A. Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
2. Tulang Tengkorak
a) Kubah (kalvaria), khususnya di regio temporal adalah tipis, namun dilapisi oleh
otot temporalis.
b) Basis kranii, berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
c) Rongga tengkorak dasar
Fosa anterior : lobus frontalis
Fosa media : lobus temporalis
Fosa posterior : ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum
3. Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan :
a) Duramater
Merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Pada beberapa tempat tertentu,
duramater membelah menjadi 2 lapis membentuk sinus venosus besar yang
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus (dominan di
sebelah kanan). Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fossa temporalis (fossa media).
b) Arachnoid
Merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Cairan serebrospinal
bersirkulasi dalam ruang sub arachnoid.
c) Piamater
Merupakan lapisan yang melekat erat pada korteks serebri.
4. Otak
a) Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri, yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu
lipatan durameter dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri
kiri terdapat pusat bicara manusia yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga
2
pada lebih dari 85 % orang kidal. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara
sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik, dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan.
b) Serebelum
Bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam
fossa posterior, berhubungan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua
hemisfer serebri.
c) Batang Otak
Terdiri atas mesensefalon (midbrain), pons, dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medua oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medula spinalis.
Doktrin Monro-Kellie
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan karena
rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang rigid. Segera setelah trauma, massa
(gumpalan darah) dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam batas normal. Saat
pengaliran CSS dan darah intravaskuer mencapai titik dekompensasi, TIK akan cepat
meningkat.
2. Berdasarkan Berat
a) Cedera ringan : penderita sadar dan berorientasi (GCS 14-15).
b) Cedera sedang : penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk,
namun masih mampu menuruti perintah (GCS 9-13).
c) Cedera berat : penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena
kesadaran yang menurun (GCS 3-8).
3. Berdasarkan Morfologi
a) Fraktur Kranium
Adanya tanda-tanda, seperti : ekimosis periorbital (raccon eyes sign), ekimosis
retroeurikuler (battle sign), kebocoran CSS (rhinorrhea, otorrhea), paresis N VII,
dan kehilangan pendengaran yang dapat timbul segera atau beberapa hari
posttrauma.
Klasifikasinya :
1) Kalvaria
a. Fraktur linear (garis)
Merupakan garis fraktur tunggal pada tulang tengkorak yang meliputi
seluruh ketebalan tulang. Bila fraktur linear melibatkan rongga udara
perinasal maka ada kemungkinan untuk timbulnya rinorea atau otau otorea
LCS.
b. Fraktur Diastase
Adalah fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi pemisahan
sutura kranial. Sering terjadi pada anak dibawah usia 3 tahun.
c. Fraktur communited
Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur
4
d. Fraktur Depressed
Adalah fraktur dengan tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur
tergeser dibawah tingkat dari tabula interna tulang tengkorak utuh
sekelilingnya. Fraktur jenis ini terjadi bila energi benturan relatif besar
terhadap area benturan yang relatif kecil, misalnya benturan oleh kayu,
batu, pipa besi, martil. Pada gambaran radiologis akan terlihat suatu area
‘double density’ lebih radio opaq karena ada bagian tulang yang tumpang
tindih.
2) Basilar
Yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar tengkorak,
jenisnya :
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posteriornya dibatasi oleh os. Sphenoid, prosessus clinoidalis
anterior dan jugum sphenoidalis. Manifestasi klinisnya, ekimosis
periorbita bisa bilateral dan disebut brill hematoma atau racoon eyes,
anosmia jika cedera melibatkan N. Olfctorius, dan rhinorea.
b. Fraktur basis cranii Foss Media
Bagian anteriornya langsung berbatasan dengan fossa anterior
sedangkan bagian posteriornya dibatasi oleh yamida os petrosus, os
temporalis, prosesus clinoidalis posterior dan dorsum sella. Manifestasi
klinisnya : ecchimosis pada mastoid (battle’s sign), otorrhea,
hemotympanum (bila membran tympaninya robek), kelumpuhan N.VII
dan N. VIII (hal ni terutama terjadijika garis frakturnya transversal
terhadap aksis pyramida petrosus). Carotid-cavernosusfistula (CCF) yang
ditandai dengan chymosis, sakit kepala, adanya bruit, exophtalmus yang
berdenyut.
