Anda di halaman 1dari 11

PERKEMBANGAN KEBIJAKAN IRIGASI DI INDONESIA

Irigasi Indonesia dari Masa ke Masa

Dari tinjauan buku sejarah tentang irigasi (van Setten van Meyer,1996) dapat diketahui
bahwa irigasi menjadi tumpuan harapan masyarakat banyak dalam proses penyediaan pangan
meskipun suatu negeri terletak di wilayah muson tropis. Indonesia yang terletak di wilayah
muson tropis ini mempunyai ciri sangat khas. Banyak hujan yang hampir merata sepanjang
tahun, dataran volkanis yang sangat subur di beberapa pulau utama menyebabkan penduduk
Indonesia menjadikan teknologi padi sawah sebagai satu alternative terbaik untuk
pengembangan sistem pertanian. Meskipun demikian adanya betatan (dry spell) yaitu
terjadinya hari-hari tanpa hujan menyebabkan petani Indonesia berupaya untuk mewujudkan
teknologi irigasi sebagai satu upaya mengurangi resiko kegagalan panen karena kekurangan
air. Biasanya air irigasi berasal dari sungai yang mengalir di dekatnya, dan sebagai bangunan
dibuat sebuah bendung untuk menaikkan muka air. Dengan demikian dapatlah dimengerti
bahwa sistem irigasi di Indonesia sejak dahulu dirancang untuk melayani sistem budidaya
padi sawah (rice based irrigation system).

Karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak maka sejak jaman dulu irigasi menjadi alat
peneguh kekuasaan politik bagi pemerintah yang sedang berkuasa. Pada titik tertentu justru
irigasi menjadi penentu sukes atau tidaknya pembangunan negara agraris dengan memakai
suatu paradigm yang dianut pada masanya (Arif et al, 2010).

Irigasi pada masa kerajaan sebelum penjajahan

Orang memperkirakan bahwa budidaya sawah telah ada di Indonesia beberapa abad sebelum
tarikh Masehi. Budidaya sawah diduga berasal dari pengaruh budaya Dong-Son. Budaya ini
dibawa sewaktu terjadi migrasi dari daratan Asia Tenggara. Hipotesis lain mengatakan bahwa
budidaya sawah berasal dari Assam Utara dan kemudian menyebar ke beberapa wilayah,
termasuk China, Philippina, dan Indonesia (van der Meer, 1979). Perkembangan budidaya
sawah kemudian terus berlanjut dengan dibangunnya jaringan irigasi gravitasi pada abad-
abad berikutnya. Jaringan irigasi dibangun untuk mengantisipasi kegagalan panen akibat
terjadinya banjir ataupun kekeringan. Pengetahuan ini diperoleh berdasarkan pengalaman
empiris masyarakat.

Pembangunan sistem irigasi secara utuh membutuhkan banyak tenaga kerja. Sudah barang
tentu tenaga-tenaga kerja itu perlu diatur oleh suatu sistem kepemimpinan terpusat yang
menjadi sumber kekuasaan sehingga dapat mengorganisasikan secara sepadan. Demikianlah
manusia Indonesia hidup sejak ratusan tahun yang lalu dalam suasana agraris berbasis padi
telah membentuk suatu budaya masyarakat hidrolik (Wittfogel,1975). Secara garis besar
evolusi pengembangan irigasi mengikuti empat tahapan, yaitu: (i) tahap awal, (ii) pembentuk
akhir, (iii) pengembangan kawasan, dan (iv) penguasaan oleh negara (Lombard,1996; van der
Meer. 1979). Pada tahap-tahap awal pemerintah kerajaan tersebut hampir tidak pernah
terlibat dalam pembangunan sistem irigasi. Semua pembangunan jaringan irigasi dilakukan
oleh masyarakat sendiri tanpa bantuan pemerintah sama sekali. (P3PK,1995;Windya,1993).

Di Jawa kebanyakan sistem irigasi desa dikembangkan atas inisiatif beberapa orang dengan
dipimpin tetua desa. Baru pada tahap keempat setelah terbentuk sistem pemerintahan yang
kuat, negara baru ikut dalam proses pembangunan sistem irigasi. Dalam pembangunan sistem
irigasi sering dijumpai suatu kolaborasi antara pemuka agama, masyarakat dan penguasa
kerajaan. Kerjasama terjadi karena masing-masing pihak saling berkepentingan dan saling
menguntungkan serta mempunyai nuansa politik dan ekonomi. Masyarakat memperoleh
keuntungan karena adanya pertambahan pendapatan akibat kenaikan produksi hasil pertanian,
sedangkan negara akan mendapat memperoleh tambahan pendapatan pajak, serta pengakuan
kekuasaan wilayah (Arif dkk ,2010).

