Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut :7,9
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang
cukup, dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).
3. Pengobatan TB dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
9
Tabel 3
Gambar : Obat lini pertama saat ini untuk terapi MTB sensitif obat (Hoagland dkk., 2016)
A. Isoniazid (INH/H)
Isoniazid adalah suatu analog tiasetazon yang merupakan obat anti-TB efektif sejak tahun
1940-an namun memiliki efek toksik. Isoniazid pertama kali disintesis pada tahun 1912.
Kemudian aktivitas anti-TB baru dilaporkan pada tahun 1952. Isoniazid adalah salah satu
obat anti-TB yang paling luas digunakan dan salah satu komponen kunci pada terapi lini
pertama untuk penyakit aktif. Monoterapi INH selama 9 bulan digunakan untuk mengobati
infeksi laten. Isoniazid merepresentasikan agen bakterisida yang sangat efektif untuk
melawan metabolically-active replicating bacilli (aktif secara metabolism dan mampu
menggandakan diri) dan bertanggung jawab utamanya untuk pengurangan awal kandungan
bakteri pada fase awal terapi.
Isoniazid memiliki aktifitas bakterisida cepat, Isoniazid mampu membunuh bakteri
sedang tumbuh secara aktif dan menyebabkan penurunan kandungan bacilli secara cepat di
dalam dahak setelah 2 minggu pertama terapi. Kemampuan ini kemudian melambat terhadap
populasi bakteri tidak tumbuh. Terapi masih dianjurkan untuk pasien dengan resistensi INH
pertama yang rendah.
Efek samping terkait neurologi adalah: parestesia, neuritis perifer, gangguan penglihatan,
neuritis optik, atropfi optik, tinitus, vertigo, ataksia, somnolensi, mimpi berlebihan, insomnia,
amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku, depresi, ingatan tak sempurna,
hiperrefleksia, otot melintir, konvulsi. Beberapa efek samping lain yang dapat terjadi
meliputi:
Hipersensitifitas: demam, menggigil, eropsi kulit (bentuk morbili, mapulo papulo,
purpura, urtikaria), limfadenitis, vasculitis dan keratitis.
Hepatotoksik: SGOT dan SGPT meningkat, bilirubinemia, sakit kuning dan hepatitis
fatal.
Metabolisme dan endrokrin: defisiensi Vitamin B6, pelagra, kenekomastia,
hiperglikemia, glukosuria, asetonuria, asidosis metabolik, proteinurea.
Hematologi: agranulositosis, anemia aplastik, atau hemolisis, anemia,
trambositopenia, eusinofilia dan methemoglobinemia.
Saluran cerna: mual, muntah, sakit ulu hati dan sembelit.
Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia, dispenia, mulut kering, retensi kandung
kemih (pria), hipotensi postura, sindrom seperti lupus, eritemamtosus dan rematik.
B. Pirazinamid (PZA/Z)
Pirazinamid merupakan analog struktural dari nikotinamid. Obat ini dikenalkan sebagai
obat TB pada awal tahun 1950. Pirazinamid bertanggung jawab untuk membunuh persistent
tubercle bacilli di awal terapi fase intensif. Namun, selama 2 hari pertama terapi, pirazinamid
tidak memiliki aktivitas bakterisida terhadap bacilli yang tumbuh cepat. Meskipun demikian,
akibat aktifitas sterilisasinya dalam kondisi asam di dalam makrofag atau jaringan yang
inflamasi, pirazinamid mampu untuk memperpendek durasi terapi dari 12 bulan menjadi 6
bulan dan mencegah risiko kekambuhan (WHO, 2010). Aktivitas PZA sangat spesifik
terhadap M. tuberculosis karena tidak berefek pada mikobakteria lain.
Pirazinamid dianggap spesifik untuk spesies mikobakteria dan melaksanakan karakteristik
antibakteri di bawah kondisi spesifik (pH asam). M. bovis dan M. leprae resisten secara
intrinsik terhadap PZA.
