Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia.
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011 mengenai
perkiraan kasus TB secara global disebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat
insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta kasus per tahun,1 sedangkan pada tahun 2009
terdapat 1,7 juta kematian akibat TB.
Penyakit ini masih menjadi salah satu pembunuh utama bagi manusia. Jika
tidak diobati dengan baik, maka penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada
hampir setengah kasus selama 5 tahun setelah menderita penyakit ini. Saat ini,
diperhitungkan 3.800 pasien TB meninggal setiap hari atau 2-3 pasien meninggal
setiap menit karena TBC ini( who 2013 ).
Di Indonesia tahun 2001 diperkirakan 582 ribu penderita baru atau 271 per
100 ribu penduduk, sedangkan yang ditemukan BTA positif sebanyak 261 ribu
penduduk atau 122 per 100 ribu penduduk, dengan keberhasilan pengobatan diatas 86
% dan kematian sebanyak 140 ribu. Jumlah penderita di Indonesia ini merupakan
jumlah persentase ketiga terbesar di dunia yaitu 10 %, setelah India 30 % dan China
15 %. Risiko penularan setiaptahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)
di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %.
Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara
1000penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang
terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi
yang akan menjadi penderita TB.
Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan
ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita

1
tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif. Penularan TB
sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat penduduk, ketersediaan
sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang terkait seperti masalah
kesehatan yang berhubungan dengan perumahan, kepadatan anggota keluarga,
kepadatan penduduk, konsentrasi kuman, ketersediaan cahaya matahari, dll.
Sedangkan masalah perilaku sehat antara lain akibat dari meludah sembarangan,
batuk sembarangan, kedekatan anggota keluarga, gizi yang kurang atau tidak
seimbang, dll. Untuk sarana pelayanan kesehatan, antara lain
menyangkutketersediaan obat, penyuluhan tentang penyakit dan mutu pelayanan
kesehatan.
1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas rumusan masalahnya yaitu bagaimana TB pada


Geriatrik.

1.3 Tujuan

Dari rumusan maslah diatas Kita dapat memahami tentang bagaimana TB


pada Geriatrik.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang bervariasi, akibat kuman
mycobacterium tuberkulosis sistemik sehingga dapat mengenai semua organ tubuh
dengan lokasi terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer
(Mansjoer, 2000).

Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang


parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama
meningens, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Suddarth, 2003). Tuberkulosis paru
adalah penyakit infeksi yang menyerang pada saluran pernafasan yang disebabkan
oleh bakteri yaitu mycobacterium tuberculosis, (Smeltzer, 2002). dapat
menyimpulkan bahwa, TB Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
mycobakterium tuberculosis yang menyerang saluran pernafasan terutama parenkim
paru.

Pada usia lanjut terjadi perubahan-perubahan anatomik yang mengenai hampir


seluruh susunan anatomik tubuh, dan perubahan fungsi tel, jaringan atau organ yang
bersangkutan, salah satunya adalah perubahan pada saluran pernafasan. Yang
mengalami perubahan adalah:

 Dinding dada : tulang-tulang mengalami osteoporosis, tulangtulang


rawan mengalami osifikasi, terjadi perubahan bentuk dan ukuran dada.
Sudut epigastrik relatif mengecil dan volume rongga dada mengecil.
 Otot-otot pernafasan : mengalami kelemahan akibat atrofi.
 Saluran nafas : akibat kelemahan otot, berkurangnya jaringan elastis
bronkus dan alveoli menyebabkan lumen bronkus mengecil. Cincin-