Irigasi pada masa kolonial

Sistem pengelolaan irigasi hampir tidak berubah meskipun sistem kerajaan Hindu-Budha
telah berganti menjadi kerajaan Islam. Masuknya bangsa Eropa ke Pulau Jawa pada abad ke-
16 tidak serta merta merubah budaya dan teknologi tentang sumberdaya air termasuk irigasi.
Pemerintah Kolonial Belanda mulai melakukan pembangunan sistem irigasi teknis di
Indonesia pada abad ke 19. Pembangunan itu tak dapat dipisahkan dari pelaksanaan
kebijakan Sistem Tanam Paksa untuk memacu ekspor komoditi perkebunan ke pasar Eropa.
Kebijakan ini diambil karena pemerintah kolonial mengalami kesulitan keuangan akibat
perang Diponegoro. Pengembangan system perkebunan itu membutuhkan suatu sistem irigasi
teknis untuk menjamin ketersedianya air bagi tanaman perkebunan.

Pembangunan irigasi di masa kolonial Belanda dilakukan dalam beberapa tahapan. Paling
tidak terdapat tiga periode pentahapan, yaitu: (i) masa tahun 1830-1885, sebagai masa
pembangunan fisik bangunan utama (head work), (ii) masa tahun 1885-1920, tahap
pembangunan jaringan irigasi secara utuh, dan (iii) periode 1920–1942 merupakan
pelaksanaan operasional sistem secara mantap. Pentahapan ini juga berkaitan dengan tahapan
perkembangan stabilitas administrasi Pemerintah Kolonial Belanda (Ravesteijn, 2003, van
der Eng, 1996). Pada masa-masa awal pemerintah Kolonial baru mengembangkan falisitas
bangunan utama (head work) yang dilakukan masih secara empiris dan mengadopsi
bangunan irigasi yang telah dibangun penduduk asli. Tak jarang timbul persoalan akibat tidak
sempurnanya rancangbangun. Tetapi semuanya itu selalu dapat diselesaikan melalui
perbaikan secara in-situ (van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001). Pada tahun 1854-1856
terjadi kelaparan yang sangat hebat di Demak dan Grobogan. Oleh sebab itu Pemerintah
Kolonial Belanda membangun system irigasi yang ditujukan untuk memperluas lahan
pertanian pangan. Daerah irigasi (DI) Glapan merupakan sistem irigasi pertama yang
dibangun (van Niel, 2003, van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001). Dengan demikian
terdapat dua macam sistem irigasi teknis yang dikembangkan, yaitu dengan tujuan utama
irigasi untuk perkebunan tebu dan sistem iriagasi untuk tanaman pangan. Kedua sistem irigasi
itu di kemudian hari mempunyai ciri pengelolaan yang agak berbeda. Di satu pihak
pemerintah kolonial Belanda juga tidak merubah sistem irigasi yang dibangun oleh
masyarakat asli seperti Subak misalnya.

Pembangunan sistem irigasi tahap pertama ini dilakukan bersamaan dengan pembentukan
institusi pengairan Kolonial. Biro Pekerjaan Umum Kolonial dibentuk pada tahun 1854 dan
kemudian ditingkatkan menjadi statusnya sebagai Departemen Pekerjaan Umum Kolonial
(BOW) tahun 1866. Pembentukan Institusi Pengairan Kolonial itu tidak terlepas dari
munculnya beberapa konflik dan intrik antara petugas Depertemen Dalam Negeri dan Biro
Pekerjaan Umum. (Ravesteijn, 2003; van der Eng,1996; van Maanen, 1986).

Pembangunan tahap dua bertujuan untuk melengkapi sistem irigasi secara utuh. Pekerjaan ini
dilakukan setelah melakukan penyigian (survey) beberapa tempat di Jawa. Penyusunan
rancangbangun sedikit demi sedikit mulai menggunakan perpaduan teori modern dan
tradisional tetapi masih selalu menggunakan kriteria kelayakan teknik dibandingkan ekonomi
(van der Eng,1996).