c. Fraktur Basis Cranii Fossa posterior
Merupakan dasar dari kompartment infratentorial. Sering tidak disertai
gejala dan tanda yang jelas, tetapi dapat segera menyebabkan kematian
karena penekanan terhadap batang otak. Kadang-kadang terdapat battle’s
sign
3) Fokal
Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak,
bergantung pada mekanisme cedera yang terjadi.
a. Epidural Hematom (EDH)
Relatif jarang (± 0,5 %) dari semua cedera otak dan 9 % dari penderita
yang mengalami koma. EDH terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
5
Sering terletak di area temporal atau temporoparietal yang dan biasanya
disebabkan oleh robeknya a. Meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
A. Meningea media ini masuk dalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale. Pada
fase awal biasanya penderita tidak menunjukkan gejala dan tanda. Baru
setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala,
mual dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang
terpenting adalah pupil anisokor, bahkan pelebaran pupil unilateral akan
mencapai maksimal dan reaksi cahaya akan menjadi negatif. Pada tahap akhir,
kesadaran akan menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga
mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjkkan reaksi
cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Ciri khas hematom epidural
murni adalah adanya lucid interval. Tapi jika disertai cedera pada otak, lucid
interval tidak akan terlihat. Lucid interval adalah hilangya kesadaran pada
awal trauma, kemudian pasien sadar lagi (tenang) dan disusul dgn koma. EDH
ini merupakan emergensi bedah saraf. Terapinya hanya dengan operasi.
b. Subdural Hematom (SDH)
Hematom ini disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya
vena didalam ruang arachnoid (vena-vena kecil di permukaan korteks serebri).
Pembesaran hematom akibat robeknya vena memerlukan waktu yang lama.
Lebih sering terjadi (30 % cedera kepala berat) akibat robeknya. Biasanya
perdarahan menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Hemtom subdural
dibagi menjadi hematom subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama
sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu
ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga. Hematom subdural akut
dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang (space
occupying lession) yang progresif sehingga tidak jarang diangap sebagai
neoplasma atau demensia. Penanggulangannya terdiri atas trepanasi dan
evekuasi hematom. Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dari EDH.
c. Kontusio dan Hematom Intraserebral (ICH)
Hematom Intraserebral adalah hematom yang terbentuk pada jaringan otak
(parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah. Terutama
melibatkan lobus frotal dan temporal (80-90%) tetapi juga dapat melibatkan
6
korpus callosum, batang otak, dan ganglia basalis. Gejala dan tanda tergantung
ukuran dan lokasi hematom. Pada CT-Scan terlihat gambaran hiperdens yang
homogen dan berbatas tegas. Disekitar lesi akan disertai edem perifokal. Jika
hematom tersebut berdiameter kurang dari 2/3 diameter lesi,maka keadaan
tersebut kontusio. Kontusio ini terjadi (20-30% dari cedera otak berat) dan
sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal. Kontusio serebri
dapat dalam beberapa jam atau hari berubah menjadi ICH yang membutuhkan
tindakan operasi. Hal ini timbul pada lebih kurang 20% dari penderita dan cara
mendeteksi terbaik adalah dengan mengulang CT-Scan dalam 12-24 am
setelah CT-Scan pertama. Jika ICH ini disertai dengan SDH dan kontusio atau
laserasi pada daerah yang sama maka disebut burs lobe.
4) Difusa
Merupakan suatu keadaan patologis penderita koma (penderita yang tidak
sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa
gambaran SOL (space-occupying lession) pada CT-Scan atau MRI. Paling sering
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi
mekanisme akselerasi dan deselerasi. Angulasi, rotasi dan peregangan yang timbul
menyebabkan robekan seraut saraf pada bebagai tempat yang sifatnya menyeluruh
(difus).
a. Konkusi
Yaitu hilangnya kesadaran sementara setelah trauma kepala dan terjadi
tanpa kerusakan struktur otak. Konkusi ini berlangsung bbrp menit sampai
beberapa jam, Setelah sadar pasien pusing dan bingung. Dapat terjadi
hilangnya kesadaran yaitu :
• Hilangnya daya ingat setelah kejadian à Amnesia post traumatic
• Hilangnya daya ingat sebelum kejadian à Amnesia anterograde
b. Cedera Aksonal Difusa atau Diffuse axonal Injury (DAI)
Adanya kerusakan axon yang difus dalam hemisfer serebri, korpus
callosum, batang otak, dan serebelum (pedenkulus).
