Disusun Oleh
Kelompok 3 :
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2017
Pengertian Penduduk dan Kemiskinan
A. Penduduk
B. Kemiskinan
4. Menurut PBB (di dalam jurnal SKPD kota Semarang, 2011), kemiskinan
adalah bahwa kemiskinan merupakan kondisi di mana seseorang tidak
dapat menikmati segala macam pilihan dan kesempatan dalam pemenuhan
kebutuhan dasarnya, seperti tidak dapat memenuhi kesehatan, standar
hidup, kebebasan, harga diri dan rasa dihormati seperti orang lain.
5. Menurut BPS (di dalam buku Perkembangan Kesejahteraan Rakyat, 2016,
hal 142), kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan
yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis
kemiskinan
Kriteria Kemiskinan
2. Pendekatan Non-moneter
Menurut BPS ada 8 variabel yang dianggap layak dan operasional untuk
penentuan rumah tangga miskin di lapangan yaitu luas lantai perkapita, jenis
lantai, Air minum/ketersediaan air bersih, jenis wc, kepemilikian aset, pendapatan,
pengeluaran, dan konsumsi lauk pauk. Dengan demikian apabila suatu rumah
tangga mempunyai minimal 5 (lima) ciri miskin maka rumah tangga tersebut
digolongkan sebagai rumah tangga miskin
Menurut Rina Fitrianita Rizki dan Susiswo (di dalam Jurnal Analisis
Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Di Provinsi Jawa Timur Dengan Metode
Eksploratori Komponen Utama, 2013) menyatakan dengan interpretasi bahwa
semakin tinggi tingkat buta huruf dan pengangguran, maka semakin tinggi pula
tingkat masyarakat dengan ekonomi rendah. Sebaliknya, jika semakin rendah
tingkat buta huruf dan pengangguran, maka semakin rendah pula tingkat
masyarakat dengan ekonomi rendah. Sedangkan semakin tinggi tingkat
pendidikan dan semakin layak jenis atap, jenis dinding, jenis lantai dan luas
rumah, maka semakin rendah tingkat masyarakat dengan ekonomi rendah. Begitu
juga sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan dan semakin tidak layak jenis
atap, jenis dinding, jenis lantai dan luas rumah, maka semakin tinggi tingkat
masyarakat dengan ekonomi rendah.
Menurut Nurkse (di dalam jurnal SKPD kota Semarang, 2011), penyebab
kemiskinan bermuara pada teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty).
Yang dimaksud lingkaran kemiskinan adalah satu rangkaian kekuatan yang saling
mempengaruhi suatu keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan akan
banyak mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih
baik. Adanya keterbelakangan, ketertinggalan SDM (yang tercermin oleh
rendahnya IPM), ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan
rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya
pendapatan yang mereka terima (yang tercermin oleh rendahnya PDRB per
kapita). Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan
investasi. Rendahnya investasi berakibat pada rendahnya akumulasi modal
sehingga proses penciptaan lapangan kerja rendah (tercermin oleh tingginya
jumlah pengangguran). Rendahnya akumulasi modal disebabkan oleh
keterbelakangan dan seterusnya.
Menurut Paul Spicker (2002, Poverty And The Welfare State: Dispelling
The Myths, A Catalyst Working Paper, London: Catalyst) penyebab kemiskinan
dapat dibagi dalam empat kategori:
1. Individual explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh karakteristik orang
miskin itu sendiri: malas, pilihn yang salah, gagal dalam bekerja, cacat bawaan,
belum siap memiliki anak dan sebgainya.
2. Familial explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor keturunan, di
mana antar generasi terjadi ketidakberuntungan yang berulang, terutama akibat
pendidikan.
3. Subcultural explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh karakteristik
perilaku suatu lingkungan yang berakibat pada moral dari masyarakat.
4. Structural explanation, menganggap kemiskinan sebagai produk dari
masyarakat yang menciptakan ketidakseimbangan dengan pembedaan status atau
hak.
Kemiskinan di Dunia
Menurut Survey Bank Dunia (didalam News and Research, 2016), Afrika
Tengah menjadi negara dengan tingkat kemiskinan tertinggi di dunia pada 2013.
Lebih dari 80 persen populasi di negara ini bertahan hidup dengan tingkat
pengeluaran US$ 1,9 per hari. Negara lain dengan rasio kemiskinan tertinggi
adalah Madagaskar sebesar 78,02 persen dan Republik Demokratik Kongo 75,89
persen.
Statistik Bank Dunia mencatat paling tidak ada sepuluh negara dengan
tingkat kemiskinan tertinggi. Populasi kemiskinan paling ekstrem terdapat di
kawasan Afrika Sub-Sahara. Wilayah ini menyumbang hampir 50 persen
penduduk miskin. Sedangkan sepertiga kemiskinan paling tinggi dapat ditemui di
Asia Selatan.
