Anda di halaman 1dari 10

a.

Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut :7,9
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang
cukup, dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).
3. Pengobatan TB dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
 Tahap awal (intensif)
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
 Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Tabel 1. Obat Anti Tuberkulosis7


Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Jenis OAT Sifat
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4 – 6) 10 (8 – 12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8 – 12) 10 (8 – 12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20 – 30) 35 (30 – 40)
Streptomicin (S) Bakterisid 15 (12 – 18) 15 (12 – 18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15 – 20) 30 (20 – 35)
Panduan OAT dan kategorinya :7,9,10
1. Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
- Pasien baru TB paru BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif.
- Pasien TB ekstra paru.
9
Tabel 2

9
Tabel 3

1. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)7,10


Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya :
- Pasien kambuh.
- Pengobatan pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setalah putus berobat (default).
Tabel 4

3. OAT sisipan (HRZE)7,10


Paket sisipan KDT adalah sama seperti panduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 5. Dosis KDT untuk sisipan10

1.1 Lini Pertama Obat Anti-Tuberkulosis


Obat Anti-Tuberkulosis Lini Pertama Obat anti-TB lini pertama yang paling efektif
adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamide, etambutol, rifapentin dan rifabutin. Empat obat
pertama telah digunakan selama bertahuntahun oleh penduduk dunia, bahkan isoniazid telah
digunakan sejak tahun 1950-an. Kemudian, dua turunan rifamisin telah diterima sejak tahun
1990. Semua obat lini pertama ini dapat diberikan secara oral karena mereka bersifat
lipofilik.

Gambar : Obat lini pertama saat ini untuk terapi MTB sensitif obat (Hoagland dkk., 2016)

