Anda di halaman 1dari 31

Referat

Gangguan Somatisasi

Oleh :
Kiki Ekawati
15014101288
Masa KKM : 23 September 2019 – 20 Oktober 2019

Pembimbing :
dr. L. F. Joyce Kandou, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul

“Gangguan Somatisasi”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada Oktober 2019

Oleh:

Kiki Ekawati
15014101288
Masa KKM : 23 September 2019 – 20 Oktober 2019

Pembimbing :

dr. L. F. Joyce Kandou, Sp.KJ


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3

A. Definisi ............................................................................................... 3

B. Epidemiologi ...................................................................................... 4

C. Etiologi ............................................................................................... 5

D. Gambaran Klinis ................................................................................. 9

E. Diagnosis ............................................................................................ 10

F. Diagnosis Banding.............................................................................. 13

G. Perjalanan Penyakit Dan Prognosis .................................................... 15

H. Penatalaksanaan .................................................................................. 19

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 26

i
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan somatisasi telah dikenal sejak jaman Mesir kuno. Nama awal

untuk gangguan somatisasi adalah histeria, suatu keadaan yang secara tidak tepat

diperkirakan hanya mengenai wanita, (kata “Histeria” di dapatkan dari kata

bahasa Yunani untuk rahim, Hystera). Pada abad ke-17 Thomas Syndenham

menemukan bahwa faktor psikologis yang dinamakannya penderitaan yang

mendahului (antecendent sorrow), terlibat dalam patogenesis gejala gangguan

somatisasi.1,2

Pada tahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Prancis, mengamati

banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan penyakit yang

biasanya kronis. Karena pengamatan klinis tersebut maka gangguan ini

dinamakan Sindroma Briquet. Akan tetapi sejak tahun 1980 sejak diperkenalkan

DSM edisi ketiga (DSM III) istilah “Gangguan Somatisasi” menjadi standar di

Amerika Serikat untuk gangguan yang ditandai oleh banyak keluhan fisik yang

mengenai banyak sistem organ.1,2

Prevalensi dari gangguan somatisasi diperkirakan kurang dari 0.5% dari

populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita

African American dan Hispanic dan pada pasien yang sedang menjalani

pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika

Selatan dan di Puerto Rico. Gangguan somatisasi biasanya dimulai pada awal

masa dewasa.3,4

Gangguan somatisasi adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki

gejala fisik (contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan

1
penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius

untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau

gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau

pekerjaan.1,5

Gangguan somatisasi ditandai oleh banyaknya gejala somatik yang tidak

dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.

Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena

banyaknya keluhan dan melibatkan sistem organ yang multipel (sebagai contoh,

gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini adalah kronis (dengan gejala

ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun) dan disertai

dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan

pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.1,3

Gangguan ini ada pada pasien-pasien terutama menunjukkan keluhan

somatis yang tidak dapat dijelaskan dengan adanya gangguan depresif, anxietas

atau penyakit medis. Ada dua gangguan yang termasuk dalam kelompok

gangguan somatoform: pertama, yang gambaran utamanya adalah kekhawatiran

bahwa gejala yang ada merupakan bukti adanya penyakit (hipokondriasis) atau

deformitas (dismorfofobia), dan kedua, yang gambaran utamanya adalah

kekhawatiran tentang gejala somatik itu sendiri (antara lain gangguan somatisasi,

disfungsi autonomikk persisten, dan gangguan nyeri somatoform persisten).1,5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang

ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak

sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan

fisik dan laboratorium. 1,2

Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena

banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (sebagai contoh,

gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala

ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai

dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan

pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.2,3

Gangguan somatisasi merupakan salah satu bentuk gangguan somatoform,

yang sumber gangguannya adalah kecemasan yang dimanifestasikan dalam

keluhan fisik, sehingga orang lain tidak akan mengerti jika individu tidak

mengeluh. Somatisasi juga merupakan suatu bentuk gangguan yang ditunjukkan

dengan satu atau beberapa macam keluhan fisik akan tetapi secara medis tidak

mempunyai dasar yang jelas. Gangguan somatisasi ini juga disebut sebagai

briquet’s syndrome, setelah Paul Briquet mengidentifikasi pasien-pasiennya yang

mengeluh gejala medis pada tubuhnya namun tidak ada bukti medis.1,2

Kaplan dan Sadock menjelaskan lebih lanjut bahwa gangguan somatisasi

adalah suatu gangguan fisik kronis yang tidak dapat diterangkan secara medis dan

berhubungan dengan masalah ketegangan psikologis. Individu yang mengalami

3
gangguan somatisasi tidak hanya mengeluh adanya gangguan fisik akan tetapi

individu tersebut ingin mendapatkan bantuan dan penanganan secara medis.

