempurnaan wajah, terutama

meliputi anggota tubuh tertentu (contohnya hidung). Kadang-kadang, kekhawatiran ini

bersifat samar dan sulit dimengerti seperti kekhawatiran yang berlebihan terhadap dagu

yang bergumpal.15,16

Gejala terkait yang wajib ditemukan mencakup gagasan atau waham rujukan

(biasanya mengenai orang yang memperhatikan ketidaksempurnaan tubuh), baik

berkaca yang berlebihan maupun menghindari permukaan yang dapat memantul, serta

upaya menyembunyikan deformitas yang dianggap ( dengan tata rias atau pakaian)

efeknya pada kehidupan seseorang dapat signifikan, hampir semua pasien dengan

gangguan ini menghindari pajanan sosial serta pekerjaan. 15,16

Bagian tubuh yang sering menjadi perhatian adalah rambut, buah dada dan

genitalia. Varian lain terjadi pada pria adalah hasrat untuk membesarkan otot-otot

tubuhnya yang usaha tersebut sampai mengganggu kehidupan sehari-hari, pekerjaan

atau kesehatannya. 15,16

Bentuk-bentuk perilaku yang mengindikasikan Body Dysmorphic Disorder

(BDD) adalah sebagai berikut : 15,16

a. Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per hari atau

menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan, seperti melalui

cermin atau kamera.

b. Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara berulang-ulang.

c. Meminta pendapat yang dapat mengukuhkan penampilan setiap saat.

12
d. Mengkamuflasekan kekurangan fisik yang dirasakannya.

e. Menghindari situasi dan hubungan sosial.

f. Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi

idealitas penampilan fisiknya.

g. Berpikir untuk melakukan operasi plastik.

h. Selalu tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau ahli bedah plastik.

i. Mengubah-ubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang

dirasakannya.

j. Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada penampilan.

k. Berdiet secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir.

Menurut Weinshenker menyatakan bahwa kecemasan, rasa malu dan juga depresi

merupakan konsekuensi dari gangguan ini.

I. Diagnosis Banding

 Anoreksia nervosa

 Gangguan identitas gender

 Beberapa jenis kerusakan otak tertentu (sindrom acuh/necleg)

 Depresi

J. Perjalanan penyakit dan Prognosis

Awitan gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang mengalami

gangguan ini dapat mengalami kekhawatiran yang bertambah mengenai bagian tubuh

tertentu sampai orang tersebut memperhatikan bahwa fungsinya terganggu.17,18

Kemudian orang tersebut dapat mencari pertolongan medis atau bedah untuk

menyelesaikan masalah yang diduga. Tingkat kekhawatiran mengenai masalah ini dapat

13
memburuk dan membaik seiring waktu, walaupun gangguan ini biasanya menjadi

kronis jika tidak ditangani. 17,18

K. Penatalaksanaan

Terapi pada pasien ini dengan prosedur bedah , dermatologis, dental, prosedur

medis lain untuk menyelesaikan defek yang diduga hampir selalu tidak berhasil. Terapi

yang dapat mengurangi gejala gangguan dismorfik tubuh sedikitnya 50 % adalah obat

dari golongan SSRI , contohnya fluoksetin dan obat dari golongan TCA, contohnya

Clomipiramin. Tidak diketahui sampai kapan pengobatan dilakukan, oleh karena itu

pengobatan harus tetap di lanjutkan.18,19

 Non Farmakologi: Psikoterapi

Terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara psikologik, dilakukan oleh

seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin hubungan kerja sama secara profesional

dengan seorang pasien dengan tujuan untuk mengubah,menghilangkan atau

menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit. 18,19

o Definisi

Terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara psikologik, dilakukan oleh

seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin hubungan kerja sama secara profesional

dengan seorang pasien dengan tujuan untuk mengubah, menghilangkan atau

menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit. 18,19

o Proses

Kerangka proses psikoterapi terdapat 3 fase :19

1. Fase awal

- Tujuannya untuk membentuk hubungan kerjasama dengan pasien

- Tugas terapeutik :