A. Isoniazid (INH/H)
Isoniazid adalah suatu analog tiasetazon yang merupakan obat anti-TB efektif sejak tahun
1940-an namun memiliki efek toksik. Isoniazid pertama kali disintesis pada tahun 1912.
Kemudian aktivitas anti-TB baru dilaporkan pada tahun 1952. Isoniazid adalah salah satu
obat anti-TB yang paling luas digunakan dan salah satu komponen kunci pada terapi lini
pertama untuk penyakit aktif. Monoterapi INH selama 9 bulan digunakan untuk mengobati
infeksi laten. Isoniazid merepresentasikan agen bakterisida yang sangat efektif untuk
melawan metabolically-active replicating bacilli (aktif secara metabolism dan mampu
menggandakan diri) dan bertanggung jawab utamanya untuk pengurangan awal kandungan
bakteri pada fase awal terapi.
Isoniazid memiliki aktifitas bakterisida cepat, Isoniazid mampu membunuh bakteri
sedang tumbuh secara aktif dan menyebabkan penurunan kandungan bacilli secara cepat di
dalam dahak setelah 2 minggu pertama terapi. Kemampuan ini kemudian melambat terhadap
populasi bakteri tidak tumbuh. Terapi masih dianjurkan untuk pasien dengan resistensi INH
pertama yang rendah.
Efek samping terkait neurologi adalah: parestesia, neuritis perifer, gangguan penglihatan,
neuritis optik, atropfi optik, tinitus, vertigo, ataksia, somnolensi, mimpi berlebihan, insomnia,
amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku, depresi, ingatan tak sempurna,
hiperrefleksia, otot melintir, konvulsi. Beberapa efek samping lain yang dapat terjadi
meliputi:
 Hipersensitifitas: demam, menggigil, eropsi kulit (bentuk morbili, mapulo papulo,
purpura, urtikaria), limfadenitis, vasculitis dan keratitis.
 Hepatotoksik: SGOT dan SGPT meningkat, bilirubinemia, sakit kuning dan hepatitis
fatal.
 Metabolisme dan endrokrin: defisiensi Vitamin B6, pelagra, kenekomastia,
hiperglikemia, glukosuria, asetonuria, asidosis metabolik, proteinurea.
 Hematologi: agranulositosis, anemia aplastik, atau hemolisis, anemia,
trambositopenia, eusinofilia dan methemoglobinemia.
 Saluran cerna: mual, muntah, sakit ulu hati dan sembelit.
 Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia, dispenia, mulut kering, retensi kandung
kemih (pria), hipotensi postura, sindrom seperti lupus, eritemamtosus dan rematik.
B. Pirazinamid (PZA/Z)
Pirazinamid merupakan analog struktural dari nikotinamid. Obat ini dikenalkan sebagai
obat TB pada awal tahun 1950. Pirazinamid bertanggung jawab untuk membunuh persistent
tubercle bacilli di awal terapi fase intensif. Namun, selama 2 hari pertama terapi, pirazinamid
tidak memiliki aktivitas bakterisida terhadap bacilli yang tumbuh cepat. Meskipun demikian,
akibat aktifitas sterilisasinya dalam kondisi asam di dalam makrofag atau jaringan yang
inflamasi, pirazinamid mampu untuk memperpendek durasi terapi dari 12 bulan menjadi 6
bulan dan mencegah risiko kekambuhan (WHO, 2010). Aktivitas PZA sangat spesifik
terhadap M. tuberculosis karena tidak berefek pada mikobakteria lain.
Pirazinamid dianggap spesifik untuk spesies mikobakteria dan melaksanakan karakteristik
antibakteri di bawah kondisi spesifik (pH asam). M. bovis dan M. leprae resisten secara
intrinsik terhadap PZA.
Pirazinamid umumnya digunakan dalam kombinasi bersama obat lain seperti INH dan
RIF pada terapi M. tuberculosis. Regimen terapi paling sering digunakan adalah INH, RIF,
PZA, ETH setiap hari selama 2 bulan dilanjutkan INH dan RIF tiga kali per minggu selama 4
bulan. Pirazinamid memperpendek terapi dari 12 bulan menjadi 6 bulan dengan membunuh
organisme yang tidak terpengaruh oleh obat anti-TB lain, khususnya pada lingkungan asam.
Penggunaan Pirazinamid pada 2 bulan pertama terapi mampu mengurangi durasi terapi.
Pirazinamid juga mengurangi tingkat kekambuhan dari 22% menjadi 8% ketika pirazinamid
ditambahkan pada kombinasi INH dan streptomisin (STR). Pirazinamid dapat melintasi
meninges. Pirazinamid menjadi bagian penting dalam terapi meningitis tuberkulosis.
Keamanan penggunaan pada anak-anak belum ditetapkan. Hati-hati penggunaan pada
penderita dengan encok atau riwayat encok keluarga atau diabetes melitus; dan penderita
dengan gangguan fungsi ginjal; penderita dengan riwayat tukak peptik.
Efek samping penggunaan PZA meliputi luka liver, artalgia, anoreksia, mual muntah,
dysuria, malaise, demam, dan anemia sideroblastik. Efek samping pada mekanisme
penjendalan darah atau integritas vaskuler dan reaksi hipersensitifitas seperti urtikaria,
pruritis dan eksim kulit juga mungkin terjadi. Pirazinamid dikontraindikasikan pada pasien
dengan kerusakan hati parah atau gout akut. PZA meningkatkan kadar serum asam urat
sehingga menyebabkan arthralgia nongoutt. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan INH
dan/atau RIF sering menyebabkan hepatotoksisitas. Pirazinamid harus dihentikan dan tidak
