Anda di halaman 1dari 11

Telur dan Problematikanya

Pengembangan usaha peternakan ayam petelur di Indonesia masih memiliki prospek yang cukup
terbuka lebar. Hal ini karena telur merupakan salah satu produk yang dibutuhkan untuk memenuhi
konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia. Secara garis besar parameter keberhasilan usaha ini
ditentukan dari 2 aspek, yaitu aspek pencapaian produktivitas dan keuntungan finansial. Untuk mencapai
kedua parameter keberhasilan tersebut, maka produksi telur, yang dilihat dari kuantitas dan kualitasnya,
harus mampu dicapai dengan maksimal.

Keberhasilan usaha ayam petelur ditentukan oleh produksi telur yang optimal
(Sumber : Dok. Medion)

Namun pada kenyataannya, sejauh ini beberapa peternak ayam petelur masih saja menghadapi
beraneka ragam masalah yang berdampak pada penurunan produksi telur, baik penurunan jumlah
maupun kualitasnya. Ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebab, terdiri dari faktor infeksius
(penyakit) dan non infeksius (mutu bibit, kecukupan nutrisi, kondisi lingkungan dan manajemen
pemeliharaan). Untuk itu beberapa ulasan mengenai telur dan problematika penyebab penurunan
produksinya akan coba kami jabarkan.

Telur dan Produksinya

Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi. Sebutir telur tersusun
dari 10% kerabang telur, 59% putih telur dan 31% kuning telur. Kuning telur sendiri mengandung 13%
protein, 12% lemak, multivitamin, asam amino dan mineral. Sedangkan dalam putih telur mengandung 5
jenis protein dan sedikit karbohidrat (Kesmavet, 2008).

Keberhasilan pencapaian produksi telur itu sendiri dilihat dari 2 nilai yaitu nilai kuantitas/jumlah
produksi (HD/Hen day) dan kualitas. Jika persentase jumlah produksi telur tinggi namun kualitasnya
rendah, maka peternak akan menghadapi masalah terkait ekonomi karena telur dengan kualitas rendah
tidak akan laku di pasaran. Demikian pula sebaliknya, jika kualitasnya bagus namun persentase
produksinya rendah maka peternak tetap akan mengalami kerugian ekonomi.

 Persentase jumlah produksi telur

Ayam petelur mulai berproduksi ketika mencapai umur 17-18 minggu. Pada umur tersebut, tingkat
produksi telur baru mencapai sekitar 5% dan selanjutnya akan terus mengalami peningkatan
secara cepat hingga mencapai puncak produksi yaitu sekitar 94-95% dalam kurun waktu ± 2 bulan
(di umur 25 minggu). Produksi telur diketahui telah mencapai puncaknya apabila selama 5 minggu
berturut-turut persentase produksi telur sudah tidak mengalami peningkatan lagi. Sesuai dengan
pola siklus bertelur, maka setelah mencapai puncak produksi, sedikit demi sedikit jumlah produksi
mulai mengalami penurunan secara konstan dalam jangka waktu cukup lama (selama 52-62
minggu sejak pertama kali bertelur). Laju penurunan produksi telur secara normal berkisar antara
0,4-0,5% per minggu. Pada saat ayam berumur 80 minggu, jumlah produksi telah berada di bawah
angka 70% dan pada kondisi demikian bisa dikatakan ayam siap di afkir (HyLine Brown
Management Guide, 2007).

 Kualitas telur

Kualitas dari sebutir telur ditentukan oleh kualitas bagian dalam (kekentalan putih dan kuning telur,
warna kuning telur dan ada tidaknya bintik darah pada putih atau kuning telur) dan kualitas bagian
luar (bentuk, ukuran dan warna kerabang). Telur ayam komersial yang normal memiliki ciri-ciri
berwarna coklat terang, kerabang telur tebal, memiliki berat sekitar 55-65 gram/butir, putih telur
kental dan di dalam kuning telur tidak terdapat blood spot/bintik darah.

Sejak pertama kali ayam bertelur, yaitu ketika mencapai umur 18 minggu hingga afkir, ukuran dan
berat telur memang tidak akan sama setiap harinya. Dalam hal ini, seorang peternak harus
memiliki respon untuk menentukan apakah ukuran/berat telur yang dihasilkan sesuai/mendekati
standar atau jauh dari standar. Jauh dari standar, artinya bisa lebih besar atau lebih kecil. Tidak
sesuainya ukuran dan berat telur bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda.

