Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang merupakan bakteri aerob. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC. Penyakit ini biasanya menyerang organ paru, tetapi dapat menyebar hampir seluruh bagian tubuh, seperti otak, ginjal, tulang, dan kelenjar getah bening.1,2 Sampai saat ini, penyakit TB masih menjadi permasalahan dunia. Berdasarkan data WHO diperkirakan telah terjadi 8,8 juta kasus baru pada tahun 2010 (berkisar antara 8,5 – 9,9 juta) dengan rasio 128 kasus tiap 100.000 penduduk. Angka prevalensi TB paru diperkirakan berjumlah 12 juta kasus di dunia. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Depkes RI menyatakan bahwa hasil survey dari seluruh rumah sakit terdapat 220.000 pasien penderita TB pertahun atau 500 penderita perhari dan setiap tahunnya terdapat 528.000 kasus baru TB di Indonesia.1,3,4 Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan. Pada tahun 1994, WHO meluncurkan strategi pengendalian TB untuk diimplementasikan secara internasional, yaitu DOTS (Direct Observe Treatment Short-course). Pada 2006, WHO menetapkan strategi baru untuk menghentikan TB yang bertujuan untuk mengintensifkan penanggulangan TB, menjangkau semua pasien, dan memastikan tercapainya target Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Pengobatan TB paru memerlukan jangka waktu sekitar 6 – 9 bulan. Semua penderita mempunyai potensi tidak patuh untuk berobat dan minum obat. Penggunaan obat yang benar sesuai dengan jadwal (kepatuhan) sangat penting untuk menghindari timbulnya TB paru yang resisten terutama pada fase lanjutan setelah penderita merasa sembuh. Penderita meminum obat harus teratur sesuai petunjuk dan menghabiskan obat sesuai waktu yang ditentukan berturut-turut tanpa putus.4,5 Berhasil atau tidaknya pengobatan TB tergantung pada pengetahuan pasien, ada tidaknya upaya dari diri sendiri, atau motivasi dan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi kepatuhan pasien untuk mengkonsunsi obat. Puskesmas Watubanga merupakan salah satu tempat pelayanan kesehatan di wilayah Sulawesi Tenggara. Salah satu program dari puskesmas Watubanga adalah penatalaksanaan dan pengobatan penyakit TB paru, dimana pasien yang didiagnosis menderita TB paru harus mendapatkan obat anti tuberkulosis (OAT) selama minimal 6 bulan dalam pemantauan tenaga kesehatan. Berdasarkan data puskesmas Watubanga periode Januari - November 2018 terdapat 8 orang yang menderita TB paru, yaitu kasus baru sebanyak 6 orang dan kasus kambuh sebanyak 2 orang. Data yang diambil dari penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosa TB paru baik kasus baru maupun kasus lama yang berkunjung atau berobat di puskesmas Watubangga, Kecamatan Watubangga, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.