dimulai lagi jika tanda kerusakan hepatoseluler atau hiperurisemia bersama gout atritis akut
muncul.
C. Rifampisin (RIF/R)
Rifampisin adalah salah satu obat anti-TB paling efektif. Rifampisin yang dikombinasi
dengan PZA memungkinkan perpendekkan terapi rutin dari 1 tahun menjadi 6 bulan.
Sementara itu, bersama INH, RIF membentuk dasar regimen terapi kombinasi obat.
Rifampisin aktif melawan bacilli growing dan nongrowing (metabolism lambat) (Mitchison,
1979). Rifampisin mampu merusak bacilli dormant baik di lokasi seluler maupun
ekstraseluler. Mekanisme aksi rifampisin sama dengan mekanisme aksi rifamisin. Rifampisin
terikat pada β-subunit pada DNA-dependent RNA polymerase sehingga terjadi
penghambatan transkripsi. Akibatnya organisme mati. Rifampisin diperkirakan berikatan
dengan β-subunit di dekat saluran RNA/DNA. Secara fisik menutupi pemindahan
perpanjangan rantai RNA setelah penambahan 2 hingga 3 nukleotida.
Rifampisin (RIF/R) menunjukkan aktifitas sangat efektif terhadap bakteri yang masih
tersisa di fase terapi lanjutan. Mitchison (2000) menyatakan bahwa peningkatan dosis dari
600 mg ke 900 mg setiap hari akan mempercepat proses sterilisasi.
Keamanan dan efek samping Rifampisin umumnya jarang menyebabkan hepatotoksisitas.
Namun penggunaan pada pasien dengan gangguan hepar dapat dipe rparah oleh rifampisin.
 Rifampisin 10 mg/kg dilaporkan menyebabkan hepatotoksisitas nyata secara klinis pada
2-5% kasus dan uji perubahan fungsi hati pada 10- 15%. Terdapat laporan terjadinya
hepatitis dan reaksi hipersensitifitas serius meliputi trombositopenia, anemia hemolitik
dan gagal ginjal. Elevasi tidak bergejala dari serum enzim transaminase, peningkatan
serum asam empedu dan konsentrasi bilirubin dapat terjadi. Elevasi serum alkalin,
fosfatase dan bilirubin mengindikasikan toksisitas RIF.
 Efek samping lain dari rifampisin adalah hipotensi, syok dan nafas pendek. Selain itu,
suatu kasus yang jarang, organic brain syndrome juga telah dilaporkan (contohnya
bingung, letargi, ataksia, pusing dan pandangan kabur).
 Efek samping berupa neuropati perifer mempengaruhi anggota badan, otot dan sendi
dalam bentuk kebas dan nyeri.
 Efek samping pada gastrointestinal meliputi mual, muntah dan diare. Rifampisin
menyebabkan pewarnaan oranye hingga merah pada seluruh cairan tubuh
D. Etambutol (EMB/E)
Aktivitas anti TB dari etambutol dilaporkan pertama kali pada tahun 1961. Etambutol
membunuh secara aktif bacilli yang sedang memperbanyak diri dan memiliki aktivitas
sterilisasi sangat lemah. Obat ini hanya sedikit berperan dalam perpendekkan waktu terapi.
Fungsi utama EMB adalah untuk mencegah munculnya resistensi terhadap obat lain di dalam
terapi kombinasi.
Etambutol dideskripsikan sebagai “obat ke empat” untuk terapi empiris M. tuberculosis
dan M. Avium. Etambutol digunakan sebagai terapi pembantu TB paru khususnya pada kasus
yang dicurigai resisten obat. Etambutol tidak boleh digunakan sendiri karena risiko terjadinya
mutan resisten. Kombinasi etambutol dengan INH atau streptomisin (STR) telah
direkomendasikan oleh FDA. Studi klinis terhadap 100 pasien menunjukkan bahwa EMB
memiliki aktivitas sterilisasi yang kurang dan adanya kemungkinan dapat menghambat
aktifitas sterilisasi obat anti-TB lain paling tidak pada 14 hari pertama terapi. Ketika EMB
digunakan sebagai obat utama dalam regimen intermitten, pasien mengalami tingkat
kekambuhan tinggi.
Efek samping etambutol seperti Neuropati optis dan hepatotoksisitas kadang kadang
dapat dialami oleh pasien akibat penggunaan obat ini. Konsentrasi di atas 10 µg/mL dapat
memperburuk penglihatan. Efek ini mungkin berhubungan dengan dosis dan durasi terapi.
Namun, efek samping tersebut bersifat reversibel (akan kembali normal setelah pemberian
obat dihentikan). Pada beberapa kasus, pemulihan dapat tertunda hingga 1 tahun atau lebih.
Kebutaan irreversible juga telah dilaporkan. Neuropati optik menjadi efek toksik etambutol
yang paling sering terjadi. Neuropati optis seperti neuritis optis atau retrobulbar neuritis
memiliki satu atau lebih karakteristik berikut, yaitu penurunan ketajaman penglihatan,
scotoma, kebutaan warna dan/atau kerusakan penglihatan. Kejadian tersebut juga telah
dilaporkan ketika pasien tidak memiliki diagnosis neuritis optis ataupun retrobulbar neuritis.
Oleh karena itu, pasien perlu dinasehati agar segera melapor kepada dokter atau apoteker jika
mengalami. Selain itu, hepatotoksisitas juga telah dilaporkan. Oleh karena itu, penilaian
fungsi hati secara baseline dan periodik sebaiknya dilakukan selama terapi. Efek samping lain
dari EMB adalah pruritus, nyeri sendi, gastrointestinal upset, nyeri perut, malaise, sakit
kepala, pusing, kebingungan, disorientasi dan halusinasi juga mungkin terjadi.