Mengenai masalah terkait warna telur, umumnya ada beberapa peternak yang menemukan telur
tidak berwarna coklat. Warna coklat pada telur ayam pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor
genetik yaitu adanya zat warna phorpyrin di saluran reproduksi ayam. Jadi setiap jenis unggas,
telah ditentukan warna telurnya baik putih, biru atau coklat. Namun dalam pembentukan warna
kulit telur juga dipengaruhi oleh asupan nutrisi atau obat tertentu. Kondisi lingkungan dan penyakit
juga bisa berpengaruh terhadap optimal tidaknya pewarnaan kerabang telur. Masalah kerabang
telur tipis dan lembek bisa bersumber dari nutrisi ataupun karena infeksi penyakit. Demikian juga
dengan putih telur yang encer.

Masalah kualitas telur diantaranya kerabang telur lembek dan berwarna pucat
(Sumber : Anonymous)

Dalam menjalankan usaha ayam petelur tak jarang terjadi penurunan jumlah produksi yang disertai
dengan penurunan kualitas telur sekaligus. Sebagai contoh pada kasus serangan penyakit IB,
jumlah produksi telur bisa turun sebesar 10-50%, tidak hanya itu, serangannya pun menyebabkan
kualitas telur menurun seperti bentuk telur abnormal, putih telur encer dan warna kerabang telur
pucat. Untuk itu perlu adanya upaya mendiagnosa secara cepat dan tepat penyebab penurunan
produksi telur agar peternak dapat segera mengantisipasinya. Jika ini dapat dilakukan dengan
baik, maka kerugian yang lebih besar dapat dihindari.

Problematika Produksi Telur


Secara garis besar ada dua penyebab utama yang mengakibatkan turunnya produksi telur yaitu
disebabkan oleh faktor infeksius dan non infeksius. Seringkali kedua faktor tersebut terkait satu sama lain
dan menghasilkan dampak yang lebih besar. Berikut ini merupakan faktor-faktor penyebab utama
terjadinya penurunan produksi pada peternakan ayam petelur, antara lain :

1. Faktor infeksius (penyakit)

Faktor penyakit selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab utama penurunan produksi telur
pada ayam petelur. Penyakit menyebabkan berbagai disfungsi organ, baik itu organ pencernaan,
pernapasan, syaraf maupun organ reproduksi yang secara langsung berhubungan dengan produksi
telur. Diantara jenis penyakit tersebut yang sering menjadi buah bibir peternak ayam petelur adalah
ND, AI, IB dan EDS.

Pada perkembangannya, virus AI memiliki 2 mekanisme dalam mengganggu organ reproduksi ayam,
yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada
saat budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan
bahkan menghentikan produksi telur. Infeksi AI juga mempengaruhi kualitas telur dimana
serangannya menyebabkan telur kehilangan pigmennya sehingga warna kerabang menjadi lebih
pucat.

Perdarahan di ovarium akibat infeksi AI


(Sumber : Prof. DR. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS)

Perubahan pada organ reproduksi akibat ND yaitu indung telur mengecil, selaput telur membengkak
dan terjadi perdarahan. Begitu juga pada infeksi virus EDS, oviduct menjadi kendur dan terdapat
oedema (pembengkakan) pada jaringan sub-serosa-nya. Selain itu, penyakit EDS juga menyebabkan
warna coklat pada kerabang telur hilang, diikuti dengan kerabang tipis, lembek dan tanpa kerabang.
Pada kasus serangan IB, ovarium tidak berkembang, lunak seperti bubur, berdarah, membengkak dan
lembek.

Selain itu sering dijumpai kasus pecahnya kuning telur pada rongga perut. Kasus cystic oviduct juga
semakin meningkatkan keparahan serangan IB. Dari segi kualitas telur yang dihasilkan, kasus IB
menyebabkan warna telur menjadi lebih pucat, ukuran telur lebih kecil, putih telur encer, kerabang
menjadi tipis dan mudah pecah.