Somatisasi juga merupakan bentuk respon psikologis yang berujud pemanfaatan

tubuh atau soma untuk tujuan-tujuan psikologis dan pencapaian tujuan pribadi. 1,2

Timbulnya gangguan somatisasi ini dapat terjadi karena adanya konflik

intrapsikis, masalah hubungan interpersonal atau masalah lingkungan dan sosial,

serta bentuk kecenderungan pada individu untuk mengekspresikan atau

mengkomunikasikan pengalaman psikologis yang tidak mengenakkan ke dalam

gejala-gejala fisik dan untuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya sakit dengan

jalan individu mencari bantuan medis untuk dirinya. Hal ini senada dengan

pendapat Edelman yang menyatakan bahwa individu yang mengalami gangguan

somatisasi cenderung mengalami konflik psikologis dan distress yang

dimanifestasikan dalam bentuk gejala fisik atau keluhan fisik akan tetapi tidak ada

bukti medis.3,4

B. Epidemiologi

Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1-

0,2%, walaupun beberapa kelompok penelitian percaya bahwa angka

sesungguhnya mungkin mendekati 0,5 %. Prevalensi gangguan somatisasi pada

wanita di populasi umum adalah 1-2 %. Rasio penderita wanita dibanding laki-

laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda

(sebelum usia 30 tahun).3,4

Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan somatisasi seringkali

bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan

4
kepribadian yang seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri

penghindaran, paranoid, mengalahkan diri sendiri dan obsesif konpulsif. 3,4

C. Etiologi

Pendapat mengatakan bahwa para pasien penderita gangguan somatisasi

lebih sensitif terhadap sensasi fisik, memberikan perhatian berlebihan terhadap

sensasi tersebut atau menginterprestasikannya sebagai suatu yang membahayakan.

Kemungkinan yang lain adalah mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat

dibanding orang lain. Sebuah pandangan perilaku mengenai gangguan somatisasi

menyatakan bahwa berbagai macam rasa sakit dan nyeri, rasa tidak nyaman, dan

disfungsi merupakan manifestasi kecemasan yang tidak realistis dalam sistem-

sistem tubuh. Sejalan dengan pemikiran bahwa terdapat faktor kecemasan yang

tinggi, pasien penderita gangguan somatisasi memiliki kadar kortisol tinggi, suatu

indikasi bahwa mereka berada dibawah tekanan. Mungkin ketegangan ekstrim

yang dimiliki individu berpusat pada otot-otot perut, mengakibatkan rasa mual

atau muntah.1,5,6

Sebagai reaksi terhadap stress, kelenjar adrenal akan mensekresi berlebihan

hormon-hormonnya, yaitu adrenalin, nor-adrenalin dan kortisol melalui masing-

masing susunan saraf pusat dan hipofisis. Sekresi kortisol dapat meningkat sampai

301 mg yang berguna mengatasi efek-efek stress, seperti radang, nyeri dan juga

demam. Kortisol sebagai zat anti-inflammatory berfungsi menghambat reaksi

sistem kekebalan tubuh sehingga respons terhadap stress jangan sampai terlampau

hebat.5 Bila keadaan stress berlangsung berlarut-larut dengan reaksi dari hormon

stress terlalu hebat, maka proses adaptasi tersebut tidak berhasil lagi. Proses

5
fisiologi mulai terganggu dan timbullah bermacam-macam keluhan, seperti sakit

kepala, punggung dan perut, hilangnya nafsu makan, sukar bernapas,

hiperventilasi dan berkeringat berlebihan. Penyebab ganggguan somatisasi tidak

diketahui secara pasti tetapi diduga terdapat faktor-faktor yang berperan terhadap

timbulnya gangguan somatisasi yakni:6,7

a. Faktor Psikososial

Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikis dibawah sadar yang

mempunyai tujuan tertentu. Rumusan psikososial tentang penyebab

gangguan melibatkan interpretasi gejala sebagai suatu tipe komunikasi

sosial, hasilnya adalah menghindari kewajiban (sebagai contoh:

mengerjakan ke pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan emosi

(sebagai contoh: kemarahan pada pasangan), atau untuk

mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan (sebagai contoh: nyeri

pada usus seseorang). Beberapa pasien dengan gangguan somatisasi

berasal dari rumah yang tidak stabil dan telah mengalami penyiksaan fisik.

