A. Latar belakang
Menurut World Health Organization (WHO) Lanjut usia adalah seseorang
yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok umur pada
manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang
dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut penuaan atau Aging
Procces. Proses penuaan pada lansia salah satunya terjadinya demensia, dimana suatu
kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai kelainan yang mempengaruhi otak.
B. Tujuan instruksional
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti penyuluhan peserta mampu mengetahui dan memahami tentang
Demensia atau pikun.
2. Tujuan Khusus
Setelah diberikan penyuluhan ini diharapkan peserta akan mampu:
a. Menyebutkan pengertian demensia
b. Menyebutkan penyebab demensia
c. Menyebutkan tanda dan gejala demensia
d. Menyebutkan cara perawatan/pencegahan demensia
C. Setting Tempat
Keterangan:
: Moderator : Peserta
: Penyaji : Media
:Pembimbing : Fasilitator : Observer
D. Materi Penyuluhan
Terlampir
E. Pengorganisasian
1. Moderator : Warsiatun, S.Kep
Moderator bertugas:
Membuka Acara
Memperkenalkan diri
Menjelaskan maksud dan tujuan
Menjelaskan kontrak waktu dan bahasa
Evaluasi validasi
Menyimpulkan topik yang disamapaikan oleh penyaji
Menutup acara
G. Evaluasi
No Kriteria Evaluasi Ya Tidak
1. Evaluasi Struktur :
a. Peserta hadir di tempat pelaksanaan pada waktu
yang telah ditentukan
b. Alat dan media sesuai dengan rencana
c. Persiapan telah dilakukan minimal sehari
sebelum pelaksanaan penyuluhan
2. Evaluasi Proses :
a. Jumlah peserta penyuluhan minimal 4 orang
b. Media yang digunakan adalah leaflet dan laptop/
powerpoint/LCD
c. Waktu penyuluhan adalah 30 menit
d. Presentator diharapkan menguasai materi dengan
baik
e. Tidak ada peserta yang meninggalkan ruangan
saat kegiatan penyuluhan berlangsung
f. Peserta aktif dan antusias dalam mengikuti
kegiatan penyuluhan
3. Evaluasi hasil
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan diharapkan
50% peserta mampu menyebutkan :
a. Pengertian pneumonia
b. Penyebab pneumonia
c. Tanda dan gejala pneumonia
d. Perawatan yang dapat dilakukan keluarga saat
anak di rawat di rumah sakit
e. Cara pencegahan pneumonia
LAMPIRAN MATERI
“DEMENSIA (PIKUN)”
1. Pengertian
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual
progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari.
(Turana, 2006). Sementara itu Watson (2003) menyatakan bahwa demensia adalah
suatu kondisi konfusi kronik dan kehilangan kemempuankognitif secara global dan
progresif yang dihubungkan dengan masalah fisik.
2. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala terjadinya demensia secara umum adalah sebagai berikut
(Hurley, 1998) :
a. Daya ingat yang terus terjadi pada penderita demensia, ”lupa” menjadi
bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
b. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan,
tahun, tempat penderita demensia berada.
c. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar,
menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mangulang kata
atau cerita yang sama berkali-kali.
d. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis yang berlebihan saat melihat
sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang di lakukan
orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia
kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
e. Adanya perubahan tingkah laku seperti : acuh tak acuh, menarikdiri dan
gelisah
3. Klasifikasi Demensia (Sjahrir, 1999)
Demensia terbagi atas 2 dimensi:
a. Menurut umur, terbagi atas:
1) Demensia senilis, onset > 65 tahun
2) Demensia presenilis, onset < 65 tahun
b. Menurut level kortikal:
1) Demensia kortikal \
2) Demensia subkortikal
c. Klasifikasi lain berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-
anatomisnya:
1) Anterior : Frontal premotor cortex Perubahan behavior, kehilangan
kontrol, anti sosial, reaksi lambat.
2) Posterior: lobus parietal dan temporal Gangguan kognitif: memori dan
bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik.
3) Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak.
4) Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.