3
cincin tulang rawan bronkus mengalami
perkapuran (Widjayakusumah, 1992; Bahar, 1990. Didalam
buku R.Boedi-Dharmojo dan H.Hadi Martono. 1999)
 Struktur jaringan parenkim paru : bronkiolus, duktus alveolaris
dan alveolus membesar secara progresip, terjadi emfisema
senilis (Bahar, 1992). Struktur kolagen dan elastin dinding saluran
nafas perifer kualitasnya mengurang sehingga menyebabkan
elastisitas jaringan parenkim pam mengurang. Penurunan elastisitas
jaringan parenkim paru pada usia lanjut dapat karena menurunnya
tegangan perrnukaan akibat pengurangan daerah permukaan alveolus
(Taylor et al, 1989; Levinzky, 1995; Bahar, 1990 Didalam
buku R.Boedi-Dharmojo dan H.Hadi Martono. 1999)
 Perubahan-perubahan fisiologik sistem pernafasan
Perubahan fisiologik (fungsi) pada sistem pernafasan yang
terjadi antara lain :adanya perubahan gerak nafas, hentuk, ukuran
dada, maupun volume rongga dada akan merubah mekanika
pernafasan, amplitudo pernafasan menjadi dangkal, timbul keluhan
sesak nafas. Kelemahan otot pernafasan menimbulkan
penurunan kekuatan gerak nafas, lebih-Iebih apabila terdapat
deformitas rangka dada akibat penuaan (Bahar, 1990. Didalam
buku R.Boedi-Dharmojo dan H.Hadi Martono. 1999). Perubahan
struktur anatomik saluran nafas akan menimbulkan penumpukan Warn
dalam alveolus (air trapping) ataupun gangguan pendistribusian udara
nafas dalam cabang-cabang bronkus.
 Volume dan kapasitas paru menurun. Hal ini disebabkan
karena beberapa faktor: kelemahan otot nafas, elastisitas
jaringan parenkim parts menurun, resintensi saluran nafas (menurun
sedikit). Secara umum dikatakan bahwa pada usia lanjut

4
terjadi pengurangan ventilasi paru (Bahar. 1190; Widjajakusumah,
1992. Didalam buku R.Boedi-Dharmojo dan H.Hadi Martono. 1999)
 Gangguan transport gas. Pada usia lanjut terjadi penurunan Pa02
secara bertahap, yang penyebabnya terutama disebabkan (adanya
ketidakseimhangan ventilasi-perfusi (Mangunegoro, 1992). Selain itu
diketahui bahwa pengambilan 02 oleh darah dari alveoli (difusi) dan
transport 02 ke jaringan-jaringan berkurang, terutama terjadi pada saat
melakukan olah raga. Penurunan pengambilan 02maksimal disebabkan
antara lain karena : (1) berbagai perubahan pada jaringan paru
yang menghambat difusi gas, dan (2) karena berkurangnya aliran
darah ke paru akibat turunnya curah jantung (Widyakusumah,
1992. Didalam buku R.Boedi-Dharmojo dan H.Hadi Martono. 1999)
 Gangguan perubahan ventilasi pain. Pada usia lanjut terjadi gangguan
pengaturan ventilasi paru, akibatadanya penurunan kepekaan
kemoreseptor perifer, kemoreseptor sentral ataupun pusat-pusat
pernafasan di medulla oblongata dan pons terhadap rangsangan berupa
penurunan Pa02, peninggian PaCO2, perubahan pH darah arteri dan
sebagainya (Bahar, 1990. Didalam buku R.Boedi-Dharmojo dan
H.Hadi Martono. 1999)
Hal ini memperlihatkan bahwa Secarapatofisiologis, lanjut usia ini
tanpa penyakit saja sudah mengalamipenurunan fungsi paru, ditambah
menderita TB paru sehingga menambahdan memperburuk keadaan.
Tampilan klinis TB pada lansia tidak khas danoleh karena itu mungkin
tidak diketahui atau salah diagnosa. Batuk kronis,keletihan dan kehilangan
berat badan dihubungkan dengan penuaan danpenyakit yang menyertai.

2.2 Ditinjau Dari Segi Epidemiologi


Penyakit ini masih menjadi salah satu pembunuh utama bagi manusia.
Jika tidak diobati dengan baik, maka penyakit ini dapat menyebabkan

5
kematian pada hampir setengah kasus selama 5 tahun setelah menderita
penyakit ini. Saat ini, diperhitungkan 3.800 pasien TB meninggal setiap hari
atau 2-3 pasien meninggal setiap menit karena TBC ini( who 2013 ).
Di Indonesia tahun 2001 diperkirakan 582 ribu penderita baru atau 271
per 100 ribu penduduk, sedangkan yang ditemukan BTA positif sebanyak 261
ribu penduduk atau 122 per 100 ribu penduduk, dengan keberhasilan
pengobatan diatas 86 % dan kematian sebanyak 140 ribu. Jumlah penderita di
Indonesia ini merupakan jumlah persentase ketiga terbesar di dunia yaitu 10
%, setelah India 30 % dan China 15 %. Risiko penularan setiaptahun (Annual
Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi
dan bervariasi antara 1-3 %.
Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara
1000penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang
yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita TB.
Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah
dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100
(seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA
positif. Penularan TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku
sehat penduduk, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah
lingkungan yang terkait seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan
perumahan, kepadatan anggota keluarga, kepadatan penduduk, konsentrasi
kuman, ketersediaan cahaya matahari, dll. Sedangkan masalah perilaku sehat
antara lain akibat dari meludah sembarangan, batuk sembarangan, kedekatan
anggota keluarga, gizi yang kurang atau tidak seimbang, dll. Untuk sarana
pelayanan kesehatan, antara lain menyangkutketersediaan obat, penyuluhan
tentang penyakit dan mutu pelayanan kesehatan.
Masalah lain yang muncul dalam pengobatan TB adalah adalah adanya
resistensi dari kuman yang disebabkanoleh obat (multidrugresistent

