Anda di halaman 1dari 4

Kementerian Kesehatan menyatakan kasus malaria di Indonesia masih tinggi, 70 persen di antaranya di

wilayah timur.

Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan Andi Muhadir mengatakan
prevalensi penyakit malaria di Indonesia masih tinggi, mencapai 417.819 kasus positif pada 2012.

Andi mengatakan saat ini 70 persen kasus malaria terdapat di wilayah Indonesia Timur, terutama di
diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Wilayah endemik malaria di Indonesia Timur, ujar Andi, tersebar di 84 kabupaten/kota dengan jumlah
penduduk berisiko 16 juta orang.

Andi menjelaskan faktor geografis yang sulit dijangkau dan penyebaran penduduk yang tidak merata
merupakan beberapa penyebab sulitnya pengendalian malaria di wilayah itu.

Untuk itu, menurut Andi, pihaknya terus melakukan terobosan untuk mengatasi malaria di wilayah
tersebut, diantaranya dengan melakukan pemeriksaan darah massal dan membagikan kelambu
berinsektisida kepada masyarakat.

Selain itu, pihaknya juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan pembentukan pos malaria desa
yang jumlahnya kini mencapai 1.325 pos, ujar Andi.

“Jadi kalau dulu kita hanya menunggu penderitanya di puskesmas, sekarang kita aktif surveillance dan
kemudian kita langsung layani dan diberikan pengobatan. Perlu dicatat obatnya sendiri gratis, jadi tidak
ada persoalan. Jadi kita akan melakukan pemeriksaan seluruhnya,” ujarnya di Kementerian Kesehatan,
Selasa (23/4).

“Yang kedua, kita kampanyekan ke semua masyarakat yang masih ada penularan harus menggunakan
kelambu. Kemudian kita melakukan penyemprotan dinding rumah pada desa dengan api dari 40 persen.”
Satu-satunya daerah bebas malaria di Indonesia adalah Kepulauan Seribu. Pada peringatan Hari Malaria
Sedunia yang jatuh tanggal 25 April ini, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi memberikan sertifikat bebas
malaria untuk Kepulauan Seribu di Balai Kartini, Jakarta.

Syarat sebuah daerah bebas malaria adalah Annual Parasite Incident (API), atau insiden parasit tahunan,
di bawah satu per 1.000 penduduk dan tidak terdapat kasus malaria pada penduduk lokal selama tiga
tahun berturut-turut.

Kepulauan Seribu pada 2001 menghadapi kejadian luar biasa (KLB) malaria. Saat itu tercatat 427 jumlah
kasus malaria positif dan 10 persen penderitanya meninggal.

Kepala Seksi Pengendalian Masalah Kesehatan Kepulauan Seribu, Suhendro mengatakan, saat ini
pihaknya melakukan surveillance migrasi dengan penegakan diagnosa dan pengobatan. Hal ini untuk
mencegah adanya kembali malaria di Kepulauan Seribu, ujarnya.

“Jadi kita pastikan dulu warga pulau sendiri yang baru pulang dari daerah endemis karena kan mayoritas
nelayan dan juga wisatawan yang dari daerah endemis. Kalau wisatawan inap dan demam, maka pihak
pemilik penginapan akan melaporkan ke dinas kesehatan setempat lalu dinas kesehatan akan langsung
mengambil sampel darahnya untuk diperiksa,” ujarnya.

Andi menyatakan, pada 2015 diharapkan eliminasi malaria dapat dilakukan di Jawa, Bali, Riau dan Aceh.
Pada 2020, eliminasi ditargetkan di Pulau Sumatera, Kalimantan,Sulawesi, dan Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Adapun eliminasi di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur pada
2030.

Pemerintah menargetkan Indonesia bebas malaria pada 2030.

Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium yang hidup dan
berkembang biak dalam sel darah merah manusia yang ditularkan oleh nyamuk malaria betina.
Malaria merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia. Data WHO 2014 mencatat 198 juta kasus
malaria terjadi secara global dan menjadi penyebab 584.000 kematian di tahun 2013. Infeksi malaria
banyak terjadi di berbagai belahan dunia terutama daerah tropis dan sub tropis termasuk Indonesia.

Di Indonesia, sekitar 35 persen penduduknya tinggal di daerah berisiko terinfeksi malaria dan dilaporkan
sebanyak 38 ribu orang meninggal per tahun karena malaria berat akibat Plasmodium falciparum.
Wabah malaria hampir terjadi setiap tahun di berbagai wilayah endemik Indonesia. Beberapa wilayah
telah dikategorikan sebagai daerah zona merah penderita malaria seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan
Bengkulu. Berikutnya, Jambi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, serta Aceh.

“Dari 293 kabupaten/kota di Indonesia, 167 kabupaten diantaranya berada di wilayah endemik malaria, “
kata dr. Arend Laurence Mapanawang, Sp.Pd., FINASIM., Kamis (31/12) saat ujian terbuka program
doktor di Fakultas Kedokteran UGM.

Arend menyebutkan terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT) merupakan terapi yang banyak
digunakan dalam pengobatan pasien yang terinfeksi plasmodium falciparum. Laporan WHO tahun 2010
menyebutkan penerapan terapi ACT dapat menekan kasus malaria secara global. Namun demikian,
terapi ini tidak berhasil untuk mengobati pasien malaria di beberapa daerah di Thailand dan Kamboja.

Kegagalan terapi ACT ini mendorong WHO untuk melakukan penyempurnaan terhadap terapi tersebut
dengan kombinasi dehidroartemisinin dan piperakuin (DHP). Hasilnya, terapi ini menunjukkan
keberhasilan dalam pengobatan malaria yang lebih baik. Kendati begitu, terapi ini belum mampu
memberikan efek farmakologis atau tingkat kesembuhan yang maksimal dan masih berisiko mengalami
kambuh kembali.

Ketua STIKES Halamahera ini menyampaikan pengobatan malaria di Indonesia dilakukan dengan
penerapan kombinasi DHP dengan penambahan primakuin. Terapi yang diprogramkan pemerintah sesuai
Permenkes tahun 2013 ini telah diterapkan di Halmahera. Penerapan terapi kombinasi ini dikarenakan
Halmahera termasuk dalam satu daerah dengan kasus malaria yang cukup tinggi. Namun, tingkat
keberhasilan penerapan kombinasi DHP dan primakuin baru sebatas jumlah pasien malaria yang sembuh
semakin meningkat.
Oleh karena itu, Arend melakukan uji farmakokinetika pengobatan dengan kombinasi
dehidroartemisinin, piperakuin, dan primakuin. Hasilnya, diketahui penderita malaria falciparum tanpa
komplikasi yang diterapi dengan kombinasi ACT DHA, piperakuin, primakuen sangat efektif untuk
mengobati pasien malaria falciparum tanpa komplikasi. Dengan terapi kombinasi DHP dan primakuin
menunjukkan tingkat kesembuhan pasien malaria falciparum mencapai 100 persen. Sementara dengan
terapi DHP tingkat kesembuhan penderita malaria falciparum mencapai 95 persen atau masih memiliki
risiko kumulatif kambuh sebesar 5 persen.

“Sejauh ini belum ada penelitian yang menunjukkan adanya resistensi terhadap kombinasi obat
tersebut,” terangnya. (Humas UGM/Ika)

Anda mungkin juga menyukai