Faktor sosial, kultural dan juga etnik mungkin juga terlibat dalam

perkembangan gangguan somatisasi. 6,7

b. Faktor Biologis

Ditemukan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu

zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer nondominan. Selain itu diduga

terdapat regulasi abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan

beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan somatisasi. Sebuah

disfungsi neurofisiologis dalam proses perhatian telah dibuktikan dalam

gangguan somatisasi, yang dapat dijelaskan oleh penghambatan

6
corticofugal berkurang diencephalon dan batang otak rangsangan tubuh

aferen, sehingga tidak mencukupi penyaringan rangsangan tubuh tidak

relevan. Sebuah disfungsi daerah somatosensori sekunder di otak,

hipersensitivitas dari sistem limbik terhadap rangsangan fisik (yaitu kayu

bakar, otak akan bekerja secara harmonis. Berdasarkan kajian, kekurangan

neurotransmiter serotonin, norepinefrin dan dopamin dapat menyebabkan

depresi. Di satu sisi lain, jika neurotransmiter ini berlebih dapat menjadi

penyebab gangguan manik.6,7

Neurotransmiter lain seperti GABA dan peptida neuroaktif seperti

vasopresin dan opiat endogen juga berperan dalam patofisiologi gangguan

mood. Beberapa penelitian menyatakan bahwa sistem pembawa kedua

(second messenger) seperti adenylate cyclase, phosphatidylinositol dan

regulasi kalsium mungkin memiliki relevansi dengan penyebab gangguan

mood. 6,7

Penelitian menunjukkan bahwa pasien memiliki gangguan perhatian

dan kognitif karakteristik yang dapat menyebabkan persepsi dan penilaian

yang salah terhadap masukan (input somatosensoris). Gangguan yang

dilaporkan adalah distraktibilitas yang berlebihan, ketidakmampuan untuk

membiasakan terhadap stimulus yang berulang, dan pengelompokan

konstruksi kognitif atas dasar impresionistik.6,7

Ditemukan juga adanya faktor genetik dalam transmisi gangguan

somatisasi dan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu

zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non dominan. Selain itu diduga

terdapat regulasi abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan

7
beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan somatisasi. Sitokin dapat

menyebabkan gejala non spesifik dari penyakit, khususnya infeksi, seperti

hiperinsomnia, anoreksia, kelelahan, dan depresi. Dopamin juga

diperkirakan memiliki peranan dalam menyebabkan depresi. Aktivitias

dopamin yang menurun pada depresi dan menigkat apada mania.1,4

Pasien dengan gangguan somatisasi mempunyai disfungsi lobus

frontalis bilateral yang simetris dan lebih besar daripada kontrol normal

dan impairment yang lebih berat pada hemisfer dominan yang lebih besar

pada control dan subjek depresif. Disfungsi hemisfer non dominan juga

diidentifikasi dengan impairment yang lebih berat pada bagian anterior

daripada posterior. Namun, subjek dengan gangguan somatisasi

mempunyai disorganisasi hemisfer nondominan yang lebih baik daripada

subjek skizofrenia.1,4

c. Faktor Genetika

Data genetik menunjukkan bahwa, setidaknya dalam beberapa

keluarga, transmisi gangguan somatisasi memiliki komponen genetik.

Gangguan somatisasi cenderung berjalan dalam keluarga dan terjadi pada

10 sampai 20 persen dari tingkat pertama kerabat perempuan dari pasien

dengan gangguan somatisasi. Di dalam keluarga, tingkat pertama kerabat

laki-laki rentan terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian

antisosial. Satu studi juga melaporkan tingkat kesesuaian 29 persen pada

kembar monozigot dan 10 persen pada anak kembar dizigotik, suatu

indikasi efek genetik.2,3

8
Para kerabat laki-laki wanita dengan gangguan somatisasi

menunjukkan peningkatan risiko gangguan kepribadian antisosial dan

kelainan terkait penggunaan narkoba. Memiliki orang tua kandung atau

angkat dengan salah satu dari ketiga gangguan meningkatkan risiko

mengembangkan gangguan kepribadian antisosial, gangguan terkait

penggunaan narkoba, atau gangguan somatisasi.2,3

D. Gambaran Klinis

Ciri utama gangguan somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang

bermacam-macam (multiple), berulang dan sering berubah-ubah, yang biasanya

sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater.

Kebanyakan pasien mempunyai riwayat pengobatan yang panjang dan sangat

kompleks, baik ke pelayanan kesehatan dasar, maupun spesialistik, dengan hasil

pemeriksaan atau bahkan operasi yang negatif.8,9

Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatic dan

riwayat medis yang rumit dan panjang. Mual dan muntah (selain selama

kehamilan), kesulitan menelan, nyeri di lengan dan tungkai, nafas pendek tidak

berkaitan dengan olahraga, amnesia, dan komplikasi kehamilan serta menstruasi

adalah gejala yang paling lazim ditemui. Pasien sering meyakini bahwa mereka

telah sakit selama sebagian besar hidup mereka. 8,9

Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal adalah menonjol, dan

sering sekali terdapat kecemasan dan depresi yang nyata sehingga memerlukan

terapi khusus. Pasien biasanya tetapi tidak selalu menggambarkan keluhannya

dengan cara yang dramatik, emosional, dan berlebih-lebihan, dengan bahasa yang

9
gamblang dan bermacam-macam. Pasien wanita dengan gangguan somatisasi

mungkin berpakaian eksibisionistik. Pasien mungkin merasa tergantung, berpusat

pada diri sendiri, haus akan pujian atau sanjungan dan manipulatif. 8,9

E. Diagnosis

a. Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ

III)10,11

1) Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya

kelainan fisik yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun.

