Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU THT REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2019

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

RHINITIS ATROFI (OZAENA)

Oleh :

Yahya Djafar 10542 0444 12

Pembimbing :

dr. Hj. Hasnah Makmur, Sp.THT

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU THT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan referat ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda
Besar Nabi Muhammad SAW.

Referat berjudul “Rhinitis Atrofi (Ozaena)” ini dapat terselesaikan dengan


baik dan tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu THT. Secara khusus penulis sampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr. Hj. Hasnah Makmur, Sp.THT
selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar
dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan
tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna adanya dan
memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak,
baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir kata,
penulis berharap agar referat ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, Februari 2019

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Yahya Djafar, S.Ked
NIM : 10542 0444 12
Judul Referat : Rhinitis Atrofi (Ozaena)

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu THT Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2018

Pembimbing

dr. Hj. Hasnah Makmur, Sp.THT

3
BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi atau ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik yang
ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis,
mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk.1 Orang di sekitar penderita yang biasanya
tidak tahan dengan bau tersebut, tetapi pasien sendiri tidak merasakannya karena
hiposmia atau anosmia.2
Prevalensi rhinitis atrofi bervariasi diberbagai wilayah dunia. Penyakit ini
lebih sering mengenai wanita dibanding laki-laki.3 dan mengenai usia pubertas.
Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di
lingkungan yang buruk dan di negara berkembang.1.4
Ozaena lebih umum di negara-negara barat namun saat ini insidensinya
telah menurun karena peningkatan sosial ekonomi masyarakatnya, dibandingkan
di negara Asia, Afrika, Eropa Timur, Mesir, Yunani, Hongaria, Yugoslavia, India,
Malaysia dan Filipina mengalami peningkatan.4
Banyak teori mengenai etiologi dan pathogenesis rhinitis atrofi
dikemukakan, namun hingga saat ini belum pasti, diantaranya disebabkan karena
infeksi kuman spesifik. Yang sering ditemukan adalah spesies Klebsiella,
terutama Klebsiella ozaena.3 Oleh karena itu pengobatannya pun dilakukan untuk
mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat
bersifat konservatif, atau jika tidak dapat menolong dapat dilakukan pembedahan.
Biasanya diagnosis rinitis atrofi secara klinis tidak sulit. Biasanya sekret berbau,
bilateral, terdapat krusta kuning kehijauan. Keluhan subjektif yang sering
ditemukan pada pasien biasanya napas berbau sementara pasien sendiri menderita
anosmia.1,4

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas hidung iuar dan cavum nasi. Cavum nasi dibagi oleh
septum nasi menjadi dua bagian, kanan dan kiri.5

a. Hidung Luar
Hidung luar mempunyai dua lubang berbentuk lonjong disebut nares, yang
dipisahkan satu dengan yang lain oleh septum nasi. Pinggir lateral, ala nasi,
berbentuk bulat dan dapat digerakkan. Rangka hidung luar dibentuk oleh os
nasale, processus frontalis maxillaris, dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah,
rangka hidung dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan hialin.5

5
1. Suplai Darah Hidung Luar
Kulit hidung luar mendapatkan darah dari cabang-cabang arteria
ophthalmica dan arteria maxillaris. Kulit alanasi danbagianbawah septum
mendapatkan darah dari cabang-cabang arteria facialis.
2. Suplai Saraf Sensoris Hidung Luar
N.infratrochlearis dan rami nasales externae nervus ophthalmicus (Nervus
cranialis V) dan ramus infraorbitalis nervus maxillaris (Nervus cranialis V)
mengurus hidung luar.
b. Cavum Nasi
Cavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke aperture nasalis
posterior atau choanae di belakang, di mana hidung bermuara ke dalam
nasopharing. Vestibulum nasi adalah area di dalam cavum nasi yang terletak
tepat di belakang nares. Cavum nasi dibagi menjadi dua bagian kiri dan kanan
oleh septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh cartilago septi nasi, lamina
verticalis osis ethmoidalis, dan vomer.5
1. Dinding Cavum Nasi
Setiap belahan cavum nasi mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan
dinding medial atau dinding septum.5
2. Dasar
Dasar dibentuk oleh processus palatinus os maxilla dan lamina
horizontalis ossis palatine.
3. Atap
Atap sempit dan dibentuk di sebelah anterior mulai dari bagian bawah
batang hidung oleh os nasale dan os frontale, di tengah oleh lamina cribrosa
ossis ethmoidalis, terletak di bawah fossa cranii anterior, dan di sebelah
posterior oleh bagian miring ke bawahcorpus ossis sphenoidalis.
4. Dinding Lateral
Dinding lateral mempunyai tiga tonjolan tulang disebut concha nasalis
superior, media, dan inferior. Area di bawah setiap concha disebut meatus.
5. Recessus Sphenoethmoidalis