6
organism). Kuman yang resisten terhadap banyak obat tersebut semakin
meningkat. Di Amerika tahun 1997 resistensi terhadap INH mencapai 7,8 %
dan resisten terhadap INH dan Rifampisin 1,4 %. Secara umum angka ini di
Amerika pada median 9,9 % kuman daripenderita yang menerima obat anti
TB. Kejadian resistensi ini sudah banyak ditemukan di negara pecahan Uni
soviet, beberapa negara Asia, Republik Dominika, dan Argentina.
Saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara pemasok penderita
TBC terbesar di dunia setelah Cina dan India. Indonesia juga menjadi salah
satu negara dengan tingkat penularan yang tinggi. Laporan WHO tentang
angka kejadian TBC evaluasi selama 3 tahun dari 2008,2009,2010
menunjukkan bahwa kejadian TBC Indonesia mencapai 189 per 100.000
penduduk. Secara global, angka kejadian kasus kejadian TBC 128 per
100.000 penduduk. Data ini menunjukkan bahwa kasus TBC berada di sekitar
kita.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki
angka prevalensi kasus TBC yang cukup tinggi, khususnya pada masyarakat
dengan golongan ekonomi menengah kebawah. Penyakit TBC adalah suatu
penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikrobakterium tuberkulosa.
Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga
sebagai Batang Tahan Asam (BTA) . (Depkes, 2009).
Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki,
perempuan, miskin, atau kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia
bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000
kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia
adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia. Sedangkan
menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO
pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000
kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan
merupakan kasus baru penyebab penyakit TBC (Siswanto, 2008).

7
Penderita TBC di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 231.370 orang.
Propinsi dengan peringkat 5 tertinggi penderita TBC adalah Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan. Perkiraan Kasus
TB Paru BTA positif di Jawa Barat sebanyak 44.407, Jawa Timur sebanyak 1
239.896, Jawa Tengah sebanyak 35.165, Sumatra Utara sebanyak 21.197, dan
Sulawesi Selatan sebanyak 16.608(Profil Kesehatan Indonesia, 2009).
Angka insiden penyakit baru BTA (+) sebesar 107/100.000 penduduk,
maka diperkirakan pada tahun 2008 di Provinsi Jawa Tengah terdapat 34.913
penderita baru BTA (+). Akan tetapi BTA (+) yang ditemukan sebanyak
16.748 penderita (47,97%). Rendahnya angka penemuan ini berarti masih
banyak kasus TB paru yang belum terobati sehingga dapat menjadi sumber
penularan bagi lingkungan sekitar para penderita tersebut (Pofil Jawa
Tengah,2008). Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan
(2000), didapatkan data bahwa Tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan
keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat
menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Maka dapat kita bayangkan
akan berapa banyak penularan TBC terjadi dengan banyaknya yg belum
terdeteksi dan diobati secara benar.
Menurut Rahmatullah (1994) dalam buku Nugroho (2007)tuberkulosis
pada lanjut usia ternyata masih cukup tinggi. Di Rumah SakitKariadi
Semarang, ditemukan kasus TB sebesar 25,2 %.
Karena perubahan respon imun, tes kulit denganderivat protein yang
dimurnikan tidak selalu dapat diandalkan. Sekitar 10 -20 % mengalami reaksi
negatif karena keterlambatan responhipersensitifitas atau reaksi mungkin tidak
memuncak sampai setelah 72jam . Diagnosa definitifnya adalah spesimen
sputum segar pada pagi hariselama 3 kali untuk apus sputum dan kultur basil
tahan asam,Mycrobacterium Tuberculosis. Jika lansia tidak mampu
memberikanspesimen yang adekuat , teknik inhalasi aerosol dengan
menggunakansalin hipertonik dapat dilakukan (Meiliya dan Ester, 2006).