Awalnya kekuatan renggang pada saat benturan melebihi level ketahanan
akson sehingga terjadi sobekan atau fagmentasi aksolemma , keteraturan
susunan sitoskeleton akson menjadi rusak. Terjadi pada saat benturan, tetap
ada yang memberi batas waktu dalam 60 menit sejak kejadian.
Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh, walaupun
susunan sistoskeleton terganggu. Penghantaran aksosplasma akan terbendung
7
pada sistoskeleton yang menjadi kerusakan sehingga terjadi pembengkakan
akson (retraction ball) yang pada akhirnya akan menyebabkan putusnya akson.
Gambaran DAI secara klinis ditandai dengan koma sejak kejadian.
Klasifikasi :
Ringan : koma 6-24 jam, jarang.
Sedang : koma > 24 jam, paling sering, 45%, tanpa tanda-tanda batang
otak menonjol.
Berat : koma > 24 jam, mematikan, 36%.
4. Diagnosis
a) Pemeriksaan
1. Neurologis
(1) Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian
ini harus dilakukan secara periodik untuk menilai perbaikan atau perburukan
keadaan pasien. Tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya
terbatas pada satu hemisfer otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika
kedua hemisfer mulai terlibat, atau jika ada proses patologis akibat penekanan
atau cedera pada batang otak.
(2) Pupil dan Pergerakan Bola Mata, Termasuk Saraf Kranial
Penilaian pupil menunjukkan fungsi mesensefalon dan sangat penting
pada cedera kepala, karena :
Bagian kepala yang mengendaikan kesadaran seara antomis terletak
berdekatan dengan pusat yang mengatur reaksi pupil.
Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap gangguan
metabolik, sehingga bisa membedakan koma-metabolik atau koma
struktural.
Reaksi okulosefalik (Doll’s head eye phenomenon) dan reaksi terhadap tes
kalori (okulovestibuler) menunjukkan fungsi medula oblongata dan pons.
Jangan melakukan pemeriksaan okulosefalik jika cedera servikal beum dapat
disingkirkan. Reaksi okulovestibuler lebih superior daripada reaksi
okulosefalik.
(3) Reaksi Motorik Berbagai Rangsang Dari Luar
Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu reaksi dari penderita
(spontan, rangsangan suara, nyeri, atau tanpa respon) berbanding lurus dengan
dalamnya penurunan kesadaran.
(4) Reaksi Motorik Terbaik
Terbagi atas :
8
Gerakan bertujuan jelas
Kekuatan gerakan harus dinilai menjadi :
o +5 : kekuatan gerakan normal
o +4 : kekuatan gerakan mendekati normal
o +3 : mampu melawan gravitasi
o +2 : dapat bergeser, tidak dapat melawan gravitasi
o +1 : tampak gerakan otot, tapi belum bergeser
Gerakan bertujuan tidak adekuat
Postur fleksor
Postur ekstensor
Diffise muscle flacciditty
(5) Pola Pernapasan
Pernapasan merupakan suatu kegiatan sensorimotor terintegrasi dari
keterlibatan berbagai saraf yang terletak pada hampir semua tingkat otak dan
bagian atas spinal cord. Kerusakan pada berbagai tingkat pada SSP akan
memberikan gambaran pola pernapasan yang berbeda.
2. Radiologis
(1) Foto Polos Kepala
Foto polos kepala dibuat dalam 2 posisi, AP dan lateral. Untuk foto
lateral, posisi film ditempatkan pada sisi dengan jejas yang dicurigai ada
fraktur. Jika terdapat kecurigaan fraktur pada kedua sisi, foto lateral sebaiknya
dibuat pada kedua sisi
Foto polos kepala sudah sangat jarang digunakan, cukup berguna untuk
cedera kepala yang disertai luka tembus atau fraktur tulang tengkorak.