4. Subtipe Demensia
Menurut (Ong dkk, 2015) tipe-tipe dari demensia adalah sebagai berikut :
a. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang
tersering ditemukan (60-80%). Karakteristik klinis berupa penurunan progresif
memori episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak ditemukan
kecuali pada tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan
dalam aktivitas hidup keseharian menyusul gangguan memori episodik
mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini mengenai terutama lansia (>65
tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih muda. Diagnosis klinis
dapat dibuat dengan akurat pada sebagian besar kasus (90%) walaupun
diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan adanya plak
neuritik (deposit ß-amiloidamiloid) serta neurofibrilary tangle
(hyperphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan melibatkan
pemeriksaan biomarka pencitraan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
struktural dan fungsional serta pemeriksaan cairan otak (ß-amiloid dan protein
tau) untuk menambah akurasi diagnosis (Ong dkk, 2015).
b. Demensia Vaskuler
Vascular Cognitive Impairment (VCI) merupakan terminologi yang memuat
defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan sampai demensia
yang dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler (Ong dkk, 2015). Demensia
vaskuler adalah penyakit heterogen dengan patologi vaskuler yang luas
termasuk infark tunggal, demensia multi-infark, lesi kortikal iskemik, stroke
perdarahan, gangguan hipoperfusi, gangguan hipoksik dan demensia tipe
campuran (penyakit Alzheimer dan stroke/lesi vaskuler). Faktor risiko mayor
kardiovaskuler berhubungan dengan kejadian aterosklerosis dan VaD. Faktor
risiko vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang merupakan faktor
risiko untuk terjadinya VaD. Cerebral Autosomal Dominant Arteriopathy with
Subcortical Infarcts and Leucoensefalopathy (CADASIL), adalah bentuk small
vessel disease usia dini dengan lesi iskemik luas pada white matter dan stroke
lakuner yang bersifat herediter (Ong dkk, 2015).
d. Demensia Lewy Body dan Demensia Penyakit Parkinson
Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan.
Sekitar 15-25% dari kasus autopsi demensia menemui kriteria demensia ini.
Gejala inti demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi
visual yang nyata (vivid) dan terjadi pada awal perjalanan penyakit orang
dengan Parkinsonism. Gejala yang mendukung diagnosis berupa kejadian jatuh
berulang dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi, dan atau halusinasi
modalitas lain yang sistematik. Juga terdapat tumpang tindih dengan temuan
patologi antara DLB dengan penyakit Alzheimer. Namun secara klinis orang
dengan DLB cenderung mengalami gangguan fungsi eksekutif dan visuospasial
sedangkan performa memori verbalnya relatif baik jika dibanding penyakit
Alzheimer yang terutama mengenai memori verbal (Ong dkk, 2015). Demensia
Penyakit Parkinson/Parkinson Disease Dementia (PDD) adalah bentuk
demensia yang juga sering ditemukan. Prevalensi demensia pada penyakit
Parkinson 23-32% enam kali lipat dibanding populasi umum (3-4%). Secara
klinis, sulit membedakan antara DLB dan PDD. Pada DLB, awitan demensia
dan Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun sedangkan pada PDD
gangguan fungsi motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia (10-15
tahun) (Ong dkk, 2015).
e. Demensia Frontotemporal
Demensia Frontotemporal/Frontotemporal Dementia (FTD) adalah jenis
tersering dari Demensia Lobus Frontotemporal/ Frontotemporal Lobar
Dementia (FTLD). Terjadi pada usia muda (early onset dementia/EOD)
sebelum umur 65 tahun dengan rerata usia adalah 52,8–56 tahun. Karakteristik
klinis berupa perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi
atau riwayat penyakit. Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun
pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan
simpati/empati, perseverasi, stereotipi atau perilaku kompulsif/ritual,
hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif tanpa gangguan
memori dan visuospasial pada pemeriksaan neuropsikologi (Ong dkk, 2015).