1.2 Lini kedua obat Anti-Tuberkulosis


Obat lini kedua bersifat lebih toksik dan kurang efektif daripada obat lini pertama. Obat
ini sebagian besar digunakan pada terapi MDR-TB dimana waktu terapi total diperpanjang
dari 6 ke 9 bulan. Obat lini kedua dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok berdasarkan
prioritasnya secara menurun, yaitu aminoglikosida injeksi dan polipeptida (kelompok 2),
fluorokuinolon (kelompok 3) dan obat oral lain (kelompok 4).
A. Golongan Aminoglikosida
Antituberkulosis aminoglikosida adalah antibiotik spektrum luas dengan aktivitas
bakteriostatik. Antibiotik golongan ini diisolasi dari spesies Streptomyces. Struktur antibiotik
golongan ini terdiri dari dasar gugus fungsi aglikon dan mono atau disakarida yang terikat
oleh ikatan glikosidik. Penggunaan terapetik dibatasi oleh adanya efek samping
nefrotoksisitas dan ototoksisitas
Streptomisin (Stm/S) adalah antibiotik pertama yang berhasil digunakan untuk
tuberkulosis. Namun, segera setelah penggunaan streptomisin sebagai agen terapi, resistensi
muncul akibat pemberiannya sebagai monoterapi. Streptomisin menjadi suatu alternatif lini
pertama yang direkomendasikan oleh WHO. Obat ini ditambahkan pada regimen lini pertama
pada pasien yang sebelumnya telah diterapi dan ada kecurigaan mengalami resistensi obat.
Walaupun streptomisin direkomendasikan sebagai anti-TB, obat ini kurang efektif
dibandingkan isoniazid dan rifampisin.
Aminoglikosida digunakan terutama untuk infeksi bakteri aerobik, gram negatif seperti
Pseudomonas, Actinobacter dan Enterobacter. M. tuberculosis juga sensitif terhadap obat ini.
Bakteri gram positif dapat diterapi dengan obat ini, namun alternatif dengan toksisitas lebih
rendah cenderung lebih dimanfaatkan.
Streptomisin paling tidak toksik diantara kedua aminoglikosida lain, amikasin dan
kanamisin. Streptomisin bersifat efektif secara klinis sebagai agen terapi tunggal, namun
perkembangan resistensi sangatlah cepat. Hingga saat ini aminoglikosida masih menjadi obat
penting dalam terapi tuberkulosis walaupun tidak sebagai lini pertama.
Perlu diperhatikan adanya efek samping neurotoksik serius pada penggunaan
streptomisin. Risiko reaksi neurotoksik berupa disfungsi cochlear dan vestibular, disfungsi
saraf optis, neuritis perifer, arachnoiditis, dan ensefalopati akan meningkat pada penderita
dengan fungsi ginjal lemah atau pre-renal azotemia. Aminoglikosida memiliki efek
ototoksisitas dengan tingkat kejadian 3 hingga 10%. Reaksi berikut biasa terjadi: vestibular
ototoxicities (mual, muntah dan vertigo), paresthesia wajah, rash, demam, urtikaria,
angioneurotik edema, dan eosinophilia.
Streptomisin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan ginjal. Toksisitas
streptomisin terlihat pada pasien dengan gangguan ginjal. Toksisitas ini disebabkan oleh
ketidakmampuan ginjal untuk mengeluarkan obat pada kecepatan yang sama seperti individu
normal. Streptomisin adalah jenis aminoglikosida yang paling tidak nefrotoksik namun
sangat ototoksik dibanding obat lain dari golongan aminoglikosida.
B. Golongan Polipeptida
Kapreomisin (Cm) dan viomisin (Vim) atau tuberaktinomisin adalah antibiotik
polipeptida siklik dari spesies Streptomyces dengan aktifitas bakteriostatik. Kedua obat ini
secara struktural saling terkait dan memiliki mekanisme aksi, farmakokinetik, potensi dan
profil toksisitas mirip dengan aminoglikosida.
Kedua obat ini adalah sediaan parenteral. Selain itu, kapreomisin dan viomisin memiliki
efek nefrotoksik dan ototoksisitas.
C. Golongan Florkinolon
Fluorokinolon adalah suatu antibakteri sintesis dengan spektrum luas. Golongan ini