(2) Foto Servikal
Foto servikal dibuat terutama posisi lateral, kadang-kadang diperlukan
posisi frontal.
Indikasi :
Penderita tidak sadar atau dengan penurunan kesadaran.
Penderita yang sadar dan mengeluh nyeri.
Ada jejas di atas klavikula, sehubungan dengan mekanisme cedera.
Setiap penderita dengan kecurigaan trauma servikal.
(3) CT-Scan
Pemeriksaan ini meliputi foramen magnum hingga verteks, dan setiap
pemotongan akan sejajar dengan orbitomeatal line untuk menghindari radiasi
terhadap lensa mata. Sebaiknya tebal pemotongan gambar adalah 5 mm,
terutama pada fosa posterior untuk menghindari adanya lesi kecil yang
terlewatkan.
Indikasi :
GCS < 15
Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tulang tengkorak.
Ada tanda klinis fraktur basis kranii.
Disertai kejang.
9
Ada tanda neurologis fokal.
Sakit kepala yang menetap.
E. Penatalaksanaan.
(Resiko Cedera Kepala)
RENDAH MODERAT TINGGI
Perubahan kesadaran
Kesadaran rendah
Asimptomatis Sakit kepala progresif
Gejala fokal
Dizziness Intoksikasi alkohol/obat
Penurunan kesadaran
Laserasi skalp Riwayat tidak sesuai
Cedera penetrasi
Abrasi skalp ± perforasi tengkorak / fraktur depress
Fraktura depress
cedera wajah serius
a) Primary Survey
(1) Airway
Membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal.
Pasang servikal collar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada
cedera servikal. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada
penderita koma.
(2) Breathing
Penderita diberikan ventilasi dengan oksigen 100 % sampai diperoleh
hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang
tepat terhadap FiO2. Penggunaan pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk
memonitor saturasi O2 (target > 98%).
(3) Circulation
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Pada penderita yang hipotensi, harus
segera distabiisasi untuk mencapai euvolemia, segera lakukan pemberian
cairan untuk mengganti volume yang hilang dengan perbandigan 3:1 (300 ml
RL/100 mL darah yang hilang).
(4) Disability (Penilaian neurologis cepat)
Tingkat kesadaran cara AVPU / GCS :
A = alert.
V = respon terhadap rangsangan verbal.
P = respon terhadap rangsangan nyeri.
U = tidak ada respon.
Pupil :
10
1. Ukuran.
2. Reaksi cahaya.
(5) Exposure
Untuk mencari tanda-tanda trauma di tempat lain.
b) Secondary Survey
1. Cedera Kepala Ringan
(1) Riwayat :
Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
Mekanisme cedera, waktu cedera, kesadaran setelah cedera, tingkat
kewaspadaan
Amnesia (Retrograde/antegrade), Sakit kepala (Ringan, sedang atau berat)
(2) Pemeriksaan Umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
(3) Pemeriksaan neurologis
(4) Radiografi tengkorak, servikal, dll sesuai indikasi
(5) Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin
(6) CT-Scan
(7) Kriteria Rawat :
Amnesia post traumatika jelas (> 1jam )
Riwayat kehilangan kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran
Nyeri kepala sedang hingga berat
Intoksikasi alkohol atau obat
Fraktur tengkorak
Kebocoran CSS, Otorrhea, atau rinorrhea
Cedera penyerta yang jelas
Tidak punya orang serumah yang dapat bertanggung jawab
CT-Scan Abnormal atau tidak ada
Semua cedera tembus
(8) Kriteria pemulangan
Tidak memenuhi kriteria rawat
Diskusikan kemungkinan kembali kerumah sakit bila keadaan memburuk
dan berikan lembaran observasi
Jadwalkan untuk kontrol ulang (1 minggu)
11
Bila keadaan memburuk segera lakukan CT-Scan ulang dan
penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat
3. Cedera Kepala Berat
(1) Riwayat :
Usia, jenis, dan saat kecelakaan.
Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
Perjalanan neurologis.
Perjalanan tanda-tanda vital.
Muntah, aspirasi, anoksia, kejang.
Riwayat peyakit sebelumnya, termasuk obat yang dipakai dan alergi.