6
Recessus sphenoethmoidalis adalah sebuah daerah kecii yang terletak di
atas concha nasalis superior. Di daerah ini terdapat muara sinus
sphenoidalis.
6. Meatus Nasi Superior
Meatus nasi superior terletak di bawah concha nasalis superior. Di sini
terdapat muara sinus ethmoidales posterior.
7. Meatus Nasi Media
Meatus nasi media terletak di bawah concha nasalis media. Meatus ini
mempunyai tonjolan bulla yangdisebut bulla ethmoidalis, yang dibentuk
oleh sinus ethmoidales medii yang bermuara pada pinggir atasnya. Sebuah
celah meiengkung, disebut hiatus semilunaris, terletak tepat di bawah bulla.
Ujung anterior hiatus yang menuju ke dalam sebuah saluran berbentuk
corong disebut infundibulum, yang akan berhubungan dengan sinus
frontalis. Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi media.5
8. Meatus Nasi lnferior
Meatus nasi inferior terletak di bawah concha nasalis inferior dan
merupakan tempat muara dari ujung barvah ductus nasolacrimalis, yang
dilindungi oleh sebelah lipatan membrana mucosa .
9. Dinding Medial
Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Bagian atas dibentuk oleh
larnina verticalis ossis ethmoidalis dan os vomer. Bagian anterior dibentuk
oleh cartilago septalis. Septum ini jarang terletak pada bidang median,
sehingga belahan cavum nasi vang satu lebih besar dari belahan sisi
lainnya.5

7
c. Membrana Mucosa Cavum Nasi

Vestibulum dilapisi oleh kulit yang telah mengalami modifikasi dan


mempunyai rambut vang kasar. Area di atas concha nasalis superior dilapisi
membrana mucosa olfactorius dan berisi ujungr-ujung saraf sensitif reseptor
penghidu. Bagian bawah cavum nasi dilapisi oleh membrana mucosa
respiratorius. Di daerah respiratorius terdapat sebuah anyaman vena yang besar di
dalam submucosa jaringan ikat.5

d. Suplai Saraf Cavum Nasi


Nervus olfactorius yang berasal dari membrana mucosa olfactorius berjalan
ke atas melalui lamina cribrosa os ethmoidale menuiu ke bulbus olfactorius. Saraf
untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus ophthalmicus (N.Vl) dan
nervus maxillaris (N.V2) divisi nervus trigeminus.5

8
e. Pendarahan Cavum Nasi
Pendarahan cavum nasi berasal dari cabang-cabang arteria maxillaris, yang
merupakan salah satu cabang terminal arteria carotis externa. Cabang yang
terpenting adalah arteria sphenopalatina. Arteria sphenopalatina beranastomosis
dengan ramus septalis arteria labialis superior yang merupakan cabang dari arteria
facialis di daerah vestibulum. Darah di dalam anyaman vena submucosa dialirkan
oleh vena-vena yang menyertai arteri.5