2) Selalu tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter

bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-

keluhannya.

3) Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang

berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampaak daari

perilakunya.

b. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder

(DSM) 10,11

i. Kriteria Diagnosis menurut DSM-IV-TR

Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat

awitan gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan

pasien harus memenuhi 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala

seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tak satu pun dapat dijelaskan

melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik. Berikut kriteria diagnosis

gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR: 10,11

10
1) Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang

terjadi selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan

pencarian pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan

fungsi penting lainnya.

2) Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang

terjadi kapan pun selama perjalanan dari gangguan:

 Empat gejala nyeri: riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4

tempat atau fungsi yang berbeda (mis: kepala, abdomen, punggung,

sendi, ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama

berhubungan seksual, atau selama buang air kecil)

 Dua gejala gastrointestinal: sedikitnya 2 riwayat gejala

gastrointestinal selain nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan

karena kehamilan, diare, atau intoleransi beberapa makanan berbeda)

 Satu gejala seksual: sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau

reproduktif selain nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau

ejakulasi, haid tak teratur, perdarahan haid berlebihan, muntah

sepanjang kehamilan)

 Satu gejala pseudoneurologik: sekurangnya 1 riwayat gejala atau

defisit pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi

neurologik tak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan

koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit

menelan atau merasa ada gumpalan tenggorokan, afonia, retensi urin,

halusinasi, kehilangan sensasi rasa sakit dan raba, penglihatan kabur,

11
buta, tuli, bangkitan; gejala disosiatif seperti amnesia, hilang

kesadaran bukan karena pingsan)

3) Baik (1) atau (2) :

 Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria b tak dapat

sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau

merupakan efek langsung dari zat (mis: penyalahgunaan obat,

pengobatan)

 Apabila terdapat konsisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau

hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada

yang diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan

laboratorium

4) Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan

buatan atau malingering).

ii. Kriteria Diagnosis Menurut DSM-V (300.82) 10,11

1) Satu atau lebih gejala somatic kesukaran atau hasil dari gangguan

signifikan dalam kehidupan sehari-hari.

2) Pikiran, perasaan, perilaku atau kebiasaan yang berlebihan atau terlalu

banyak terkait dengan gejala somatic atau terkait masalah kesehatan

seperti yang diwujudkan paling tidak satu dari dibawah ini :

 Pikiran yang tidak seimbang dan terus-menerus tentang keseriusan

dari suatu gejala.

 Kecemasan yang menetap dalam level tinggi tentang kesehatan

atau gejala-gejala.

12
 Waktu dan energi berlebihan yang dicurahkan untuk gejala-gejala

tersebut atau kekhawatiran tentang kesehatan.

3) Meskipun beberapa gejala somatic tidak muncul berkelanjutan, keadaan

saat mengalami gejala muncul menetap (biasanya lebih dari 6 bulan).

F. Diagnosis Banding

Klinisi harus selalu menyingkirkan kondisi medis nonpsikiatrik yang dapat

menjelaskan gejala pasien. Gangguan medis tersebut adalah sklerosis multiple,

miastenia gravis, lupus eritematosus sistemik kronis. Selain itu juga harus

dibedakan dari gangguan depresi berat, gangguan kecemasan (anxietas), gangguan

hipokondrik dan skizofrenia dengan gangguan waham somatik.12,13

Diantara semua gangguan somatoform, hipokondriasis, gangguan konversi,

dan gangguan somatisasi nyeri, pasien dengan hipokondriasis memiliki keyakinan

salah bahwa mereka memiliki penyakit tertentu, sedangkan pasien dengan

gangguan somatisasi mengkhawatiran banyak gejala. Gejala gangguan konversi

terbatas pada satu atau dua system neurologis bukannya gejala gangguan

somatisasi yang sangat beragam. Gangguan nyeri terbatas pada satu atau dua

keluhan gejala nyeri.12,13

Pain Disorder

Penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara

signifikan. Faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada

kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan

tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit.

Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat

13
pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan

dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat.12,13

Body Dysmorphic Disorder

Pada gangguan ini, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan

dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah. Beberapa individu

yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam

setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di

cermin.12,13

Gangguan Hipokondrik

Hipokondriasis adalah gangguan somatoform di mana individu diliputi dengan

ketakutan memiliki penyakit yang serius di mana hal ini berlangsung berulang-

ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan yang sebaliknya, bahwa ia baik-

baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung

terus berlanjut. Pasien yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen

yang sering kali menggunakan pelayanan kesehatan. 12,13

Conversion disorder

Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya

penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang

berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf

individu tersebut baik-baik saja. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari

Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan

pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan

dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik. Gejala conversion

biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya

14
muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup.

Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1%, dan biasanya banyak dialami

oleh wanita. 12,13

G. Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik,

berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan

ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang

berkepanjangan.14,15

Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru

diperkirakan berlangsung 6-9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang

kurang simtomatik yang berlangsung 9-12 bulan. Tetapi jarang seorang pasien

dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari satu tahun tanpa mencari suatu

perhatian medis. 14,15

Adanya luka, kerusakan jaringan, inflamasi akibat suatu penyakit akan

menyebabkan pelepasan zat-zat kimia seperti histamin, serotonin, bradikinin,

prostaglandin, substansi P, dan lain-lain. Masing-masing mediator secara sendiri

atau bersamaan merangsang nosiseptor yang merupakan reseptor nyeri

nosiseptif.14,15

Stimulasi nosiseptif ini kemudian diikuti proses transduksi yaitu pengalihan

stimulus menjadi proses neuronal, yang kemudian diteruskan sepanjang serabut

saraf eferen ke ganglion radiks dorsalis medula spinalis membentuk sinaps tempat

signal rasa sakit mulai diproses dan kemudian ditransmisikan ke korteks,

15
menghasilkan rasa nyeri. Persepsi nyeri melalui rangsang nosiseptor disebut

nosiseption.14,15

Ciri khas impuls nosiseptif yaitu stimulasi nosiseptor yang semakin intensif

diikuti kenaikan intensitas impuls yang meninggi pula, yang tidak didapatkan dari

stimulasi reseptor raba tekan dan temperatur. Pada tingkat medula spinalis

terutama pada radiks dorsalis terjadi modulasi baik eksitasi maupun inhibisi

impuls-impuls yang masuk kemudian ditransmisikan ke korteks serebri. Transmisi

korteks serebri sangat kompleks dan melibatkan banyak aspek. Melalui jalur

polisinaps terjadi pada segmen-segmen medula spinalis. Terdapat pula sinaps

dengan serabut saraf autonom di torakolumbal yang berhubungan dengan aktivitas

sistem saraf autonom yang disertai nyeri. Keadaan ini dapat menjelaskan

terjadinya gejala-gejala somatik multi sistem yang dapat menyertai nyeri atau

akibat gangguan psikis. 14,15

Transmisi polisinaps ke korteks frontalis yang melibatkan komponen

afektif, menimbulkan gejala-gejala psikis pada keadaan nyeri psikogenik,

timbulnya nyeri terutama oleh karena gangguan fungsi psikofisiologi secara

umum. Sedangkan pada nyeri sentral yang menyebabkan adalah perubahan

keseimbangan neurotransmiter. Selain memberikan cabang pada tingkat medula,

impuls nosiseptif juga pada pons dan midbrain bercabang pada perjalanan

selanjutnya menuju ke korteks dan berakhir di girus postsentralis yang kemudian

menghasilkan rasa nyeri. 14,15

Pada sinaps serabut aferen-aferen, asending-desending, pada tingkat

perifer, spinal sentral, terdapat peran substansi neurotransmiter-neuromodulator,

misalnya serotonin, prostagandin, substansi P, dll. Serotonin, norepinefrin,

16
dopamin, asetilkolin, asam amino aspartat dan glutamat menginhibisi nyeri pada

tingkat serebral. Gama Amino Butiryc Acid (GABA) menginhibisi terutama pada

tingkat regulasi spinal.16,17

Selain pengaturan aktivitas otak secara langsung oleh penjalaran sinyal saraf

yang spesifik dari region otak bagian bawah ke region kortikal, masih terdapat

mekanisme fisiologis yang lain yang sering digunakan untuk melakukan aktivitas

otak. Mekanisme ini adalah untuk melepaskan bahan-bahan hormonal

neurotransmitter inhibisi dan eksitasi ke dalam substansi otak. Neurohormon ini

sering sekali menetap selama beberapa menit, atau beberapa jam dan dengan

demikian menghasilkan masa pengendalian yang panjang, tidak hanya aktivasi

atau inhibisi yang sekejap. 16,17

Serotonin biasanya bersifat inhibisi, dan dopamine bersifat inhibisi pada

beberapa area dan mengeksitasi pada area yang lain. Seperti yang diharapkan,

sistem ini memiliki efek yang berbeda-beda pada tingkat eksitabilitas di berbagai

area otak. Sistem norepinefrin sebenarnya menyebar ke setiap area otak,

sementara sistem serotonin dan dopamine di arahkan terutama ke region ganglia

basalis, dan sistem serotonin lebih ke struktur garis tengah (midline). 16,17

1. Substansia nigra dan sistem dopamine

Substansia nigra terletak disebelah anterior pada mesensefalon superior, dan

neuron-neuronnya terutama mengirimkan ujung-ujung saraf ke nucleus kaudatus

dan putamen serebrum, tempatnya menyekresikan dopamine. Neuron-neuron lain

yang letaknya berdekatan juga menyekresikan dopamine, tetapi neuron tersebut

mengirimkan ujung-ujung saraf yang lebih ventral pada otak, terutama ke

hipotalamus dan sistem limbik. Dopamin diduga bekerja sebagai transmitter

17
inhibitor di ganglia basalis, tetapi pada beberapa area otak yang lain,

kemungkinan malah mengeksitasi. 16,17

2. Nuclei rafe dan sistem serotonin

Dibagian tengah pons dan medulla terdapat beberapa nuclei tipis yang

disebut nuclei rafe. Kebanyakan neuron pada nuclei ini menyekresikan serotonin.