14
a. Memotivasi pasien untuk menerima terapi

b. Menjelaskan dan menjernihkan salah pengertian mengenai terapi bila

ada

c. Meyakinkan pasien bahwa terapis mengerti penderitaannya dan mampu

membantunya

d. Menetapkan secara tentatif (masih dapat berubah) mengenai tujuan

terapi

- Resistensi pasien dapat tampil dalam bentuk :

a. Tidak ada motivasi terapi dan tidak dapat menerima fakta bahwa ia

dapat dibantu

b. Penolakan terhadap arti dan situasi terapi

c. Tidak dapat dipengaruhi, terdapat ostilitas dan agresi, dependesi yang

mendalam

d. Berbagai resistensi lain yang menghambat terjalinnya hubungan sehat

dan hangat

- Masalah kontratransferensi dalam diri terapis :

a. Tidak mampu bersimpati, berkomunikasi dan saling mengerti secara

timbal balik

b. Timbul iritabilitas terhadap penolakan pasien untuk terapi dan terhadap

terapis

c. Tidak mampu memberikan kehangatan kepada pasien

d. Tidak dapat menunjukkan penerimaan dan pengertian terhadap pasien

dan masalahnya

15
2. Fase pertengahan

- Tujuan menentukan perkiraan sebab dan dinamik gangguan yang dialami

pasien, menerjemahkan tilikan dan pengertian (bila telah ada), menentukan

langkah korektif

- Tugas terapeutik :

a. Mengeksplorasi berbagai frustasi terhadap lingkungan dan hubungan

interpersonal yang menimbulkan anxietas.

b. Membantu pasien dalam mengatasi anxietas yang berhubungan dalam

problem kehidupan

- Resistensi pasien dapat tampil dalam bentuk :

a. Rasa bersalah terhadap pernyataan dan pengakuan adanya gangguan

dan kesulitan dalam hubungan interpersonal dengan lingkungan

b. Tidak mau atau tidak mampu (bila ego lemah), menghadapi dan

mengatasi anxietas yang berhubungan dengan konflik, keinginan dan

ketakutan

- Masalah kontratransferensi dalam diri terapis :

a. Terapis mengelak dari problem pasien yang menimbulkan anxietas

dalam diri terapis

b. Ingin menyelidiki terlalu dalam dan cepat pada fase permulaan

c. Merasa jengkel terhadap resistensi pasien

3. Fase akhir

- Tujuan : Terminasi terapi.

- Tugas terapeutik :

a. Menganalisis elemen – elemen dependensi hubungan terapis – pasien

16
b. Mendefinisikan kembali situasi terapi untuk mendorong pasien

membuat keputusan, menentukan nilai dan cita –cita sendiri

c. Membantu pasien mencapai kemandirian dan ketegasan diri yang

setinggi - tingginya

- Resistensi pasien dapat tampil dalam bentuk :

a. Penolakan untuk melepaskan dependensi

b. Ketakutan untuk mandiri dan asertif ( sikap berani untuk

mengungkapkan dan mempertahankan hak dan kepentingannya tanpa

merugikan atau menyakitkan orang lain)

- Masalah kontratransferensi dalam diri terapis :

a. Kecenderungan untuk mendominasi dan terlalu melindungi pasien

b. Tidak mampu mengambil sikap atau peran yang non direktif sebagai

terapis

o Prinsip umum

Psikoterapi dilakukan dengan cara wawancara. Dalam suatu wawancara ,tidak

dapat dipisahkan antara sifat terapeutik dan penegakan diagnosis. Biasanya, pertanyaan

yang diajukan mengandung kedua aspek yaitu untuk mengoptimalkan hubungan

interpersonal dengan pasien (sifat terapeutik) dan untuk melengkapi data dalam usaha

menegakan diagnosis.Dalam melakukan psikoterapi wawancara harus lebih

mengutamakan aspek terapeutiknya, data yang diperlukan akan berangsur terkumpul

dengan kian membaiknya hubungan interpersonal yang terjalin antara dokter dengan

pasiennya , sehingga berartinya suatu wawancara tergantung dari sifat hubungan terapis

17
dengan pasiennya tersebut.Dalam melakukan psikoterapi seorang terapis perlu

menggunakan teknik wawancara yang baik dan benar.19,20

Kelengkapan keterampilan yang harus dimiliki seorang terapis dalam melakukan

psikoterapi adalah : 19,20

a) Mempunyai pengetahuan mengenai dasar-dasar ilmu psikologi dan psikopatologi

serta proses-proses mental.

b) Dapat menarik suatu konklusi tentang keadaan mental pasien yang telah diperiksa.