Terdapat satu hal menarik dari proses pembangunan itu yaitu bahwa bending yang dibangun
adalah selalu berdasarkan kekhasan lokasi. Pada masa ini pendidikan teknik hidrolika mulai
diperhatikan. Sekolah Tinggi Teknologi Delft membuka jurusan Rekayasa Hidrolika untuk
tipologi wilayah Hindia Belanda dan pada tahun 1921 dibuka Politeknik Bandung dengan
bidang studi yang sama.
Pembangunan sistem irigasi tahap kedua yang bernuansa teknokratik ini, menimbulkan
sejumlah kritik dari para pejabat Departemen Dalam Negeri. Pembangunan dengan nuansa
teknokratik telah menghilangkan kekhasan sistem irigasi di Jawa yang sebelumnya
mempunyai sistem pengelolaan mirip Subak di Bali. Oleh sebab itu BOW mengadakan
beberapa percobaan pengelolaan irigasi berbasis partisipasi masyarakat. Percobaan itu
dilakukan di DI Pateguhan, Pasuruhan dan DI Pekalen keduanya di Jawa Timur. Percobaan di
DI Pateguhan mengambil sistem Subak sebagai model sedangkan di DI Pakalen membentuk
sistem pengelolaan irigasi baru dinamakan sistem uluulu golongan. Pada akhirnya pengusaha
perkebunan lebih memilih system ulu-ulu golongan dari pada sistem Subak. BOW
mengangggap bahwa sistem ulu-ulu golongan merupakan tata cara pengelolaan irigasi
teknikal yang paling baik pada saat itu. Sistem ulu-ulu golongan ini kemudian dipakai di
banyak tempat dengan beberapa modifikasi tergantung pada kekhasan lokasi (Ravesteijn,
2003; van der Eng,1996, van der Meer. 1979, Gelpke, 1986). Pada pembangunan sistem
irigasi tahap kedua ini, BOW mulai meletakkan dasar-dasar tatacara Operasi dan
Pemeliharaan (OP) irigasi beserta institusi pelaksananya.

Pada pembangunan tahap ketiga ini persoalan OP semakin menonjol. Kekurangan air
semakin besar karena semakin banyaknya pabrik gula dibangun. Untuk mengatasi hal itu
maka dibangunlah bendungan-bendungan besar dan waduk-waduk lapangan untuk mengairi
tanaman tebu pada saat terjadi kekurangan air. Untuk melaksanakan pembangunan maka
pihak perkebunan juga diminta berkontribusi. Adanya waduk lapangan meski dapat
mengatasi kekurangan air, juga memunculkan pemahaman terhadap pentingnya persoalan
hak air beserta sistem alokasi airnya. Sampai tahun 1941 total waduk yang telah dibangun
mencapai kapasitas total sebesar 250 juta m3 (van der Eng, 1996, Wirosumarto, 2001).

Irigasi pada masa kemerdekaan

A. Masa sebelum reformasi

Seperti halnya negara yang baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan pada banyak
persoalan,terutama keberkaitan dengan keamanan dan stabilitas politik, kehancuran ekonomi,
kemiskinan dan kekurangan pangan. Keadaan ini berpengaruh terhadap pembangunan dan
pengelolaan irigasi di Indonesia. Dari tahun 1945 sampai dengan masa pemerintahan
Presiden Sukarno hanya sedikit sistem irigasi yang dibangun. Bahkan sistem irigasi yang
dibangun pada masa penjajahan Belanda banyak yang terlantar (Wirosumarto, 2001, van der
Eng, 1996, FTP-UGM, 2006b). Akibatnya Indonesia masih tetap menjadi negara pengimpor
beras terbesar di dunia.

Dengan mengacu pada fenomena-fenomena empiris yang muncul, maka pemerintahan


Presiden Suharto memfokuskan pembangunan sektor sumberdaya air terutama pembangunan
irigasi. Adapun tujuan pembangunan itu adalah agar dapat memotong garis kemiskinan
melalui peningkatan produksi pertanian. Untuk mencapai tujuan, maka pembangunan irigasi
dilakukan dengan memakai tiga strategi, yaitu: (i) pembangunan infrastruktur, (ii) pemberian
insentif pada petani, dan (iii) pengembangan institusi, termasuk penyusunan hukum
perundangan dan organisasi pengelolaannya (Afif, 1992).