9
Fisiologi Hidung

Fungsi fisiologis hidung adalah (1) fungsi respirasi: air conditioning,


purifikasi udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik local, (2) fungsi penghidu, (3) fungsi fonasi, (4) fungsi
statik dan mekanik, (5) refleks nasal.6
Pada fungsi respirasi, vibrissae pada vestibulum nasi, silia serta palut
lendir membantu filtrasi udara pada inspirasi. Perlu diketahui bahwa anatomi
hidung dalam yang ireguler menyebabkan arus balik udara inspirasi yang
mengakibatkan penimbunan partikel dalam hidung dan nasofaring, akan tetapi
benda asing tersebut akan di ekspektorans atau diangkut melalui transport
mukosiliar ke lambung untuk disterilkan menggunakan asam lambung. Pada
fungsi penyesuaian udara atau air conditioning udara yang masuk ke hidung akan
disesuaikan suhunya dengan suhu tubuh yaitu berkisar 37°C oleh pembuluh darah
yang ada di bawah epitel, permukaan konka dan septum yang luas (turbulensi
mengenai konka dan septum).6
Cabang nervus olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga atas septum berperan dalam fungsi penghidu hidung. Partikel bau dapat
mencapat daerah nervus sensorius tersebut dengan cara difusi dengan palut lender
dan dengan cara menarik nafas dengan kuat. Hidung juga membantu dalam proses
pengecapan, untuk membedakan asal rasa manis, dan membedakan asam cuka
atau asam jawa.6
Proses bicara merupakan suatu proses yang kompleks, melibatkan
paruparu sebagai sumber tenaga, laring sebagai generator suara, dan struktur
kepala dan leher seperti bibir, lidah, gigi, dll sebagai articulator untuk mengubah
suara dasar dari laring menjadi pembicaraan yang dapat di mengerti. Sinus,
nasofaring dan resonansi hidung berperan pula dalam artikulasi, khususnya pada
bunyi tertentu seperti “m”, “n”, “ing”.6

B. Histologi Hidung
Mukosa olfaktoris rongga hidung terdiri atas epitel olfaktoris yang tebal
dan lamina propria yang kaya dengan pembuluh darah, pembuluh limfe dan serat

10
saraf sering berkumpul menjadi berkas. Lamina propria juga mengandung
kelenjar Bowman yang menghasilkan lendir cair dan dilepaskan ke permukaan
epitel bersilia melalui saluran keluar yang pendek.7
a. Epitel Olfaktorius
Udara yang masuk ke paru-paru mula-mula melewati bagian atap atau
superior rongga hidung. Di atap hidung terdapat epitel yang sangat khusus, yaitu
epitel olfaktorius, yang mendeteksi dan meneruskan bau-bauan. Epitel ini terdiri
dari tiga jenis sel: sel penyokong atau sustentakular (epitheliocytus sustenans), sel
basal (epitheliocytus basalis), dan sel olfaktorius (sensorik). Di bawah epitel di
jaringan ikat terdapat kelenjar olfaktorius serosa. Sel olfaktorius (epitheliocytus
sensorius) adalah neuron bipolar sensorik yang tersebar di antara sel penyokong di
bagian yang lebih apikal dan sel basal epitel olfaktorius. Sel olfaktorius terentang
di seluruh ketebalan epitel dan berakhir di permukaan epitel olfaktorius berupa
bulbus bulat yang kecil yaitu vesikel olfaktorius. Silia olfaktorius nonmotil yang
panjang dan terletak seiajar dengan permukaan epitel, terjulur dari setiap vesikel
olfaktorius; silia nonmotil ini berfungsi sebagai reseptor bau. Berbeda dari epitel
respiratorik (epithelium respiratorium), epitel olfaktorius tidak memiliki sel goblet
atau silia motil.8
Di jaringan ikat tepat di bawah epitel olfaktorius terdapat saraf olfaktorius
(nervi olfactorii) dan kelenjar olfaktorius (glandula olfactoria). Kelenjar
olfaktorius (Bowman) menghasilkan cairan serosa yang membasahi silia
olfaktorius dan berfungsi sebagai pelarut molekul bau untuk dideteksi oleh sel
olfaktorius. 8

11
Mukosa olfaktorius terletak di atap rongga hidung, di kedua sisi septum
hidung, dan di permukaan konka superior. salah satu struktur bertulang di dalam
rongga hidung. Epitel olfaktorius dikhususkan untuk menerima rangsang bau.
Akibatnya, epitel ini berbeda dari epitel repiratorik. Epitel olfaktorius adalah
epitel bertingkat semu silindris tinggi tanpa sel goblet dan tanpa silia motil,
berbeda dari epitel respiratorik. Lamina propria di bawahnya mengandung
kelenjar olfaktorius tubuloasinar bercabang. Kelenjar ini menghasilkan sekret
serosa, berbeda dari sekret campuran mukosa dan serosa yang dihasilkan oleh
kelenjar di bagian lainnya di rongga hidung. Saraf kecil yang terdapat di lamina
propria, yaitu saraf olfaktorius menggambarkan kumpulan akson aferen yang
meninggalkan sel-sel olfaktorius dan berlanjut ke dalam rongga tengkorak, tempat
saraf ini bersinaps dengan saraf olfaktorius (kranialis).8