(2) Stabilisasi kardiopulmoner
Jalan napas, intubasi dini
Tekanan darah, normalkan segera dengan salin normal atau darah.
Kateter Folley, NGT.
Film diagnostik : Servikal, Abdomen, Perlvis, Tengkorak, dan Ekstremitas.
(3) Pemeriksaan Umum
(4) Tindakan emergensi untuk cedera yang menyertai
Trakeostomi
Tube dada
Stabilisasi leher : kolar kaku, tong Gardner-Wells, dan traksi
Parasentesis abdominal
(5) Pemeriksaan neurologis
Kemampuan membuka mata
Respon motor
Respon verbal
Reflek pupil
Okulosefalik (dolls)
Okulovestibuler (kalorik)
(6) Obat-obat terapeutik
Na Bikarbonat
Manitol
(7) Tes Diagnostik
CT-Scan
Ventrikulogram udara
Angiogram
14
edema (terutama pada anterior horn). Jika terdiagnosis, maka harus dirujuk ke ahli
bedah saraf untuk operasi diversi CSS (VP-shunt).
3. Subdural Hematoma Kronis
4. Cedera kepala terbuka
5. Kebocoran CSS
Terutama menyertai fraktur basis. Pada proses penyembuhan luka, umumnya
kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter terjepit pada garis
fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-menerus, maka perlu tindakan operatif.
b) Komplikasi non bedah
1. Kejang post traumatika
Merupakan tanda cedera kortikal yang dapat timbul, baik secara dini,
maupun lambat, dan biasanya terjadi karena cedera vertikal atau kerusakan
pada lobus frontal, temporal ataupun parietal.
2. Infeksi
Infeksi pada cedera kepala umumnya disebabkan oleh kuman komensal
yang berada di kulit (scalp). Penggunaan antibiotika harus disesuaikan dengan
dugaan empiris kuman penyebab.
3. Gangguan Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan aksis hipotalamus-hipofise,
sehingga produksi ADH berkurang, ditandai denganproduksi urin menjadi
berlebihan (dewasa > 250 cc/jam, anak > 3 cc/kgBB/jam), osmolaritas urin
yang rendah (50-150 Osm/L), berat jenis urin rendah (1.001-1,005), kadar
natrium serum normal atau meningkat, osmolaritas plasma meningkat, dengan
fungsi adrenal yang normal
4. Gangguan Gastrointestinal
Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik
yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah
terjadi erosi. Anisipasinya adalah dengan pemberian obat antagonis H-2
reseptor dan inhibitor pompa proton, seperti simetidin, ranitidin, dan
omeprazole.
5. Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)
Jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala yang berat.
Mekanismenya :
Peningkatan TIK yang cepat atau cedera langsung pada hipotalamus
menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga terjadi aliran darah
yang meningkat ke paru-paru dengan peningkatan PCWP (Pulmonary
Capillary Wedge Pressure) dan peningkatan permeabilitas kapiler di paru.
Pelepasan katekolamin yang akan mempengaruhi endotel kapiler
(peningkatan permeabiitas alveolar)
15
ILUSTRASI KASUS
Seorang pasien perempuan berumur 47 tahun masuk bangsal Neurologi RSUD Solok
pada tanggal 22 Desember 2009 dengan keluhan:
Keluhan Utama
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
Nadi : 76 x /menit
Suhu : 36,5 °C
Status Internus :
17
JVP 5-2 cmH2O.
Thorak :
Perkusi : Sonor
Perkusi : Batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri 2 jari medial LMCS RIC V.
Perkusi : Timpani
Status Neurologikus :
1. GCS 15 (E4M6V5)
2. Tanda Rangsangan Meningeal :
a. Kaku kuduk (-).
b. Brudzinky I (-).
c. Brudzinky II (-).
d. Kernig (-).
3. Tanda peningkatan tekanan intrakanial:
a. Muntah proyektil tidak ada.
b. Sakit kepala tidak ada.