Sesuai dengan strategi yang dipilih, maka pembangunan irigasi dilakukan dengan lebih
menekankan pada: (i) pembangunan fisik dengan orientasi pada pencapaian sasaran (target
oriented), (ii) hampiran kerekayasaan yang berbasis pada pertimbangan teknis-ekonomis, (iii)
asas sentralistik, dan (iv) keseragaman metode pelaksanaan dengan mengabaikan keragaman
sosiokultural dan lingkungan strategis setempat.

Kebenaran pelaksanaan strategi pembangunan tersebut dapat dilihat dari kecepatan


pembangunan lahan beririgasi di Indonesia yang sampai dengan tahun 1990 telah tercetak
lebih dari 4,0 juta ha (Moohtar, 1992) dan hamper separuhnya terletak di Pulau Jawa.
Pembangunan jaringan irigasi dengan terpusatkan di Jawa ini disebabkan oleh karena sejak
dahulu kala Pulau Jawa mempunyai sejarah yang panjang dalam budidaya sawah beririgasi
(Kartodihardjo dan Suryo, 1991, van Setten van der Meer, 1979).

Model pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada waktu itu sebetulnya
juga dilakukan pula oleh hampir seluruh negara berkembang, seperti terlihat dari data
perkembangan lahan beririgasi di dunia pada kurun waktu antara tahun 1961 – 1990
mencapai lebih dari 100 juta ha, dengan 70 juta ha di antaranya terletak di Asia (Oi, 1997).

Sebagai bagian dari pengembangan institusi, pada tahun 1974 dikeluarkan Undang-Undang
tentang Pengairan sebagai pengganti aturan colonial AWR 1936 menyusul kemudian
penetapan Peraturan Pemerintah (PP) tentang irigasi tahun 1982 (Wirosumarto, 2001).
Hampiran yang dipakai dalam pengelolaan irigasi masa orde baru ini disebut sebagai
manajeman produksi. Asas ini mengedepankan monosentrisitas dengan menekankan
pemerintah bertindak pelaksana manajemen irigasi di semua aras dan menentukan tujuan
manajemen. Dengan demikian manajemen irigasi secara keseluruhan akan bersifat
manajemen produksi. Salah satu ciri pelaksanaan manajemen produksi ini adalah pelaksanaan
manajemen dengan fokus pada pendekatan teknis dan finansial (Huppert et al. 2001). Namun
dengan segala kelebihan dan kekurangannya Indonesia berhasil mencapai swasembada beras
pada tahun 1984.

Hampiran teknis-ekonomis dalam pembangunan ini ternyata hanya mampu mewujudkan


sebagian besar sasaran pembangunan infrastruktur saja, misalnya pencapaian swasembada
beras (meskipun dalam waktu singkat). Hasil pembangunan yang tercapai dengan
pertumbuhan laju ekonomi secara cepat ini justru tidak mampu untuk mengimbangi
perkembangan dinamika masyarakat yang terjadi akibat dilaksanakannya pembangunan itu
sendiri. Ketidaksepadanan pembangunan dengan hampiran teknis-ekonomis semata juga
terjadi pada pembangunan sektor sumberdaya air pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh
karena karakteristik pembangunan sumberdaya air lebih bersifat pada transformasi
sosiokultural masyarakat dan lingkungan. Hampiran teknis-ekonomis semata yang selama ini
dilakukan dalam pembangunan sumberdaya air ternyata telah menimbulkan permasalahan
sosial-politik dan budaya yang cepat berkembang di masyarakat. Dapat dicatat beberapa
permasalahan yang timbul misalnya kasus Nipah, Kasus Kedungombo, pencemaran badan air
di sungai-sungai besar, ketidakseimbangan biaya operasi dan pemeliharaan dengan investasi
pembangunan irigasi, serta beberapa permasalahan lainnya. Persoalan-persoalan itu terus-
menerus membelenggu kesuksesan yang pernah dicapai pemerintah sehingga dibutuhkan
suatu perubahan.

