0
inShare
Andai Anda tahu dampak emosi sangat buruk bagi kesehatan jantung, bahkan memicu
penyakit jantung, apakah Anda akan terus-terus terpancing marah dan emosian?
Kemungkinan besar jawabannya adalah tidak. Tetapi sayangnya, banyak orang memilih
meluapkan emosi sejadi-jadinya daripada memikirkan dampak jangka panjangnya bagi
jantung.
Para dokter dan ahli jantung semakin mengkhawatirkan perilaku mudah marah, mengamuk,
dan mengitimidasi dari orang-orang. Seorang profesor di Harvard School of Public Health
di Cambridge, Laura Kubzansky, PhD, mencemaskan orang-orang yang amarahnya mudah
meledak. Ia telah mempelajari pengaruh stres dan emosi pada penyakit kardiovaskular.
Para peneliti berpendapat bahwa kemarahan mungkin menghasilkan efek psikologis langsung
pada jantung dan arteri. Emosi seperti marah dan kebencian dapat dengan cepat mengaktifkan
respon hormon stres—termasuk adrenalin dan kortisol—sehingga mempercepat detak jantung
dan pernapasan, serta ledakan energi. Tekanan darah juga meningkat akibat penyempitan
pembuluh darah.
Reaksi hormon stres merupakan sistem tanggap darurat yang bermanfaat pada situasi-situasi
tertentu, namun ini bisa berbahaya apabila diaktifkan berulang kali. Hal ini menyebabkan
jantung dan sistem kardiovaskular bekerja ekstra. Jantung memompa darah lebih keras,
pembuluh darah menyempit, tekanan darah melonjak, kadar gula darah meningkat, dan ada
lebih banyak gelembung-gelembung lemak di pembuluh darah. Semua ini diyakini sanggup
merusak dinding arteri.
Dan kemarahan bukan pelaku tunggal. Laura Kubzansky yang disebut diawal meneliti bahwa
kecemasan dan depresi yang berlebihan ikut berkontribusi memicu penyakit jantung. Orang
yang gampang marah cenderung memiliki emosi negatif yang lainnya juga.
Orang dewasa yang gemar marah atau bersikap bermusuhan dengan orang lain memiliki
risiko 19% lebih besar mengalami penyakit jantung daripada mereka yang kepribadiannya
lebih tenang. Para peneliti menemukan bahwa sikap emosional tampaknya lebih merusak
jantung pria daripada wanita. Dan diantara pasien penyakit jantung, pasien yang
temperamental harapan hidupnya 24% lebih rendah dibandingkan pasien yang bisa
mengendalikan emosinya.
DALAM perjalanan hidup emosi bisa pasang surut. Bohong kalau orang tak boleh
beremosi. Hidup menjadi kering tanpa menyertakan emosi. Perlu ada rasa di setiap
facet kehidupan. Itulah emosi positif.
Emosi yang buruk, yang negatif, yang perlu selalu dikendalikan supaya kita cerdas
ketika perlu berprestasi. Peran kecerdasan emosi melampaui kecerdasan lainnya.
Untuk maksud itulah kita perlu terus mengasahnya.
Mengganggu kinerja
Sekecil apa pun emosi tentu mengganggu kinerja. Bagaimana tidak terganggu kalau
sekadar letupan amarah saja berpotensi mencetuskan serangan jantung. Kasus
kematian saat sedang meeting, di ajang bisnis, atau kehidupan berumah tangga,
sering sebab saking kelewat bergemuruhnya emosi. Jantung berdegup lebih
kencang, tensi darah mendadak naik hingga ke puncak. Bagi yang jantungnya
sudah bermasalah, beban itu bisa membuatnya kalah.
Pada saat amarah datang, dan gusar meledak, adrenalin membanjir di dalam darah.
Kerja hormon ini membombardir ke mana-mana organ tubuh. Semua otot tubuh
menjadi lebih tegang-waspada, tangan mengepal, mata membelalak, dan peluh
mengalir berlebih. Kalau pun jantung masih bisa menahan beban itu, setelah
amarah selesai, tubuh lalu menjadi letih. Tubuh yang tidak bugarbegini tak mungkin
memberikan performa yang prima.
Orang yang hidupnya selalu tegang, yang emosinya tidak ayem, otot-otot di batang
lehernya ikut menegang juga. Dokter meraba ketegangan otot kuduk dan pundaknya
lebih kaku. Tonus ototnya meninggi. Kondisi otot batang leher tegang kaku begitu
yang bikin nyeri kepala berkepanjangan. Kita menyebutnyatension headache.
Nyeri kepala sebab ketegangan emosi tak mereda hanya dengan obat sakit kepala
belaka, diperlukan upaya mengendurkan emosi juga. Obat penenang diperlukan
kalau orang sendiri tak mampu secara sadar menjadikan hidupnya lebih relaks.
Kegiatan relaksasi sebut saja meditasi, dan yoga, kita perlukan.
Rasa dengki, iri, dendam, paranoid, atau kecemasan yang berlangsung terus
menerus sudah pasti merugikan badan. Lambung menjadi lebih masam, lalu terluka.
Lambung yang terluka mengurangi selera makan, asupan makan berkurang, uluhati
tak nyaman, kepala terasa berat, selain badan jadi lesu, dan lemah. Kondisi begini
tak mungkin bikin kita tampil prima.
Emosi negatif sering meledak umumnya karena salah sangka, salah persepsi, salah
tafsir belaka. Hanya ketajaman otak kiri dalam menganalisis dan emosi dibiarkan
labil, bikin hidup tak seimbang. Kita membutuhkan encernya otak kanan yang
membuat kita lebih bijak.
Berpikir sebelum merasa harus marah, berpikir sebelum memastikan itu bukan salah
sangka, salah tafsir, salah persepsi, cara arif mematangkan jiwa. Makin matang jiwa
kita, makin bijak kita di mata orang banyak.