ditemukan oleh Sterling-Winthrop Institute pada tahun 1962 sebagai suatu cemaran dalam
sintesis antimalaria kloroquin. Hasil sampingan ini adalah nalidixic acid dan diterima oleh
FDA pada tahun 1963 untuk terapi infeksi saluran kencing akibat Gram negatif.
Fluorokuinolon yang digunakan dalam terapi TB adalah fluorokuinolon generasi ke dua
dan ketiga, yaitu ciprofloksasin (Cfx), ofloksasin (Ofx), dan levofloksasin (Lfx), serta
Nalidixic acid (a) Norfloksasin (b) Ciprofloksasin (c) Ofloksasin (d) Levofloksasin (e).
Fluorokuinolon generasi ke empat yang paling efektif yaitu moksifloksasin (Mfx) dan
gatifloksasin (Gfx). Regimen terapi dengan dua obat terakhir (Mfx dan Gfx) telah
menunjukkan potensi untuk perpendekkan waktu terapi TB. Saat ini dua obat terakhir
tersebut sedang dalam uji klinis fase III dan diajukan sebagai antibiotik lini pertama.
Golongan fluoroquinolon dapat diberikan secara oral maupun parenteral.
Efek samping fluoroquinolone antara lain fototoksisitas sedang hingga parah setelah
terpapar sinar matahari langsung. Seperti obat quinolone lainnya, Lfx juga menyebabkan
gangguan kadar gula darah termasuk hipoglikemik dan hiperglikemik simptomatik. Hal ini
terjadi khususnya pada pasien DM yang juga mengkonsumsi terapi oral anti diabetes
(contohnya gliburid atau glibenklamid) atau insulin. Selain itu, aritmia juga dilaporkan terjadi
pada pasien infark miokard dan perpanjangan interval QT (penanda ventrikular takiaritmia
potensial dan resiko kematian mendadak) atau penggunaan obat kondisi ini (contohnya
amiodarone dan sotalol) bersama obat golongan quinolone. Pasien lanjut usia kemungkinan
lebih rentan mengalami efek samping berupa perpanjangan interval QT.
Efek samping lain dari Lfx adalah reaksi hipersensitifitas seperti rash kulit, angioedema,
pembengkakkan bibir, lidah, wajah, kesesakkan tenggorokan, suara serak) atau gejala alergi
lain; kelainan tendon seperti tendonitis atau keretakkan tendon dengan resiko tinggi kelainan
tendon pasien berumur lebih dari 65 tahun khususnya bagi pengguna kortikosteroid.
D. Golongan Obat Oral Lain
 Asam para-aminosalisilat; Asam para amino salisilat (PAS) adalah suatu senyawa sintetik
yang telah diketahui lebih dari 100 tahun. Aktivitas anti TB pertama kali dilaporkan di
masa awal penemuan antibiotik pada tahun 1940an. Penggunaan PAS telah berkurang
secara signifikan karena obat yang lebih poten dan aman telah tersedia. Saat ini, PAS
digunakan untuk terapi MDR-TB. Obat ini memiliki kegunaan terbatas untuk terapi TB
karena efikasi dan toleransinya yang lemah. Efek samping dari PAS paling sering terjadi
Toksisitas pada saluran pencernaan sehingga mengurangi tingkat kepatuhan pasien
limpaadenopati, jaundice, leukositosis, konjungtivitis, sakit kepala dan nyeri sendi.
 Tionamid
 Isoksazolidinon
Gambar : ringkasan mekanisme aksi anti-tuberkulosis lini pertama dan lini kedua

1.3 Obat Antituberkulosis Lini Ketiga


Obat lini ketiga tersusun atas obat kelompok 5 atau “repurposed drugs”, yaitu obat yang
telah digunakan sebagai antiinfeksi selain TB namun sekarang dikembangkan untuk indikasi
baru yaitu TB. Obat “repurposed” ini meliputi clofazimin (cfz, anti lepra) atau antibakteri
spektrum luas seperti: kombinasi amoksisilin dan inhibitor β-laktamse (asam klavulanat)
(Amx/Clv), kombinasi imipenem dan inhibitor dehidropeptidase (cilastatin) (Ipm/Cln), atau
klaritomisin (Clr). Linezolid juga masuk ke dalam lini ketiga ini. Obat lini ketiga tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin dalam terapi TB resisten obat karena efikasinya
belum jelas.

Anda mungkin juga menyukai