B. Masa reformasi

Menyadari keinginan adanya perubahan dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air


termasuk irigasi maka pada triwulan akhir tahun 1998, pemerintah pusat telah mulai
memikirkan pentingnya untuk melanjutkan penataan kembali kebijakan nasional pengelolaan
sumberdaya air nasional. Langkah pertama adalah melalui keputusan sidang Kabinet bulan
Oktober 1998 yang merekomendasikan penggunaan metode Pemahaman Partisipatif Kondisi
Pedesaan (PPKP) atau Participatory Rural Appraisal, PRA untuk dipakai dalam perancangan
dan pelaksanaan program-program yang tercakup dalam pengelolaan sumberdaya air
termasuk program pelatihan yang diberikan kepada masyrakat.

Langkah kedua adalah membentuk Kelompok Kerja (POKJA) yang bertugas untuk
memikirkan kembali dan menetapkan kebijakan sumberdaya air nasional. Kelompok kerja ini
beranggotakan unsur-unsur birokrasi dari Departemen terkait, wakil-wakil daerah dan LSM.
Agar lebih dapat mencapai tujuan dan sasaran maka Kelompok kerja ini di bagi dalam
beberapa kelompok. Salah satunya adalah Kelompok Kerja Irigasi.

Dalam waktu relatif singkat, Kelompok Kerja Irigasi dengan dibantu oleh beberapa staf
pengajar dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Andalas, dan Universitas Pajajaran telah
dapat melahirkan suatu konsep Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tentang
Pembaharuan Pengelolaan Irigasi. Konsep ini kemudian didiskusikan dalam Rapat Kerja
Departemen Pekerjaan Umum, Republik Indonesia pada tanggal 13 April 1999 dengan
dihadiri oleh para Wakil Gubernur Seluruh Indonesia dan pada akhirnya ditetapkan dalam
bentuk Instruksi Presiden (INPRES) no. 3/1999 tertanggal 26 April 1999 tentang
Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi (PKPI).

Secara singkat PKPI 1999 ini mempunyai lima kebijakan yaitu masingmasing: (I) peninjauan
kembali tugas dan tanggung jawab pengelola irigasi, (ii) pemberdayaan organisasi Petani
Pemakai Air (P3A), (iii) penyerahan pengelolaan irigasi kepada P3A, (iv) dihimpunnya iuran
pengelolaan irigasi, dan (v) perlu adanya keberlanjutan sistem irigasi. Meskipun PKPI 1999
ini terdiri atas lima kebijakan tetapi sebetulnya mempunyai satu azas yaitu pemberdayaan
masyarakat.

Kebijakan pertama dalam PKPI tentang redefinisi tugas dan tanggung jawab institusi
pengelola irigasi secara harfiah dapat diartikan bahwa pemerintah berkewajiban untuk
mendorong dan meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan irigasi yang selama ini
banyak didominasi oleh pemerintah. Apabila kita definisikan bahwa irigasi sebagai suatu
proses pengambilan air dari sumber, pengaliran air di saluran, pembagian air ke petak,
memberikan air ke mintakat perakaran tanaman dan pengatusan kelebihan air, maka menurut
PP23/82 hanya proses pemberian air pada tanaman di petak tersier saja yang menjadi
wewenang petani. Selebihnya menjadi wewenang pemerintah. Peningkatan tersebut terutama
ditujukan kepada masyarakat agar dapat memberikan peran lebih besar dalam semua proses
pengelolaan irigasi termasuk pengambilan keputusan dan pengawasannya.

Untuk itu diperlukan suatu tatanan institusi baru yang mengatur kewenangan pengelolaan
irigasi pada semua aras. Bentuk kewenangan ini akan mengatur bentuk pola hubungan antara
pemerintah dan masyarakat tani maupun tugas masing-masing pihak dalam pengelolaan
irigasi secara kesetaraan dan kemitraan. Penyusunan tatanan baru tersebut harus dilakukan
secara partisipatif dan dialogis baik antara masyarakat dengan pemerintah maupun antar
instansi pemerintah terkait serta antar warga masyarakat yang terlibat. Tatanan baru yang
dibentuk juga harus memperhatikan keragaman sosiokultural masyarakat setempat.

Kebijakan kedua bermakna bahwa pemerintah menyadari akan pentingnya peran organisasi
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam pengelolaan irigasi sehingga pemerintah
berkeinginan untuk lebih memberikan peran yang lebih besar, dari semula hanya sebagai
organisasi sosial perkumpulan pemakai (users) air, menjadi suatu badan usaha ekonomi
mandiri. Upaya peningkatan peran ini dilakukan secara demokratis. Salah satu alternative
peningkatan peran P3A menjadi suatu lembaga ekonomi mandiri adalah dimungkinkannya
suatu usaha bisnis berbasis pengelolaan air. Usaha ini akan memberikan konsekuensi bahwa
air yang semula hanya dianggap sebagai masukan dalam proses produksi menjadi masukan
modal dalam usaha ekonomi yang berorientasi pada keuntungan.