12
b. Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah
epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri
dari atas kolagen dan fibril retikulin.7
c. Lamina Propia
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini
dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan
kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan
kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut
jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf. Mukosa pada
sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis
dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapi semu bersilia, bertumpu
pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan
periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan
mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara
semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang
paling tinggi.7

C. Definisi
Rhinitis atrofi (ozaena) adalah suatu penyakit infeksi hidung kronik dengan
tanda adanya atrofi progresif mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa
hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta
berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria,
terutama pada umur sekitar pubertas.1

D. Epidemiologi
Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering ditemukan
pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan sanitasi lingkungan
yang buruk.1
Kasus ini umum terjadi di negara-negara barat, namun saat ini telah
mengalami penurunan karena peningkatan kondisi sosial ekonomi, sedangkan

13
angka kejadiannya justru meningkat di Asia, Afrika, Eropa Timur, Mesir,
Yunani, Hongaria, Yugoslavia, India, Malaysia, dan Filipina.4

E. Etiologi
Teori mengenai etiologi dan patogenesis rhinitis ozaena sampai sekarang
belum dapat diterangkan dengan memuaskan, ada beberapa hal yang dianggap
sebagai penyebabnya, antara lain : 9,10,11
1. Infeksi kuman spesifik, yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiela,
terutama Klebsiela ozaena. Kuman lainnya antara lain Staphylokokus,
Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa.
2. Beberapa faktor yang mungkin menimbulkan penyakit ini adalah sinusitis
kronis, trauma yang luas pada mukosa, sifilis.
3. Oleh karena penyakit ini mulai timbul pada usia remaja (pubertas) dan
lebih banyak ditemukan pada wanita, maka diduga ketidakseimbangan
endokrin juga berperan sebagai penyebab penyakit ini.
4. Gizi buruk, biasanya karena defisiensi vitamin A, vitamin C dan zat besi.
5. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
6. Herediter.
7. Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi
karena kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan,
sedangkan terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan
kelenjar penghasil mukus.

F. Patologi dan Patogenesis


Kelainan atrofi dari mukosa hidung dan struktur osteochondral pada
penyakit rhinitis atrofi dapat mempengaruhi fisiologi hidung dan dengan demikian
merusak organ pernapasan, fungsi sekretorik, siliaris, dan penciuman.12
Perubahan struktural ini mungkin terkait dengan kombinasi faktor genetik
dan lingkungan dan mengakibatkan peradangan kronis, gangguan drainase sekresi
hidung dan kolonisasi bakteri sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien.12

14
Gambaran histopatologi pada penyakit ozaena, yaitu : 9
1. Metaplasia epitel nasal columnar bersilia menjadi epitel skuamosa.
2. Ada penurunan jumlah dan ukuran kelenjar alveolar.
3. Kapiler yang berdilatasi juga terlihat

Mukosa Normal Rinitis Atrofi


Epitel kolumnar bertingkat semu Metaplasia skuamosa
Terdapat kelenjar serosa dan kelenjar Atrofi kelenjar mucus, Silia
Mukus menghilang, Endarteritis obliterans

Tabel 1. Perbandingan biopsi mukosa normal dan rhinitis atrofi13

A B

Gambar Histopatologi pada pasien Rhinitis Atrofi : A. Mukosa Normal B.


Rhinitis Atrofi
Secara patologis rhinitis atrofi telah dibagi menjadi dua jenis yaitu : 9
Tipe I: ditandai dengan adanya endarteritis dan periarteritis dari arteriol
terminal. Ini bisa disebabkan oleh infeksi kronis, membaik dengan efek
vasodilator dari terapi estrogen.
Tipe II: ditandai oleh vasodilatasi kapiler, pasien-pasien ini dapat
memburuk dengan terapi estrogen.