Neuron itu mengirimkan serabut-serabut ke diensephalon dan sedikit serabut ke

korteks serebri. Dan serabut yang lain lagi turun ke medulla spinalis. Serotonin

yang disekresikan pada ujung saraf serabut medulla memiliki kemampuan untuk

menekan rasa nyeri. Serotonin yang dilepaskan dalam diensephalon dan serebrum

hampir pasti berperan sebagai inhibitor penting untuk membantu menghasilkan

tidur yang normal. 16,17

Nyeri merupakan perasaan subjektif yang kadang-kadang sulit dicari gejala

objektifnya dan seringkali pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang

bermakna. Penilaian status psikis pasien nyeri tidak hanya ditujukan untuk

membedakan antara nyeri organik dan nyeri psikogenik, tetapi bertujuan untuk

menilai pengaruh nyeri terhadap fungsi psikis pasien atau menilai efek aspek

ansietas, depresi atau pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya terhadap nyeri

yang timbul. 16,17

Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress

baru dan eksaserbasi gejala somatik.1 Prognosis gangguan somatisasi umumnya

sedang sampai buruk.16,17

Prognosis

Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik dan

berfluktuasi. Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala

18
yang baru diperkirakan berlangsung 6-9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode

yang kurang simtomatik yang berlangsung 9-12 bulan. Tetapi jarang seorang

pasien dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari satu tahun tanpa mencari

suatu perhatian medis. Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan

stress atau stress baru dan eksaserbasi gejala somatik.2,17

Prognosis biasanya buruk dengan perjalanan kronik, ketidakmampuan yang

menetap seumur hidup, dan gangguan ini dapat kambuh namun jarang dengan

remisi komplit. Gejala-gejala cenderung lebih semua pada dewasa dini tetapi

perjalanannya sering fluktuatif.1,5

Prognosis jangka panjang untuk pasien gangguan somatisasi dubia ad

malam, dan biasanya diperlukan terapi sepanjang hidup. Pasien susah sembuh

walau sudah mengikuti pedoman pengobatan. Sering kali pada pasien wanita

berakhir pada percobaan bunuh diri.17,18

H. Penatalaksanaan

Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka

memiliki seorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan umumnya. Klinisi

primer harus memeriksa pasien selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya

dengan interval satu bulan.19,20

Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien

harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya

sebagai keluhan medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga

memiliki penyakit fisik, karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana

yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana. 19,20

19
Strategi luas yang baik bagi dokter perawatan primer adalah meningkatkan

kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam

gejala penyakit. Psikoterapi dilakukan baik individual dan kelompok. Dalam

lingkungan psikoterapetik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk

mengekspresikan emosi yang mendasari dan untuk mengembangkan strategi

alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka. Spesifik terapi

dengan cognitive-behavior approach adalah efektif dan sering digunakan dalam

membantu pasien untuk melihat gejala-gejala fisik yang dialaminya dan

memahami keadaan gangguan yang dihadapinya.19,20

Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi

disertai dengan gangguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi

yang nyata, gangguan anxietas. Medikasi harus dimonitor karena pasien dengan

gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak

dapat dipercaya. Obat anti depresi biasanya efektif untuk gejala-gejala somatik

termasuk rasa sakit dan insomnia. 19,20

Terapi gangguan somatisasi dilakukan dari berbagai pendekatan baik

dengan pemberian obat atau pendekatan psikologis. Terapi dengan obat-obatan

akan sangat membantu terutama bila adanya dasar depresi dan kecemasan yang

terdapat pada pasien. Dalam berbagai literatur terkini, kombinasi terapi dengan

obat dan terapi secara psikologis atau psikoterapi membuahkan hasil yang lebih

baik daripada hanya penggunaan salah satunya saja.19,20

a. Psikoterapi

Psikoterapi biasanya dilakukan untuk melihat adanya konflik yang

mendasari keluhan-keluhan fisik yang diderita pasien lalu berusaha untuk

20
membantu pasien mengatasi konflik tersebut. Dalam pandangan psikologis klasik

gangguan somatoform merupakan manifestasi dari gagalnya individu melakukan

upaya adaptasi terhadap serangan kecemasan yang berlangsung di bawah sadar.