Pirazinamid umumnya digunakan dalam kombinasi bersama obat lain seperti INH dan
RIF pada terapi M. tuberculosis. Regimen terapi paling sering digunakan adalah INH, RIF,
PZA, ETH setiap hari selama 2 bulan dilanjutkan INH dan RIF tiga kali per minggu selama 4
bulan. Pirazinamid memperpendek terapi dari 12 bulan menjadi 6 bulan dengan membunuh
organisme yang tidak terpengaruh oleh obat anti-TB lain, khususnya pada lingkungan asam.
Penggunaan Pirazinamid pada 2 bulan pertama terapi mampu mengurangi durasi terapi.
Pirazinamid juga mengurangi tingkat kekambuhan dari 22% menjadi 8% ketika pirazinamid
ditambahkan pada kombinasi INH dan streptomisin (STR). Pirazinamid dapat melintasi
meninges. Pirazinamid menjadi bagian penting dalam terapi meningitis tuberkulosis.
Keamanan penggunaan pada anak-anak belum ditetapkan. Hati-hati penggunaan pada
penderita dengan encok atau riwayat encok keluarga atau diabetes melitus; dan penderita
dengan gangguan fungsi ginjal; penderita dengan riwayat tukak peptik.
Efek samping penggunaan PZA meliputi luka liver, artalgia, anoreksia, mual muntah,
dysuria, malaise, demam, dan anemia sideroblastik. Efek samping pada mekanisme
penjendalan darah atau integritas vaskuler dan reaksi hipersensitifitas seperti urtikaria,
pruritis dan eksim kulit juga mungkin terjadi. Pirazinamid dikontraindikasikan pada pasien
dengan kerusakan hati parah atau gout akut. PZA meningkatkan kadar serum asam urat
sehingga menyebabkan arthralgia nongoutt. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan INH
dan/atau RIF sering menyebabkan hepatotoksisitas. Pirazinamid harus dihentikan dan tidak
dimulai lagi jika tanda kerusakan hepatoseluler atau hiperurisemia bersama gout atritis akut
muncul.
C. Rifampisin (RIF/R)
Rifampisin adalah salah satu obat anti-TB paling efektif. Rifampisin yang dikombinasi
dengan PZA memungkinkan perpendekkan terapi rutin dari 1 tahun menjadi 6 bulan.
Sementara itu, bersama INH, RIF membentuk dasar regimen terapi kombinasi obat.
Rifampisin aktif melawan bacilli growing dan nongrowing (metabolism lambat) (Mitchison,
1979). Rifampisin mampu merusak bacilli dormant baik di lokasi seluler maupun
ekstraseluler. Mekanisme aksi rifampisin sama dengan mekanisme aksi rifamisin. Rifampisin
terikat pada β-subunit pada DNA-dependent RNA polymerase sehingga terjadi
penghambatan transkripsi. Akibatnya organisme mati. Rifampisin diperkirakan berikatan
dengan β-subunit di dekat saluran RNA/DNA. Secara fisik menutupi pemindahan
perpanjangan rantai RNA setelah penambahan 2 hingga 3 nukleotida.
Rifampisin (RIF/R) menunjukkan aktifitas sangat efektif terhadap bakteri yang masih
tersisa di fase terapi lanjutan. Mitchison (2000) menyatakan bahwa peningkatan dosis dari
600 mg ke 900 mg setiap hari akan mempercepat proses sterilisasi.
Keamanan dan efek samping Rifampisin umumnya jarang menyebabkan hepatotoksisitas.
Namun penggunaan pada pasien dengan gangguan hepar dapat dipe rparah oleh rifampisin.
