PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar dibentuk oleh
tulang dan kartilago yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil
yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus
nasalis os frontal. Kerangka kartilago terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga kartilago alar
mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.
2
a
b
Gambar 2. a dan b . Anatomi sinus paranasalis
a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita
dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
3
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid.
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid.Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 6-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri
biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat
yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak berkembang. Ukuran sinus
frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2cm. Sinus frontal
biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita
dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah
ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.
c. Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan dianggap
paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tingginya 2,4 cm dan lebarnya
0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.Sinus etmoid berongga-
rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam
massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding
medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid
anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis
4
berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang
sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan
dengan sinus sfenoid.
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi
dari 5 sampai 7,5 ml. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri
media dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai
indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di
daerah pons.
Vaskularisasi Hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari tiga sumber utama, yaitu:
a. Arteri Etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan
dinding lateral hidung
b. Arteri Etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), yang mendarahi septum
bagian superior posterior
c. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari
arteri karotis eksterna.
5
Gambar 3. Vaskularisasi septum hidung
Kompleks Osteomeatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-
muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini
rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM) terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus
6
frontalis,bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksila.
Sistem Mukosilier
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan
palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan
lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus. Lendir
yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid
dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari
kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke
nasofaring di posterosuperior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati
sekret pasca-nasal (postnasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.
7
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin dan beringus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan
partikel yang turut masuk dalam udara.
2.4.2 Epidemiologi
Infeksi jamur pada hidung dan sinus paranasal kasusnya jarang
ditemukan , tapi dalam dua dekade terakhir ini telah terjadi peningkatan
frekuensi rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi jamur, meningkat pada
pasien dengan sistem imun menurun maupun orang sehat. Peningkatan frekuensi
infeksi jamur invasif yang berhubungan dengan penderita dengan sistem imun
yang rendah, dan adanya peningkatan pertumbuhan jamur pada hidung dan sinus
paranasal
Pada laporan terdahulu infeksi jamur diperkirakan terdapat pada 10% dari
keseluruhan pasien yang memerlukan pembedahan hidung dan sinus. Ponik au
et al, dalam penelitiannya menduga jamur ditemukan pada 96% pasien dengan
sinusitis kronis.
8
2.4.3 Etiologi
Pada Sinusitis jamur non invasif ada dua bentuk yaitu allergic fungal
sinusitis/ sinusitis alergi jamur dan sinus mycetoma/fungal ball. Kebanyakan
penyebabnya adalah Curvularia lunata, Aspergillus fumigatus, Bipolaris dan
Drechslera. Aspergillus fumigatus dan jamur dematiaceous kebanyakan
menyebabkan sinus mycetoma.
Pada sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan
invasif kronik indolen. Jamur Saprofit seperti Mucorales, Rhizopus,
Rhizomucor, Absidia, Mucor, Cunninghammela, Mortierella, Saksenaea, dan
Apophysomyces sp, yang dihubungkan dengan sinusitis jamur invasif akut.
Sedangkan Aspergillus fumigatus adalah jamur yang menyebabkan sinusitis
jamur invasif kronik.
a b
9
Gambar 4. (a) Mikroskopis Aspergillus fumigatus yaitu jamur pada invasif
kronik, (b) Mikroskopis Curvularia lunata yaitu jamur pada non invasif
2.4.4 Patofisiologi
Patofisiologi sinusitis jamur mencakup pengisian sinus dan adanya
perubahan respons imun terhadap jamur. Sindrom invasif dan non invasif pada
sinusitis jamur mempunyai gejala-gejala khas yang jelas. Keduanya dapat terjadi
pada pasien dengan immunocompetent atau imunosupresi, dapat secara akut
atau kronik dan dapat menyebar ke orbita, struktur-struktur mata, dan ke otak.
Purulen, pucat, sering berbau busuk ada pada sinus-sinus yang terkena.
Pertama, host yang atopik terpapar jamur, secara teori masuk melalui
saluran napas yang normal dan berkoloni di kavitas sinus, yang mana
mengandung inisial stimulus antigen. Respon terhadap inisial inflamasi terjadi
sebagai akibat dari reaksi hipersensitivitas (Gell and Coombs) tipe I (IgE
mediated) dan tipe III (immune complex-mediated), menyebabkan edema
jaringan. Hal ini menyebabkan obstruksi ostium sinus.Apabila siklus terjadi
terus-menerus akan menghasilkan produk alergi mucin atau lendir yang mengisi
sinus. Akumulasi debris ini mengobstruksi sinus dan memperberat proses.
Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular.
Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan
imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakaian steroid lama dan
terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah
menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat merusak dinding sinus,
jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa berwarna biru
kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering berakhir
dengan kematian.
Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan
gangguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronis progresif
dan bisa juga menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi gambaran
klinis nya tidak sehebat bentuk fulminan karena perjalanan penyakitnya lebih
lambat. Gejalanya seperti sinusitis bakterial, tetapi sekret hidungnya kental
dengan bercak-bercak kehitaman.
Sinusitis non invasif atau Sinus mycetoma merupakan kumpulan jamur di
dalam rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak mendestruksi
10
tulang. Sering mengenai sinus maksila. Gejala klinis menyerupai sinusitis kronis
berupa rinore purulen, post nasal drip dan nafas bau. Kadang ada mssa jamur di
kavum nasi.
2.4.5 Klasifikasi
Pembagian Klasifikasi Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur ekstramukosa (non invasif)
- Misetoma (Fungal ball)
- Sinusitis alergi jamur
11
Meskipun mekanisme terbentuknya fungall ball belum dapat diketahui
secara pasti, secara teori hal ini dapat timbul pada saat spora jamur terhirup,
spora tersebut masuk kedalam rongga sinus dan menjadi antigen yang dapat
menyebabkan iritasi dan proses inflamasi mukosa sinus sehingga pada akhirnya
terjadi obstruksi ostium sinus. Oleh karena sinus merupakan rongga lembab
yang cocok untuk perkembangan jamur maka terjadi pengumpulan hifa jamur
yang berbentuk seperti bola.
12
Gambar 6. Mukus yang kental di Sinus Maksila
Penderita sinusitis alergi jamur dapat mempunyai kriteria sebagai berikut,
antara lain:
Adanya peningkatan eosinofil pada darah tepi,
Adanya reaksi test kulit yang positif terhadap jamur penyebab,
peningkatan kadar serum IgE total,
adanya antibodi pencetus pada allergen penyebab, dan
peningkatan IgE spesifik jamur.
13
kemudian dapat meluas ke daerah sekitarnya seperti orbita, sinus kavernosus,
parenkim otak sehingga dapat menyebabkan kematian dalam beberapa jam
apabila tidak dikenali dan dilakukan penanganan secara cepat.
2.4.6 Diagnosis
2.4.6.1 Anamnesis dan Gejala Klinik
Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan-
temuan klinis. Beberapa faktor yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis sinusitis jamur yaitu : gejala yang kompleks, perjalanan penyakit
(hari, minggu, tahun), keadaan sistem imun penderita, pemeriksaan fisik
(endoskopi hidung), dan pemeriksaan radiologi, patologi, dan mikologi. Semua
faktor tersebut ada sangat penting dalam menentukan penanganan penderita
pada fase awal.
14
Pada nasoendoskopi menunjukkan adanya sinusitis minimal yang disertai
dengan mukosa eritem, edema, disertai ada atau tidak adanya polip dan sekret
mukopurulen.Diagnosis fungal ball ditegakkan secara Secara makroskopis lesi
pada fungal ball dapat berbentuk mulai dari debris halus yang basah,
berpasir atau bergumpal. Warna yang bervariasi dari putih kekuningan,
kehijauan, coklat hingga hitam
Secara mikroskopis dengan tidak adanya infiltrasi sel radang yang nyata
dan banyaknya kumpulan hifa jamur. Mukosa di sekitarnya menunjukkan
adanya peradangan yang kronis dengan sel plasma ringan hingga menengah dan
infiltrasi sel limfosit. Neutrofil dan eosinofil dapat dijumpai dan kadang –
kadang dapat di jumpai kristal oksalat.
- Sinusitis Alergi Jamur /Alergic Fungal Sinusitis
Gambaran klinis sinusitis alergi jamur dapat mulai dari gejala alergi
ringan, polip dan mucin alergi yang disertai adanya hifa hingga penyakit masif
yang dapat meluas ke arah intrakranial dan orbita yang disertai komplikasinya.
