Anda di halaman 1dari 16

CRITICAL APPRAISAL

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

Oleh :
dr. Dian Sulistya Ekaputri, S.Ked
PPDS-1 Ilmu Kesehatan Anak
1671012001

Pembimbing :
Dr. dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes, Sp.BS(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (PPDS-1)


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYABA
DENPASAR
2017
DAFTAR ISI

Halaman depan .................................................................................................... i

Daftar isi .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

BAB II ISI ........................................................................................................... 2


2.1 Ilmu dan Filsafat ........................................................................................ 2
2.1.1 Definisi dan Sejarah Filsafat ............................................................ 2
2.1.2 Cabang dan Aliran Filsafat ............................................................... 3
2.2 Ontologi ..................................................................................................... 4
2.2.1 Pengertian Ontologi.......................................................................... 4
2.2.2 Manfaat Ontologi ............................................................................. 4
2.3 Epistemologi .............................................................................................. 6
2.3.1 Pengertian Epistemologi .................................................................. 6
2.3.2 Ruang Lingkup Epistemologi .............................................................. 7
2.3.3 Sejarah Perkembangan Epistemologi .................................................. 8
2.4 Aksiologi ....................................................................................................... 9
2.4.1 Ilmu dan Moral ................................................................................ 9
2.4.2 Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan ..................................................... 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Kita menyadari bahwa manusia hidup di dunia tidaklah terlepas dari sebuah rasa
ingin tahu. Kemudian dari sebuah keingintahuan maka akan dicetuskan sebuah
pengetahuan. Patut disadari bahwa keseluruhan pengetahuan yang ada saat ini
dimulai dengan sebuah spekulasi. Tugas utama seorang filsafat adalah menetapkan
dasar-dasar yang dapat diandalkan.1,4 Apakah yang disebut logis? Apakah yang
disebut benar? Apakah hidup ini ada tujuannya?

Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen dan percobaan tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, serta memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi itu.2 Adakalanya orang mengatakan
bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk dapat berfilsafat, terlebih dahulu
orang harus mengetahui apa yang disebut dengan filsafat. Sesungguhnya, istilah
“filsafat” merupakan suatu istilah dari bahasa Arab yang terkait dengan istilah dari
bahasa Yunani, yaitu: Filosofia yang dapat diartikan sebagai pecinta
kebijaksanaan.1,2 Seseorang dikatakan telah bersilfasat apabila seluruh ucapan dan
perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap
kebijaksanaan, cinta terhadap pengetahuan dan cinta terhadap hikmah.2,4

Dari segi dunia kedokteran, seorang dokter dituntut untuk tidak hanya
memperhatikan pasien dari aspek fisik, tetapi juga memahami pasien sebagai
manusia seutuhnya dari aspek yang terdalam. Hal ini akan membawa seorang
dokter untuk berpikir yang lebih mendalam tentang konsep manusia dan akan lebih
memanusiakan manusia. Oleh karena itu dokter tidak terlepas tanggung jawabnya
untuk mempelajari ilmu filsafat.

1
1

2
BAB II

ISI

2.1 Ilmu dan Filsafat

2.1.1 Definisi dan Sejarah Filsafat

Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu Philosophia, yang berasal dari
kata Philein yang berarti mencintai, dan Sophia berarti kebijaksanaan.
Philosophia berarti “cinta akan kebijaksanaan”.1 Orang yang berfilsafat atau orang
yang melakukan filsafat disebut “filusuf” atau “filosof”, artinya pencinta
kebijaksanaan. Sokrates (470-399 SM) memberi arti filsafat dengan tegas, yaitu
pengetahuan sejati, terutama untuk menentang kaum Sofis yang menanamkan
dirinya para bijaksana (sofos). Ia bersama pengikutnya menyadari bukan orang
yang bijaksana, tetapi hanya mencintai kebijaksanaan dan berusaha mencarinya.1

Pada saat awal munculnya filsafat, corak dan sifat dari pemikirannya bersifat
mitologik (keterangannya ddasarkan atas mitos dan kepercayaan saja).4 Namun
setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir naturalis seperti Thales (624-548
SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM), herakliotos (535-475 SM),
Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainnya, maka pemikiran
filsafat berkembang secara cepat sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Sejak abad 5M, pemikiran filsafat beralih kearah manusia dengan kemampuan
berpikirnya, masa ini dikenal dengan masa filsafat modern. Masa ini dikenal dengan
sederet filosof seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles.4