Rifampisin 10 mg/kg dilaporkan menyebabkan hepatotoksisitas nyata secara klinis pada
2-5% kasus dan uji perubahan fungsi hati pada 10- 15%. Terdapat laporan terjadinya
hepatitis dan reaksi hipersensitifitas serius meliputi trombositopenia, anemia hemolitik
dan gagal ginjal. Elevasi tidak bergejala dari serum enzim transaminase, peningkatan
serum asam empedu dan konsentrasi bilirubin dapat terjadi. Elevasi serum alkalin,
fosfatase dan bilirubin mengindikasikan toksisitas RIF.
Efek samping lain dari rifampisin adalah hipotensi, syok dan nafas pendek. Selain itu,
suatu kasus yang jarang, organic brain syndrome juga telah dilaporkan (contohnya
bingung, letargi, ataksia, pusing dan pandangan kabur).
Efek samping berupa neuropati perifer mempengaruhi anggota badan, otot dan sendi
dalam bentuk kebas dan nyeri.
Efek samping pada gastrointestinal meliputi mual, muntah dan diare. Rifampisin
menyebabkan pewarnaan oranye hingga merah pada seluruh cairan tubuh
D. Etambutol (EMB/E)
Aktivitas anti TB dari etambutol dilaporkan pertama kali pada tahun 1961. Etambutol
membunuh secara aktif bacilli yang sedang memperbanyak diri dan memiliki aktivitas
sterilisasi sangat lemah. Obat ini hanya sedikit berperan dalam perpendekkan waktu terapi.
Fungsi utama EMB adalah untuk mencegah munculnya resistensi terhadap obat lain di dalam
terapi kombinasi.
Etambutol dideskripsikan sebagai “obat ke empat” untuk terapi empiris M. tuberculosis
dan M. Avium. Etambutol digunakan sebagai terapi pembantu TB paru khususnya pada kasus
yang dicurigai resisten obat. Etambutol tidak boleh digunakan sendiri karena risiko terjadinya
mutan resisten. Kombinasi etambutol dengan INH atau streptomisin (STR) telah
direkomendasikan oleh FDA. Studi klinis terhadap 100 pasien menunjukkan bahwa EMB
memiliki aktivitas sterilisasi yang kurang dan adanya kemungkinan dapat menghambat
aktifitas sterilisasi obat anti-TB lain paling tidak pada 14 hari pertama terapi. Ketika EMB
digunakan sebagai obat utama dalam regimen intermitten, pasien mengalami tingkat
kekambuhan tinggi.
Efek samping etambutol seperti Neuropati optis dan hepatotoksisitas kadang kadang
dapat dialami oleh pasien akibat penggunaan obat ini. Konsentrasi di atas 10 µg/mL dapat
memperburuk penglihatan. Efek ini mungkin berhubungan dengan dosis dan durasi terapi.
Namun, efek samping tersebut bersifat reversibel (akan kembali normal setelah pemberian
obat dihentikan). Pada beberapa kasus, pemulihan dapat tertunda hingga 1 tahun atau lebih.
Kebutaan irreversible juga telah dilaporkan. Neuropati optik menjadi efek toksik etambutol
yang paling sering terjadi. Neuropati optis seperti neuritis optis atau retrobulbar neuritis
memiliki satu atau lebih karakteristik berikut, yaitu penurunan ketajaman penglihatan,
scotoma, kebutaan warna dan/atau kerusakan penglihatan. Kejadian tersebut juga telah
dilaporkan ketika pasien tidak memiliki diagnosis neuritis optis ataupun retrobulbar neuritis.
Oleh karena itu, pasien perlu dinasehati agar segera melapor kepada dokter atau apoteker jika
mengalami. Selain itu, hepatotoksisitas juga telah dilaporkan. Oleh karena itu, penilaian
fungsi hati secara baseline dan periodik sebaiknya dilakukan selama terapi. Efek samping lain
dari EMB adalah pruritus, nyeri sendi, gastrointestinal upset, nyeri perut, malaise, sakit
kepala, pusing, kebingungan, disorientasi dan halusinasi juga mungkin terjadi.