8
Menurut Rahmatullah (1994) dalam buku Nugroho (2007)tuberkulosis pada
lanjut usia ternyata masih cukup tinggi

2.3 Tanda Dan Gejala


 Batuk .Terjadi karena adanya infeksi pada bronkus. Dimulai dari batuk
kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif,
(menghasilkan sputum).
 Pada keadaan lanjut berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah
yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada ulkus dinding bronkus.
 Sesak nafas (Dyspnea) : Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang
sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru.
 Nyeri dada : Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
(menimbulkan pleuritis)
 Demam :Biasanya menyerupai demam influenza. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dengan berat-ringannya
infeksi kuman yang masuk.
 Malaise (keadaan lesu) : Dapat berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan),
 Berat badan menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

2.4 Cara Penularan Penyakit TB Paru


Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak (droplet) sumber
penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+), pada waktu penderita
tuberkulosis paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB dapat
bertahan di udara selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman,

9
percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau
penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.
Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita
tersebut dianggap tidak menular.
2.5 Penyebab Dan Faktor Predisposisi
Penyebab penyakit tuberkulosis adalah bakteri mycrobacterium
tuberculosis dan mycrobacterium boxis. Kuman tersebut mempunyai ukuran
0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk benang tipis lurus atau agak
bengkok beraranular atau tidak mempunyai selubung tetapi mempunyai
lapisan luar tebal terdiri dari lipoid (terutama asam mikrolat). Bakteri ini
mempunyai sifat istimewa yaitu bertahan terhadap pencucian warna dengan
asam dan alkohol. Sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA) serta tahan
terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberkulosis juga tahan dalam keadaan
kering dan dingin bersifat dorman aerob.
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100o C selama 30
menit. Dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik, bakteri ini tahan
selama 1-2 jam di udara terutama di tempat lembab dan gelap(bisa bertahan)
namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran di udara. Data tahun 1993
melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi
bakteri memerlukan 40 x pertukaran udara perjam (widoyono 2008,h : 13)
Agent, Host dan Environment Penular Penyakit Tuberculosis

10
Teori John Gordon, mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), penjamu (host), dan
lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga
epidemiologi (Epidemiologi Triangle), hubungan ketiga faktor tersebut
digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab
penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan
sebagai penumpunya. Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada
dalam keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat,
perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit,
penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agent penyebab
menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit, demikian pula bila
agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan faktor penjamu tetap,
maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya bila daya tahan
tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat. Apabila
faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agent
penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang
menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut :
Agent
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu anggota dari famili
Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium
tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan
penyebab terjadinya infeksi tersering. (Heinz, 1993).
Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium tuberculosis hidup baik
pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari.
Mycobacterium tuberculosis mempunyai panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2-
0,8 mikron. Kuman ini melayang diudara dan disebut droplet nuclei. Kuman
tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap
tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi kuman

11
tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan
panas api (Atmosukarto & Soewasti, 2000).
Kuman tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam
waktu 2 jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5
menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh
fenol 5 % dalam waktu 24 jam. Mycobacterium tuberculosis seperti halnya
bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan
dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel
bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang
baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis.
Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai,
merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 – 40 C,
tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 C. Pengetahuan mengenai
sifat-sifat agent sangat penting untuk pencegahan dan penanggulangan
penyakit, sifat-sifat tersebut termasuk ukuran, kemampuan berkembang biak,
kematian agent atau daya tahan terhadap pemanasan atau pendinginan.
Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila
penyakit timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi
syarat untuk menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor
penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan
penyakit tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan
virulensi.
Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan
penyakit pada host. Pathogenitas agent dapat berubah dan tidak sama
derajatnya bagi berbagai host. Berdasarkan sumber yang sama pathogenitas
kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah. Infektifitas adalah
kemampuan suatu mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembang

12
biak didalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman
tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah
keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi
kuman tuberkulosis paru termasuk tingkat tinggi, jadi kuman ini tidak dapat
dianggap remeh begitu saja.