Pada pemeriksaan Computed Tomography (CT) atau MRI ditemukan atrofi
lobus frontal dan atau anterior temporal dan hipoperfusi frontal atau
hipometabolisme pada Single-photon Emmision Tomography (SPECT) atau
Positron Emission Tomography (PET). Dua jenis FTLD lain yaitu Demensia
Semantik dan Primary Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana gambaran
disfungsi bahasa adalah dominan disertai gangguan perilaku lainnya. Kejadian
FTD dan Demensia Semantik masing-masing adalah 40% dan kejadian PNFA
sebanyak 20% dari total FTLD (Ong dkk, 2015).
f. Demensia Tipe Campuran
Koeksistensi patologi vaskular pada penyakit Alzheimer sering terjadi.
Dilaporkan sekitar 24-28% orang dengan penyakit Alzheimer dari klinik
demensia yang diautopsi. Pada umumnya pasien demensia tipe campuran ini
lebih tua dengan penyakit komorbid yang lebih sering. Patologi penyakit
Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan penyakit Alzheimer dan 50%
orang dengan DLB memiliki patologi penyakit Alzheimer (Ong dkk, 2015).
5. Tahapan Demensia
Tahapan-tahapan yang dialami pada penderita demensia adalah sebagai berikut :
(Stanley, 2007)
a. Stadium I/Awal
Berlangsung 2-4 tahun dan di sebut stadium amnestik dengan gejala gangguan
memori, berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang
terganggu adalah memori baru atau lupa halbaru yang di alami dan tidak
menggangu aktivitas rutin dalam keluarga. (Stanley, 2007)
b. Stadium II/Pertengahan
Berlangsung 2-10 tahun dan di sebut pase demensia. Gejalanya antara lain,
disorientasi, gangguan bahasa (afasia). Penderita mudah bingung, penurunan
fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan kegiatan
sampai selesai, Gangguan kemampuan merawat diri yang sangat besar,
Gangguan siklus tidur ganguan, Mulai terjadi inkontensia, tidak mengenal
anggota keluarganya, tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga
mengulanginya lagi. Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita
mudah tersesat di lingkungan. (Stanley, 2007)
c. Stadium III/Akhir
Berlangsung 6-12 tahun, yaitu penderita menjadi vegetatif, tidak bergerak
dangangguan komunikasi yang parah (membisu), ketidakmampuan untuk
mengenali keluarga dan teman-teman, gangguan mobilisasi dengan hilangnya
kemampuan untuk berjalan, kaku otot, gangguan siklus tidur-bangun, dengan
peningkatan waktu tidur, tidak bisa mengendalikan buang air besar/kecil.
Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain dan kematian terjadi
akibat infeksi atau trauma. (Stanley, 2007)
6. Pencegahan Demensia
Hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan resiko terjadinya demensia
diantaranya adalah (Stanley, 2007) :
a. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol
dan zat adiktif yang berlebihan.
b. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan
setiap hari.
c. Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif.
7. Faktor Risiko
Tindakan preventif harus dikerjakan karena diperkirakan bahwa menunda
awitan demensia selama lima tahun dapat menurunkan setengah dari insiden
demensia. Oleh sebab itu perlu pengetahuan tentang faktor risiko dan bukti yang
telah ada (Ong dkk, 2015).
a. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Usia, jenis kelamin, genetik, dan riwayat penyakit keluarga, disabilitas
intelektual dan sindroma Down adalah faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi (Ong dkk, 2015).
1) Usia
Risiko terjadinya penyakit Alzheimer meningkat secara nyata dengan
meningkatnya usia, meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun pada individu diatas
65 tahun dan 50% individu diatas 85 tahun mengalami demensia. Dalam studi
pupolasi, usia diatas 65 tahun risiko untuk semua demensia adalah OR=1,1 dan
untuk penyakit Alzheimer OR=1,2 (Ong dkk, 2015).
2) Jenis Kelamin
Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa penyakit Alzheimer lebih tinggi
pada wanita dibanding pria. Angka harapan hidup yang lebih tinggi dan
tingginya prevalensi AD pada wanita yang tua dan sangat tua dibanding pria.