15
G. Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi :


Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk
klasik rhinitis atrofi dan terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya. Jenis
rinitis atrofi ini umum di Cina, India dan Timur Tengah. Di hampir semua pasien-
pasien ini ditemukan Klebsiella ozaenae. Sedangkan rhinitis atrofi sekunder
merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Penyebabnya bisa
karena bedah sinus, radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi lokal setempat.9

H. Diagnosis
Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesa
Keluhan yang biasa timbul adalah foetor nasi atau bau busuk dari dalam
hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari
pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor nasi tidak dirasakan
oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga menimbulkan
perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering
menyerang perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien.
Adanya krusta (pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat
mengering) sehingga pasien akan merasakan keluhan berupa hidung tersumbat.
Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan

16
yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara
yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik
dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat fungsinya menjadi kurang baik.9
Keluhan lain seperti gangguan penghidu, sakit kepala dan epistaksis. Krusta yang
terdapat di rongga hidung bila dilakukan pengangkatan dapat menyebabkan
epistaksis. Dalam kasus-kasus ekstrim, krusta dapat mengisi nasofaring dan dapat
melapisi dinding pharyngeal posterior.2

b. Pemeriksaan Fisik1
Hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konkha inferior dan
media menjadi atrofi, ada sekret purulen dan krusta berwarna hijau.

c. Pemeriksaan Penunjang9
Pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsi konkha media,
pemeriksaan mikrobiologi untuk menentukan kuman penyebab, pemeriksaan
radiologi sinus paranasalis. Berikut hasil pemeriksaan endoskopi pada pasien
rhinitis atrofi.

Gambar 1. Nasal endoskopi, a. rongga hidung luas, b, c. Krusta kehijauan14

Gambaran pada CT scan:


1. Penebalan mukoperiosteal sinus paranasal
2. Hilangnya struktur kompleks osteomeatal karena resorpsi dari bulla
ethmoidal dan proses uncinat
3. Sinus maksilaris hipoplasia
4. Pembesaran rongga hidung dengan erosi dari dinding hidung lateral

17
5. Atrofi turbinat inferior dan tengah

Gambar CT Scan potongan coronal : A. CT Scan Normal B. Rhinitis Atrofi

I. Diagnosis Banding15,16
Diagnosis banding rinitis ozaena antara lain :
1. Rhinitis kronik TBC
Secara klinis rinitis aropi dan rhinitis kronik TBC sama, dapat dibedakan
dengan pemeriksaan Foto Rontgen Thoraks.
2. Rhinitis kronik lepra
Penderita rinitis kronik lepra mempunyai riwayat atau sedang menderita
penyakit Lepra.
3. Rhinitis kronik sifilis
Rinitis kronik sifilis terjadi pada penderita yang sedang atau sudah
pernah menderita penyakit sifilis sebelumnya.
4. Rhinitis sicca

J. Penatalaksanaan1
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif.
Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau
tidak menolong dilakukan operasi.
a. Terapi Konservatif

18
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci
hidung, dan simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat
sampai tanda-tanda infeksi hilang.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret
dan menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :
 NaCl
 NH4Cl
 NaHCO3 aaa 9
 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan garam dapur
d. Campuran :
 Na bikarbonat 28,4 g
 Na diborat 28,4 g
 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui
mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi
(Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe dan Vitamin A.
3) Obat tetes hidung, setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25%
dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis
10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30
ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
b. Terapi Operatif
Bila dengan pengobatan konsevatif tidak ada perbaikan, maka dilakukan
operasi. Teknik operasi antara lain operasi penutupan lubang hidung atau
penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal.
Tindakan ini diharapkan akan mengurangi turbulensi udara dan pengeringan
sekret, inflamasi mukosa berkurang, sehingga mukosa akan kembali normal,

19
penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana
selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap palatum.1
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1,9
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik
dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit
salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,
kemudian dipindahkan ke lubang hidung.. Pada operasi ini, antrum maksila
dibuka dengan operasi Caldwell- Luc. Dinding medial antrum dimobilisasi
kearah medial dengan membuat potongan berbentuk U dengan menggunakan
bor, apabila mungkin, mukosa kavum nasi yang tipis karena penyakit ini
jangan sampai rusak. Tulang antrum medial dengan konka inferior diluksasi
kearah medial dengan bertumpu pada area etmoid.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis
seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.