Pada pemeriksaan fisik biasanya sinusitis alergi jamur ini sama seperti sinusitis
kronis, yaitu mukosa sinus yang edema, eritema dan polipoid dan kadang -
kadang dapat disertai adanya polip dan lokasinya sering bilateral.
Pemeriksaan endoskopi pada rongga sinus dapat terlihat sekret mucin
alergi. Secara makroskopis mucin alergi tersebut berupa sekret yang tebal,
berwarna coklat keemasan dengan konsistensi lunak. Secara histologi kondisi
ini ditandai dengan adanya hifa jamur pada sekret dengan disertai eosinofil
yang sangat banyak dan adanya kristal Charcot-Leyden.Sekret tersebut adalah
merupakan “allergic mucin”. Allergic mucin ini dikarakteristikan dengan
kumpulan eosinofil yang nekrotik.
- Pemeriksaan Histopatologik
Diagnosis yang paling sederhana dan cepat adalah pemeriksaan jamur
dengan menggunakan larutan KOH. Ada pewarnaan khusus seperti PAS
(Periodic Acid Schiff) atau MSS (Methenamine Silver Stain ) yang lebih baik
untuk pemeriksaan sinusitis jamur terutama untuk kasus sinusitis alergi jamur.
Pada tipe invasif ditemukan invasi hifa ke dalam jaringan, Pada misetoma
ditemukan kumpulan hifa jamur dengan reaksi jaringan yang minimal. Hifa
dapat dilihat pada pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin) Tanda khas sinusitis
alergi jamur adalah polip nasi dan musin alergi. Pada pemeriksaan histopatologi
musin mengandung eosinofil, kristal Charcot-Leyden dan hifa jamur.
Kultur jamur tidak dapat dijadikan penentu dignosis karena mungkin ada
kontaminasi dari udara saat pengambilan atau pengiriman, sedangkan masih
mungkin hasil kultur negatif pada kasus yang memang disebabkan oleh jamur.
17
gambaran histopatologi. Pada sinusitis jamur invasif ada tanda yang khas yaitu
adanya invasi ke jaringan mukosa.
2.4.8 Terapi
a. Sinusitis Jamur Non Invasif / Fungal Sinusitis Non Invasive
- Sinus Misetoma / Fungal Ball
Penanganan utama fungal ball adalah memperbaiki ventilasi sinus yang
diduga terinfeksi. Drainase sinus yang adekuat dan pengembalian fungsi
bersihan mukosilia dapat mencegah terjadinya kekambuhan. Perlu dilakukan
pelebaran atau pembukaan ostium sinus secara endoskopik agar dapat
mengembalikan fungsi sinus secara normal. Apabila sulit untuk melakukan
ekstraksi fungal ball secara utuh melalui ostium, maka dapat dilakukan insisi
eksterna pada ginggivobukal (Luc Operation).
Terapi medis diperlukan untuk mengurangi edema mukosa, termasuk
pemberian mukolitik (guaifenesin / ekspektoran) , irigasi hidung dan steroid.
penggunaan antibiotik diberikan berdasarkan kultur. Hal ini dimaksudkan untuk
mengobati infeksi bakteri yang sering timbul bersamaan dengan fungal ball.
18
Irigasi hidung juga diyakini dapat menurunkan stasis mukous dan
menurunkan konsentrasi bakteri dan jamur. Topikal steroid intranasal tidak
efektif bila digunakan sendiri tetapi dapat memberikan efek pencegahan jangka
panjang setelah pemberian steroid sistemik. Perlu diingat bahwa pemberian
steroid yang tidak rasional pada sinusitis alergi jamur dapat menyebabkan
penyakit yang berulang.
19
operasi, terapi anti fungal penting pada semua kasus sinusitis invasi pada pasien
dengan penurunan imunitas tubuh.