Kemiskinan di Indonesia
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi dan Daerah
Maret 2016
PERSENTASE
JUMLAH PENDUDUK MISKIN PENDUDUK MISKIN
PROVINSI (000) (000)
KOTA DESA K+D KOTA DESA K+D
Aceh 159,5 688,94 848,44 10,82 19,15 16,73
Sumatera Utara 690,8 765,15 1 455,95 9,75 10,97 10,35
Sumatera Barat 118,96 252,59 371,56 5,54 8,16 7,09
Riau 162,45 352,95 515,4 6,4 9 7,98
Jambi 115,35 174,46 289,8 10,86 7,32 8,41
Sumatera Selatan 374,53 726,67 1101,19 12,74 13,99 13,54
Bengkulu 97,34 231,27 328,61 16,19 17,85 17,32
Lampung 233,39 936,21 1 169,60 10,53 15,69 14,29
Bangka Belitung 19,63 53,13 72,76 2,78 7,72 5,22
Kepulauan Riau 87,78 32,63 120,41 5,16 10,54 5,98
DKI Jakarta 384,3 - 384,3 3,75 - 3,75
Jawa Barat 2497,59 1726,73 4224,33 7,67 11,8 8,95
Jawa Tengah 1824,09 2682,81 4506,89 11,44 14,89 13,27
DI Yogyakarta 297,71 197,23 494,94 11,79 16,63 13,34
Jawa Timur 1518,79 3184,51 4703,3 7,94 16,01 12,05
Banten 377,1 281,01 658,11 4,51 7,45 5,42
Bali 96,98 81,2 178,18 3,68 5,23 4,25
NTB 385,22 419,23 804,44 18,2 15,17 16,48
NTT 112,02 1037,9 1149,92 10,58 25,17 22,19
Kalimantan Barat 78,29 303,06 381,35 5,16 9,11 7,87
Kalimantan Tengah 41,07 102,42 143,49 4,6 6,23 5,66
Kalimantan Selatan 60,83 134,87 195,7 3,48 5,89 4,85
Kalimantan Timur 88,04 124,88 212,92 3,93 10,05 6,11
Kalimantan Utara 14,21 26,91 41,12 3,78 9,47 6,23
Sulawesi Utara 60,62 142,2 202,82 5,34 10,97 8,34
Sulawesi Tengah 75,45 345,07 420,52 10,18 15,91 14,45
Sulawesi Selatan 149,13 657,9 807,03 4,51 12,46 9,4
Sulawesi Tenggara 51,01 275,86 326,86 6,74 15,49 12,88
Gorontalo 24,08 179,11 203,19 5,84 24,41 17,72
Sulawesi Barat 22,85 129,88 152,73 8,59 12,56 11,74
Maluku 52,08 275,64 327,72 7,66 26,82 19,18
Maluku Utara 10,57 64,1 74,68 3,32 7,44 6,33
Papua Barat 20,96 204,85 225,8 6,14 37,48 25,43
Papua 37,08 874,25 911,33 4,42 37,14 28,54
Indonesia 10 339,77 17 665,62 28 005,39 7,79 14,11 10,86
Sumber : BPS, 2016
Menurut Tadjuddin Noer Effen di dalam Cica Sartika, dkk (dikutip dalam
Jurnal Ekonomi (JE) Vol .1(1)), April 2016) kebijakan makro dalam memerangi
kemiskinan adalah : (1) merangsang pertumbuhan ekonomi daerah, terutama
pedesaan dengan dana bantuan INPRES san BANPRES, (2) penyebaran sarana
sosial, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, KB, perbaikan lingkungan
(pertumbuhan) dan lain-lain, (3) memperluas jangkauan sarana keuangan dengan
mendirikan beberapa intitusi kredit, (4) peningkatan sarana produksi pertanian,
khususnya infrastruktur, (5) pengembangan beberapa program pengembangan
wilayah,seperti pengembangan kawasan terpadu.
Dikutip dari World Bank (di dalam laporan pembangunan dunia, 2006
Hal.131), kontribusi penurunan ketidaksetaraan terhadap pengurangan kemiskinan
secara umum bersifat tetap. Menurut Datt dan Ravallion (1992), penguraian
perubahan kemiskinan menjadi komponen pertumbuhan dan ketidaksetaraan telah
banyak dilakukan. Komponen redistribusi biasanya lebih kecil daripada
komponen pertumbuhan, dan karena ketidaksetaraan sering muncul, komponen
tersebut sering kali memiliki “tanda” yang salah. Tetapi, ketika ketidaksetaraan
turun, hal ini membantu mengurangi kemiskinan.
Poin yang kedua dan yang berbeda adalah bahwa kemampuan
pertumbuhan untuk mengurangi kemiskinan turun bila ketidaksetaraan
pendapatan awal tinggi. Pengurangan ketidaksetaraan pada masa kini, karenanya,
juga cenderung memberi dampak pada tingkat efektivitas (juga distribusi-netral)
pertumbuhan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di masa mendatang. Ini
terjadi karena bentuk sebagian besar distribusi pendapatan berarti bahwa
elastisitas pertumbuhan pengurangan kemiskinan di negara-negara dengan tingkat
ketidaksetaraan tinggi cenderung lebih kecil. Dengan kata lain, karena distribusi
pendapatan awal tidak sama, angka pengurangan kemiskinan di dua negara
dengan tingkat pertumbuhan distribusi-netral yang sama bisa berbeda.