Pada akhirnya filsafat berkembang dalam ruang lingkup yang semakin luas serta
beraneka ragam permasalahan.4 Pemikiran filsafati pada masa itu diartikan sebagai
bermacam-macam ilmu pengetahuan, hal ini dapat dinyatakan dengan apa yang
dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa filsafat adalah segala sesuatu yang dapat
dipertanggungjawabkan atas dasar akal pikiran. 4

2 3
2.1.2 Cabang dan Aliran Filsafat Ilmu

D. Runes dalam The Dictionary of Philosophy (1963) membagi filsafat dalam tiga
cabang utama, yaitu: 1) ontologi; 2) epistemologi; dan 3) aksiologi. Ontologi adalah
cabang filsafat yang menyelidiki tentang keberadaan sesuatu. Epistemologi adalah
cabang filsafat yang membahas tentang asal, syarat, susunan, metode dan validitas
pengetahuan. Aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang aksiolog
hakikat nilai, kriteria, dan kedudukan metafisis (keberadaan) suatu nilai.1

Semua pengetahuan apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya
memiliki ketiga landasan ini, yang berbeda adalah materi perwujudannya serta
sejauh mana landasan dari ketiga aspek ini diperkembangkan dan dilaksanakan.
Dari semua pengetahuan maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis,
epistemologis dan aksiologisnya jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh
disiplin.2

Dalam kaitannya dengan cabang filsafat yang telah penulis sebutkan sebelumnya,
bentuk pertanyaan terkait dengan keilmuan yang menerapkan ilmu tersebut dapat
dicontohkan sebagai berikut: 1) pertanyaan seputar ontologi akan meliputi objek
apa yang ditelaah oleh ilmu tersebut? Apa wujud nyata dari ilmu tersebut? 2)
pertanyaan seputar epistemologi akan meliputi bagaimana proses yang
memungkinkan agar kita dapat menimba ilmu? Bagaimana prosedurnya? 3)
Pertanyaan seputar aksiologi akan berupa untuk apa ilmu itu dipergunakan?
Bagaimana mengaitkan penerapan ilmu tersebut dengan nilai moral di masyarakat?

Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita
dapat mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta
meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya
kehidupan kita.2 Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar, maka
bukan saja kita tidak dapat memanfaatkan kegunaannya secara maksimal, namun
kadang kita salah dalam menggunakannya.2 Ilmu dikacaukan dengan seni, ilmu

4
dikonfrontasikan dengan agama, bukankan tidak ada anarki yang lebih
menyedihkan dari itu?2

2.2 Ontologi

2.2.1 Pengertian Ontologi

Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut
pandang. Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu on / ontos yang bermakna ada
atau keberadaan, dan logos yang bermakna studi atau ilmu.3 Orang dapat
mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”? yang demikian ini
merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan,
“Dalam adegan terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?” yang
demikian itu merupakan pendekatan secara kualitatif.3

2.2.2 Manfaat Ontologi

Pentingnya pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian kebenaran pikiran


dari isi yang dikandung oleh pikiran.4 Apakah sebuah pengetahuan sesuai dengan
realitas atau tidak. Jika tidak, maka pengetahuan tersebut bernilai salah.4 Selain itu
ontologi juga digunakan untuk menetapkan batas-batas dari obyek pengetahuan
atau ilmu yang sedang dibahas. Jika obyeknya adalah materi, maka batasannya juga
harus materi. Jika obyeknya nonmateri, maka batasannya juga nonmateri.4

Dengan mengetahui hakikat dari apa yang kita bahas maka kita dapat menghukumi
bahasan kita dengan hakikat yang kita ketahui. Jika kita membahas tentang piano
misalnya, maka kita dapat menilai piano dengan hakikat-hakikat piano itu, misalnya
bahwa kursi mempunyai banyak tuts nada, berat, dapat menghasilkan nada dan lain
sebagainya.

Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh
mengenai dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya
antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan
sebagainya).3 Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat
benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya

5
realitas benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari
teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan
keberadaan, yaitu:4
1) Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)4
a. Monisme, aliran yang menyatakan bahwa hanya satu keadaan fundamental.
Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya
yang tidak dapat diketahui.
b. Dualisme (serba dua), aliran yang menganggap adanya dua substansi yang
masing-masing berdiri sendiri. Misal dunia indera (dunia bayang-bayang)
dan dunia intelek (dunia ide).
c. Pluralisme (serba banyak), aliran yang tidak mengakui adanya sesuatu
substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi, misalnya hakikat
kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu udara, api, air dan tanah
(empedogles).
2) Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:4
a. Spiritualisme, mengandung arti ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan
yang terdalam adalah roh yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh
alam.
b. Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal
yang nyata kecuali materi.
3) Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan4
a. Mekanisme (serba mesin), menyatakan bahwa semua gejala atau peristiwa
dapat dijelaskan berdasarkan asas mekanik (mesin).
b. Teleologi (serba tujuan), berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian
alam bukanlah kaidah sebab akibat tetapi sejak semula memang ada sesuatu
kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.
c. Vitalisme, memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan
secara fisika, kimia, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup.
d. Organisisme (lawannya mekanisme dan vitalisme). Menurut organisisme,
hidup adalah suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki
bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya sistem
yang teratur.