Kecemasan terjadi karena adanya dorongan impuls yang ditekan ke dalam alam

bawah sadar dan tidak terpuaskan. Pendekatan masa kini dari psikoterapi adalah

membantu pasien untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan beradaptasi dengan

masalah tersebut dengan lebih baik lagi. Psikoterapi akan membantu pasien untuk

meningkatkan kemampuan adaptasinya dalam menghadapi berbagai masalah

kehidupan yang tengah dihadapi. Pada akhirnya dengan psikoterapi, pasien akan

belajar bagaimana ia dapat mengatasi dan beradaptasi dengan kehidupannya di

masa yang akan datang. 19,20

Terdapat beberapa pilihan psikoterapi untuk gangguan somatisasi, antara lain: 19,20

1. Terapi Adlerian Behavior

Merupakan model perkembangan. Terapis menumbuhkan di dalam diri pasien

suatu sudut pandang positif terhadap stress, bahwa stress merupakan hal yang

biasa terjadi dalam kehidupan manusia yang dapat diatasi dan kita jangan menjadi

korban dari keadaan stress. 19,20

2. Terapi Eksistensial

Terapi ini difokuskan pada kebebasan pasien untuk menentukan hidupnya sendiri.

Terapis membantu pasien untuk melihat bahwa pasien adalah individu yang bebas

yang masih memiliki kemungkinan-kemungkinan dalam hidupnya. 19,20

3. Terapi Gestalt

Terapi ini mengintegrasikan antara factor tubuh dan pikiran. Tujuan utamanya

adalah mengintegrasikan perilaku, perasaan dan pikiran. Pasien dibuat sadar

21
tentang tanggung jawab personal, bagaimana menghadapi masalah, dan

menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan, memandang masalah dari segi

positif. 19,20

4. Terapi Person-centered

Terapis akan memotivasi pasien untuk mempercayai dirinya sendiri dan

menggunakan motivasi tersebut untuk mengarahkan kehidupannya agar menjadu

lebih baik. 19,20

5. Terapi Psikoanalitik

Terapi ini memandang bahwa tingkah laku seseorang dipengaruhi pikiran bawah

sadar dan kepercayaannya. Hal ini berarti bahwa tingkah laku seseorang

dipengaruhi oleh agresif dan impuls seksual. 19,20

6. Terapi Rational-emotive dan Kognitif-behavioral

Terapi ini menekankan kepada pasien untuk menggunakan pikiran rasionalnya

untuk merubah hidupnya sendiri. 19,20

7. Terapi Realitas

Terapis mengajarkan kepada pasien bagaimana caranya untuk menghadapi dunia

di sekitarnya dan bagaimana untuk memenuuhi kebutuhan pribadinya. Terapis

meyakinkan kepada pasien bahwa pasien dapat merubah hidupnya sendiri ke arah

yang lebih baik. 19,20

8. Terapi Transactional-analisis

Terapi ini difokuskan kepada fungsi kognitif dan behavior. Terapis membantu

pasien untuk mengevaluasi keputusan-keputusannya dui masa lalu dan membantu

pasien memahami bahwa keputusannya dimasa lalu akan mempengaruhu

kehidupannya saat ini. 19,20

22
9. Cognitive-behavioral therapy (CBT) untuk gangguan somatisasi memfokuskan

perubahan pola negatif dari isi pikir, perasaan dan tingkah laku yang ikut dalam

gejala somatik. Komponen kognitif dari penanganan ini difokuskan untuk

menmbantu identifikasi disfungsi pikir pasien mengenai sensasi fisik. Dengan

berlatih, pasien belajar mengenali pemikiran katastropik dan membangun

pemahaman yang rasional untuk perasaannya. Komponen tingkah laku bertujuan

untuk meningkatkan aktivitas. Pasien dengan gangguan somatisasi biasanya

tingkat aktivitasnya berkurang dan menghasilkan ketidaknyamanan atau ketakutan

bahwa aktivitasnya akan memperburuk gejala. Pasien CBT diarahkan untuk

meningkatkan aktifitas secara bertahap dan menghindari aktifitas berlebihan, yang

dapat melawan ketakutan. Jenis pelatihan penting lain adalah teknik

relaksasi, sleep hygiene dan kemampuan berkomunikasi. Penemuan terakhir

bahwa CBT dapat membantu mengurangi disstres dan ketidaknyamanan yang

berhubungan dengan gejala somatis, dimana tidak sama dengan sistematika

bentuk pelatihan yang lain. 19,20

b. Medikasi

Medikasi psikotropik bilamana gangguan somatisasi ada bersama-sama

dengan gangguan mood atau kecemasan memiliki resiko, namun pengobatan

psikofarmaka pada gangguan penyerta adalah diindikasikan. Pada pasien tanpa

gangguan mental penyerta, sedikit data yang menyatakan bahwa terapi

farmakologis adalah efektif. Anti depresan dapat membantu untuk meringankan

gejala gangguan somatisasi. Berdasarkan salah satu penelitian, pasien dengan

gangguan somatisasi yang menggunakan antidepresan (nefazodone; Serzone)

memperlihatkan pengurangan gejala fisik, peningkatan tingkat aktifitas dan

23
penurunan derajat kecemasan dan depresi pada akhir pengobatan. Adanya sifat

adiktif pada obat antidepresan sehingga harus berhati-hati dalam penggunaannya.