Risiko untuk semua jenis demensia dan penyakit Alzheimer untuk wanita
adalah OR=1,7 dan OR=2,0. Kejadian demensia vaskular lebih tingggi pada
pria secara umum walaupun menjadi seimbang pada wanita yang lebih tua
(Ong dkk, 2015).
3) Riwayat Keluarga dan Faktor Genetik
Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early Onset Alzheimer Disease/EOAD)
terjadi sebelum usia 60 tahun, kelompok ini menyumbang 6-7% dari kasus
penyakit Alzheimer. Sekitar 13% dari EOAD ini memperlihatkan transmisi
autosomal dominan. Tiga mutasi gen yang teridentifikasi untuk kelompok ini
adalah amiloid-ß protein precursor pada kromosom 14 ditemukan pada 30-
70% kasus, presenilin pada kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5%
kasus. Sampai saat ini tidak ada mutasi genetik tunggal yang teridentifikasi
untuk Penyakit Alzheimer Awitan Lambat. Diduga faktor genetik dan
lingkungan saling berpengaruh. Diantara semua faktor genetik, gen
Apolipoprotein E (APOE E) yang paling banyak diteliti. Telaah secara
sistematik studi populasi menerangkan bahwa APOE E4 signifikan
meningkatkan risiko demensia penyakit Alzheimer terutama pada wanita dan
populasi antara 55-56 tahun, pengaruh ini berkurang pada usia yang lebih tua
(Ong dkk, 2015).
Sampai saat ini tidak ada studi yang menyebutkan perlunya tes genetik untuk
pasien demensia atau keluarganya. Apabila dicurigai autosomal dominan, maka
tes ini dapat dilakukan hanya setelah dengan informed consent yang jelas atau
untuk keperluan penelitian (Ong dkk, 2015).
b. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
1) Faktor Risiko Kardiovaskular
Berbagai studi kohort dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa faktor
risiko vaskular berkontribusi terhadap meningkatnya risiko demensia dan
Alzheimer. Secara khusus, hipertensi usia pertengahan (R.R 1,24-2,8),
hiperkolesterolemia pada usia pertengahan (R.R 1,4-3,1), diabetes mellitus
(R.R 1,39-1,47) dan stroke semuanya telah terbukti berhubungan dengan
peningkatan risiko kejadian demensia (Ong dkk, 2015).
2) Hipertensi
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan kognisi, maka
perlu dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk mendeteksi adanya
silent infarct, microbleed atau white matter lesion (Ong dkk, 2015).
8. Perawatan Demensia
Merawat pasien dengan demensia sangat penting peranan dari perawat.
Apakah ia anggota keluarga atau tenaga yang diupah, ia harus mempunyai
pengetahuan yang memadai tentang demensia dan maubelajar terus untuk
mendapatkan cara-cara efektif dalam mengasuh pasien. Perawat perlu berdiskusi
dan berkonsultasi dengan dokter yang merawat pasien sehingga dapat dibuat suatu
program pengobatan yang tepat (Turana, 2006). Pemberian obat anti demensia pada
fase demensia dini akan lebih jelas manfaatnya dibandingkan demensia fase berat.
Karenanya semakin cepat didiagnosa adalah semakin baik hasil terapinya. Kadang-
kadang orang takut mengetahui kondisi yang sebenarnya, lalu menunda mencari
pertolongan dokter. Pemeriksaan kondisi mental dan evaluasi kognitif yang rutin (6
bulan sekali) sangat dianjurkan bagi orang yang berusia sekitar 60 tahun supaya
dapat segera diketahui jika ada kemunduran kognitif yang mengarah pada
demensia, dan dapat segera dilakukan intervensi guna mencegah kondisi yang lebih
parah (Turana, 2006).