6
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan dengan
cabang filsafat metafisika.4 Istilah metafisika berasal dari kata yunani meta dan
phusika yang dapat diartikan sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda fisik.4
Aristoteles tidak memakai istilah metafisika melainkan proto philosophia (filsafat
pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada dibelakang
gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup, mati.4 Metafisika merupakan
telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini terkadang dipadankan
dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya metafisika juga mencakup
telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Metafisika
dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam
(ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.4

2.3 Epistemologi

2.3.1 Pengertian Epistemologi

Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori
pengetahuan. Secara etimologis, istilah epistemologi berasal dari Bahasa Yunani
yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran,
percakapan, atau ilmu). Jadi epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang
pengetahuan atau ilmu pengetahuan.5

Pada abad 19, istilah epistemologi pertama dipergunakan oleh L.E.Ferier di Institut of
Metaphisics (1854), didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang bersangkutan
dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-anggapan dan dasar-dasarnya
serta kenyataan umum dari keharusan pengetahuan sebenarnya. Epistemologi
membahas isi pikiran manusia berupa pengetahuan, studi tentang pengetahuan
bagaimana kita mengetahui benda-benda.6

Pengetahuan pada hakikatnya adalah segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek
tertentu.2 Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu
yang diajukan. Kemudian akan timbul pertanyaan, bagaimana cara kita menyusun
pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafati disebut dengan

7
epistemologi dan landasan epistemologi ilmu disebut sebagai metode ilmiah. 2 Dengan
kata lain metode ilmiah adalah cara yang dilakukan oleh sebuah ilmu guna
menghimpun pengetahuan yang benar.

2.3.2 Ruang Lingkup Epistemologi

Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang
dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran
(pengetahuan) filsafat.7

1) Objek filsafat

Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkan)nya.
Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan. Jika yang
dipikirkannya hukum maka hasilnya tentulah Filsafat Hukum, dan seterusnya.
Pikiran manusia amat sangat luas dan dapat menelurkan banyak cabang ilmu.
Apabila manusia memikirkan pengetahuan jadilah ia Filsafat Ilmu, jika
memikirkan etika jadilah Filsafat Etika, dan seterusnya.7 Objek penelitian filsafat
lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya meneliti objek yang ada,
sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin ada. Sebenarnya masih
ada objek lain yang disebut objek forma yang menjelaskan sifat kemendalaman
penelitian filsafat. Ini dibicarakan pada epistemologi filsafat. 7 Perlu juga
ditegaskan (lagi) bahwa sain meneliti objek-objek yang ada dan empiris; yang
ada tetapi abstrak (tidak empiris) tidak dapat diteliti oleh sain. Sedangkan filsafat
meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin ada, sudah jelas
abstrak itu pun jika ada.7

2) Cara memperoleh pengetahuan filsafat

Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggungjawabkan) cara


mereka memperoleh pengetahuan filsafat.7 Yang menyebabkan kita hormat
kepada para filosof antara lain ialah karena ketelitian mereka, sebelum mencari
pengetahuan mereka membicarakan lebih dahulu (dan
mempertanggungjawabkan) cara memperoleh pengetahuan tersebut.7 Sifat itu
sering kurang dipedulikan oleh kebanyakan orang. Pada umumnya orang
mementingkan apa yang diperoleh atau diketahui, bukan cara memperoleh atau
mengetahuinya.

3) Ukuran kebenaran pengetahuan filsafat

8
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Kebenaran teori
filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran logis tidaknya tersebut
akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori) itu. Fungsi
argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi data pada
pengetahuan sain. Argumen itu menjadi kesatuan dengan konklusi, konklusi
itulah yang disebut teori filsafat.