2.4.9 Komplikasi
Pada alergic fungal sinusitis dapat terjadi erosi pada struktur yang di
dekatnya jika tidak diterapi. Erosi sering dapat terlihat pada pasien yang
mengalami proptosis (eksoftalmus). Pada mycetoma fungal sinusitis jika tidak
diterapi dapat memperburuk gejala-gejala sinusitis yang berpotensi untuk terjadi
komplikasi ke orbita dan sistem saraf pusat. Pada Acute Invasive Fungal
Sinusitis dapat menginvasi struktur di dekatnya yang menyebabkan kerusakan
jaringan dan nekrosis. Selain itu juga dapat terjadi trombosis sinus kavernosus
dan invasi ke susunan saraf pusat. Pada chronic Invasive Fungal Sinusitis dan
pada Chronic Granulomatous Fungal Sinusitis dapat menginvasi jaringan
sekitarnya sehingga terjadi erosi ke orbita atau susunan saraf pusat.
2.4.10 Prognosis
a. Allergic Fungal Sinusitis
Pada kelainan ini prognosis baik jika operasi debridement dan pengisian
udara di sinus adekuat. Follow-up sangat penting. Penggunaan topikal steroid
jangka panjang mengontrol kekambuhan. Sistemik steroid jangka pendek
digunakan bila kekambuhan terjadi.
b. Sinus Mycetoma
Keadaan ini memiliki prognosis yang sangat baik jika fungus ball
dapatdiangkat dan pengisian udara yang adekuat pada sinus dapat dilakukan
kembali.Tidak dibutuhkan follow-up jangka panjang untuk sebagian besar
pasien.
20
Prognosis baik pada pasien yang menerima anti jamur sistemik dalam
waktu yang lama. Pasien yang menerima anti jamur sistemik dalam waktu
singkat sering kambuh, dengan demikian memerlukan terapi lebih lanjut.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sinusitis adalah merupakan keadaan inflamasi pada sinus paransal yang
sebabkan oleh infeksi. Jamur merupakan salah satu jenis mikroorganisme yang dapat
menyebabkan infeksi pada sinus paransal. Banyak hal yang dapat menimbulkan infeksi
jamur pada sinus paranasal diantaranya adalah pemakaian obat – obatan yang tidak
rasional seperti penggunaan antibiotika dan steriod yang berkepanjangan, gangguan
ventilasi sinus dan lingkungan yang lembab.
Dalam dua dekade terakhir ini telah terjadi peningkatan frekuensi rinosinusitis
yang disebabkan oleh infeksi jamur. Pada laporan terdahulu infeksi jamur diperkirakan
terdapat pada 10% dari keseluruhan pasien yang memerlukan pembedahan hidung dan
sinus. Ponik au et al, dalam penelitiannya menduga jamur ditemukan pada 96% pasien
dengan sinusitis kronis.
Pada Sinusitis jamur non invasif kebanyakan penyebabnya adalah Curvularia
lunata, Aspergillus fumigatus, Bipolaris dan Drechslera. Pada sinusitis jamur invasif
Jamur Saprofit selain Mucorales, termasuk Rhizopus, Rhizomucor, Absidia, Mucor,
Cunninghammela, Mortierella, Saksenaea, dan Apophysomyces sp, yang dihubungkan
dengan sinusitis jamur invasif akut. Sedangkan Aspergillus fumigatus adalah jamur yang
menyebabkan sinusitis jamur invasif kronik.
Sinusitis jamur non invasif memiliki gejala klinis menyerupai sinusitis kronis
berupa rinore purulen, post nasal drip, dan napas bau, kadang ada massa jamur juga
dalam kavum nasi. Sedangakan untuk sinusitis jamur invasif gejala nya seperti sinusitis
bakterial, tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak- bercak kehitaman.
Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan-temuan klinis.
Beberapa faktor yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sinusitis jamur
yaitu : gejala yang kompleks, perjalanan penyakit (hari, minggu, tahun), keadaan sistem
imun penderita, pemeriksaan fisik (endoskopi hidung), dan pemeriksaan radiologi,
patologi, dan mikologi. Semua faktor tersebut ada sangat penting dalam menentukan
penanganan penderita pada fase awal.
Penatalaksanaan untuk sinusitis jamur invasif adalah pembedahan, debridemen,
anti jamur sistemik dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya. Obat standar adalah
amfoterisin B, bisa ditambah rifampisin atau flusitosin agar lebih efektif. Pada sinusitis
22
jamur non invasif hanya perlu terapi bedah untuk membersihkan massa jamur, menjaga
drainase dan ventilasi sinus. Tidak diperlukan anti jamur sistemik.
23