Cystic oviduct akibat infeksi IB


(Sumber : Dok. Medion)

Putih telur encer akibat infeksi IB


(Sumber:Dok. Medion)

Kerusakan atau gangguan pada sistem reproduksi akibat infeksi salah satu penyakit penurun
produksi telur tersebut akan mengakibatkan produksi telur menurun. Penurunan produksi telur
akibat serangan virus IB berkisar 10-50%, EDS menurun 20-40% dan AI bisa mencapai 80%,
sedangkan pada kasus ND berdeda-beda tergantung dari status kekebalan.
2. Faktor non infeksius

Pada kasus non infeksius ada 3 penyebab, antara lain :


 Kualitas pullet

Pada kasus yang disebabkan oleh kualitas pullet yang kurang baik ditandai dengan ciri-ciri memiliki berat
badan dan keseragaman pulletyang rendah. Keseragaman pullet yang rendah ini dapat mengakibatkan
ketidakseragaman awal produksi dan tidak seragamnya ukuran telur yang dihasilkan. Ciri lainnya,
lamanya mencapai dewasa kelamin sehingga awal produksi menjadi terlambat. Adanya pullet yang
mempunyai jarak tulang pubis yang sempit juga menjadi ciri tersendiri yang mengakibatkan ayam
tersebut mempunyai ukuran telur yang lebih kecil.
 Nutrisi ransum dan air minum

Kualitas ransum yang buruk, nutrisinya kurang atau tidak seimbang serta ransum yang mengandung zat
racun/antinutrisi dapat menyebabkan penurunan produksi telur. Demikian halnya dengan kecukupan air
minum.

Menurut Clauer (2009), ayam petelur yang tidak mengkonsumsi air minum hanya selama beberapa jam,
akan berhenti berproduksi telur sampai berminggu-minggu. Ukuran dan berat telur juga dipengaruhi oleh
nutrisi ransum seperti protein, asam amino tertentu sepertimethionine dan lysine, energi, lemak total dan
asam lemak esensial seperti asam linoleat. Tidak terpenuhinya kebutuhan dari salah satu nutrisi tersebut
melalui asupan ransum, maka akan mengurangi berat telur. Bahkan jika hal tersebut terjadi pada petelur
produksi sebelum umur 40 minggu, bisa berakibat pada penurunan jumlah produksi telur.

Ayam petelur membutuhkan asupan kalsium (Ca) yang cukup tinggi di masa produksi. Jika sediaan Ca di
dalam tubuh ayam tidak tercukupi, maka jumlah produksi akan menurun dan pembentukan kerabang
telur pun dapat terganggu. Akibatnya kerabang telur lembek. Asupan Ca juga mempengaruhi warna
kerabang telur. Jika kadar Ca rendah atau tidak cukup maka sekresi phorpyrin saat pengecatan kerabang
telur akan berkurang akibatnya warna kulit telur menjadi lebih putih.

Selain itu, harus diperhatikan pula keseimbangan antara Ca dan P (fosfor), dimana perbandingannya
adalah 5-6 : 1. Peranan Ca dan P saling terkait dan mempunyai hubungan yang menunjang satu sama
lain. Disamping itu penggunaan Ca dan P akan lebih efisien bila dalam ransum cukup mengandung
vitamin D. Vitamin D ini diperlukan untuk mengabsorbsi unsur Ca dan P dalam tubuh ayam. Selain
vitamin D, dibutuhkan pula vitamin lain yang diperlukan untuk menyusun telur dan mengantisipasi efek
stres yang mungkin timbul sehingga mengganggu produksi telur. Nutrisi yang juga penting untuk
diperhatikan kadarnya dalam ransum ialah mineral garam (NaCl). Pemberian kadar garam yang terlalu
tinggi atau terlalu rendah dapat menurunkan produksi telur. Ayam yang kurang mengkonsumsi garam
akan menunjukkan gejala rontok bulu (mematuk ayam lain, mematuk bulunya sendiri) atau mengalami
penurunan nafsu makan. Sebaliknya ayam yang mengkonsumsi terlalu banyak garam, akan
meningkatkan konsumsi air minumnya dan menurunkan konsumsi ransum. Akibatnya nutrisi yang
dibutuhkan untuk membentuk telur berkurang dan penurunan produksi pun akan terjadi. Berikan ransum
dengan kadar garam 0,3-0,4% (www.daff.gov.za).