Perwujudan kebijakan pertama dan kedua dilakukan melalui kebijakan ketiga, yaitu
peningkatan peran masyarakat melalui penyerahan pengelolaan irigasi sebatas
kemampuannya di seluruh aras sistem irigasi. Sehingga penyerahan pengelolaan irigasi (PPI)
tersebut juga dilakukan secara bertahap, selektif dan demokratis. Pelaksanaan (PPI) ini harus
dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat mengetahui imbalan dan keuntungan apa
yang akan diperoleh dengan diserahkannya pengelolaan irigasi.

Transparansi tentang imbalan dan keuntungan ini menjadi kunci suksesnya pelaksanaan
kebijakan pembaharuan pengelolaan irigasi ini. Bentuk transparansi inilah yang tidak pernah
dikerjakan dalam pelaksanaan program Penyerahan Irigasi Kecil (PIK) sehingga program
tersebut cenderung agak kurang sukses dilaksanakan.

Perbedaan yang sangat mendasar dalam PPI dengan PIK dapat terlihat dalam dua hal, yaitu:
(I) latar belakang pelaksanaan, PIK mengartikan partisipasi sebagai mobilisasi, sedangkan
PPI mengartikan partisipasi sebagai pemberdayaan masyarakat, (ii) dalam PIK alasan
dilakukannya penyerahan adalah untuk mengurangi beban O&P irigasi, sedangkan dalam PPI
alasan penyerahan adalah untuk maksud pemberdayaan masyarakat, dan (iii) dalam PIK aset
diserahkan kepada P3A, sedangkan dalam PPI asset masih di tangan pemerintah.

Oleh sebab itu dengan diserahkannya pengelolaan irigasi kepada petani tidak berarti bahwa
pemerintah melepaskan tanggung jawabnya pada pengelolaan irigasi termasuk kegiatan
Operasi dan Pemeliharaan (OP) nya, justru pemerintah berkewajiban untuk memberikan
fasilitas agar masyarakat mampu mengelola jaringan irigasinya secara mandiri, Dengan
diselenggarakannya proses pemberdayaan masyarakat tersebut secara tidak langsung
diharapkan akan terjadi penurunan beban pemerintah dalam O&P secara perlahan.

Kebijakan keempat tentang penggalian iuran dana O&P dari masyarakat dikeluarkan tidak
dengan maksud untuk lebih memberatkan petani dengan membebani iuran tambahan, tetapi
justru untuk memperkuat kelembagaan petani agar mandiri dalam pengelolaan irigasi. Kunci
sukses dari kebijakan keempat ini adalah kesederhanaan prosedur pemungutan iuran
pengelolaan irigasi, transparansi dan akuntabilitas pengeloalan dana serta imbalan dan
keuntungan yang akan diterima petani dengan pembayaran iuran pengelolaan irigasi.

Kebijakan kelima tentang keberlanjutan irigasi menyebutkan secara khusus tentang


pencegahan alih fungsi lahan dan kelestarian sumberdaya air. Hal ini bermakna bahwa
keberlanjutan irigasi tidak hanya disebabkan oleh alih fungsi lahan sebagai keberlanjutan
fisik saja tetapi juga disebabkan oleh sebab-sebab lain termasuk adanya perubahan
lingkungan strategis maupun lingkungan ekologis sistem irigasi sehingga pada akhirnya
mengancam keberlanjutan sistem irigasi secara fisik. Dari beberapa penelitian diperoleh
informasi bahwa ketidakberlanjutan suatu sistem irigasi dapat disebabkan oleh beberapa
sebab, termasuk ketidak berlanjutan sosial ekonomi dan lingkungan (Arif et al, 1998).

Melalui PP 77/2001 maka sifat manajemen irigasi gabungan antara pemerintah dan petani
digantikan oleh menajemen tunggal oleh petani. Peran pemerintah dibatasi pada pemberian
fasilitasi OP serta rehabilitasi apabila petani tidak dapat melakukannya. (Arif, 2003).