2.3.3 Sejarah Perkembangan Epistemologi

Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya
adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan
aspek ontologi dan askiologi masing-masing.2 Demikian juga halnya dengan masalah
yang dihadapi epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang
benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan
sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.2

Untuk bisa meramalkan atau mengontrol sesuatu, tentulah kita harus menguasai
pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu, dengan demikian maka penelaahan ilmiah
diarahkan kepada usaha untuk mendapatkan penjelasan mengenai berbagai gejala
alam.2 Penjelasan yang menjadi tujuan penelaahan ilmiah diarahkan kepada hubungan
berbagai faktor yang terkait yang kemudian menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan
proses atau mekanis terjadinya gejala tersebut. Sebagai contoh seorang mahasiswa
ingin mengetahui apakah pemberian probiotik dapat menurunkan lama rawat inap
penderita diare. Hubungan antara pemberian probiotik dengan lama rawat inap
penderita diare inilah yang menjadi pokok pengkajian ilmiah.

Peradaban di masa lampau tidak menggunakan pengkajian ilmiah dalam kaitannya


untuk memecahkan sebuah masalah. Dahulu kala orang menggunakan akal sehat dan
cara coba-coba untuk menemukan pelbagai gejala alam. Akan tetapi akal sehat inilah
yang menjadi permulaan dari ilmu dan pengetahuan.2 Sebagai contoh awal mulanya,
berdasarkan akal sehat, mataharilah yang mengelilingi bumi dikarenakan dalam
berhari-hari matahari terbit dan terbenam beberapa kali. Kemudian ilmu mematahkan
ini semua bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi, melainkan sebaliknya.

9
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis
mempermasalahkan dasar-dasar pikiran manusia yang bersifat mitos. Akan tetapi
kemudian ditemukan kelemahan dalam berpikir rasional yakni tidak bisa terlepas dari
unsur subjektif.2 Hal ini membuat masyarakat merasa kebingungan untuk menafsirkan
berbagai pendapat, aliran, teori sebagai hasil dari pemikiran rasional dan kesimpulan
rasionalisme tersebut memiliki kemungkinan bertentangan dengan kenyataan yang
sebenarnya.2 Akhirnya untuk menjawab ini semua berkembanglah empirisme yang
menyatakan bahwa pengetahuan benar itu didapat dari kenyataan pengalaman.
Berkembanglah akhirnya metode eksperimen yang merupakan jembatan antara
penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan
secara empiris.2

2.4 Aksiologi

Bidang aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu
tergantung pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan tidak
dapat dipisahkan dari tujuannya. Masing-masing manusia memang mempunyai
tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua
manusia. Begitu juga dengan pengetahuan. Semua pengetahuan memiliki tujuan
obyektif. Tujuan dari pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran. Maka
nilai dari pengetahuan atau ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran. Hal ini
terlepas dari kebenaran yang didapatkan untuk tujuan apa. Apakah untuk
memperbaiki atau untuk merusak diri.2

2.4.1 Ilmu dan Moral

Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk


menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan telebih lagi
untuk mempertahankan kebenaran diperlukan keberanian moral.2 Sejarah
kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar.2
Peradaban telah menyaksikan Socrates dipaksa meminum racun dan John
Huss dibakar.2 Akan tetapi sejarah tidak pernah berhenti disini, kemanusiaan
tidak pernah urung dihalangi dalam menemukan kebenaran. Tanpa landasan
moral maka ilmuwan akan mudah sekali tergelincir dalam melakukan

10
prostitusi intelektual. Sebagai contoh juga pada jaman Nazi, kaum intelektual
khususnya dokter-dokter nazi pada saat itu mengabaikan konsep aksiologi
filsafat, moral tidak dijadikan landasan dalam praktik kedokteran mereka.
Alhasil ketika ilmu dan moral tidak sejalan akan menimnbulkan penderitaan
sekaligus terror di masyarakat. Di ambang kejatuhan pemerintahan nazi,
praktik kedokteran yang tidak sejalan dengan moral tersebut dihentikan.

2.4.2 Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan

Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji


secara terbuka oleh masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa apabila sebuah
temuan atau hasil karya tersebut memenuhi prasyarat keilmuan maka akan
diterima sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dan dapat diaplikasikan dalam
tata kehidupan masyarakat. Contoh nyata adalah temuan ilmuwan Albert
Einstein, asal Jerman mengenai teori relativitas atau temuan Wright
bersaudara dalam membuat cikal bakal pesawat terbang untuk pertama
kalinya. Keduanya berhasil mengubah kehidupan masyarakat sejak saat itu
dan menjadi inspirasi bagi individu lain untuk menjadi ilmuwan-ilmuwan
masa depan. Dari contoh tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
ilmuwan bukanlah manusia biasa, mereka memiliki sebuah beban moral dan
tanggung jawab sosial yang lebih dari individu lainnya di masyarakat. Fungsi
seorang ilmuwan tidaklah hanya dalam pengkajian seputar keilmuannya
tetapi juga bertanggung jawab agar hasil keilmuannya dapat membawa
manfaat bagi masyarakat.