Penatalaksanaan demensia dilakukan melalui terapi nonfarmakologi dan
terapi farmakologi. Terapi non-farmakologi yaitu terapi rehabilitasi dimana
penderita dimampukan dalam mengurus kebutuhan dasarnya dengan
mengoptimalkan kemampuan yang masih ada. Sedangkan terapi farmakologi
bertujuan memperlambat progresivitas penyakit dalam memperbaiki fungsi berpikir
dan kontrol prilaku dengan obat-obatan. (Turana, 2006)
Terapi non farmakologis dimulai dengan konsultasi dokter saraf yang
menangani demensia untuk menganalisa masalah yang ada, kemudian ditentukan
tujuan apa yang ingin dicapai. Hal ini bergantung dari jenis gangguan, berat
gangguan, dan proses penyakitnya. Tindakan rehabilitasi yang kurang bermakna,
jangan dianjurkan. Banyak kelompok yang menawarkan jasa, namun tidak
dilakukan dengan baik. Tindakan-tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan tujuan
yang ingin dicapai(Turana, 2006). Tujuan tersebut adalah :
a. Mengoptimalkan kemampuan yang masih ada
1) Daya ingat
Buat catatan kecil, untuk membantunya mengingat. Catatan bisa berupa
jadwal kegiatan, daftar nomor telepon penting,atau yang lainnya.
Ajak pasien berjalan-jalan pada siang hari, untuk mencegah pasien
tersesat. Hal ini terjadi karena pasien lupa jalan ke kamar mandi. \
Pertahankan lingkungan yang familiar. Hal ini akan membantu
penderita tetap memiliki orientasi, seperti pasang kalender yang besar,
cahaya yang terang, jam dinding dengan angka-angka yang besar, dan
sebagainya. (Turana, 2006)
2) Inkontinensia
Menjalani kegiatan mandi, buang air besar, buang air kecil secara rutin,
untuk memberikan rasa keteraturan kepada penderita.
Buat jadwal saat berkemih dan buang air besar
Berikan penderita makanan dan minuman yang bergizi yang rendah
lemak (low-fat) dan buah-buahan.
Ajak pasien untuk melakukan olahraga sederhana seperti berjalan setiap
pagi, dan latihan sederhana lainnya. Hindari merokok dan konsumsi
alkohol. (Turana, 2006)
3) Kesulitan berkomunikasi
Pasang alat bantu dengar pada penderita yang sudah mengalami
ketulian
Usahakan untuk berkomunikasi lebih sering. Komunikasi bukan hanya
dengan berbicara, namun juga dengan menyentuh tangan atau bahunya
untuk membantu penderita memusatkan perhatiannya. (Turana, 2006)
b. Berupaya mengatasi masalah prilaku
Prinsip perawatan mengenai perilaku adalah menemukan perubahan
tingkah laku sedini mungkin. Langkah awal yang harus ilakukan pada
pasien yang mengalami perubahan tingkah laku adalah (Turana, 2006) :
1) Periksa kemungkinan infeksi dan dehidrasi.
2) Evaluasi terhadap setiap perubahan fisik atau penyakit yang sedang
diderita pasien (misalnya hipotiroid).
3) Lihat kemungkinan adanya efek samping obat (misalnya obat-obatan
yang menyebabkan perubahan tingkah laku seperti depresi, ansietas,
atau gangguan tidur).
4) Pertimbangkan untuk mengganti obat yang sekarang digunakan.
5) Pertimbangkan untuk menghentikan atau mengurangi dosis obat-obat
antikolinergik dan penggunaan benzodiazepine harus di tapering off.
6) Lakukan pengawasan ketat untuk mencegah kecelakaan, keracunan obat
dan makanan.
7) Hindari gangguan sensorik dengan memperbaiki fungsi penglihatan dan
pendengaran.
8) Cegah stimulasi yang berlebihan. Terlalu bising, terlalu banyak orang,
lingkungan baru, dan perubahan rutinitas kegiatan akan memperparah
gangguan perilaku pada orang tua yang demensia.
9) Identifikasi penyebab gangguan perilaku.
10) Gunakan pendekatan yang tepat dalam berinteraksi dengan pasien
demensia yang mengalami perubahan tingkah laku.
Hurley, A. C. (1998). Membenahi Penyakit Demensia Pada Lansia. Diambil dari website
http://www.documents BKKBN.