Seringkali kasus ketidakseimbangan nutrisi berdampak pada pencapaian berat badan (BB) ayam yang
tidak sesuai dengan standar. Saat memasuki masa produksi, ayam dengan BB di bawah standar tidak
akan memulai produksi telur dan jika berproduksi pun akan dihasilkan telur berukuran kecil dalam waktu
yang relatif lama.

Bentuk telur kecil (abnormal)


(Sumber : Dok. Medion)
Selain itu, periode produksi menjadi mundur dengan jumlah produksi yang rendah. Begitu juga
sebaliknya, pertumbuhan BB yang melebihi standar akan menyebabkan produksi telur menjadi turun
dengan ukuran telur yang besar. Selain itu juga sering memicu terjadinya kasusprolapsus.
Kejadian prolapsus tentunya akan sangat berakibat fatal karena berdampak pada kerusakan permanen
saluran telur sehingga ayam berhenti berproduksi. Adanya timbunan lemak tersebut juga akan
menghambat proses pembentukan telur (produksi telur rendah).
 Manajemen pemeliharaan

Kegagalan manajemen pemeliharaan ayam petelur tak pelak lagi juga mengakibatkan penurunan jumlah
produksi dan kualitas telur. Tindakan manajemen tersebut mencakup banyak hal, antara lain sebagai
berikut :

1. Kurangnya pencahayaaan atau tidak cukupnya intensitas cahaya


Ayam petelur yang sudah memasuki masa produksi telur, membutuhkan 16 jam pencahayaan
untuk memelihara jumlah produksi telur tetap optimal. Faktor pencahayaan saat
masa pullet juga berhubungan erat dengan pencapaian berat, ukuran telur dan kematangan
saluran reproduksi. Secara umum ayam yang mengalami kematangan seksual terlalu dini
(belum cukup umur) akan memproduksi telur dengan ukuran kecil. Demikian juga sebaliknya
ketika kematangan seksual terlambat, maka ayam akan memproduksi telur dengan ukuran
besar (abnormal).

Atur program pencahayaan dalam kandang


(Sumber : www.trobos,com)

2. Faktor stres

Stres dapat menyebabkan turunnya produksi telur. Stres yang biasa terjadi meliputi stres akibat
perubahan cuaca/suhu (kedinginan atau kepanansan), pindah kandang, serangan parasit dan
perlakuan kasar. Stres yang ditimbulkan akibat suara gaduh atau perlakuan kasar dapat
menyebabkan proses pembentukkan kerabang telur tidak berlangsung secara sempurna.
Kedinginan adalah stres yang paling sering terjadi selama musim penghujan. Dalam kondisi ini
pencahayaan berkurang dan berakibat tidak terangsangnya hormon reproduksi untuk
memproduksi telur.

Sebaliknya stres akibat cuaca panas, menyebabkan ayam lebih banyak minum dan mengurangi
aktivitas konsumsi ransum sehingga kebutuhan nutrisi untuk pembentukan telur tidak terpenuhi.
Kondisi ini dapat menyebabkan produksi telur turun, demikian pula dengan kualitasnya. Selama
cuaca panas, ayam akan melakukan panting (megap-megap) sehingga mengeluarkan banyak
karbondioksida (CO2). Pada pembentukan telur, CO2 diperlukan untuk membentuk kalsium
karbonat (CaCO3) yang berguna untuk menyusun kerabang telur. Akibat CO2 berkurang maka
kerabang akan lebih tipis dan mudah retak.
Mengatasi Berbagai Problematika Produksi Telur

Berdasarkan berbagai faktor yang telah dijabarkan di atas, maka tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah yang berkaitan dengan produksi telur ialah :
 Faktor infeksius

Untuk mengatasi masalah penurunan produksi yang bekaitan dengan faktor infeksius, dalam hal ini kita
harus mencegah terjadinya infeksi penyakit melalui pelaksanaan program vaksinasi dan penerapan
biosekuriti. Untuk mengatasi kasus karena infeksi penyakit seperti ND, AI, EDS dan IB, lakukan program
vaksinasi sesuai kondisi peternakan setempat. Untuk ayam petelur yang telah memasuki masa produksi,
sebaiknya lakukan pula monitoring titer antibodi ND, AI, EDS dan IB secara rutin.