Seseorang dikatakan sebagai seorang ilmuwan apabila ia menerapkan cara


berpikir yang teratur dan teliti. Keteraturan seorang ilmuwan akan digunakan
pada saat ini menggunakan pikirannya, adapun ketelitian seorang ilmuwan
dibutuhkan dalam mengkaji pemikirannya tersebut.2 Mengapa hal ini penting
bagi seorang ilmuwan? seorang manusia dapat saja berpikir dalam kaitannya
untuk menemukan atau mempertahankan kebenaran, tetapi juga sekaligus
dapat digunakan untuk menemukan atau mempertahankan hal-hal yang
berkebalikan dari kebenaran. Kelebihan dalam memikirkan secara cermat
mengenai nilai sebuah pemikiran inilah yang hanya dimiliki oleh seorang

11
ilmuwan. Orang yang awam terkadang mempercayai asumsi yang tidak
benar, mereka cenderung untuk mempercayai gosip yang tidak berdasar
hanya karena sepintas hal tersebut tampak benar. Kelebihan seorang ilmuwan
inilah yang menjadikannya memiliki tanggung jawab sosial.2

Dalam kaitannya dengan etika, seorang ilmuwan memiliki tanggung jawab


untuk tidak hanya memberikan informasi tetapi juga memberikan contoh.2
Seorang ilmuwan haruslah dapat memberikan contoh untuk bersikap objektif,
terbuka dalam menerima kritik, menerima masukan dari orang lain, teguh
dalam mempertahankan pendapat yang dianggap benar dan juga bersedia
berlapang hati untuk meminta maaf apabila telah melakukan sebuah
kekeliruan.

Aspek aksiologi ini amatlah penting untuk dicermati karena dewasa ini kita sebagai
orang tua cenderung mengabaikan nilai moral dalam mendidik anak-anak. Fokus
pendidikan anak tidak boleh hanya diarahkan untuk mendidik seorang anak agar
menjadi cerdas, akan tetapi juga harus menekankan nilai moral yang luhur dalam
setiap sendi aktivitas mereka. Disamping itu, para orang tua ataupun pendidik juga
tidak terlepas dari tanggung jawab untuk secara langsung menjad suri tauladan
dalam proses pendidikan ataupun proses belajar mengajar.

12
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan bahasan diatas, filsafat ilmu pengetahuan dapat dibagi menjadi tiga
kajian besar yakni: 1) Ontologi, meliputi permasalahan apa hakekat ilmu, apa
hakekat kebenaran, dan kenyataan yang sejalan dengan pengetahuan. 2)
Epistemologi, meliputi berbagai sarana dan tata cara dan sumber pengetahuan untuk
mencapai kebenaran atau kenyataan. 3) Aksiologi, meliputi nilai-nilai normatif
parameter bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan dalam konteks dunia
simbolik, dan sebagainya.

Filsafat mengajarkan kita untuk senantiasa melihat sesuai secara multidimensional.


Ilmu filsafat akan mendorong kita untuk menilai sesuatu tidak hanya dari
permukaannya saja atau hanya dari apa yang nampak, tetapi lebih menilai sesuatu
secara mendalam dan lebih luas. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang tak
terbatas karena tidak hanya menyelidiki suatu bidang tertentu dari realitas yang
tertentu saja, tapi juga mengajukan pertanyaan tentang seluruh kenyataan yang ada.
Filsafat juga selalu mempersoalkan hakikat, prinsip, dan asas mengenai seluruh
realitas. Ketakterbatasan inilah yang sangat berguna bagi ilmu pengetahuan. Itu
karena filsafat tidak hanya sebagai penghubung antardisiplin ilmu tapi sanggup
memeriksa, mengevaluasi, mengoreksi, dan lebih menyempurnakan prinsip dan
asas yang menjadi landasan ilmu pengetahuan itu.

12
13
DAFTAR PUSTAKA

1. Darmodiharjo D, Siddharta. Pokok Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan


Bagaimana Filsafat Hukum di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama;2006

2. Suriasumantri JS. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan;2007

3. Suparlan Suhartono. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kelompok Penerbit


Ar-Ruzz Media;2007

4. Wardhana. Filsafat Kedokteran. Denpasar: Vaikuntha International


Publication; 2016

5. Rapar JH. Pustaka Filsafat: Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius;2010

6. Iswara S, Sriwiyana H. Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Tinggi. Jakarta :


Cintya Press;2010

7. Tafsir A. Filsafat Ilmu. Bandung : PT Remaja Bosda Karya;2004

14

Anda mungkin juga menyukai