K. Prognosis

20
Dalam beberapa kasus, penyakit ini menghilang secara spontan ketika
pasien mencapai usia pertengahan. 17

21
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Rhinitis ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda
adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka.
2. Etiologi penyakit ini belum jelas. Beberapa hal dianggap sebagai penyebab
seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu sepsis klebsiela, yang sering
klebsiela ozaena, kemudian staphylokokus, dan pseudomonas aeruginosa,
defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal dan
penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau terapi
radiasi.
3. Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan pada
pasien biasanya nafas berbau (sementara pasien sendiri menderita
anosmia), ingus kental hijau, krusta hijau, gangguan penciuman, sakit
kepala dan hidung tersumbat. Pada pemeriksaan THT ditentukan rongga
hidung sangat lapang, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret
purulen hijau, dan krusta berwarna hijau.
4. Terapi belum ada yang baku, ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan
gejala dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardani, Retno S; Endang Mangunkusumo. Infeksi Hidung. Dalam :


Soepardi, EA dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta : Badan Penerbit FKUI, 2012 :
hal 117-118
2. Dhillon, R.S; C.A East. An Illustrated Colour Text Fourth Ed : Ear, Nose
and Throat and Head and Neck Surgery. Churchill Livingstone Elsevier.
2013 : hal 38-39
3. Bist, Sampan S; Manisha Bisht; Jagdish P. Purohit. Clinical Study :
Primary Atrophic Rhinitis : A Clinical Profile, Microbiological and
Radiological Study. International Scholarly Research Network
Otolaryngology. Volume 2012 : 1-6 p
4. Sheth, Rakesh et al. Research Article : A Study of Etiological Factors,
Management, and Complications of Atrophic Rhinitis. International
Journal of Medical Science and Public Health. 2016, Vol 5 : 555-558 p
5. Snell, Richard. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. 2011 : hal 35-38
6. Dhingra, Shruti. Disease Of Ear, Nose, Throat and Head and Neck
Surgery. Six Edition. Elsevier. India. 2014 : 134-154 p
7. Leslie, Gartner. Atlas Berwarna Histologi. Edisi Lima. Binarupa Aksara.
2012 : hal 284-287
8. Victor, Eroschenko. Atlas Histologi difiore dengan Korelasi Fungsional.
Edisi Sebelas. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2010 : hal 345-
347
9. B, Thiagarajan; Ramamoorthy G. Atrophic Rhinitis: A Literature Review.
WebMed Central: ENT Scholar. April 2012 : 2-6 p
10. Tuli, BS. Textbook of Ear, Nose and Throat 2nd Ed. Jaypee Brothers
Medical Publishers. 2013 : 170-172 p
11. Kedarnath, Ratkal; Syed Mushtaq. Original Research Article : Clinical
Profile of Patients with Atrophic Rhinitis: Descriptive Study. International

23
Journal of Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery. Juli 2017:
3(3) : 506-509 p
12. Braun, JJ et al. Research Article : Atrophic Rhinitis – Empty Nose
Syndrome: A Clinical, Endoscopic and Radiological Entity. Journal of
Otology and Rhinology. 2014 : 1-6 p
13. Nagalotimath, Umesh S et al. Original Article : Role of Histopathology in
Differentiating Primary Atrophic Rhinitis from Atrophic Stage of
Rhinoscleroma. Indian J Otolaryngol Head Neck Surgery. January-March
2017 : 62-66 p
14. Hayati, Rusina; Dwi Retno Pawarti. Laporan Kasus : Tiga Kasus Rinitis
Atrofi Primer (Ozaena) dalam Satu Keluarga. Departemen Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 2009 : hal 121-127
15. Hans, Sakshi Arora. Self Assessment and Review ENT 7th Ed. Jaypee
Brothers Medical Publishers. 2016 : 223-224 p
16. Bansal, Mohan. Diseases of Ear, Nose, and Throat. Jaypee Brothers
Medical Publishers. 2013 : 313-316 p
17. Arnold, W; U. Ganzer. European Manual of Medicine :
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Springer. 2010 : 196-197 p

24

Anda mungkin juga menyukai