c) Terampil dan berpengalaman dalam menerapkan teknik dan metode penanganan

fungsi-fungsi mental pasien

d) Kepribadian merupakan variabel yang penting dalam psikoterapi pasien (selain

variabel pasien dan teknik yang digunakan) yang berpengaruh penting dalam

menentukan arah dan hasil terapi. Seseorang yang ingin melakukan psikoterapi

hendaknya memiliki kepribadian dengan kualitas khusus yang memungkinkan

untuk membentuk dan memupuk hubungan yang tepat dan patut dengan pasien-

pasiennya, dengan ciri:

- Sensitif atau sensibel

- Objektif dan jujur

- Fleksibel

- Dapat berempati

- Relatif bebas dari problem emosional atau problem kepribadian yang serius

e) Pengalaman yang diperoleh dalam menangani pasien, kekayaan pengalaman

dalam kehidupan sehari-hari, luasnya wawancara dalam pengetahuan, budaya,

agama, hal-hal spiritual, merupakan bekal yang penting. Problem pribadi yang

dialami tidak dapat menjadi ukuran dalam menangani pasien.

18
 Farmakologi19,20

1. Trisiklik

 Clomipramine

o Sedian tab 25 mg

o Dosis anjuran 75-100mg/jam

o Efek samping

 Efek anti histaminergik (sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan

berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif

menurun)

 Efek anti kolinergik (mulut kering, keluhan lambung, retensi urin,

disuria, pengelihatan kabur, konstipasi, gangguan fungsi seksual, sinus

takikardi)

 Efek antiadrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi ortostatik )

2. SSRI (Serotonin Reuptake Inhibitor)

Golongan Nama obat Sediaan Dosis Keterangan


SSRI Fluoxetine - Cap. 20 mg 20 – 30 mg / hari - Masa kerja 24-96 jam
- Caplet 20 mg - Paling luas digunakan
- Tab 20 mg - Meningkatkan kadar
benzodiazepine , klozapin,
warfarin.
Sertraline Tab. 50 mg 50 – 150 mg / hari - Lebih selektif terhadap
SERT
- Meningkatkan kadar
benzodiazepine , klozapin,
warfarin.
Flufoksamin Tab. 50 mg 100 – 250 mg / hari- Efek sedasi dan

19
antimuskarinik kurang
dari fluokxetine
- Cenderung meningkatkan
metabolik oksidatif
benzodiazepine, Klozapin,
Teofilin, dan warfarin
Paroksetine Tab. 20 mg 40 – 60 mg / hari - Masa paruh 22 jam
- Obat ini dapat
meningkatkan kadar
klozapin, teofilin, dan
warfarin
Citalopram Tab . 20 mg 40 – 60 mg / hari - Selektivitasnya terhadap
SERT paling tinggi

L. Prognosis

Onset gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang terkena mungkin

mengalami peningkatan permasalahan tentang bagian tubuh tertentu sampai orang

mengetahui bahwa fungsinya terpengaruh oleh masalah tersebut. Pada saat itu,

seseorang mungkin mencari bantuan medis atau bedah untuk memecahkan masalah

yang dihadapinya. Tingkat keprihatinan mungkin hilang dan timbul dengan berjalannya

waktu, walaupun gangguan dismorfik tubuh biasanya merupakan suatu gangguan kronis

jika dibiarkan tanpa diobati.1,19,20

20
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan dismorfik tubuh merupakan suatu preokupasi dengan suatu cacat tubuh

yang dikhayalkan atau suatu penonjolan distorsi dari cacat yang minimal atau kecil.

Onset ganggguan ini terjadi paling sering pada usia antara 15 dan 30 tahun, dan wanita

lebih banyak daripada pria. Perjalanan penyakit dari gangguan distimik belum jelas

sepenuhnya. Namun, diketahui ada beberapa faktor yang berperan seperti faktor

biologis, faktor psikososial (contoh: isolasi sosial, kehilangan), stress kronik, gangguan

medis kronik, riwayat keluarga, dan stressor sosial.

Gejala gangguan dismorfik tubuh biasanya individu akan diliputi dengan

bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian

wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan

ukuran hidung.

Diagnosa gangguan dismorfik tubuh mengharuskan suatu preokupasi dengan kecacatan

dalam penampilan yang tidak nyata atau penekanan yang berlebihan terhadap kecacatan

ringan. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna bagi pasien atau disertai

dengan gangguan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan pekerjaan pasien.

Apabila terdapat gangguan mental lain yang menyertai, seperti gangguan depresi

atau cemas, maka harus diatasi dengan pemberian farmakoterapi dan psikoterapi yang

memadai. Tidak diketahui sampai kapan pengobatan harus tetap di lanjutkan setelah

gejala body dysmorphic disorder hilang.