4. Nn. Kranialis :
a. N I : Penciuman dan pembauan baik
b.NII : Tajam penglihatan, lapangan penglihatan,melihat warna
18
baik.
c.N III, IV, VI : Pupil isokor, bulat, diameter 3mm/3mm, gerakan bola
mata bebas ke segala arah. Nistagmus (+)
d.N V : Membuka mulut, menggigit, mengunyah, sensorik baik
e.N VII : Raut wajah simetris
f.N VIII : Pendengaran terganggu, keseimbangan terganggu.
g.N IX, X : Mengecap dan menelan baik
h.N XI : Menoleh ke kanan kiri dan mengangkat bahu baik,
i.N XII : Normal.
Motorik
Ekstremitas Superior :
Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 555 555
Tonus Eutonus Eutonus
Tropi Eutropi Eutropi
Ekstremitas Inferior
Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 555 555
Tonus Eutonus Eutonus
Tropi Eutropi Eutropi
5. Sensorik
a. Eksteroseptif : Baik
b. Proprioseptif : Baik
6. Fungsi Otonom
Fungsi miksi, defekasi dan sekresi keringat baik
7. Refleks
a. Refleks fisiologis : Refleks biceps +/+
Refleks triceps +/+
Refleks KPR +/+
Refleks APR +/+
b. Refleks patologis : Refleks Hoffman Trommer -/-
Refleks Babinsky -/-
LABORATORIUM : (-)
DIAGNOSA KERJA :
Diagnosis Klinis : Trauma kepala ringan GCS 15 (E4 M6 V5) dan vertigo
19
Diagnosis Topik : Suspek Pecah arteri meningea media
Diagnosis Etiologi : Post kontusio serebri
Diagnosis Sekunder : (-)
PEMERIKSAAN ANJURAN
Darah rutin
Rontgen Cranial posisi AP dan Lateral
Brain CT Scan
TERAPI :
Hecting luka
O2 2 L / menit
IVFD RL 8 jam / kolf
Amoxcicilin 500 mg 3 x 1
Frego 5 mg 1 x 1 (malam)
Prednicort 4 mg 3 x 1
Trombhofob gel
PROGNOSIS
DISKUSI
20
Telah dilaporkan seorang pasien wanita berumur 47 tahun dengan diagnosis klinis
trauma kepala ringan GCS 15 (E4M6V5).
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama kulit kepala bagian samping kanan robek
sebesar 2 cm. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan motor. Pasien terlempar dari motor
dan kepala pasien menghantam aspal. Pasien tidak sadar ± setengah jam setelah kejadian.
Setelah sadar pasien sempat lupa dengan kejadian sebelum terjadinya kecelakaan. Pasien juga
mengalami pusing berputar dan telinga berdenging. Muntah (-), sakit kepala progresif (-),
kaku kuduk (-)
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sedang dengan tekanan
darah 130/80 mmHg. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan kesadaran somnolen dengan
GCS 14 (E4M6V4), tanda rangsangan meningeal tidak ada, peningkatan TIK tidak ada.
Nistagmus (+), keseimbangan terganggu. Gangguan fungsi motorik tidak ditemukan, sensorik
baik dan otonom baik. Pada system reflek, reflek fisiologis baik dan reflek patologis tidak
ada.
Pasien ini dianjurkan untuk pemeriksaan Rontgent kepala posisi AP dan Lateral,
pemeriksaan darah rutin dan Brain CT- scan untuk mendukung penegakkan diagnosis trauma
kepala sedang dan melihat keadaan otak dan menilai luasnya perdarahan sehingga dapat
menentukan langkah pengobatan selanjutnya dan prognosis pada pasien.
Terapi umum yang diberikan pada pasien saat ini adalah Oksigen 2 L / menit, RL 8
jam / kolf, amoxcicilin 3 x 1, frego 5 mg 1 x 1 (malam), prednicort 4 mg 3 x 1, trombhofop
gel dan luka robek di kepala telah di hecting di IGD.
Daftar Pustaka
American College of Surgeons. ATLS : Advanced Trauma Life Support Programs fo Doctors.
7th ed. Chicago : American College of Surgeons, 2004.
Japardi, Iskandar. Cedera Kepala. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2004.
Sjamsuhidayat, R dan De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta : EGC, 2005.
Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah. Vol 2. Jakarta : EGC, 1994
www.medicastore.com
21
Kuliah Pakar Bedah Saraf dan Neurologi.
22