Tabel 1. Program Vaksinasi ND, AI, EDS, IB pada Ayam Petelur

 Faktor noninfeksius
o Perbaiki manajemen pemeliharaan
 Lakukan kontrol berat badan (BB) ketika periode starter dan grower (pullet) serta usahakan agar ayam
tidak terlalu gemuk atau terlalu kurus (± 10% dari berat badan standar)
 Atur program pencahayaan. Telur kecil yang disebabkan karena tingkat kematangan seksual terlalu dini,
biasanya sulit untuk diatasi karena organ reproduksinya sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Untuk
memperoleh telur dengan ukuran yang optimal, jangan memberi tambahan cahaya pada ayam
periode grower sebelum ayam tersebut mencapai BB 1550-1600 gram (siap berproduksi)
 Ciptakan kondisi yang nyaman selama masa pemeliharaan. Sediakan air minum dan tempat minum
dalam jumlah yang cukup, buka tirai lebar-lebar, pasang kipas angin, ganti sekam yang basah, dan
lakukan penyemprotan kandang dengan menggunakan desinfektan seperti Antisep atau Neo Antisep.
Selain itu juga harus menghindarkan dan meminimalkan faktor penyebab stres pada ayam seperti cuaca
panas atau suara gaduh. Jika perlu, ayam dipuasakan makan 1-2 jam selama cuaca panas pada siang
hari untuk mengurangi panas yang dikeluarkan oleh tubuhnya

Ciptakan kondisi kandang yang nyaman untuk ayam


(Sumber : Dok. Medion)
o Penuhi kebutuhan nutrisi ransum

Berikan ransum dengan nutrisi yang sesuai kebutuhan ayam di tiap periode pemeliharaannya terutama
untuk kandungan protein, asam amino, energi, asam lemak, kalsium, fosfor dan vitamin D (karena sangat
berperan pada pembentukan telur). Untuk mengatasi kekurangan Ca, dapat ditambahkan grit (tepung
kulit kerang) dalam ransum. Grit merupakan sumber kalsium yang baik. Pada ayam petelur umur 3-10
minggu, grit diberikan sebanyak 3 g/ekor/hari, dengan ukuran grit berdiameter 2-3 mm. Sedangkan pada
umur > 10 minggu, berikan grit sebanyak 4-5 g/ekor/hari dengan ukuran grit berdiameter 3-5 mm

Perlu diingat juga bahwa penyerapan Ca oleh tubuh ayam dipengaruhi oleh kecukupan vitamin D. Oleh
sebab itu selain pemberian grit, perlu ditambahkan juga suplemen vitamin seperti Strong Egg atau Egg
Stimulant. Egg Stimulant juga berguna untuk mempercepat tercapainya produksi telur yang maksimal
sekaligus mempertahankan produksi telur tetap tinggi. Selain itu, suplementasi asam amino
(methionine dan lysine), khususnya yang terkandung dalam Aminovit dan Top Mix mampu menambah
produksi dan berat telur. Bila kualitas ransum kurang baik, tambahkan Top Mix untuk meningkatkan
kualitasnya.

Mempertahankan produksi telur sesuai dengan standar memang membutuhkan berbagai tindakan
penanganan yang tepat. Jika peternak merasakan mulai terjadi penurunan produksi telur, segera lakukan
anamnesa disertai dengan pembacaan recording produksi sebagai langkah awal diagnosa. Pada
penurunan produksi yang disebabkan oleh faktor infeksi penyakit, langkah selanjutnya ialah dengan
mengamati gejala klinis yang tampak, perubahan patologi anatomi yang terjadi dan lakukan pemeriksaan
uji laboratorium untuk meneguhkan diagnosa. Langkah-langkah tersebut penting dilakukan untuk
mendeteksi secara dini penyebab turunnya produksi sehingga dapat dilakukan penanganan lebih lanjut
melalui program antisipasi yang tepat. Salam.

Info Medion Edisi November 2011

Jika Anda akan mengutip artikel ini, harap mencantumkan artikel bersumber dari
Info Medion Online (http://info.medion.co.id).

Anda mungkin juga menyukai