Tingkat keprihatinan dalam gangguan ini mungkin hilang dan timbul dengan

berjalannya waktu, walaupun gangguan dismorfik tubuh biasanya merupakan suatu

gangguan kronis jika dibiarkan tanpa diobati.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Kaplan & Sadock Buku

Ajar Psikiatri Klinis. Edisi Kedua. Jakarta: EGC; 2010

2. Elvira SD. Buku Ajar Psikiatri UI. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI;2013.

3. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis penggunaan Klinis Obat Psikotropik

(psycotropic medication). Edisi ketiga. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran

Jiwa FK-Unika Atma Jaya;2007

4. Siti Nurzaakiyah dan Nandang Budiman; Journal Body Dysmorphic

Disorder; Jakarta; 2013

5. Sadock B, Sadock V. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of

Psychiatry, 8th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2005.

6. Hashemi S, Edalatnoor B, Niksun O. A comparison of body image concern

in candidates for rhinoplasty and therapeutic surgery. Electronic Physician.

2017;9(9):5363-8.

7. Phillips K, Keshaviah A, Dougherty D, et al. Pharmacotherapy Relapse

Prevention in Body Dysmorphic Disorder: A Double-Blind, Placebo-

Controlled Trial. Am J Psychiatry. 2016;173(9):887-895.

8. He W, Zheng Q, Ji Y, et al. Development of a Body Image Concern Scale

using both exploratory and confirmatory factor analyses in Chinese

university students. Neuropsychiatric Disease and Treatment.

2017;13:1419–1425.

22
9. Vasudeva S, Hollander E. Body Dysmorphic Disorder in Patients With

Autism Spectrum Disorder: A Reflection of Increased Local Processing and

Self-Focus. Am J Psychiatry. 2017;174(4):313-316.

10. Weingarden H, Renshaw K, Davidson E, et al. Relative relationships of

general shame and body shame with body dysmorphic phenomenology and

psychosocial outcomes. J Obsessive Compuls Relat Disord. 2017 July;14:1–

6.

11. Rangaprakash D, Bohon C, Lawrence K, et al. Aberrant Dynamic

Connectivity for Fear Processing in Anorexia Nervosa and Body

Dysmorphic Disorder. Frontiers in Psychiatry. 2018;9(273):1-12.

12. Malcolm A, Labuschagne I, Castle D, et al. The relationship between body

dysmorphic disorder and obsessive compulsive disorder: A systematic

review of direct comparative studies. Australian & New Zealand Journal of

Psychiatry. 2018;52(11):1030-1049.

13. Thungana Y, Moxley K, Lachman A. Body dysmorphic disorder: A

diagnostic challenge in adolescence. South African Journal of Psychiatry.

2018;4(1):1-4.

14. Saade D, Maymone M, Vashi N. The ethics of the cosmetic consult:

Performing procedures on the body dysmorphic patient. International

Journal of Women's Dermatology. 2018;4:185–187.

15. Calderon C, Diaz M, Hernandez M, et al. Validation of Spanish Language

Evaluation Instruments for Body Dysmorphic Disorder and the Dysmorphic

Concern Construct. Frontiers in Psychology. 2017;8(1107):1-9.

23
16. Higgins S, Wysong A. Cosmetic Surgery and Body Dysmorphic Disorder –

An Update. International Journal of Women's Dermatology. 2018;4:43-48.

17. Sharpe H, Griffiths S, Choo T, et al. The Relative Importance of

Dissatisfaction, Overvaluation and Preoccupation with Weight and Shape

for Predicting Onset of Disordered Eating Behaviours and Depressive

Symptoms over 15 Years. Int J Eat Disord. 2018 October;51(10):1168–

1175.

18. Devrim A, Bilgic P, Hongu N. Is There Any Relationship Between Body

Image Perception, Eating Disorders, and Muscle Dysmorphic Disorders in

Male Body builders? American Journal of Men’s Health. 2018;12(5):1746–

1758.

19. Enander J, Ivanov V, Cols D, et al. Prevalence and heritability of body

dysmorphic symptoms in adolescents and young adults: a population-based

nationwide twin study. Psychological Medicine. 2018;48:2740–2747.

20. Hong K, Nezgovorova V, Hollander E. New perspectives in the treatment of

body dysmorphic disorder. F1000Research. 2018;7(361):1-9.

24

Anda mungkin juga menyukai