Host
Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium
tuberculosis, kuman tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang
penderita tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).
Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan (1991), menunjukkan tingkat
penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam
rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang
terbawa angin dan akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya
menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap kuman TB.
Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik;
gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda
penyakit dan pengobatan. Karakteristik host dapat dibedakan antara lain;
Umur, jenis kelamin, pekerjaan, keturunan, pekerjaan, keturunan, ras dan gaya
hidup. Host atau penjamu; manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
anthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal atau kehidupan untuk
agent menular dalam kondisi alam (lawan dari percobaan). Host untuk kuman
tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang dimaksud
dalam penelitia ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi
penularan penyakit tuberkulosis paru adalah; kekebalan tubuh (alami dan
buatan), status gizi, pengaruh infeksi HIV/AIDS.
Environment

13
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik
benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk
akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Lingkungan
terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari;
Keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan dan lain-lain),
kelembaban udara, temperatur atau suhu, lingkungan tempat tinggal.
Adapun lingkungan non fisik meliputi; sosial, budaya, ekonomi dan
politik yang mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu
penyakit.

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Tuberculosis


 Faktor Sosial Ekonomi.
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan tempat
penghunian, lingkungan perumahan dan sanitasi tempat bekerja yang
buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat
erat juga dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil membuat
orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.
 Status Gizi.
Keadaan kekurangan gizi akan mempengaruhi daya tahan tubuh
sesoeranga sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB-Paru. Keadaan
ini merupakan faktor penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik
pada orang dewasa maupun anak-anak.
 Umur.
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau
usia produktif (15 – 50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi
demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi.
Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun,
sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-
Paru.

14
 Jenis Kelamin.
Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-
laki dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam jangka
waktu setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-
Paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak
terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-Paru dibandingkan dengan
akibat proses kehamilan dan persalinan.
Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena
merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan
sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent
penyebab TB-Paru.
 Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi
syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan
pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk
mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan
seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.
 Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan
partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan
pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat
meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran
pernafasan dan umumnya TB Paru. (Corwin,2009)
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan
keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari
diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan
mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala

15
keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah Upah Minimum Rata-rata
(UMR) akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai
dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai
status nutrisi dan gizi yang kurang yang akan memudahkan untuk terkena
penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah
dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang
dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah
terjadinya penularan penyakit TB Paru. (Adiatama,2000)
 Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko
untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner,
bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok
meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. (Achmadi,
2005). Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih
dari 50% terjadi pada laki- laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang
dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk
terjadinya infeksi TB Paru. (Darmanto,2007)
2.7 Penanganan Dan Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk
mengobati juga untuk mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau
resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif
(2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan
terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang
digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH,
Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan
adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam
Klavulanat, derivat Rifampisin/INH.Untuk keperluan pengobatan perlu
dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat

16
ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan
riwayat pengobatan sebelumnya
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang
cukup dan dosis tepat sesuai kategori pengobatan. Untuk menjamin
kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh
pengawas menelan obat (PMO). pengobatan tuberkulosis diberikan dalam
dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal),
pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat; bila pengobatan tahap intesif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB positif menjadi
BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan, pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih
lama dan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.Untuk mempermudah dan meningkatkan
kepatuhan pasien dalam minum obat, diberikan obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Namun, terkadang ada pasien yang alergi terhadap salah
satu obat dalam kombinasi tersebut, sehingga OAT-KDT tidak dapat
digunakan.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang bervariasi, akibat kuman
mycobacterium tuberkulosis sistemik sehingga dapat mengenai semua organ tubuh
dengan lokasi terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.

Menurut Rahmatullah (1994) dalam buku Nugroho (2007)tuberkulosis pada


lanjut usia ternyata masih cukup tinggi.
3.2 Saran
Berdasarkan makalah diatas bahwa saran yang dapat disampaikan, diharapkan
pembaca dapat memahami tentang penyakit Tuberkulosis pada Geriatrik atau Lansia.

18
DAFTAR PUSTAKA
Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Tuberkulosa Paru untuk Kader,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1990, Jakarta, hal 1-
11.

Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000,Depkes RI, Sagung Seto, 2000,hal


234-242.

Paradigma Sehat, Informasi Untuk Petugas Kesehatan,Kantor Wilayah


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Provinsi DKI-Jakarta, 2000.

Pedoman Pengelolaan Obat Anti Tuberkulosa, Sub. Dit Tuberkulosa Direktorat


Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, Jakarta, hal 1-5.

Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, cetakan ketujuh, Departemen


Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2002, hal 1-68.

19

Anda mungkin juga menyukai