Medikasi harus dimonitor, karena pasien dengan dengan gangguan somatisasi

cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya.19,20

24
BAB III
PENUTUP

Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang

ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak

sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan

fisik dan laboratorium. Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum

diperkirakan 0,1 – 0,2 % dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda

(sebelum usia 30 tahun).

Penyebab ganggguan somatisasi tidak diketahui secara pasti tetapi diduga

terdapat faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi

yakni faktor psikososial, faktor biologis dan faktor genetic. Ciri utama gangguan

somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam-macam (multiple),

berulang dan sering berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung beberapa

tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Jika gangguan somatisasi telah

didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik

sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis. Pengobatan

psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai dengan

gangguan penyerta.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Escobar J, Dimsdale J. Somatic Symptom and Related Disorders. In: Sadock

B, Sadock V. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry,

10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2017:4684-4702.

2. Dimsdale J. Research on Somatization and Somatic Symptom Disorders:

Ars longa, vita brevis Psychosom Med. 2017;79(9):971-973.

3. Bae S, Kang J, Chang H, et al. PTSD correlates with somatization in

sexually abused children: Type of abuse moderates the effect of PTSD on

somatization. PLoS ONE. 2018;13(6):1-11.

4. Lakhan S, Schofield K. Mindfulness-Based Therapies in the Treatment of

Somatization Disorders: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS

ONE. 2013;8(8):1-13.

5. Williams A, Czyzewski D, Self M, et al. Are child anxiety and somatization

associated with pain in pain-related functional gastrointestinal disorders?. J

Health Psychiatry. 2015 April;20(4):369-379.

6. Davil G. In: Hughes' Outline of Modern Psychiatry, 5th ed. United States:

John Wiley and Sons. 2017.

7. Nakamura Y, Takeuchi T, Hashimoto K, et al. Clinical features of

outpatients with somatization symptoms treated at a Japanese

psychosomatic medicine clinic. BioPsychoSocial Medicine. 2017;11(16):1-

5.

8. Kay J, Tasman A. Essentials Of Psychiatry: Somatoform Disorders. John

Wiley & Sons Ltd. 2006:654-672.

26
9. Nwokocha A, Chinawa J, Onukwuli V, et al. Somatization disorder among

adolescents in southeast Nigeria: a neglected issue. Int J Ment Health Syst.

2017;11(57):1-7.

10. American Psychiatric Association. DSM-5 Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders: Fifth Edition. American Psychiatric

Publishing; Washington DC. 2013.

11. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-

III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. 2001.

12. Magallon R, Gili M, Moreno S, et al. Cognitive-behaviour therapy for

patients with Abridged Somatization Disorder (SSI 4,6) in primary care: a

randomized, controlled study. BMC Psychiatry. 2018;8(47):1-7.

13. Wongpakaran T, Wongpakaran N. Personality traits influencing

somatization symptoms and social inhibition in the elderly. Clinical

Interventions in Aging. 2014;9:157-164.

14. Liu L, Cohen S, Schulz M, et al. Sources of somatization: Exploring the

roles of insecurity in relationships and styles of anger experience and

expression. Soc Sci Med. 2011 November;73(9):1436-1443.

15. Kirpinar I, Deveci E, Kilic A, et al. Somatization disorder and

hypochondriasis: as like as two peas?. Anatolian Journal of Psychiatry.

2016;17(3):165-173.

16. Iheme F, Nnaji G, Moses L, et al. Effect of somatization disorder on social

and work place functioning among upper socio-economic class adults

attending outpatient clinic in national hospital, Abuja, Nigeria. Family

Practice Reports. 2014;1(1):1-7.

27
17. Obimakinde A, Ladipo M, Irabor A. Familial and socio-economic correlates

of somatisation disorder. Afr J Prm Health Care Fam Med. 2015;7(1):1-8.

18. Robertson D, Kumbhare D, Nolet P, et al. Associations between low back

pain and depression and somatization in a Canadian emerging adult

population. J Can Chiropr Assoc. 2017;61(2):1-10.

19. Li R, Liu F, Su Q, et al. Bidirectional Causal Connectivity in the Cortico-

Limbic-Cerebellar Circuit Related to Structural Alterations in First-Episode,

Drug-Naïve Somatization Disorder. Frontiers in Psychiatry. 2018;9(162):1-

11.

20. Obimakinde A, Ladipo M, Irabor A. Symptomatology And Comorbidity Of

Somatization Disorder Amongst General Outpatients Attending A Family

Medicine Clinic In South West Nigeria. Ann Ibd. Pg. Med. 2014;12(2):96-

102.

28

Anda mungkin juga menyukai