Saudaraku yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah Ta’ala. Nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi lagi sesudah beliau.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan yang mulia dengan syafa’at al
‘uzhma pada hari kiamat kelak. Itulah di antara keistimewaan Abul Qosim, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang muslim punya kewajiban mencintai beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih dari makhluk lainnya. Inilah landasan pokok iman.
Saudaraku, itulah yang harus dimiliki setiap muslim yaitu hendaklah Nabinya lebih dia cintai
dari makhluk lainnya. Mari kita simak bersama firman Allah Ta’ala,
Ibnu Katsir mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-
Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan
menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/124)
Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasul dari makhluk lainnya
adalah wajib. Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan
pada nabinya.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab –radiyallahu ‘anhu-. Lalu Umar –
radhiyallahu ‘anhu- berkata,
ألنت أحب إلي من كل شيء إال من نفسي
“Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku
sendiri.”
“Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku
harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
“Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”
اآلن يا عمر
“Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR. Bukhari) [Bukhari: 86-Kitabul
Iman wan Nudzur, 2 - Bab Bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersumpah]
“Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada
anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Cinta bukanlah hanya klaim semata. Semua cinta harus dengan bukti. Di antara bentuk cinta
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ittiba’ (mengikuti), taat dan berpegang teguh
pada petunjuknya. Karena ingatlah, ketaatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
buah dari kecintaan.
Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk
mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imron: 31)
ْشأْنُ أ َ ْن ت ُ َحب
َّ شأْنُ أ َ ْن ت ُ ِحبَّ َولَ ِكن ال َ لَي
َّ ْس ال
Yang terpenting bukanlah engkau mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana
engkau bisa dicintai-Nya.
Yang terpenting bukanlah engkau mencintai Nabimu. Namun yang terpenting adalah
bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta nabimu. Begitu pula, yang terpenting bukanlah
engkau mencintai Allah. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya.
(Lihat Syarh ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 20/2)
Allah sendiri telah menjelaskan bahwa siapa pun yang mentaati Rasul-Nya berarti dia telah
mentaati-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk berpegang teguh
pada ajarannya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits,
“Tidaklah aku biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan
kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan
menyimpang.” (HR. Abu Daud no. 2970. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini
shohih)
Itulah saudaraku di antara bukti seseorang mencintai nabinya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
yaitu dengan mentaati, mengikuti dan meneladani setiap ajarannya.
Kebalikan Cinta
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa di antara bukti cinta adalah mentaati dan ittiba’ pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti kebalikan dari hal ini adalah enggan mentaatinya
dan melakukan suatu ibadah yang tidak ada ajarannya. Karena sebagaimana telah kami
jelaskan di muka bahwa setiap orang pasti akan mentaati dan mengikuti orang yang dicintai.
Dari sini berarti setiap orang yang melakukan suatu ajaran yang tidak ada tuntunan dari
Nabinya dan membuat-buat ajaran baru yang tidak ada asal usulnya dari beliau, walaupun
dengan berniat baik dan ikhlash karena Allah Ta’ala, maka ungkapan cinta Nabi pada dirinya
patut dipertanyakan. Karena ingatlah di samping niat baik, seseorang harus mendasari setiap
ibadah yang dia lakukan dengan selalu mengikuti tuntunan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Itulah yang engkau harus pahami saudaraku, sebagaimana engkau akan mendapati hal
ini dalam perkataan Al Fudhail berikut.
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk
[67]: 2), beliau mengatakan, “Yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula,
apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun
tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Perkataan Fudhail di atas memiliki dasar dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut
tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Itulah saudaraku yang dikenal dengan istilah bid’ah. Amalan apa saja yang tidak mengikuti
tuntunan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tertolak, walaupun yang melakukan
berniat baik atau ikhlash. Karena niat baik semata tidaklah cukup, sampai amalan seseorang
dibarengi dengan megikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah kita mengetahui muqodimah di atas, sekarang kita akan menelusuri lebih jauh,
apakah betul cinta Nabi harus dibuktikan dengan mengenang hari kelahiran beliau dalam
acara maulid Nabi sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum muslimin? Silakan simak
pembahasan berikut ini.
Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya
pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun
punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana
cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan
dan memberikan kepahaman.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan
Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan
menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.
Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa
pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin
telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[2]
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau
tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya),
”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)
Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian
yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan
pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada
beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang
apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[3]
Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),
janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang
tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat.”[4]
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku.
Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud,
maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula
separuhnya.”[5]
Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah).
Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya
rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika
seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika
seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[6]
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum
cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan
pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka,
maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita
bohong mengenai Aisyah, pen),
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya,
jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[7]
Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan
menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan
ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq dan
pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan
sabdanya, “Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu
ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih
paham daripada orang yang mendengar.”[8]
Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah
berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[9] Yang disampaikan pada umat adalah yang
berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini
adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena
sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan
melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[10] Oleh karenanya,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam
agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[11]
Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada
ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta
bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya.[12]
Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid
nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain
dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian
malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian
malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -
yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah
yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan
mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[13]
Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy-
mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab
tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai
amalan Maulid)”.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab
dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan)
dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan
maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang
menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau
mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh
dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan
para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang
dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan
oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan
tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –
berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya
bisa kita katakan terlarang atau haram.”[14]
Penutup
Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta
pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan
mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari
sinilah sebagian salaf mengatakan: Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka
dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31).[15] Orang yang cinta
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan
bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.
Hanya Allah yang memberi taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal, ST]
_____________