Dalam pelaksanaannya kemudian program pembaharuan irigasi tersebut secara cepat hanya
terfokus pada pelaksanaan kebijakan kedua (pemberdayaan Perkumpulan Petani pemakai Air,
P3A) dan kebijakan ketiga (PPI). Kebijakan pertama tidak pernah dihayati secara menyeluruh
sehingga perubahan tatapikir (mindset) seluruh stakeholder manajemen irigasi tidak terbentuk
(Arif, 2003). Untuk kebijakan keempat (prosedur pendanaan) belum pernah direalisasikan
secara tuntas karena UU SDA no 7/2004 sudah disetujui untuk diundangkan dan UU ini tak
berkesesuaian dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam PP 77/2001, terutama
menyangkut penyerahan pengelolaan irigasi kepada P3A.

Arif (2002) berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan yang terkandung dalam maklumat PKPI
sebetulnya merupakan kebijakan-kebijakan yang berurutan dan tidak dapat dilaksanakan
secara serentak. Apabila tidak maka akan timbul bias dalam pelaksanaan dan bahkan menjadi
kehilangan makna karena kelima kebijakan hanya diinterpretasikan sebagai satu kebijakan
saja. Keadaan ini menjadi nyata setelah beberapa kasus pelaksanaan PPI telah gagal untuk
dapat menampilkan keseluruhan program tersebut secara mendasar seperti yang dicita-
citakan. Bahadury et al (2004) misalnya memberikan suatu contoh bahwa pelaksanaan PPI
yang kurang tuntas di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta justru dapat mengancam
keberlanjutan sistem irigasi yang telah diserahkan pada masyarakat tersebut.

Sebetulnya PP 77/2001 secara mendasar telah memberikan beberapa perubahan dan


memberikan arahan pelaksanaan manajemen irigasi baru yang sangat berbeda dengan PP
23/1982 yang digantikannya. Arif (2004) mencatat sebanyak enam dasar perubahan yang
diajukan di samping terdapat beberapa kelemahan konseptual. Kelemahan tersebut
menjadikan PP 77/2001 juga tidak mudah untuk diimplementasikan secara sepadan (CRRD-
UGM-IWMI, 2003).

Dengan dikeluarkannya UU no 7/2004 maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) no


20/2006 tentang irigasi menggantikan PP 77/ 2001. Banyak hal menarik untuk dicermati
apabila kita membandingkan antara kedua PP tersebut. Beberapa perbandingan antara kedua
PP tersebut disajikan pada Tabel.

Perbedaan antara PP 77/2001 dengan PP no 20/2006

Item PP 77/2001 PP no 20/2006


Tujuan dan sasaran irigasi Irigasi untuk peningkatan Irigasi untuk ketahanan pangan dan
kesejahteraan petani peningkatan kesejahteraaan petani
Seluruh sistem diserahkan Pengelolaan bersama, pemerintah/ pemerintah
Kewenangan pengelolaannya kepada daerah di aras jaringan utama dan petani di
organisasi petani jaringan tersier
Polisentrisitas semu karena masih tersirat
Azas manajemen Polisentrisitas adanya superioritas pemerintah.
Wadah koordinasi antar pengguna dapat
dibentuk pada sistem irigasi multiguna
Mobilisasi sumberdaya dan pemberdayaan
Konsep partisipasi Pemberdayaan secara bertahap dengan persyaratan adanya
perkuatan pemahaman birokrasi
Sumber air irigasi Air atmosferik, air permukaan Lebih menekankan pada air atmosferik dan air
dan air tanah permukaan. Air tanah tidak diprioritaskan
Kemungkinan Sangat mendukung Sangat mendukung pengembangan
pengembangan pengembangan teknologi teknologi dan konsep manajerial
teknologi dan konsep manajerial
Secara bertahap azas polysentrisitas semu yang menunjukkan dominasi pemerintah dalam
pelaksanaan PP 20/2006 sedikit demi sedikit mulai berkurang. Sesuai dangan UU no 7/2004
pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan irigasi harus dilakukan secara partisipatif.
Melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no 30 /PRT/M/2007 dikeluarkan satu pedoman
untuk melakukan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif. Namun Permen
PU ini dinilai masih bersifat normatif dan harus dilanjutkan dengan petunjuk teknisnya
karena kondisi sosio-masyrakat yang berbeda antara satu tempat dengan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai